HAPPY READING:)
***
"Sejumlah penduduk di Indonesia kini dikabarkan telah terjangkiti virus. Namun sampai saat ini belum diketahui pasti virus apakah di tahun 2019 ini karena virus yang merajalela tersebut baru saja muncul. Menurut orang-orang virus ini tampak seperti virus zombie, beda halnya dengan di Benua Amerika yang hanya menyerang hewan seperti sapi dan rusa, di Indonesia kali ini virus seperti zombie tersebut justru menyerang manus..." Suara televisi di salah satu acara berita kini terpotong kala Aretha mematikan tv.
Ia menghela napasnya bertepatan saat Arta datang ke ruang keluarga dan duduk bersama Aretha di sofa.
"Kenapa matiin tvnya?" tanya Arta.
"2019 berita tv pembodohan masa kini, kira-kira di twitter ada gak yah hastag kek gitu."
Arta mengernyit heran, "maksudnya?"
"Masa diberita bilang di Indonesia ada virus zombie, kan sinting gila miring, diluar negeri aja gak ada gitu-gituan."
"Kali aja virus sapi gila atau rusa, kan emang ada yang kena hewan." Arta terus berusaha untuk berpikiran positif.
"Mana ada, tadi dibilangnya tuh di indo beda sama Amerika, kalau Amerika itu kenanya hewan, tapi kalau di Indonesia kenanya orang, gitu," jelas Aretha.
"Au ah, mending nonton Dora the Explore." Arta kembali menyalakan tv dan mengganti acara tv lain.
"Dimana?" tanya Aretha.
"Di tv lah."
"Dimana?"
"Lo congek apa gemana sih?"
"Sekali lagi."
"Apaan sih!" rutuk Arta.
"Lebih keras."
Sekarang Arta baru menyadari maksud Aretha, "SABODO TEUING, ANY*NG!" pekiknya geram.
"Hahahaha, dasar bambang. Btw bunda sama ayah mana? Dari pagi sampe malam gak nongol-nongol."
"Oh...bunda sama ayah tadi pagi pergi keluar kota, katanya sih balik minggu depan, gak tau deh ngapain."
"Yah, gak ngajak-ngajak," kata Aretha lesu.
"Besok ingat antarin gue ke tempat latihan, terlambat dikit gue tendang masa depan lo!" ancam Aretha kemudian beranjak pergi ke kamar. Arta bergidik ngeri mendengarnya.
-
Waktu telah menunjukkan pukul 6, sang mentari masih malu-malu untuk menunjukkan wujudnya, dan lebih memilih untuk bersembunyi dibalik awan tebal.
Demi keselamatan masa depannya, Arta langsung ke kamar Aretha untuk membangunkan gadis itu dan mengantarnya ke tempat latihan. Hanya demi masa depannya, karena jika ancaman sudah Aretha lemparkan, kecil kemungkinan untuk tidak ditepati.
"Retha! Bangun, katanya mau latihan, ini demi masa depan gue lho ya. Bangun woy madam," serunya sambil mengetuk pintu.
"Bentar." Suara serak khas bangun tidur terdengar.
"Jangan sengaja lo ya gak bangun, sekalinya terlam--mampus ada nyi roro kidul." Arta terkejut saat ucapannya belum terselesaikan dan pintu sudah terbuka menampilkan Aretha yang berdiri dengan mata masih sedikit tertutup, serta ubuhnya yang dililit oleh selimut tebal, padahal gadis itu sudah memakai piyamanya.
"Nyi Roro Kidul pala lu pe'a."
"Kan kaget orang," kata Arta.
"Hm...gue mah mandi dulu." Masih dengan mata tertutup Aretha kembali menutup pintu kamarnya dan segera mandi.
Diluar Arta bergumam, "untung adek gue, kalau kagak udah gue copot matanya." Dengan penuh rasa kesal Arta kembali ke kamarnya dan bersiap-siap untuk mengantar Aretha.
