"Aku tak sanggup lagi."
-----
“Ini yang lo bilang ide gila?”
Itu Gibran, yang langsung menarikku dari dalam kelas selepas penyebaran video penyiksaan Cindy. Tadi semua orang menatapku, termasuk Pangeran dan Reza yang penuh tanda tanya. Saking bergetarnya tubuhku, aku tak bisa lagi menatap jelas isi video yang dimulai dengan lepasnya tamparanku pada pipi Cindy itu. Tapi aku masih ingat kejadiannya. Saat buku Sejarahku tertinggal, dan aku memanggil Cindy untuk menghubungi Mama—Ah, bodohnya aku! Aku bahkan baru ingat ada satu bilik yang tertutup rapat. Dia pasti orang yang merekam.
“An, ini apa?” Reza bertanya tadi. Aku tak bisa menjawab apa-apa, bahkan menatap orang lain pun tidak. Kemudian, Pangeran ikut bertanya, “An? Ini settingan doang, kan?” tapi aku dapat mendengar jelas dia sedang meredam amarah.
Sebelum telingaku menangkap pertanyaan lain, Gibran sudah datang dan membawaku pergi dengan alasan makan. Nyatanya, dia membawaku ke belakang sekolah.
Namun aku juga tak bisa menjawab pertanyaannya.
“An, jawab,” ucapnya lagi, lebih menekan kata-katanya, “ini ide gila yang lo bilang waktu itu, kan?”
Aku bisa saja mengangguk dan membuatnya percaya padaku. Tapi, tubuhku membeku sepenuhnya. Aku bahkan tak yakin apa aku masih menggerakkan dada untuk bernapas atau tidak.
“Lo sama sekali gak ngebully dia kan?”
Aku masih membisu.
Gibran bertanya lagi—sesuatu yang sama, kurasa. Namun darah yang mendengung dalam telingaku tak membiarkan untuk mendengar.
“K-kak?”
Seseorang menyentuh pundakku dan menggerakkannya agar atensiku tertuju padanya.
Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa Gibran sudah tidak ada, digantikan dengan Cindy yang sekarang ada di hadapanku. Keningnya berkeringat dan napasnya terengah-engah.
“K-kita pulang aja gimana?”
Dia jelas-jelas khawatir, atau hanya berpura-pura. Akan tetapi, aku tak menolak saat tangannya menarikku untuk berjalan. Tubuhku lemas dan aku merasa akan jatuh, hanya saja kakiku tetap melangkah ke gerbang sekolah mengikutinya.
Dia berbicara kepada satpam—aku tak tahu bagaimana dia bisa membujuk bapak itu hingga mau membuka gerbang dan membiarkan kami lewat tanpa surat ijin. Cindy memanggil taksi. Dan aku diam selama perjalanan ke rumah.
Sesampainya di sana, Cindy tetap menuntunku turun. Membawaku masuk rumah, dan membantuku berbaring di tempat tidur. Melepas sepatuku, lalu menyelimutiku.
“Aku ambil air hangat, ya, Kak?”
Mulutku masih terkunci. Yang kulakukan hanya menarik selimut untuk menutupi sampai leher, lalu berbalik membelakanginya. Cindy keluar kamar dan aku memejamkan mata. Tidak tertidur meski aku sudah mencoba.
Meski aku sudah lelah.
“Kak?”
“Iya?”
“Cindy malu.”
“Loh? Kok malu, sih? Itu kan teman-teman kakak semua.”
“Kakak cantik, aku enggak. Kakak pintar, aku enggak. Kakak jago nari, aku cuman bisa main piano—itu gak sekeren kakak. Cindy malu, Kak. Cindy juga gak mau malu-maluin kakak. Gak usah kenalin, Kak. Cindy gak mau.”
“Ih, enggak-enggak. Pokoknya kakak kenalin dulu.”
“Gak mau, Kak. Cindy gak mau. Pokoknya, kakak pura-pura aja gak kenal Cindy. Setidaknya sampai Cindy bisa sekeren kakak!”
“Hah, ya udah. Tapi nanti kalau udah mau, kakak kenalin sama mereka, ya?”
“Iya, Princess!”
Teramat lelah.
“Kak, kak Abil datang, sekalian ngantar tas kakak.”
Aku membuka mata. Menghancurkan tayangan memori perbincanganku dengan Cindy dulu. Jantungku kembali berdetak tak karuan. Belum ada satu jam sejak video itu dirilis, Abil—yang seharusnya berdiam diri di rumah karena sakit, pasti sudah tahu tentang pemakamanku. Untuk apa lagi dia datang? Dan, mendengar Cindy yang memberitahu kedatangannya, dia juga pasti tahu semuanya.
Aku belum siap mendengar pertanyaan lagi.
