.
.
.
.
.
"Dasar aneh." Namjoon melemparkan tatapan menghakiminya, heran dengan sikap Taehyung yang terkadang susah untuk dimengerti. Meminta ia dan Seokjin untuk pergi entah kemana meninggalkan ruang VVIP yang sudah mereka pesan.
Namjoon terpaksa menahan diri untuk tidak mencekik temannya itu hingga mati. Ia paling kesal kalau dia harus bersusah payah berjalan melewati gerombolan manusia—khususnya wanita—yang memperhatikan langkah mereka dengan berbagai macam ekspresi yang membuatnya muak.
Taehyung tertawa, ia memilih untuk duduk di salah satu kursi di meja bartender seraya menggoyang-goyangkan gelas kaca berisi vodka di tangannya. Menenggaknya sekali dan meletakkannya kembali di atas meja.
"Hei, aku hanya ingin memberikan teman kita itu sedikit privasi. Apa kau tidak lihat bagaimana tatapan mata Hoseok saat gadis kecil itu datang?"
Namjoon mengerut bingung, "Apa maksudmu?"
"Oh, kau tidak memperhatikannya ya?" Namjoon menggeleng.
"Hoseok menyukainya. Dan yeah, kau bisa tebak bagaimana insting seorang laki-laki jika dia sedang tertarik dengan seorang perempuan. Terutama tubuhnya." jeda sejenak, "Seperti aku yang tertarik pada putriku yang cantik itu. Ah, Chanmi sayang, rasanya tak sabar untuk pulang ke rumah." kekeh Taehyung.
"Taehyung, ingat, dia itu putrimu."
"Tak masalah. Dia cuma putri tiriku."
"Tapi, tetap saja itu salah. Apa perasaan mendiang istrimu jika tahu kau diam-diam menyukai putrinya!?" Namjoon masih kekeuh mempertahankan argumennya.
"Tanpa kau beritahupun aku tahu itu salah. Aku tahu itu. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku sangat menyukainya. Aku tak sudi jika dia disentuh oleh pria lain. Dan hanya aku yang boleh memilikinya, Namjoon."
"Kau ... Ugh!" Namjoon mengalihkan pandangannya. Mulutnya hendak menyumpahi Taehyung dengan segala kata umpatan yang ia ketahui selama hidupnya. Tapi, entah mengapa ucapan nyelenah Taehyung itu malah berhasil menohok dirinya. Taehyung memang bajingan. Namun setidaknya, dia termasuk orang yang jujur. Lebih jujur dari dirinya.
"Tunggu dulu, kemana Seokjin?" Taehyung mengedarkan kedua matanya, mencari eksistensi Seokjin diantara lautan manusia. Sampai dimana Namjoon mengarahkan dagunya pada ke arah salah satu sudut ruangan di bar ini. Taehyung lantas mengikuti arah dagu Namjoon dan mendapati dia—Seokjin—bersama seorang wanita asing.
Tanpa peduli dengan keadaan sekitar, mereka berdua melakukan hal tak senonoh, mempertipis jarak diantara mereka dan saling melumat bibir masing-masing, dengan tangan Seokjin yang tak berhenti bergerilya, menyentuh setiap inci tubuh wanita itu. Taehyung semakin dibuat gerah saat melihat ekspresi yang tercetak di wajah wanita itu. Wajahnya memerah dan dia tampak seperti menahan sesuatu. Perlahan pandangannya turun ke bawah. Benar saja, dengan santainya Seokjin memasukkan tangannya di sela-sela dress ketat wanita itu. Tepat di antara pangkal pahanya. Tangannya tampak bergerak keluar masuk di bawah sana. Dan kalian pasti bisa menebak, apa yang tengah diperbuat oleh Seokjin.
"Dasar, padahal sebentar lagi dia akan segera menikah." ejek Taehyung.
"Hei, sadarlah, Taehyung. Kau juga sama bajingannya dengan Seokjin."