Selang beberapa menit kemudian gadis bersurai hitam pekat itu sudah siap dengan topi abu-abu bertulisan 'Attack' dikepalanya, hoodie berwarna seiras dengan topi, dan celana jeans hitam, serta jam tangan dilengan kirinya. Ia berdiri didepan kaca dan memperhatikan penampilannya dari ujung rambu hingga ujung kaki, memastikan apakah ada yang kurang ataukah tidak.
Setelah dirasa tidak ada yang kurang, Aretha lantas bergegas turun ke lantai bawah, dan tak lupa membawa skateboard di sudut ruangan yaitu di belakang pintu.
"Oncom, anterin gue buru! Udah setengah 7 elah!" teriak Aretha sembari berlari turun ditangga.
Di sofa ruang tamu ternyata Arta sudah siap, dan sepertinya lama sebelum Aretha ke bawah, sebab ia melihat abangnya sudah terlelap disofa dengan posisi duduk dan bersedekap dada, serta kepalanya tertunduk dengan topi seiras dengan Aretha yang diturunkan sehingga menutupi sebagian wajahnya
"Bang, lo gak mati, kan? Perasaan gue belum hancurin masa depan lo deh," kelakar Aretha.
"Eh jangan-jangan bener yak? Oh my Lord, bang lo gak mati, kan?" tanya Aretha menghampiri Arta dan mensejajarkan posisinya.
"Bang! Bang Arta!" Aretha memekik sedikit keras berharap abangnya segera bangun, namun ternyata nihil. Ia menolehkan kepalanya kebelakang, mengedarkan pandangannya untuk melihat benda apakah yang bisa membantunya untuk membangunkan Arta, pisau kan, atau kapak, eh??
Sepersekian detik kemudian, ia kembali menghadapkan kepalanya pada Arta, dan betapa terkejutnya gadis itu melihat mata Arta menjadi putih sepenuhnya, dan sekitaran matanya berlumuran darah.
"BANG ARTA!" Dengan sigap Aretha menjauhkan dirinya dari Arta, perasaan takut begitu membuncah. Semua pikiran buruk menghasut tanpa ampun.
"Hahaha...kena lo kan." Tangan Arta melepaskan soflents berwarna putih tersebut dari matanya.
Namun kenyataan bahwa pikiran buruknya bertentangan dengan kenyataan sama sekali tidak melegakan hatinya.
"Jahat, hiks." Bibir Aretha bergetar setelah isakan mulai terdengar. Arta sendiri tidak menyangka akan menjadi seperti ini, niatnya hanya sekadar bercanda dan mengerjai Aretha. Tetapi sekarang, hasilnya diluar dugaan, gadis itu justru menangis. Dan sejahil-jahilnya Arta, ia juga tidak sampai hati melihat adiknya menangis karena ulahnya sendiri.
"Retha, jangan nangis, gue cuma bercanda tau." Laki-laki berkulit putih itu mendatangi Aretha dan memeluknya, membiarkan adiknya itu menumpahkan derasnya aliran air mata dalam dekapan hangatnya.
Masih dalam tangisannya Aretha menggerutu sambil terisak, "gak lucu tau. Kalau jadi beneran, gemana?"
Arta mengelus lembut punggung Aretha, kemudian mengecup penuh kasih sayang puncak kepalanya.
"Maafin abang yah, Ret. Abang gak tau kalau kamu bakal nangis," tutur Arta penuh penyesalan.
Pelukan keduanya terurai. Arta menangkup wajah Aretha dan menghapus jejak air mata di bawah mata gadis itu.
"Jangan nangis lagi yah," bujuk Arta dibalas oleh anggukan kecil.
-
Tidak seperti pagi tadi, dimana matahari masih malu dan bersembunyi di balik awan. Sekarang justru matahari dengan percaya dirinya menampilkan wujud sebenarnya, bahkan sekarang langit terlihat sangat biru tanpa tertutup awan.
