Spring to Your Smile

By renaiteirisa

1.5K 359 134

Namaku Yumiki Yamato, dan seharusnya aku tidak ada. Yamato pergi meninggalkan dunia ini pada suatu malam. Nap... More

prolog
day 1
day 2
day 3
[bonus chapter] - tentang koushien
day 4
[bonus chapter] tentang ketua osis
day 5
[bukan update] pengumuman atau apalah namanya
day 6
[epilog] new days
[bonus chapter] - tentang kehilangan

last day

82 26 10
By renaiteirisa

Aku segera menyadari di mana aku berada begitu membuka mata.

Auditorium sekolah. Tentu saja aku mengenalinya. Tapi, rasa asing yang aneh datang dalam sekejap mata, menyadari tempat ini tak seharusnya begini dan aku tak seharusnya ada di sini.

Auditorium itu remang. Remang dengan cara yang tak wajar. Seperti ada lampu merah redup dinyalakan di semua sudutnya, padahal aku tahu auditorium sekolahku tak memiliki lampu merah, hanya neon-neon jernih yang melekat di langit-langit. Hening yang menyelimuti juga terasa aneh. Rasanya seperti auditorium ini sudah lama mati ditinggalkan semua orang.

Lalu, bagaimana ceritanya aku bisa ada di sini?

"Kamu gagal."

Hah?

"Sia-sia malaikat ngasih kamu kesempatan tujuh hari."

Tunggu, apa? Suara siapa?

"Kamu bahkan nggak tau siapa yang kamu selamatkan."

"Aku menyelamatkan Kousaku," aku memberanikan diri menjawab,"dan kurasa memang dia yang harus kuselamatkan."

"Bukan. Bukan siapa yang harus kamu selamatkan. Tapi siapa yang sudah kamu selamatkan. Kamu nggak tau dia."

Lalu, entah bagaimana, sosok-sosok yang kukenal telah berada mengelilingiku. Mereka muncul begitu saja, seperti trik sulap mengerikan yang tak masuk akal. Aku baru tersadar sedari tadi aku mengenal suara-suara yang bicara padaku. Suara pertama adalah suara Ryouchin dengan versi lebih rendah dan dingin. Suara kedua adalah suara Jun yang entah mengapa kehilangan kekonyolannya.

Suara ketiga dan keempat adalah suara ... Kousaku.

Saat aku mengangkat kepala, mereka semua adalah orang yang kukenal. Bagaimana bisa mereka muncul begitu saja? Mengapa mereka semua menatapku dengan tajam dan penuh kebencian? Mengapa mereka seakan melihatku sebagai sampah yang telah gagal melakukan segalanya? Mengapa ada Ryouchin dan Jun yang ikut memandang seperti ingin memusnahkanku dari dunia?

Berikutnya, yang kudengar hanya suara-suara yang tumpang-tindih dengan kacau, meski aku dapat menangkap beberapa kata yang terucap. Kamu gagal. Kamu menyia-nyiakan kesempatan. Kamu mengkhianati kepercayaan.

Tidak. Aku tidak gagal. Aku tidak mungkin mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan Sang Malaikat padaku. Aku hanya butuh satu hari terakhir untuk menemui Naoya, berusaha membuktikan padanya bahwa di dunia ini masih ada orang yang peduli padanya, dan bagaimanapun aku harus bisa membawanya pada lingkar pertemanan kami. Aku pasti bisa. Aku pasti bisa membuat hari-hari esok Kousaku tidak diwarnai penindasan lagi. Aku hanya butuh satu hari terakhir, jadi seharusnya aku bukan berada di sini ....

Tapi, entah kenapa, kakiku seperti tak memiliki tenaga untuk bangkit dan menerjang lingkaran ganjil yang dibuat oleh orang-orang di sekitarku.

Di tengah kepanikanku, aku melihatnya di sela-sela orang-orang yang berputar mengitariku.

Kousaku.

Kousaku hanya berdiri di luar lingkaran, tanpa mengatakan apa-apa, bahkan tanpa bergerak. Hanya mata tanpa kehangatan yang menatapku lurus dari balik kacamatanya.

Aku berusaha menyebut namanya, tapi suaraku sama sekali tidak keluar. Aku berniat mencoba memanggilnya lagi, tapi aku mengurungkan niat saat aku menyadari sesuatu di balik tatapan mata itu.

