"Maafin mbak, Dian. Tadi mbak tinggalin Kayla main sama teman-temannya di depan teras. Tau-taunya pas balik Kayla udah gak ada. Yaa, Allah ...."
Suara Mbak Sari terdengar kalut. Mendengar hal itu tubuh Dian melemas. Pikirannya kalut memikirkan nasib anaknya. Dugaannya langsung tertuju pada Arya. Cuma pria itu yang tahu tempat penitipan Kayla.
"Oke, Mbak. Aku menuju ke sana!" ujarnya.
Meski panik, ia tetap harus tegar menghadapi masalah ini. Ia berusaha berpikir positif, bagaimanapun Arya adalah ayah Kayla, tidak mungkin ia akan berbuat nekat pada anaknya. Namun, tetap saja, Dian sangat khawatir.
Iyan yang sejak tadi memperhatikan ekspresi Dian telah mencuri dengar semua. Ia langsung menghampiri wanita itu dan merebut kunci motor dari tangan Dian.
"Aku ikut! Yuk!" ujarnya sambil menarik tangan Dian yang masih terlihat bingung.
Karena masih panik dan bingung, ia tetap mengikuti lelaki itu. Iyan pun lekas memacu motor matic milik Dian menembus keramaian lalu lintas. Pikiran Dian kembali melayang pada Arya dan Kayla. Bagaimana mungkin Arya menggunakan Kayla sebagai senjata untuk menyerangnya. Rasanya tega sekali jika hal itu benar terjadi. Kayla sudah cukup menderita dengan perpisahan orang tuanya. Kenapa harus kembali dilibatkan sebagai alat balas dendam, batinnya.
Alih-alih menuju ke tempat penitipan, Dian mengarahkan Iyan untuk melaju ke arah rumah pustu. Ia semakin yakin kalau Arya lah yang menjemput Kayla tanpa permisi. Meski ragu, Dian berharap firasatnya kali ini benar.
Dian menyuruh Iyan memberhentikan motornya agak sedikit jauh dari rumah. Ia tak ingin pria itu menyadari kedatangannya, apalagi ia bersama Iyan. Perlahan Dian berjalan sambil mengendap-endap memastikan tidak ada Arya di tempat itu.
Rumah itu terlihat sepi. Seharusnya pagi ini rumah milik pemerintah itu sudah terbuka lebar. Masyarakat akan berdatangan untuk imunisasi bayi mereka atau sekedar berobat dan konsultasi KB. Namun, sekarang lokasi itu tertutup. Pihak puskesmas sudah memberi peringatan pada Dian. Tak sepatutnya masalah keluarga dibawa-bawa ke dalam urusan pekerjaan. Namun, Dian bisa apa, Arya sanggup melakukan apa saja untuk menghancurkannya. Untunglah teman satu puskesmasnya bersedia membantu. Semua pasien dialihkan ke tempatnya.
Dian panik ketika melihat sepatu milik Kayla di depan pintu. Mobil Arya tidak terlihat. Apa Kayla ditinggal sendiri di rumah itu? batinnya.
"Kayla!" ujar Dian perlahan.
Ia berusaha membuka pintu, tapi ternyata pintu itu terkunci dari luar. Ia kemudian mencari jendela yang terbuka. Berusaha mengintip ke dalam rumah.
"Kayla!" teriaknya saat melihat sosok gadis kecil itu di dalam rumah. Ia benar, Kayla terkunci sendiri di rumah itu.
"Mama ...."
Kayla menangis ketika melihat ibunya. Terlihat kecemasan dan ketakutan di wajah kecilnya. Hati Dian jadi perih melihat keadaan putrinya.
Iyan yang ternyata mengikuti Dian dari belakang maju mendobrak pintu setelah memastikan posisi Kayla. Setelah beberapa kali dorongan, engsel pintu rusak dan pintu pun berhasil terbuka. Dian langsung berhambur ke dalam memeluk anaknya. Tangis mereka pecah.
Iyan memastikan bahwa kondisi rumah aman. Lalu memberi isyarat pada Dian untuk mengakhiri drama pertemuannya dengan Kayla. Mereka harus segera pergi sebelum Arya kembali. Dian memutuskan berkeliling melihat kondisi rumah yang telah ditinggalinya. Ia terkejut saat melongok ke kamar. Ada sesosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur.