Taehyung kembali menenggak minumannya, "Kau ini seperti pria kesepian saja. Selalu merengut setiap kali melihat orang lain tengah bercinta."
Kembali menemukan suaranya, Namjoon tertawa remeh, "Dan kau seperti budak cinta yang tak mampu mencari wanita lain dan menyewa sebuah kamar untuk bersenang-senang. Hm, kasihan sekali." mendengar tingkat sarkastik level tinggi yang keluar dari mulut Namjoon membuat Taehyung hanya bisa mendelik kesal sembari menghempaskan nafasnya dengan kasar.
Taehyung lalu berujar, "Ya, kau benar, Mr. Genius." Taehyung menyerahkan gelasnya ke bartender, membiarkan bartender itu kembali memenuhinya dengan air yang memabukkan. Namun, saat ia ingin kembali menenggak minumannya, ia berkata, "Ngomong-ngomong, apa kau tidak tertarik untuk menikah lagi?"
"Menikah?" Taehyung menangguk. Namjoon malah memilih untuk menenggak minumannya dalam diam. Enggan untuk menjawab pertanyaan konyol Taehyung. Bukannya dia tak ingin menikah. Hanya saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk menjalin hubungan serius dengan seorang wanita selama hampir 16 tahun terakhir ini. Sesuatu yang selalu berhasil membuat ia takut terhadap dirinya sendiri.
"Aku belum tertarik untuk memikirkannya lagi. Tujuan hidupku saat ini hanya satu, my little one." gumam Namjoon, pelan.
"Hei, aku rasa anak gadismu itu juga masih butuh sosok seorang ibu, Namjoon. Sudah bertahun-tahun sejak kepergiannya dan kau sama sekali tak memikirkan untuk menikah lagi? Kau sudah 37 tahun, bodoh. Astaga, yang benar saja."
Namjoon menggeram, "Tidak, dia tidak butuh siapapun. Dia hanya membutuhkanku. Hanya aku. Camkan itu, Taehyung."
•••
Air muka pria berwajah tampan bak dewa itu yang awalnya masih tergolong datar. Seperti biasa, dingin dan menusuk. Namun, hal itu tak berlangsung dalam waktu yang cukup lama saat ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Untuk yang kesekian kalinya pria bermonolid itu memperhatikan jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu beralih pada pemandangan gerbang besi sekolah yang tercetak di balik kaca mobilnya. Detik demi detik terus bergulir bak pasir waktu yang jatuh di dasar corong. Namun, orang yang dinanti belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Dan yang lebih parahnya lagi. Dia sudah beberapa kali menghubunginya dan tak ada satupun yang dia angkat. Tanpa sadar, pria itu menggigit bibir bawahnya. Dalam diam melampiaskan kekhawatirannya yang semakin membeludak. Memberontak keluar dari dalam benaknya. Matanya menyempit. Hatinya kian terasa bimbang.
Hell, dimana gadis kecilnya itu?
Namjoon akhirnya menyerah. Ia membanting pintu mobilnya dengan gaya tak santai. Tak kuat untuk harus menunggu lebih lama lagi. Melangkah tergesa-gesa ke dalam bangunan sekolah. Melonggarkan dasinya yang mencekik leher. Nafasnya keluar tak beraturan.
Disini sepi. Tak ada aktivitas apapun yang terjadi di lapangan sekolah. Namjoon juga tak melihat satupun petugas keamanan yang berlalu lalang di tempat ini.
"Lucy, dimana kau!?" ucap Namjoon sembari meletakkan kedua tangannya di dekat mulutnya agar membuat suara bass nya terdengar semakin keras. Namjoon menoleh ke berbagai arah hingga tulang lehernya terasa ingin patah dari tempatnya.
"Shit! Where's she!?" desis Namjoon. Dia memutuskan untuk masuk lebih dalam, melewati lorong-lorong yang bersentuhan langsung dengan ruang kelas. Disini terlampau sepi. Saking sepinya, hanya derap langkah kakinya saja yang masuk ke gendang telinganya.