Aku ... tidak mengenal orang yang berdiri di sana.

Wujudnya memang Koizumi Kousaku. Tapi tatapan dan aura itu ... sama sekali bukan milik Kousaku. Bukan milik Kousaku yang berada di sadel belakang sepeda sambil memegang bahuku erat-erat. Bukan milik Kousaku yang tersenyum sambil mengangkat anjing chihuahua dengan ceria. Bukan milik Kousaku yang lebih mengkhawatirkan teman-temannya daripada dia sendiri.

Dia ... siapa?

"Kamu bahkan nggak tau siapa yang kamu selamatkan."

Siapa yang aku selamatkan?

"Kamu gagal."

Lingkaran itu tiba-tiba saja menjadi kian sempit, mencuri udara di sekitarku, membuatku terasa tercekik dan semuanya kembali gelap.

.

Dan, saat aku terbangun untuk kedua kalinya, tidak ada sorot merah redup tak wajar, tidak ada lingkaran penuh kebencian, tidak ada suara-suara yang menghakimi. Aku bernapas lega karena aku tahu inilah kenyataan yang sebenarnya.

Atau mungkin tidak.

Oke, ini memang dunia nyata, tapi tetap saja ini bukan situasi yang wajar untuk terbangun dari tidur panjang. Aku belum diizinkan untuk bernapas lega.

Meski ini tempat yang kukenali, tanah kosong yang tak jauh dari sekolah, tapi tangan dan kakiku terikat. Mulutku juga terkunci oleh lakban sehingga aku tak bisa berteriak minta tolong. Astaga, apa yang terjadi? Di mana aku berada terakhir kali? Kenapa aku bisa berakhir di sini?

Ah. Otakku menyusun pecahan-pecahan kejadian yang seperti puzzle ini. Aku mulai paham bahwa semalam ada yang menculik dan membiusku, lalu mengikatku dan membiarkanku berada di tempat seperti ini semalaman.

Semalaman.

Itu artinya ... ini sudah hari ketujuh.

Tidak. Tidak boleh berakhir seperti ini. Apa ini makna dari kalimat kamu gagal yang terus direpetisi dalam mimpi burukku? Karena usahaku enam hari ini berakhir konyol, aku diculik orang random dan akan kembali ke dunia arwah dalam keadaan terikat seperti orang bodoh begini? Ke mana Sang Malaikat? Ini adalah misinya, misinya yang diberikan padaku, tapi kenapa di saat seperti ini dia tidak datang menolong?

"Maaf, hal semacam ini tidak masuk dalam daftar perkiraanku."

Lalu, seperti membaca pikiranku, Sang Malaikat muncul begitu saja. Aku memberinya tatapan penuh protes, ingin mengomel tapi apalah daya. Lagi pula sepertinya sia-sia saja mengomel pada Sang Malaikat. Wajahnya yang bercahaya tampak sama khawatirnya dengan situasi benakku.

"Aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tidak bisa terlibat dengan barang-barang manusia," ucapnya sedih. "Tapi aku akan mencoba sesuatu."

Kemudian, Sang Malaikat berjalan (atau terbang? Sungguh, itu tidak penting sekarang) menuju semak-semak yang berada tak jauh dariku. Entah apa yang ia lakukan. Isi kepalaku terlalu kacau untuk memperkirakan apa rencana Sang Malaikat untuk membebaskanku jika ia tak bisa melakukan itu dengan tangannya sendiri.

Apa benar aku akan gagal?

Apa benar aku akan mengkhianati kepercayaan Sang Malaikat?

Apa Kousaku akan baik-baik saja?

Beberapa saat kemudian, aku melihat sosok mungil menghampiriku. Chihuahua kesayangan Kousaku. Ah, benar juga. Tempat ini adalah tempat di mana aku dan Kousaku menemukan anjing mungil ini. Tapi tetap saja, aku tidak paham apa maksud Sang Malaikat memanggil anjing yang kemudian hanya menjilati wajahku ini.

"Carilah pertolongan," ucap Sang Malaikat pada anjing itu. Aku tidak tahu Sang Malaikat ini bisa bicara pada hewan atau bagaimana, tapi si chihuahua yang belum diberi nama itu langsung berlari entah ke mana. Sang Malaikat tersenyum. "Aku tidak bisa bicara dengan binatang, tapi dia pasti paham kalau orang yang menyayanginya dalam bahaya."