Kututup kepalaku dengan selimut, mengimplikasikan bahwa aku tak mau diganggu.
“Cin?”
Itu suara Abil.
“Kak? Em, maaf, Kak. Tapi kak Anna lagi tidur. Kakak pulang dulu, ya?”
“gue pulang bentar lagi, boleh? Nemanin Anna di sini dulu.”
“T-tapi, Kak, kak Anna—“
“Lima menit, Cin,” selanya, diikuti dengan langkah kaki yang mendekat, “hanya lima menit. Gue gak bakal ganggu Anna. Janji.”
Ada langkah lagi yang terdengar. Tapi yang ini menjauh.
Dalam selang menit pertama, aku hanya diam sambil menggigit bibir bawah. Mewanti-wanti pertanyaan apa yang mungkin akan dia lontarkan.
“An?”
Aku menahan napasku kala suara Abil terasa mencekik dan menusuk dadaku.
Tempat tidurku sedikit bergoyang. Abil duduk di belakang punggungku. Dia meletakkan tangan di pundakku, mengelusnya pelan, lalu bertanya, “lo gak papa?”
Aku mengabaikannya. Tidak paham dengan pertanyaannya. Sudah jelas-jelas aku sedang bermasalah. Tapi kenapa dia tetap bertanya?
“Gue bisa meluk lo?”
Aku ingin sekali menggeleng. Namun langsung teringat pada akting tidurku. Kucoba mengatur napas dengan lebih teratur, berharap dia tidak akan melakukan hal itu—
Abil bergerak, lembut dan perlahan, tapi tak bisa kuhentikan. Dia sudah ikut berbaring, memeluk pinggangku dari belakang.
---sebab aku sadar, aku tak akan dapat menahan tangis lagi.
Badanku bergetar karena menangis, meski bibirku kugigit kuat untuk membendung suara tetap saja lirihan itu muncul.
Dia tak mengatakan apa pun, hanya memelukku jauh lebih erat.
Aku tak tahu berapa lama tangisanku pecah, sampai bibirku kering dan pecah-pecah, mataku membengkak dan merah, atau sesenggukan yang teramat sulit kuhilangkan. Aku juga berkeringat, sadar kalau tak mendapat cakupan oksigen yang sepantasnya.
Lagi pula, Abil juga sudah tahu. Kuturunkan selimut yang menutupi wajahku, menghapus kasar bekas air mata, lalu berbalik menatap Abil yang tak berbuat apa-apa selama beberapa waktu terakhir.
Dia masih tak berkata apa pun. Tangannya yang tadi memelukku dipakai untuk mengusap pipiku, kusadari dia hanya berniat membersihkan jejak yang masih ada. Dia tidak tersenyum, dia juga tidak menampilkan ekspresi sedih; sesuatu yang sulit kumengerti.
...hampir seperti tatapan Pangeran. Ada yang berbeda; aku tak tahu apa.
Tangannya itu dia letakkan seperti semula; di atas pinggangku. Secara hati-hati dia mendorong badanku mendekat, memosisikan kepalaku di dadanya.
“Aku di sini,” katanya.
♕♕♕
Selama dua hari, aku tidak sekolah.
Cindy bilang pada Mama dan Papa kalau aku sakit. Papa mengambil cutinya lagi, katanya aku lebih penting dari bisnisnya. Mama tetap berlaku biasa, hanya membeli obat pusing—alasan yang Cindy buat memang begitu. Aku harus membuang obat-obatnya ke tempat sampah, kata Cindy, tapi yang kulakukan adalah mengonsumsi obat-obatan itu. Tiga kali sehari, sebanyak dua butir sesuai resep yang tertera. Aku sadar seharusnya aku tak melakukannya, tapi tulisan yang tertera di petunjuk botol membuatku tanpa pikir panjang menelannya. Menyebabkan kantuk, dan itulah sebabnya. Aku jauh lebih memilih tidur daripada bangun dan mendapati diriku hancur.
Semalam sore, Papa memasuki kamarku. Aku terbangun karena Papa yang menyuruhku untuk minum air putih. Aku menurut, meski terganggu dari tidur.
Papa mengusap kepalaku, “cepat sembuh,” katanya.
Tapi aku tak mau cepat ‘sembuh’. Karena aku tahu ketika nanti aku sudah ‘sembuh’, saat itulah aku merasakan sakit yang jauh lebih parah.
Sekarang sudah malam. Jam dua belas kurang lebih. Aku mengembuskan napas panjang, bersandar pada sisi kasur yang menghadap jendela. Itu terbuka lebar, beberapa kali membiarkan angin dingin masuk. Aku tak memakai jaket, atau baju berlengan panjang. Hanya sebuah kaus putih tipis dan celana tidur yang tipis. Tapi entah kenapa, tubuhku sama sekali tak menggigil kedinginan setiap kali disentuh angin malam.