Rasa takut yang selama ini ia kubur dalam-dalam seakan kembali hidup. Dia tak ingin akibat kelalaiannya dia harus kembali menelan pil pahit, kehilangan orang-orang yang ia kasihi. Menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk menghukum diri sendiri.
Cukup mendiang istrinya saja yang menjadi korban atas kebodohannya. Jangan dia, Kim Lucy, putri kecilnya, satu-satunya cahaya yang menyinari dirinya yang terlampau kelam.
"Ja-jangan! Tolong!"
Sebuah pekikan pilu memecah alam bawah sadar Namjoon. Menggema hampir di sepanjang lorong. Namjoon semakin panik saat ia sadar bahwa ia mengenali siapa pemilik dari suara itu.
Dia adalah putri kecilnya.
"Toloooong! Siapapun! Tolong aku!"
Namjoon kalang kabut, ia mengikuti kemana instingnya menuntut serta mengerahkan segenap tenaga yang ada. Berlari kencang melewati lorong sekolah menuju ke sumber suara, nafasnya memburu saat mendengar pekikan putrinya semakin menggema, ia terus berlari hingga ia sampai ke sebuah ruang—mungkin itu adalah gudang—tak terpelihara yang berada agak jauh dari lingkungan kelas.
"Hiks ... Hiks ... Jangan ..."
"Jangan bergerak, manis. Ahjussi tak akan menyakitimu. Percayalah, ini akan terasa nikmat."
Namjoon naik pitam. Giginya bergemeletuk hebat saat melihat seorang pria tua bangka menjijikkan tengah menikmati dada putrinya yang terpampang bebas tanpa penghalang. Putrinya terlentang pasrah di atas meja tua berbahan dasar kayu, baju seragam yang putrinya kenakan sudah robek, kedua tangannya tak dapat memberontak karena telah terikat oleh seutas tali, wajah cantik putrinya tampak kacau, pipinya basah oleh air mata. Samar-samar, Namjoon juga melihat ada bekas kemerahan yang tercetak di pipi anaknya.
"SIALAN KAU! BAJINGAN! RASAKAN INI! MATI SAJA KAU!" Namjoon naik pitam, dengan membabi buta dia menerjang bajingan itu dengan sebongkah kayu berukuran besar, menghantamkannya keras pada punggungnya hingga pria tua itu mengerang kesakitan dan akhirnya jatuh di lantai.
Bugh! Bugh! Bugh!
Namjoon terus saja menghadiahkan pukulan keras padanya. Tak peduli dengan pria tua—Namjoon sangat menyenal wajahnya yang ternyata adalah salah satu satpam yang bertugas di sekolah ini—sudah memuntahkan lumuran darah dan tak mampu lagi bergerak, tergeletak tak berdaya. Namjoon yang sudah dikuasai oleh gejolak amarah yang begitu besar tak mampu lagi berbuat apa-apa selain menuntaskan semuanya hingga akhir.
Dadanya naik turun. Kedua mata sipitnya menelisik tubuh bajingan itu, memastikan kalau dia sudah tak mampu berkutik. Untung saja Namjoon masih bisa melihat pergerakan di tubuhnya, pria itu masih bernafas. Bukan karena Namjoon takut untuk masuk ke dalam jeruji besi akibat kasus penganiayaan. Hanya saja, dia belum selesai dengannya dan Namjoon tak ingin mengotori tangannya dengan darah kotor pria itu. Namjoon menyeringai penuh, memikirkan skenario terburuk yang bisa ia lakukan padanya nanti.
Mungkin, dia harus meminta pertolongnya kali ini.
"Jangan senang dulu. Kita belum selesai." Namjoon mengambil ponselnya di saku celananya, menghubungi seseorang yang dengan senang hati akan membantunya membereskan sampah menjijikkan ini.
"Kookie, aku punya tugas penting hari ini. Tolong kau datang ke Hansang Senior High School."