Aku ingin sekali bertanya apakah aku (hampir) gagal. Apakah ada makna dari mimpiku tentang Kousaku—atau sesuatu yang mengambil wujud Kousaku dan menjadi sosok jahat di alam mimpiku tadi.

Dan, apakah aku menyelamatkan orang yang salah.

"Hei, apa yang terjadi? Astaga, korban penculikan?"

Bagaikan keajaiban, dua orang laki-laki datang bersama si chihuahua dan langsung berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakiku. Si chihuahua memandangku dengan matanya yang bulat dan besar, terlihat begitu ceria, sekaligus ... sedih. Mungkin dia tahu bahwa ini adalah perpisahan kami. Terakhir kalinya kami bertemu.

Entah aku sudah gila atau apa, tapi aku merasa anjing ini bahkan mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.

"Terima kasih. Terima kasih banyak." Aku berkali-kali membungkuk pada dua orang yang telah menyelamatkanku. Beruntung mereka tidak menanyakan detail bagaimana bisa semuanya terjadi padaku karena sedang terburu-buru, sehingga aku juga tidak perlu menyia-nyiakan waktu untuk bercerita. Sang Malaikat menghampiriku dengan panik. "Cepat."

"Cepat apa?"

"Atap sekolah. Sekarang. Kalau matahari hari ini tenggelam, waktu kita habis."

"Hah? Atap seko—"

"Cepatlah, Yamato."

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menuju gedung sekolah. Wajah Sang Malaikat benar-benar terlihat ketakutan, panik, gelisah—seakan sesuatu yang buruk akan terjadi kalau aku terlambat satu detik saja. Aku mendaki anak tangga demi anak tangga dengan terburu-buru, melewatkan satu dua anak tangga. Aku masih beruntung tidak jatuh terguling dan menggagalkan misi lagi. Setiap melewati jendela, aku memastikan matahari belum sepenuhnya terbenam. Memastikan bahwa aku belum gagal.

Mencapai lantai paling atas, aku mendengar suara keributan dari atap. Astaga, apa yang terjadi selama aku tidak ada?

Aku mendobrak pintu menuju atap dengan kasar.

Yang tersaji di depan mataku benar-benar di luar perkiraanku. Di luar skenarioku mengakhiri hari ketujuh ini.

Aku melihat orang-orang saling memukul, dengan wajah-wajah yang diwarnai lebam dan seragam putih yang penuh noda.

"Jun! Ryouchin!" Aku berlari sambil meneriakkan nama siapa pun yang kukenali wajahnya. Aku menyadari sesuatu. Orang-orang ini ... adalah orang-orang yang ada dalam mimpiku.

"Kalian ngapain? Kenapa bisa begini?" Aku berusaha bertanya dengan suara keras, namun tidak ada yang menggubris. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku tahu aku harus mencari Kousaku. Aku teringat sosok Kousaku di mimpiku, sosok yang penuh kebencian, sosok yang seolah bisa ... menyerang kapan saja. Aku tidak tahu apa penyebab perkelahian ini, tapi melihat Jun dan Ryouchin yang melawan teman-teman Naoya, aku bisa langsung menduga dengan siapa Kousaku berhadapan.

Benar saja. Aku menemukan Naoya dan Kousaku, sama-sama terduduk dengan wajah penuh luka. Ah, syukurlah mereka sudah sama-sama kalah. Semoga setelah ini mereka tidak ada niat lagi untuk—

Aku yang baru saja hendak menghela napas lega langsung tertahan begitu Kousaku bangkit sambil mengangkat tongkat besi yang ia temukan di sebelahnya.

Lalu, dalam sekejap mata, seolah tubuhku bergerak sendiri, aku berlari.

Rasanya sama seperti saat aku menyelamatkan Kousaku pertama kali dari Naoya. Saat itu aku nyaris tak sadar bagaimana aku sampai di depan Kousaku. Tiba-tiba saja aku sudah memegang tangannya dan menariknya berlari di sepanjang koridor sekolah. Seperti saat ini, tiba-tiba saja aku sudah ada di hadapan Kousaku, menahan tongkat besi di tangannya—yang jika aku terlambat satu detik saja mungkin sudah menghantam kepala Naoya.

"Yamato ...," gumam Kousaku pelan sambil menurunkan tongkat besinya.

