Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore kurang ketika aku keluar dari ruang studio satu. Aku baru saja mengikuti mata kuliah technical drawing atau yang biasa disebut gambar teknik kalau di Indonesia. Hampir dua tahun aku berada di Jepang. Dan hampir dua tahun pula aku tidak pernah pulang ke Indonesia. Sekalinya liburan, aku pasti pulang ke Bangkok atau liburan ke rumah Yuuta di Osaka.
Sebenarnya bukan hanya aku saja yang tidak pernah pulang ke Indonesia. Alva, sahabat terbaikku yang juga tetangga seberang kamar apartemenku, tidak pernah pulang ke Indonesia. Paling sering keluarganya yang berkunjung ke Jepang. Pernah suatu hari, ketika keduaorangtua kami datang untuk menjenguk, orangtua kami tidak sengaja berpapasan di lift. Mereka terkejut apalagi kedua ayah kami yang memang sudah mengenal sejak lama. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Om Bayu, yang dulu pernah aku temui di Singapura, ternyata ayahnya Alva. Sungguh diluar perkiraan. Sejak saat itu pula, persahabatan kami jadi makin erat.
Alvaro Gavriel. Orang asing yang tak sengaja ku kenal di kafe langgananku, sekarang tanpa diduga menjadi sahabat dan teman terbaikku. Dia yang selama ini menemani hari-hariku di Jepang. Aku dan Alva sudah banyak bertukar cerita. Termasuk kisah cinta kami yang berujung dengan sakit hati. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ia memendam rasa pada sahabatku, Naira. Dan ia juga tidak pernah menyangka kalau aku pernah berpacaran dengan temannya, Jovan. Dunia memang begitu sempit. Selama dua tahun ini, kami saling menghibur satu sama lain. Apalagi ditambah dengan adanya Luke dan Yuuta.
Aku melangkahkan kakiku menuju ke sebuah taman yang berada di tengah-tengah kampus. Dengan sebuah tabung hitam yang tersampir di pundakku, aku berjalan dengan bangga mendekati seorang laki-laki yang sudah memasang tampak cemberutnya padaku. Mau tak mau aku tertawa melihatnya.
“Lama deh!” Keluhnya padaku. Aku hanya cengar-cengir dengan wajah tanpa dosa.
“Iya, iya, maaf. Yang penting kan, sekarang aku udah ada di sini?” sahutku.
“Keburu lapeeeerr, Vitaaaaa..” rengeknya. “Udah ah, ayo cari makan!” Ajak Alva kemudian. Ia pun mengambil alih untuk membawakan tabung hitam yang berisi berbagai macam gambar desain bangunan milikku. Alva memang seperti itu. Tanpa diminta, ia selalu siap untuk membantu.
“Eh, nggak nunggu Luke?” Tanyaku ketika beru menyadari ketiadaan sahabatku yang satunya. Seorang laki-laki berwajah bule, tetapi tetap orang Indonesia asli. Aku sempat tertipu ketika pertama kali mengenalnya. Begitu juga dengan Alva yang bahkan menyumpah-serapahi Luke karena jengkelnya.
“Dia udah duluan sama Yuuta.” Jawab Alva.
“Oh, yaudah deh. Ayo!”
♪
Gerbong kereta yang sedang aku naiki kali ini lumayan lengang. Mungkin karna memang bukan waktunya jam sibuk. Dari kecil, aku selalu suka suasana di dalam kereta—selain suasana ramai di bandara. Aku juga tidak tahu kenapa aku punya kesukaan yang aneh seperti itu. Di dalam kereta ini, hanya ada beberapa orang saja. Di sebelah kiriku ada segerombolan siswa dan siswi sekolah yang sedang asyik bercengkrama, di hadapaku ada seorang ibu muda yang sedang mencoba untuk menidurkan anak laki-lakinya yang masih kecil, di sebelah ibu muda itu ada seorang bapak-bapak yang sibuk membaca buku bawaannya dan tepat di sebelah kananku ada Alva yang sedang sibuk dengan smartphone miliknya. Entah apa yang sedang ia kerjakan.
Kami baru saja selesai makan siang menjelang sore bersama Luke danYuuta di sebuah kedai ramen yang jaraknya cukup jauh dari kampus kami. Jarak tidak menjadi masalah kalau makanan yang kami dapatkan memang enak. Begitulah mottoku dan ketiga laki-laki yang sudah menemani hari-hariku. Setelah acara makan-makan selesai, kami berempat berpisah di tengah jalan. Luke katanya ada janjian dengan seorang gadis yang saat ini sedang ia dekati—asal tahu saja, Luke itu semacam player gagal. Jadi hati-hati saja dengannya. Sedangkan Yuuta pulang ke Osaka karena ada urusan dengan sekolahnya yang ada di sana. Sementara aku dan Alva, memilih langsung pulang ke apartemen saja.