"..."
"Ya, sekarang."
"..."
Namjoon mendelik tajam ke arah pria yang tengah berusaha mengais lantai, berupaya dengan sisa tenaganya merangkak keluar dari sini. Yang tak pelak membuat Namjoon menggeram dan langsung saja menendang keras kepala pria tua itu, "Ada sampah yang harus kau urus."
"..."
"Baiklah, aku tunggu."
Tuut!
Namjoon mematikan ponselnya. Mempunyai sanak saudara yang bisa diajak kerja sama dalam hal apapun memang sungguh berguna. Baik dalam hal bersih dan hal yang paling kotor sekalipun.
"Hiks ... Hiks ..."
Isakan lirih mengalihkan atensi Namjoon dari ponselnya. Namjoon lantas melangkah lebar ke arah Lucy, membuka jeratan tali yang mengikat pergelangan tangan gadis itu lalu membuka jas kerjanya. Menyelimuti tubuh polos gadis bertubuh mungil itu dan membawa gadis itu di dalam pelupakannya.
Tubuhnya bergetar hebat, dia ketakutan.
"Da ... Daddy ... Hiks ..."
"Ssstt! Sudahlah, jangan menangis. Daddy ada disini, Lucy sayang."
Namjoon menyelipkan salah satu tangannya di antara lipatan kaki Lucy, tangannya yang lain juga ikut memapah punggung gadis itu. Menggendong gadis itu dengan gaya bridal style lalu beranjak dari tempat menjijikkan ini. Tepat beberapa langkah di depan gudang, Namjoon memilih menghentikan langkahnya, menunggu seseorang dan memastikan kalau pria menjijikkan itu tak lari dari sana.
"Apa aku terlambat, Hyung?"
Dari sudut matanya, Namjoon melihat seorang namja bergigi kelinci itu yang tampak sedikit kacau. Jas hitamnya sudah acak-acakan. Dia juga tampak kelelahan dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
"Kau terlambat 10 menit, Kookie." ucap Namjoon, to the point.
"Bisakah kau sedikit menghargai usahaku sedikit saja, Hyung? Aku sudah berusaha untuk meminta izin pada Bosku. Hei, apa yang terjadi?" pria yang biasa disapa Kookie itu terkejut saat mendapati seorang gadis di dalam dekapan Namjoon. Dan setelah ia melihat wajah dari gadis itu, dia—Jeon Jungkook—langsung panik.
"A-apa yang terjadi dengan Lucy?" Jungkook memekik histeris. Tak kuasa melihat kondisi Lucy—keponakannya yang paling manis—bisa dibilang kurang baik.
"Hiks ... Hiks ... Ahjuss ... Sih." hanya itu yang mampu Lucy ucapkan. Jungkook menggeram hebat.
"Semua itu gara-gara sampah itu." Namjoon menunjuk dengan dagunya. Jungkook mengikuti arah yang ditunjuk oleh Namjoon dan mendapati seorang pria paruh baya tengah berusaha menyeret tubuhnya dari dalam sana.
"Aku akan membawa Lucy pulang. Tolong kau urus dia. Aku tak mau melihat wajahnya lagi dan pastikan tak ada seorangpun yang dapat menemukan mayatnya, Kookie." bisik Namjoon dengan nada memerintah, final, lalu pergi meninggalkan Jungkook seorang diri disana.
Sebelum ia benar-benar menjauh dari sana. Kedua telinga Namjoon masih bisa mendengar suara sendi-sendi jari yang bergemeletuk, tapak kaki yang tergesa-gesa dan diakhiri dengan teriakan keras sebelum akhirnya senyap. Hilang terbawa angin.
Harus Namjoon akui, Jungkook memang selalu bisa ia andalkan dalam situasi seperti ini. Seringai jahat kembali timbul di atas wajahnya, berusaha sekuat tenaga menahan gelak tawa seorang iblis yang hampir saja lolos dari bibirnya. Dia tak ingin menakuti putri kecilnya. Tetapi, tak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar teriakan orang-orang yang pantas merasakan apa yang namanya kematian. Kematian yang teramat menyakitkan.