"Sudah kubilang jangan bales pakai kekerasan juga," aku berusaha bicara sekalem mungkin, meski jantungku sudah berdebar tidak karuan. Kousaku menggeleng. "Aku juga sudah bilang, kalau aku sendiri, aku masih bisa diam saja. Tapi saat aku tau kamu hilang dan aku menemukan tasmu dibuang di lemari alat olahraga, aku tau pasti mereka yang ngelakuin sesuatu ke kamu."

Aku paham apa makna sosok Kousaku dalam mimpiku. Kousaku tak selemah yang Naoya dan kawan-kawannya kira. Bahkan mungkin secara tak sadar aku juga berpikir Kousaku selemah itu. Tapi sebenarnya ia juga memiliki sisi ini, sisi yang bertindak mengerikan tanpa berpikir saat sudah menyangkut hal yang berharga baginya.

"Ya sudah, yang penting sekarang aku nggak apa-apa, kan? Jadi—"

"Bunda?"

Hah?

Apa?

Itu ... suara Naoya. Tapi kenapa ia memanggil Bunda? Seketika, aku berbalik dan memandang Naoya di belakangku dengan bingung. Naoya masih belum bangkit, menatapku dengan tatapan tak percaya, sekaligus penuh kesedihan.

Tidak, ia tidak menatapku.

Ia menatap sesuatu di belakangku.

Saat aku menoleh, entah sejak kapan Sang Malaikat ada di sana. Tatapan dari matanya yang terselimuti cahaya bertemu dengan mata Naoya.

Naoya hendak berdiri, namun terjatuh lagi sambil memegangi kakinya yang terluka. Ia kembali menatap Sang Malaikat dengan mata berkaca-kaca. "Apa Bunda mau jemput Nao?"

"Nao," Sang Malaikat berkata pelan, dengan sorot mata lebih lembut dari biasanya,"Bukan. Bukan Nao."

Naoya menggeleng keras. "Nggak, Nao mau ikut Bunda. Nao capek, Bunda. Kenapa Nao nggak pernah berhasil ikut Bunda? Kenapa Bunda di sini kalau bukan mau jemput Nao?"

"Sebaliknya, Sayang." Sang Malaikat bersimpuh hingga matanya sejajar dengan Naoya. "Nao jangan coba ikut Bunda lagi, ya? Buat apa Bunda waktu itu selamatin Nao dari kecelakaan kalau sekarang Nao malah mau ikut Bunda?"

"Kalau begitu, Bunda jangan pergi ...."

"Nggak bisa, Sayang."

Sebentar ... apa-apaan ini? Menyaksikan adegan demi adegan, aku berusaha menyusun semua misteri yang terjadi dalam benakku.

Wajah sedih Sang Malaikat saat aku bilang aku tidak salah orang dengan menyelamatkan Kousaku.

Sang Malaikat yang langsung tahu di mana rumah Naoya saat menunjukkan situasi keluarganya padaku.

Ayah Naoya yang bilang Naoya adalah penyebab ibunya meninggal.

Aku yang tak kunjung dikembalikan ke dunia arwah meski sudah merasa menyelamatkan Kousaku.

Ah ... jadi begitu.

Sang Malaikat adalah ibu Naoya yang sudah meninggal.

Lalu ... orang yang harusnya kuselamatkan sejak awal adalah ... Naoya ....

"Maafkan Bunda, Nao." Sang Malaikat menutup mata Naoya, dan sebelum Naoya sempat melayangkan protes, ia sudah jatuh terlelap di pangkuan ibunya.

Atau lebih tepatnya ... arwah ibunya.

Sang Malaikat melepaskan Naoya pelan-pelan, membiarkannya memejamkan mata di atas lantai atap sekolah yang dingin, dan aku tahu ia melakukannya sambil menahan tangis. Padahal Sang Malaikat seharusnya tidak bisa menyentuh manusia. Tapi mungkin karena Naoya anak kandugnya ....

Aku merasa seperti tersesat sekarang—jadi, apa aku gagal? Apa yang kulakukan selama ini tidak ada gunanya karena aku begitu bodoh dan tidak tahu siapa yang harusnya aku selamatkan?