Setelah berlatih dengan skateboard-nya, Aretha bergegas istirahat sejenak dan meminum sebotol air mineral.
Di sky land atau tempat untuk berlatih para pemain skateboard ini ada banyak kelompok, namun diantaranya ada dua kelompok yang awalnya bersatu, sekarang malah menjadi terpecah belah, pertama adalah kelompok dari Aretha dan kedua dari Adel.
Sangat disayangkan, karena dahulu Aretha dan Adel saling bersahabat. Tapi balik lagi, tidak ada orang hidup didunia tanpa masalah, karena semua itu sudah pasti mustahil.
"Ada yang lagi sendirian aja nih," ucap seseorang dari belakang Aretha, sehingga gadis bermata amber itu membalikkan badannya.
Dihadapannya ada segerombolan Adel, dan empat orang temannya. Aretha memutar bola matanya jengah, "si gembel mau ngapain lagi sih, gak ada kerjaan banget dah," gerutunya berbatin.
"Mana teman-teman lo?" tanya Adel.
Untuk saat ini Aretha sedang menerapkan nasihat Karen dirumah sakit beberapa hari lalu, untuk tidak usah peduli atau melayani Adel dan kawan-kawannya, ia lebih memilih berlalu dari hadapan Adel, tapi baru saja melangkah, gadis bersurai ungu tua itu menahan lengan Aretha.
"Lo takut, kan? Hh, masih mau lo gue gebukin?"
"Gue diam bukan berarti gue takut," bantah Aretha mendelik tajam pada Adel.
"Oh ya?"
"Kalau gitu, boleh dong gue masukin lo ke rumah sakit lagi, tapi bukan di UGD atau IGD, karena lo lebih pantas di ICU atau gak yah kamar mayat," lanjut Adel.
"Shut up, bastard!" tegas Aretha.
Adel terkekeh dan mencengkram kuat tangan Aretha, "Kalau gue bastard, berarti lo fu*king bastard."
Aretha menepis kuat cengkraman Adel, matanya ikut menatap tajam, kemudian ia memamerkan senyum seringainya.
"Lo tau apa perbedaan lo sama sampah?" tanyanya kemudian terkekeh, "gue rasa sih gak ada bedanya." Ia tertawa jahat, sementara Adel sudah mulai naik pitam.
Aretha melenggang pergi dari hadapan Adel dan kawan-kawannya. Ia bergegas pergi untuk menemui teman-temannya yang sedari tadi belum ia temui.
"Farah! Anya! Lea!" panggil Aretha ketika melihat ketiga temannya sedang duduk selonjoran tidak jauh dari tempatnya tadi, tepatnya dibawah pohon rindang.
Ia mendatangi ketiga temannya dan ikut bergabung disitu. Farah, Anya, dan Lea adalah sahabat Aretha ditempat latihan. Meski begitu mereka juga bersahabat dengan Karen, hanya saja hobi Karen bukanlah bermain skateboard, karena gadis itu lebih menyukai renang dibanding bermain skateboard.
"Eh, Tha. Udah sembuh?" tanya Anya.
Aretha mengangguk, "gue kan strong," ucapnya bangga.
Ketiga temannya itu hanya ber-oh ria tanpa ikut berbangga hati. Sementara Aretha berdecak kesal karena teman-temannya seperti tidak memihak padanya.
"Btw maaf nih kita kita gak bisa jenguk lo, yah lo tau lah tugas skripsi tuh kayak gemana, kalau lo kan masih pucuk, baru aja semester satu, gak ada apa-apanya," kata Farah.
"Iya gapapa, lagian gue juga gak lama kok, males banget sama tuh rumah sakit."
"Lha, emang kenapa?" tanya Lea.
Tidak hanya Lea saja yang penasaran, Farah dan Anya juga merasakan hal tersebut. Aretha menghela napasnya, kemudian menceritakan semua kejadian di rumah sakit yang sangat membuatnya kesal sekaligus merinding.