"Hiks ... Hiks ... Da-Daddy, suara apa itu? A-apa yang Jungkook Ahjussi lakukan?" Lucy semakin mengeratkan cengkeramannya di jas kerja ayahnya.
"Jungkook Ahjussi hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, sayang. Tidak ada yang perlu Lucy pikirkan." Namjoon mengulas senyuman manis, menatap kedua manik madu Lucy dengan tatapan polos tanpa dosa, "Sekarang, kita pulang ke rumah ya."
•••
"Lihat Namjoon." kedua iris mata wanita itu berbinar-binar, menatap malaikat mungil yang baru saja lahir ke dunia ini lalu mencuri-curi pandang pada pria yang berdiri di sebelahnya, "Dia cantik ya?"
"Ya." gurat senyuman juga tak kalah lebar tercetak di atas bibir pria itu, dia mengelus puncak kepala wanita yang sudah 2 tahun lebih sah menjadi istrinya, "Dia cantik sama sepertimu, Jookyun. Sangat cantik."
"Tapi, coba lihat. Bentuk bibirnya mirip denganmu, Namjoon." Jookyun tertawa.
"Yeah, yeah, that's awesome. You know my lips is so sexy, right?" Jookyun berusaha keras menahan tawa yang hampir saja lepas dari tenggorokannya. Jika saja tak ada bayi mungil itu digendongannya, ia pasti sudah tertawa keras dan menghadiahkan cubitan kecil pada lengan suaminya.
Tangan pria itu kemudian turun, dari kepala wanita itu merambat ke bayi mungil yang tengah tertidur pulas, menyentuh pipi gembulnya yang begitu halus bak kapas. Begitu mungil dan rapuh.
"Namjoon."
Namjoon menoleh, "Ya, Jookyun?"
Jookyun mengangkat wajahnya, memperlihatkan ekspresi yang tak pernah Namjoon lihat sebelumnya. Kedua sudut bibir wanita itu tertarik ke atas, dia sedang tersenyum. Tetapi di kedua matanya, dia tampak lelah dan juga putus asa.
"Bisa berjanji 1 hal padaku?"
"Janji apa?"
"Berjanjilah padaku untuk selalu menjaganya, Namjoon."
Kening Namjoon mengkerut, "Hei, apa yang kau bicarakan, sayang? Itu sudah tugasku untuk menjaga putri kita, menjagamu, menjaga kalian berdua. Jadi, untuk apa kau bertanya?"
Jookyun menggeleng pelan, ia memutuskan pandangannya dari Namjoon dan menatap putri kecilnya yang tertidur pulas, "Not, really. I just wanna asking."
Namjoon meletakkan tubuh mungil anak gadisnya dengan hati-hati di atas ranjang. Menarik selimut hingga batas dada dan mengusap kening Lucy dengan penuh cinta.
"Istirahatlah, sayang. Daddy akan membuatkan susu hangat untukmu."
Lucy mengangguk dalam diam, kedua manik madunya bergulir indah, menatap kepergian sang ayah dengan tatapan sedikit tak rela. Kejadian tadi masih jelas terngiang-ngiang di dalam otaknya. Bagaimana pria tengik itu mengelabui dan memperdayakannya hingga terbujur pasrah seperti itu. Lucy mengeratkan kedua matanya. Jari-jarinya meremat saat merasakan sensasi aneh yang kian menjalar ke seluruh ujung saraf tubuhnya.
"Ahh ... Pa-panas." Lucy menyibak selimut yang tadi menutupi hampir sebagian tubuhnya. Namun, sensasi panas masih belum juga pergi dari tubuhnya. Lucy memalingkan wajahnya kepada air conditioner yang nyata-nyatanya hidup di ujung sana. Aneh, entah mengapa pendingin ruangan itu tak mampu memberikan efek apapun pada tubuhnya.