Tanpa aku sadari, selama Naoya berbicara dengan ibunya, waktu seakan berhenti. Semua orang yang ada di sana membatu dengan pose-pose yang tak wajar. Ada yang melayangkan tinjunya di udara dan terhenti begitu saja. Ada yang sudah setengah terjatuh namun berhentinya waktu menahannya di udara. Aku memandang Sang Malaikat bingung. "Kenapa—"

"Ini ... memang tidak seharusnya terjadi," jawabnya pelan. "Harusnya waktu sudah berhenti saat kamu bilang 'ya sudah' pada Kousaku. Nao tidak seharusnya bisa melihatku. Tapi ... apa karena keinginannya bertemu lagi denganku terlalu besar ...."

Aku jadi teringat kakakku yang ingatannya tak sepenuhnya termanipulasi. Apakah itu juga karena rasa sayang kakakku terlalu besar?

"Jadi ..., kau adalah ibu Naoya," aku menyampaikan kesimpulanku dengan pelan. "Dan orang yang harusnya kuselamatkan adalah ... anakmu."

Sang Malaikat menghela napas. "Aku sudah menunggu lama."

"Menunggu apa?"

"Menunggu seseorang buat menyelamatkan anakku," jawabnya. "Aku tau ayah Nao berbuat seperti itu sejak aku tidak ada. Lalu, setahun kemudian, karena tidak kuat menghadapinya, Nao mencoba untuk menyusulku berkali-kali. Tapi aku tau dia sebenarnya masih ingin hidup, dia masih takut untuk mati. Oleh karena itu aku tidak bisa tenang."

Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak menyangka Naoya pernah mencoba bunuh diri berkali-kali. Dan, kalau aku menyadari itu, seharusnya mungkin aku bisa meminimalisir jumlah dari percobaan bunuh dirinya. Tidak ada yang tahu apa yang Naoya lakukan selama tujuh hari ini.

"Aku diberi kesempatan untuk menyelamatkan Nao, tapi aku sudah terlalu lama pergi dan tidak bisa kembali lagi ke bumi dengan wujud utuh. Beruntung aku diizinkan memilih salah satu orang yang baru meninggal untuk kuberi misi. Tapi aku tidak segera menemukan orang yang tepat. Selama itu aku benar-benar khawatir Nao akan berhasil bunuh diri. Sampai akhirnya aku melihatmu, dan mengenalmu sebagai orang yang sering bermain dengan Nao waktu kecil."

Aku tidak menyangka Sang Malaikat mengingatku. Terakhir kali kami bertemu adalah sewaktu aku SD, sehingga bahkan aku saja tidak mengingat wajahnya.

Ia melanjutkan,"Tapi karena ini adalah hak istimewa yang tidak diberikan pada semua orang, tentu saja ada konsekuensinya. Aku dilarang memberi tahu siapa yang harus kamu selamatkan, jadi tidak ada jaminan apakah misi ini berhasil atau tidak."

Aku menunduk, lalu menjawab penuh rasa bersalah. "Aku gagal, 'kan? Aku nggak tau kalau Naoya yang harus aku selamatkan."

Sang Malaikat menggeleng. "Siapa bilang? Karena kamu tidak tahu siapa yang harus kamu selamatkan, kamu jadi tidak hanya menyelamatkan Naoya, tapi orang lain juga. Kalau dari awal kamu tahu yang harus kamu selamatkan adalah Nao, itu juga tidak menjamin keberhasilanmu. Dengan cara apa kamu mau menghadapi Nao?"

Benar juga, sih. Tapi tetap saja ....

"Nao tidak pernah berbagi ceritanya ke tiga temannya itu, walaupun mereka kelihatan dekat," Sang Malaikat meneruskan. "Karena kamu, sekarang ada tiga orang lain yang sudah memahami rahasia Nao. Kalau sejak awal kamu hanya fokus menyelamatkan Nao dan menjadikan Nao temanmu, siapa yang akan menemani Nao kalau kamu pergi?"

"Tapi, tidak ada jaminan kalau Kousaku dan yang lain akan—"

"Kamu tidak sendirian melakukan misi ini, Yamato." Kali ini, Sang Malaikat tersenyum. "Naoya juga tidak akan sendirian."

Aku ingin protes lagi karena setengah hatiku masih tidak yakin, tapi langit sudah mulai menggelap. Sang Malaikat memandang awan jingga yang mulai memudarkan warnanya pada kegelapan. "Masih ada waktu sedikit lagi sebelum sinar matahari benar-benar menghilang. Kamu mau pamit sama keluargamu? Semalam waktumu jadi tercuri, 'kan?"