Awalnya ia mengira ada seorang wanita yang sedang tidur di sana. Namun, saat mendekat ternyata sosok itu tidak bergerak. Yang berbaring itu adalah sebuah boneka. Dian menyibak selimut yang menutupi patung itu. Tampaklah bentuk tubuh boneka yang cukup seronok. Ia pernah melihat boneka ini di iklan berjalan di internet. Boneka seks ini memang di jual bebas. Namun, ia tak menyangka akan melihat penampakan asli boneka semacam itu di rumahnya sendiri. Ia bergidik, calon mantan suaminya itu memang sudah gila.
"Gila!" gumamnya.
Iyan menyuruhnya mengambil foto di beberapa tempat yang menurutnya menunjukkan jiwa Arya yang sakit. Terutama tentang seks doll tadi. Kayla tentu saja sudah dibawa keluar oleh Iyan. Pantas saja anak itu ketakutan setengah mati. Ia ditinggalkan sendirian di rumah dengan boneka seukuran manusia.
"Arya memang benar-benar sudah gila," ujar Dian sesaat sebelum meninggalkan rumah itu.
***
Sepanjang perjalanan air mata Dian tak henti mengalir. Apa yang dilakukan Arya benar-benar membuat wanita itu berang. Dian tak menyangka pria itu mulai menggunakan Kayla sebagai senjata. Bagaimanapun Kayla adalah darah dagingnya. Namun, kasih sayang itu sepertinya memang sudah mati. Arya tak memikirkan perasaan terhadap anaknya lagi.
Iyan melarang Dian pulang ke kosan miliknya. Pria itu menyewakan kamar hotel di samping kamarnya.
"Ajak Kayla istirahat dulu, aku harus bicara denganmu nanti."
Ia memberi kode untuk bicara empat mata. Dian mengangguk menyetujui. Lalu masuk untuk menidurkan Kayla. Anak itu pasti lelah. Ia langsung tertidur setelah membaringkan tubuhnya.
Dian kemudian keluar menyusul Iyan. Pria itu tengah duduk di kursi taman depan kamar. Hotel ini memang tidak terlalu ramai di hari normal seperti sekarang. Pemandangan malam Kota Padang yang terlihat dari atas sangat indah. Semilir angin malam beraroma laut berhembus hangat. Pria itu mempersilahkan Dian duduk di hadapannya.
"Sudah tidur?" tanyanya mengenai Kayla.
"Sudah, kasihan anak itu. Harus menanggung beban berat di usia yang masih kecil." Dian menghela napasnya berat.
"Satu-satunya cara, kamu harus melawan Dee. Suami kamu sudah gila," ujarnya.
Kali ini bahasanya terdengar serius. Dian sampai terkejut saat Iyan melafalkan namanya. Biasanya pria itu hanya memanggil Dian dengan julukannya sejak kecil.
"Gimana caranya, Yan? Aku gak tau cara melawannya," isak Dian.
"Ikuti cara mainnya kalau itu maunya!"
"Kayla bagaimana? Kamu tau aku, Yan? Aku ini bisa apa? Selama ini aku bahkan tak tau harus kemana. Dia seperti mengurung aku di kota ini." Suara Dian terdengar frustasi.
"Ya, memang itu targetnya. Dia sengaja melemahkan kamu, sengaja bikin kamu bergantung ke dia. Jadi, kamu gak bakal berani kemana-mana. Gak bakal bisa melawan. Minus tempat perlindungan," rangkumnya.
"Iya, kamu benar."
Pikiran Dian mulai menerawang. Apa yang pria di sampingnya ucapkan tadi memang benar adanya. Selama ini ia seakan dibuat lumpuh dan terikat.
"Begini, aku udah pikirin. Kayla sebaiknya aku bawa ke ibu kamu. Sementara ini biar dia dengan neneknya, setidaknya dia bakal lebih aman di sana. Selanjutnya kamu ikuti proses sidang. Aku akan coba bantu kamu," jelasnya.
"Jangan, Yan. Aku takut melibatkan kamu. Keselamatan Kayla dan ibu juga pasti terancam."
"Aku bisa pantau Ibu dan Kayla, yang penting kamu fokus dulu. Udah, kamu ikuti aja caraku. Ingat Dee, Fight! Sudah saatnya kamu melawan. Biarpun nantinya kalian udah cerai, aku nggak yakin dia bakal lepasin kamu begitu aja!"
Dian terdiam. Benar apa yang Iyan bilang, Arya takkan melepaskannya. Kecuali Dian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tangis Dian pecah. Ibu muda itu menutup wajahnya dengan tangan. Melepaskan sesak di dadanya yang selama ini tertahan.