"Hiks ... Hiks ... Dad-daddy." penampilannya semakin kacau, keringat dingin mengucur dari dahinya, dengan gegabah Lucy melepas habis jas hitam yang tadi melapisi tubuhnya.
Menariknya dan membiarkan jas hitam itu tergeletak begitu saja di atas lantai. Baju seragam yang sudah robek tak berbentuk itu juga ikut ia lepaskan. Membiarkan tubuh bagian atasnya polos. Hanya tersisa bra berwarna cream yang menutupi payudaranya. Namun, panas yang menjalar di seluruh tubuhnya tak juga menghilang. Lucy putus asa.
"Lucy, ini susu hangat-"
Gerakan Namjoon terhenti begitu saja saat melihat pemandangan sensual yang ada di depan matanya. Erangan halus yang mendayu-dayu, wajahnya yang merah padam dan penampilannya yang acak-acakan. Polos sekaligus seksi. Namjoon menelan salivanya, perlahan namun pasti mendekati ranjang.
Namjoon duduk di tepian ranjang, meletakkan susu hangat yang baru saja ia buat di atas nakas meja, berusaha bersikap masa bodoh dengan segala godaan yang ada, "Sayang, apa yang terjadi padamu?"
"Da-daddy, badan Lucy ..." Lucy menarik tangan besar Namjoon, meletakkannya di permukaan pipinya yang sudah semerah tomat, "Panas, Daddy. Panas ... Hiks ..."
Pria itu tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk meredakan panas itu. Seingat Namjoon, Lucy tadi baik-baik saja tadi. Tak ada gejala demam sedikitpun.
Dia berpikir keras, "Sayang, jawab dengan jujur ya. Apa yang terakhir Lucy makan?"
"Hiks ... Hiks ... Waktu istirahat ... Lucy makan donat, jus mangga dan ..." jeda sejenak, "Di-dia memberikan ... Minuman aneh ... Pada Lucy."
"Dan Lucy meminumnya?" Lucy mengangguk lemah.
Namjoon menggertakkan giginya. Sudah ia duga, pria itu pasti telah memaksa putrinya untuk menenggak minuman perangsang. Dasar bajingan.
"Panas ... Hiks ... Daddyhh ..." Lucy kembali mengerang, nada suaranya terdengar seperti kucing kecil yang pasrah. Tubuhnya menggeliat dan tatapannya kian sayu.
Kilat cahaya di kedua mata Namjoon lambat laun meredup. Dadanya kini terasa sesak akibat dipenuhi oleh hasrat terlarang yang tak sepantasnya ia miliki.
Demi Tuhan, dia adalah putri kandungnya sendiri.
Berkali-kali ia meneguk air liurnya sendiri. Berusaha memantrai dirinya untuk tidak melewati batas. Tangannya terkepal erat. Ia mengalihkan wajahnya dari Lucy. Tetapi, desahan yang keluar dari bibir putrinya kembali menyeruak.
'Tahan, Namjoon. Ingat, dia putrimu. Putri kandungmu!'
Tangan mungil itu menggapai kemeja putih milik Namjoon. Menariknya lemah.
"Daddy, tolong aku ... Hiks ..."
Deg! Deg! Deg!
Sayang, hasrat yang berusaha ia kontrol berhasil menaklukkan logikanya. Pertahanan yang telah ia bangun kokoh selama bertahun-tahun runtuh dalam sehari. Dia kalah.
"Tenanglah, Lucy."
Namjoon merangkak naik ke atas ranjang. Mengurung tubuh mungil Lucy di bawah tubuh kekarnya. Namjoon mengecup pipi pualam Lucy dan membisikkan kata-kata manis padanya.
"Sttt ... It's okay. Daddy will help you, babygirl."
"Dad-Daddy ... Ugh!" tubuh Lucy menegang saat merasakan hawa panas menjalar di permukaan lehernya. Lucy memalingkan wajahnya. Mengerang tertahan saat lidah Namjoon bermain di permukaan lehernya dan kecupan-kecupan basah yang Namjoon berikan padanya.