Aku menggeleng. "Nggak. Mereka udah berusaha keras merelakanku seminggu lalu. Aku nggak pengen mereka berusaha mengikhlaskanku untuk kedua kalinya. Aku tau itu nggak gampang."

"Kalau begitu, kita pergi sekarang?"

Aku memandang Naoya di sebelahku. "Tante nggak mau ngucapin selamat tinggal?" Aku menggunakan panggilanku padanya bertahun-tahun lalu. Sang Malaikat tampak tercenung, ada keraguan menahannya untuk beberapa saat. Namun kemudian ia melangkah mendekati Naoya yang masih terlelap. Ia berkata dengan lirih di telinga Naoya. "Hiduplah dengan bahagia, Sayang. Maaf Bunda nggak bisa mengubah ayahmu, tapi ingat, kamu nggak sendiri. Orang-orang yang akan kamu lihat saat kamu bangun nanti adalah orang-orang yang akan sayang sama kamu. Selamat tinggal. Maaf Bunda nggak bisa lihat kamu dewasa."

Aku buru-buru menghapus air mataku yang menetes begitu Sang Malaikat berbalik. Entah mengapa, wajahnya yang pada dasarnya sudah bercahaya tampak lebih jernih sekarang. Aku bisa melihat isyarat kelegaan, kebebasan, seolah beban luar biasa telah diangkat dari dirinya. Ia tersenyum, dan mau tak mau senyum teduh itu menular padaku.

"Kamu sudah jadi malaikat yang baik selama tujuh hari ini," ucapnya padaku. "Terima kasih banyak, Yamato."

Aku setengah tertawa, setengah menangis. "Katamu aku setan."

Sang Malaikat ikut tertawa kecil. "Kamu bahkan sudah jadi malaikat sejak kamu masih hidup."

"Terima kasih juga buat tujuh hari ini," Aku mengatakannya dengan tulus. "Aku bisa ngelakuin banyak hal yang nggak bisa aku lakuin selama hidup."

"Mau pergi sekarang?"

Aku mengangguk.

Sekali lagi, aku menoleh ke belakang, membisikkan selamat tinggal.

Aku melangkah menuju cahaya dan menghilang. Selamanya.

.

.

Saat Naoya membuka mata dan bangkit untuk duduk, entah mengapa air mata langsung menetes.

Suara bundanya terasa terlalu nyata. Suara bundanya yang menyuruhnya hidup dengan bahagia, meminta maaf, dan mengucapkan selamat tinggal yang tak sempat dikatakannya saat meninggalkan Naoya bertahun-tahun lalu. Suara bundanya yang membicarakan orang-orang akan Naoya lihat saat membuka mata ....

Di hadapan Naoya, ada Kousaku tengah menatapnya tanpa kata. Lalu ada Sakutarou, Taichi, dan Kouei, yang melangkah mendekat. Juga Jun dan Ryouta. Bahkan ada Ranju dan Haruma, dua anak yang selama ini diam-diam ingin melangkah untuk Kousaku saat Kousaku di-bully.

Orang-orang ini ...?

Naoya tertawa dalam hati. Mana mungkin orang-orang ini yang bakal sayang sama aku, Bunda? Sakutarou, Taichi dan Kouei cuma temenan sama aku buat nindas orang, 'kan? Terus Kousaku sama dua temennya, tambah nggak mungkin lagi. Mereka mana mau ....

Tapi, Bunda, jujur ... aku emang pengen temen. Pengen merasa disayang.

"Kamu cuma belum sadar masih ada orang yang bisa nganggep keberadaanmu di dunia ini berharga," Tiba-tiba Kousaku berbicara. Naoya mengangkat wajah, memandang Kousaku yang berdiri di depannya. Kousaku melanjutkan,"Nggak semua orang pengen ngebuang kamu. Kamu cuma nggak sadar bakal ada orang-orang yang nerima kamu, nerima rahasiamu."

Kousaku mengulurkan tangan setelah membuang tongkat besi yang semula masih ia pegang. Melihat Naoya yang menatapnya ragu, Kousaku melepas kacamatanya, lalu tersenyum. "Maaf ya aku ngehajar kamu. Tapi menurutku itu setimpal karena kamu ngapa-ngapain temen-temenku."