Cklek
Pintuku dibuka. Aku tidak perlu menoleh—sadar siapa yang baru saja masuk.
“Kak? Kakak tidur, ya?”
Aku tak menjawab. Dia berjalan lebih dekat, memeluk tubuh sendiri karena kali ini anginnya berembus lebih kencang. “Aku tutup, ya, Kak?” Dan melihat aku tak memberi reaksi apa pun, dia segera menutup jendelanya. Kemudian berbalik menatapku—spontan aku menunduk; kebiasaan yang kulakukan belakangan setiap kali bertatap muka dengan Cindy. Yang tak kutahu apa sebabnya.
Bodohnya, aku terlambat menyadari kalau kebiasaan itu adalah kebiasaan Cindy dulu setiap aku menatapnya.
“Kakak tidur, ya?”
Lagi, aku hanya mempertahankan diamku. “Atau, Cindy di sini aja nemanin Kakak,” Cindy bergerak mendekat, mendudukkan diri di lantai tepat di sebelahku.
“L-lo tau gak?” aku membuka mulut. Bibirku terasa sulit digerakkan karena membeku, namun entah bagaimana itu tetap bergetar.
Lalu aku terdiam. Lama sekali.
“Tau apa, Kak?”
Aku tak sanggup lagi.
“Gue mau tidur.”
Cindy mengangguk perlahan setelah bungkam agak lama. Dia mengucapkan selamat malam dan keluar dari kamarku. Sedangkan aku masih di posisi yang sama, berpikir akan kata-kataku yang tidak terucap.
Cin, aku tak pernah menyangka bahwa orang yang dulu paling sering membuatku tersenyum adalah orang yang paling menyakitiku. Itu kamu, Mama, juga Pangeran.
Pangeran...
Dia pasti sudah tahu, bukan?
Aku menoleh ke arah nakas. Ponselku tergelatak mati di sana. Sengaja, untuk menghindari semua orang. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka—orang-orang yang melihat video itu—pikirkan tentangku. Tapi apa pun itu, pasti merupakan hal buruk, bukan?
Aku terlalu takut untuk sekadar mengintipnya.
♕♕♕
“Mau sampai kapan kamu gak sekolah?”
Aku baru saja membuka mata ketika suara Mama kembali memasuki telingaku. Aku mengerjap beberapa kali karena sinar matahari dan angin pagi yang masuk setelah Mama membuka jendela.
“Hanya pusing saja, kan? Seharusnya sekarang sudah sembuh,” lanjutnya lagi, berkacak pinggang menatapku—aku tak jelas melihat wajahnya karena Mama membelakangi jendela, “atau kamu harus dibawa ke rumah sakit lagi? Padahal Papa sudah cuti untuk menjaga kamu lagi, tapi kamunya malah manja terus.”
“Hari ini... Untuk yang terakhir, Ma. Hari ini aja.”
Mama mengembuskan napas panjang, “kalau begitu, kamu ke rumah sakit.”
Aku mencoba menggeleng, menghindari rumah sakit dan dokter—karena mereka akan tahu kalau penyakitku hanyalah bohongan belaka, “aku udah mulai membaik, Ma. Besok pasti sembuh total.”
“Terserah. Tapi hari ini Papamu harus kembali kerja.”
Lalu Mama pergi. Aku memiringkan badan ke arah jendela; menatap pemandangan yang dapat ditangkap mataku. Hanya ada satu hal yang menarik perhatian. Seekor burung. Dia terbang entah dari mana ke salah satu dahan pohon mangga. Tak lama kemudian, kembali terbang menjauh.
Seandainya aku punya sayap, apakah aku bisa bebas dan pergi ke mana saja yang kumau?
Konyol.
“Kak? Aku bawa sarapan,” Cindy yang masuk setelah mengetuk pintu segera meletakkan nampan di nakas, “kata Mama, dia bakal pergi ngejenguk—ah, m-maksud aku, Mama bakal pergi ketemu temannya. Pulangnya agak malam. Dan Papa sepertinya mengambil lembur karena cuti dua harinya. Cindy berangkat sekolah dulu, Kak. Tapi nanti jam sembilan, setelah Mama pergi, Cindy datang lagi kok.”
Cindy keluar kamar. Satu-satunya yang kutangkap dari ucapan Cindy hanyalah ‘mama ngejenguk’. Siapa pun yang dijenguk Mama, pastinya lebih penting dari anak kandungnya sendiri, kan?
Seharusnya fakta itu sudah tidak menggangguku lagi. Seharusnya aku sudah terbiasa disakiti. Tapi kenapa aku masih menangis?
▪️▫️▪️
▪️▫️▪️
Hehe :v
Bhay Bhay