Ketiga gadis itu mendengarkan Aretha dengan seksama, mulai dari saat Aretha melihat anak kecil itu makan, kejang-kejang, wajah seperti tak berbentuk, dokter yang tidak merespon saat dipanggil, sampai saat Aretha menginjak sesuatu yang memuncratkan cairan kental berwarna merah gelap.Mereka semua kaget, bahkan hampir tidak percaya. Tapi bagaimana lagi, itulah kenyataannya.
"Astaga, gila sih, gue kira yang gini-gini cuma ada film, ternyata...ah gue gak bisa bayangin lagi." Farah menggelengkan kepalanya setelah membayangkan betapa seramnya cerita Aretha.
"Kemarin juga gue nonton berita yang virus-virus gitu, jangan-jangan itu zombie lagi," kata Lea.
Aretha memutar otaknya, semalam ia baru mengatakan bahwa 2019 berita tv pembodohan masa kini, padahal jelas-jelas dirinya lah saksi atas hal tersebut.
"Dasar Aretha bodoh, lo sendiri yang lihat dan lo sendiri yang gak percaya, tapi...secepat itukah virusnya menyebar?" rutuk dewi batinnya.
"Sekarang kita cuma perlu hati-hati dengan makanan minuman," saran Aretha.
"Terus yang lo injek mata itu, orang-orang gak lihat apa? Kan ada bercaknya," tanya Anya.
"Gue juga bingung sih, dokter-dokter disana gak punya telinga kali yak, cuma kata Karen sih pasien lainnya pada heran juga, cuma yah mau gemana lagj, mereka juga pasti takut, kan."
Sang hening merasuki, bibir mereka bungkam dan otak sama-sama berkutat dalam pikiran masing-masing. Ketakutan mulai membayang, dalam pikiran mereka ada satu hal yang sama, "bagaimana keadaan dunia selanjutanya?" itulah hal yang sama dalam pikiran mereka. Melihat di film saja terkadang masih merasa parno, apalagi jika benar adanya.
Selang beberapa saat kemudian Arta dan Karen datang. Keduanya terlihat seperti sepasang kekasih, berjalan berdampingan. Namun nyatanya mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun, bahkan menyadari bahwa mereka berjalan berdampingan saja tidak sadar. Aneh!
"Woy madam!" seru Arta mendatangi Aretha.
"Paan, mbah?" tanya Aretha mendongak ke atas.
"Kagak, cuma Karen tadi minta gue anterin dia kesini yaudah gue antarin," jelas Aretha.
"Sampe harus kayak suami-istri gitu," timpal Anya bermaksud untuk menggoda.
"Hah?"
"Yaelah Arta, gak peka banget sih lo jadi cowok, Karen tuh ngode biar lo nembak dia, ajak kencan sekalian," ujar Lea.
"Ih apaan sih! Ya nggak lah, mana ada, lagian gue udah punya gebetan kok," bantah Karen.
"Baru gebetan, siapa tau gebetannya Arta lagi, hahaha...," ledek Farah.
"Dua hari gak ketemu tambah ngeselin!" gerutu Karen.
Aretha berdiri dari duduknya, memperbaiki topinya dan merangkul Arta, "bang, mungkin ini udah saatnya, lo ninggalin gue, dan nikah sama Karen, gue dukung kok." Ia menepuk-nepuk bahu Arta dan tersenyum meyakinkan.
"Apaan sih--"
Ucapan Arta menggantung kala begitu banyak orang berlari sekuat tenaga, dengan wajah pucat pasi, dan tanpa menghitung menit pun keringat mereka bercucuran. Arta, Aretha, Karen, Anya, maupun Lea tertegun tak mengerti. Mereka bergeming dengan mata yang menyapu ke segala arah. Mereka semakin panik saat Karen memekik. Matanya tertuju pada satu titik. Jari telunjuknya mengarah ke titik tersebut dengan bergetar.
"I-itu ..."
-
mutualan ig yukk