Naoya terdiam. Ia memang berusaha mengacak-acak loker Jun dan Ryouta pagi ini. Tapi ia tak menyangka Kousaku akan semarah ini, sampai menemuinya di atap dan menimbulkan perkelahian dua kubu. Masih belum menerima uluran tangan Kousaku, ia bertanya,"Kenapa kamu ngelakuin ini demi temen-temenmu, bukan karena apa yang aku lakuin ke kamu selama ini?"

"Nanti kamu bakal ngerti," jawab Kousaku. "Kalau kamu udah nemu orang yang bikin kamu rela berbuat apa aja buat ngelindungin mereka. Dan kamu pasti nemu, Naoya. Juga sebaliknya. Orang yang rela berbuat apa aja buat ngelindungin kamu. Awalnya aku juga nggak nyangka aku bakal punya mereka."

Meski masih sedikit ragu, Naoya meraih tangan Kousaku. Melihat Naoya yang masih terpincang akibat luka di kakinya, Sakutarou dan Taichi mengulurkan tangan untuk memapah Naoya.

"Kamu sok-sokan banget sih, berantem. Padahal kalahan gini," ucap Sakutarou. Taichi menyahut,"Iya. Terus tadi Kousaku ngomong rahasiamu apaan? Cerita dong, kalau ada apa-apa."

"Dikira kita jadi temen cuma buat bantuin megangin Kousaku kalau mau kita hajar?" ujar Kouei. "Eh, nggak kok. Bercanda. Kita nggak bakal aneh-aneh lagi, kok."

"Sejujurnya aku sempet mikir gitu," jawab Naoya jujur. Taichi memelototinya. "Wah, kurang ajar ya, kamu. Kita yang tulus nganggep kamu temen, malah kamu yang nggak nganggep kita."

"Ya udah, cepet bawa tukang rusuh itu pulang," ucap Jun sambil mengelus-ngelus lengannya yang terkena tonjokan entah siapa. "Hei, tapi kamu harus tau, ruang OSIS itu tempet yang adem buat ngobrol."

Ryouta sempat melirik protes sebelum Jun menyikutnya. Lalu Jun melanjutkan,"Kamu boleh ke sana tiap waktu istirahat."

"Hahh, gara-gara kalian jabatanku jadi tercoreng. Aku juga harus ngarang cerita ke mama—eh, eh, kayaknya di lapangan ada penjaga sekolah, deh." Ryouta melihat ke bawah gedung melalui pagar besi. "Mampus, nanti kita ketahuan abis berantem dan dilaporin ke guru kalau liat kita babak belur gini. Cepet keluar dari pintu belakang."

"Tenang, kita tau jalur bolos alternatif tanpa lewat gerbang depan." Kouei membentuk isyarat oke dengan telunjuk dan ibu jarinya. Pada akhirnya, mereka semua keluar dengan Kouei sebagai penunjuk jalan. Yah, walaupun sepertinya besok pasti mereka tetap ketahuan berkelahi karena babak belur massal.

Sebelum benar-benar meninggalkan gedung sekolah, Naoya menoleh ke belakang, seolah memastikan tidak ada yang tertinggal. Kousaku pun bertanya pada Naoya,"Ada apa?"

"Nggak," jawab Naoya singkat, tidak ingin menceritakan kalau ia masih merasa ada hawa keberadaan ibunya tersisa di sana. Ia tidak ingin ditertawakan. Lagi pula, bagaimana bisa Bunda ada di sini. Bunda bahkan nggak pernah lihat aku masuk SMA.

Kousaku hanya mengangkat bahu, meski hatinya bertanya-tanya apakah Naoya bisa diajak berteman atau tidak. Sedari tadi ia belum mendapat sambutan yang hangat dari Naoya selain uluran tangannya yang diterima. Ah, tapi, orang kan tidak berubah secepat itu. Aku akan berusaha untuk berteman dengan Naoya. Demi semua yang udah kamu lakukan buatku, biar semuanya nggak sia-sia.

Eh ... demi siapa?

.

end?

.

a/n :

kalian tau ga ak nahan nangis pas nulis adegan bundanya nao pamitan sama nao. aku yang nulis aku yang pengen nangis :(

sampai jumpa di epilog :")

Continue Reading

You'll Also Like

8.8M 530K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
6.5M 720K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
14.2M 1.1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
1M 92K 29
Dark romance Jasmine Gloria, seperti bunga mawar di kebun yang rimbun, hidup dalam keluarga yang selalu menyirami kebahagiaan.Namun, takdir mengajark...