Namjoon menghirup dalam aroma yang menguar dari ceruk leher gadis itu. Bau khas buah strawberry yang begitu segar begitu terasa menggelitik saraf penciumannya.
"Dad-daddyhhh ... Apahh yang daddyyh lakukan? Itu geli." dengan nada terbata-bata, Lucy menyela kegiatan Namjoon menggesek-gesekkan hidungnya di perpotongan lehernya. Tangan-tangan mungilnya meremat kemeja putih yang melekat di tubuh kekar Namjoon.
"Bagaimana dengan ini, sayang?"
"Enghh!" Ditambah jari-jari nakalnya yang merambat turun ke pangkal pahanya yang terpampang lebar. Mengusap dan menekan lembut inti tubuhnya yang masih terlapisi oleh underwear. Rok sekolah yang panjangnya tak melebihi lutut itu semakin mempermudah pergerakan Namjoon menggerayangi tubuhnya.
Namjoon membuka lebar kedua paha Lucy. Memposisikan tubuhnya dengan baik dan mulai menyelipkan tangannya di balik punggung Lucy, membuka pengait bra yang masih melekat sempurna di tubuh indahnya.
Namjoon menjilat sudut bibirnya, ia juga ikut melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya sendiri, tangan besarnya merambat ke masing-masing sisi pinggul gadis itu. Menarik underwear dengan perlanan sembari menikmati betapa halusnya permukaan kulit yang Lucy miliki.
"Kau benar-benar indah. Daddy sangat menginginkannya, sayang."
Manik hitam pekat miliknya beradu dengan manik sebening madu yang gadis itu miliki. Kedua mata Lucy yang tampak sayu dan berkaca-kaca. Mengagumi, bingung sekaligus takut dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Lucy semakin kalut saat melihat sang ayah mulai melepaskan ikat pinggang dan celananya. Sekarang, dia sudah naked seperti dirinya.
Apa yang akan ayahnya lakukan?
Alarm bahaya di dalam dirinya berbunyi keras. Manik madu itu melebar saat berpapasan dengan benda aneh di bawah sana. Berdiri tegak dengan ukuran yang membuat ia meneguk air liurnya sendiri. Lucy mulai menarik dirinya untuk mundur. Namun, dengan cepat Namjoon menarik salah satu paha gadis itu dan mulai memposisikan kejantanannya tepat di depan gerbang surgawi itu.
"Daddy sangat menginginkanmu." Namjoon menggerakkan pinggulnya perlahan, menggigit bibirnya sendiri guna menahan geraman nikmat yang hampir saja lepas dari ujung lidahnya saat itu.
Hangat dan ketat. Damn! This is so damn fucking good!
Deg!
"Aaakhh! Dad! Sa-sakit!"
Dunianya seakan runtuh. Namjoon masih tak percaya dengan apa yang baru saja menimpa dirinya. Saat dinding kaca yang membatasi dirinya dengan ruangan khusus untuk kremasi itu perlahan tertutup. Saat itu juga Namjoon sudah tak mampu lagi mengendalikan dirinya. Namjoon menunduk, menatap kedua telapak tangannya yang bergetar hebat. Sapuan tangannya yang hangat masih membekas di atas sana.
"Jookyun, kenapa kau tega meninggalku?" lirihnya, dengan suaranya yang terlampau serak. Wajahnya yang tampak kacau, rambut juga acak-acakan. Begitu rapuh dan menyedihkan. Versi Kim Namjoon yang tak pernah terlihat selama ini.
"Namjoon." Namjoon memalingkan wajahnya. Menatap dingin wanita yang berprofesi sebagai dokter di tempat mendiang istrinya sekaligus temannya semasa SMA dulu.
"Jookyun adalah wanita yang baik."
"Ya, aku tahu itu." ujar Namjoon, datar.