“Ta, bentar lagi musim panas nih.” Celetuk Alva membuka bahan obrolan. Dari semua orang yang mengenalku, hanya Alva yang memanggilku dengan sebutan Vita. Aku pernah bertanya kenapa ia memanggilku seperti itu, katanya karna Alva suka memanggilku begitu. Ternyata ia sudah tidak bermain dengan smartphonenya lagi. Aku pun mengerutkan kening kebingungan.
“Terus?” Tanyaku heran. Tiba-tiba saja Alva sudah mencubit kedua pipiku dengan gemas. Otomatis aku berusaha untuk melepaskan tangan Alva dari pipiku. Sakit tahu!
“Bentar lagi kan summer holiday, Vitaku sayaaaaang.” Kata Alva kemudian. Tidak usah kaget kalau tahu Alva memanggilku sayang, karna ia memang menyayangiku, sebagai sahabatnya tentu sjaa. Ah iya juga! Aku sama sekali lupa dengan hal satu itu. Tidak terasa waktu cepat berlalu juga. Rasanya baru kemarin aku liburan musim dingin bersama Alva ke Bangkok, tahu-tahu saja sekarang sudah mau liburan musim panas saja.
“Oh iya juga ya.” Sahutku dengan cengengesan tanpa dosa. Alva hanya menggelengakan kepalanya. “Jadi, kita mau liburan ke mana lagi nih?”
“Pulang kampung, Ta.” Jawab Alva langsung dengan yakin.
“Pulang kampung?” Tanyaku membeo. Alva menganggukan kepala. “Ke Indonesia?”
“Yep!” Aku bisa melihat tekad Alva untuk pulang ke Indonesia sudah bulat. Dengan berat, aku menghembuskan napas. “Barusan Mama nanya, kapan aku pulang ke Indonesia lewat BBM. Ya aku jawabnya liburan musim panas nanti. Lagian aku juga udah kangen berat sama Indonesia , Ta. Masa kamu nggak sih?”
“Kangen, sih....”
“Tapi?” Sebelah alis Alva terangkat menunggu lanjutan dari kalimatku.
“Tapi, aku mau tidur dimana? Rumahku kan udah dikontrak orang. Lagian belum tentu juga Ayah sama Bunda ngasih izin. Terus lagi, aku masih belum siap kalau seandainya ketemu lagi sama Jovan.” Ujarku.
Alva menghela napas panjang, “Pertama, kamu bisa tidur di rumahku selama kita di Indonesia. Toh kamar kosong di rumah banyak. Mama juga pasti seneng ketemu kamu. Kedua, masalah izin, biar aku yang hubungin Ayah sama Bundamu. Percaya sama aku deh, pasti di izinin,”
Aku masih menunggu Alva meneruskan kalimatnya. Tapi ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang ada di dalam otak jeniusnya itu, “Terakhir, kamu pikir aku siap kalau tiba-tiba ketemu Naira? Belum, Ta. Tapi yaudahlah ya, yang lalu biarlah berlalu. Lagian aku punya kamu di sampingku dan kamu punya aku disampingmu. Kita pasti bisa lewatin semuanya, Ta.”
Hatiku terenyuh mendengar penuturan Alva. Benar apa katanya. Kami saling memiliki satu sama lain dan kami pasti bisa saling mendukung. Terbukti dari dua tahun ini kami menjalani lebar hidup yang baru dalam keadaan hati yang sudah hancur berkeping-keping. Alva tersenyum padaku dan aku pun membalas senyuman Alva yang sangat menenangkan untukku.
Sekarang aku sudah tidak ragu lagi untuk pulang ke Indonesia. Selama ini aku sangat merindukan kampung halamanku. Tapi karena hatiku masih belum siap untuk bertemu lagi dengn Jovan, maka dari itu aku selalu saja liburan di tempat dan negara lain. Sudah cukup menjadi seorang pengecut. Cobaan itu ada untuk dihadapi bukan dihindari. Dan sekarang aku akan mencoba untuk menghadapi cobaan hati yang sedang aku dapatkan.
Hey Indonesia, Revita and Alvaro will be rigth back as soon as possible!