Ia menutup matanya beberapa saat, mengoyaknya dengan lemah lalu menatap bayi mungil nan cantik yang mulai terbangun dari tidurnya.
"Uuuh ..." Dia mulai merengek.
Im Sena, dia tersenyum pedih, "Dia adalah teman baikku. Aku juga mengerti bagaimana kesedihan yang kau alami saat ini. Tapi, Namjoon ..."
Sena mulai menyerahkan malaikat kecil itu pada Namjoon, "Dia juga membutuhkanmu."
Namjoon mengusap air mata yang jatuh dari mata cantik itu. Mengecup sudut mata Lucy dan merangkai kata-kata manis pada daun telinganya.
"Aah ... Ahh ... Dad-daddyhh ... Hiks hiks ... Sakit~"
"Tenang, sayang. Engh ... Rasa sakitnya ... Ahh ... tidak akan lama. Enghh ..." Namjoon menggeram, gerakan tubuhnya semakin liar. Decitan ranjang yang beradu dengan lantai semakin keras terdengar. Namjoon meletakkan kedua paha mulus Lucy di bahu lebarnya. Menekan tubuhnya semakin dalam.
"Dad ... Ugh ... Aku ... Mohon ... Agh!" rintihan dan rengekan lemah dari Lucy tak mampu menggerakkan hati kecilnya untuk berhenti. Sakit. Lucy merasakan sekujur tubuhnya merasakan sensasi yang luar biasa perih. Ia merasa tubuhnya dirobek secara paksa dari bawah sana. Ditekan dari segala arah. Gerakan Namjoon yang semakin brutal juga memperburuk keadaan yang ada. Tubuhnya masih terlalu awam dengan semua ini.
Tetapi, Lucy juga tak bisa menampik jika ia merasakan hasrat yang kian bergejolak di dalam tubuhnya.
Namjoon menyembunyikan wajahnya di antara perpotongan leher Lucy. Dia menyeringai. Kelihatannya kali ini, Namjoon harus mengakui, dia memang pria sinting. Pria sinting yang tega mengotori tubuh suci putrinya sendiri.
"Aaaahhhhh!" tubuh Lucy bergetar hebat. Ia mencengkeram erat kedua lengan kekar Namjoon. Melampiaskan sensasi nikmat yang mendera tubuhnya. Tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Namun, Namjoon sepertinya belum puas untuk menikmatinya. Lucy hanya bisa pasrah, dia sudah tak ingat berapa kali sang ayah membuatnya keluar seperti itu.
Namjoon mengulum bibir mungil Lucy hingga membengkak, "It closee! Eungh!"
Wajah Namjoon merah padam. Dengan 3 hentakan terakhir. Dia menekan dalam penisnya di liang rahim itu dan memenuhinya dengan cairan spermanya.
"Daddyhh ..." pandangan mata Lucy perlahan memudar, "Kenapahh-"
Dia pingsan.
Namjoon melepaskan kontak tubuh mereka lalu menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lucy yang pingsan akibat kelelahan. Ia menarik pinggang mungil itu dan merapatkan tubuh naked mereka. Memeluknya dari belakang.
"Lucy ..." Namjoon mengecup lembut helaian rambut Lucy, "Aku juga ingin menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri. Kenapa aku tega melakukan itu padamu."
Namjoon mengeratkan rahangnya, "Aku memang tidak pantas disebut sebagai seorang ayah yang baik. Maafkan aku, Jookyun. Aku telah gagal menjaganya."
Perlahan, ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Nafas pria itu mulai teratur, merapatkan pelukannya pada Lucy seraya membisikkan kata-kata yang selama ini ia pendam seorang diri, "Aku sangat mencintaimu, Kim Lucy."
.
.
.
.
.
END
Jangan lupa berikan dukungan baik berupa vote maupun komentar ya! Sebagai semangat buat nulis! :v
Makasih juga buat semua yang udah dukung work yang enggak seberapa ini 😍