Microscolove

By deviaaann

113K 4.9K 3.6K

Dirgan Salya Baskara. Murid jenius, penyumbang piala terbanyak kesayangan guru-guru. Secara fisik, cowok itu... More

FYI (FOR YOUR INFORMATION)
Prolog
Microscolove - 1
Microscolove - 2
Microscolove - 3
Microscolove - 4
Microscolove - 5
Microscolove - 6
Microscolove - 7
Microscolove - 8
Microscolove - 9
Microscolove - 10
Microscolove - 11
Microscolove - 12
Microscolove - 13
Microscolove - 14
Microscolove - 15
Microscolove - 16
Microscolove - 17
Microscolove - 18
Microscolove - 20
Microscolove - 21
Microscolove - 22
Microscolove - 23
Microscolove - 24
Microscolove - 25
Microscolove - 26
Microscolove - 27
Microscolove - 28
Microscolove - 29
Microscolove - 30
Microscolove - 31
Microscolove - 32
Microscolove - 33
Microscolove - 34
Microscolove - 35
Microscolove - 36
Microscolove - 37
Microscolove - 38
Microscolove - 39
Microscolove - 40
Microscolove - 41
Microscolove - 42
Microscolove - 43
Microscolove - 44
Microscolove - 45
Microscolove - 46
Microscolove - 47
Microscolove - 48
Microscolove - 49
WAJIB ISI
Pengumuman 2

Microscolove - 19

1.7K 105 3
By deviaaann

Pagi sekali, ketika matahari baru nampak sebagian namun sinar berwarna jingga ke kuningannya mampu berbaur dengan birunya langit serta kicauan burung-burung yang saling terdengar bersahutan seakan ikut menyambut pagi pada hari ini. Tak mau tertinggal, kini Alfris juga ikut menyambut paginya dengan senyum yang tercetak sempurna di bibirnya.

Bahkan, saat ini ia sudah berhadapan dengan cermin sambil memegang sisir. Setelah dirasa cukup memberikan  beberapa sentuhan pada rambutnya, lalu Alfris melinting lengan kemeja hitam yang dikenakannya dan mengambil botol parfum dari brand ternama yang berdiri tegak di sudut permukaan laci.

Alfris mengeluarkan mobilnya dari pekarangan rumah. Tujuan selanjutnya adalah toko bunga. Sebagai tanda terima kasihnya pada Alsya, cowok itu berniat untuk membeli bunga. Meski ia tidak tahu Alsya menyukai bunga atau tidak.

“Gue beli bunga apa ya?” tanya Alfris ketika dirinya memegang setir kemudi, siap melaju.

“Gak mungkin gue asal-asalan beli. Lagian apaan coba setiap bunga pake ada artinya segala,” ujar Alfris lalu terbesit pada otaknya untuk bertanya mengenai hal ini pada Araden.

Buru-buru Alfris mengeluarkan ponselnya, mengirimi temannya pesan.

Alfris Thazaka: den

Dua menit berlalu tetapi tidak kunjung ada balasan yang terlampir.

Alfris Thazaka: woi bangsat

Alfris Thazaka: den

Alfris Thazaka: si setan

Alfris Thazaka: bales dulu penting

Alfris Thazaka: sampe chat gue ga lo bales, bukan temen gue lagi lo

Araden ganteng nan lugu: notif lo ganggu anj

Araden ganteng nan lugu: orang lagi enak tidur juga, paan?

Alfris Thazaka: biasanya cewek suka bunga apa?

Araden ganteng nan lugu: kalo gue tau pertanyaannya kaga penting gini gakan gue bales

Araden ganteng nan lugu: gada bunga-bungaan cewek sukanya duit

Alfris menyerngit, bukan. Bukan karena jawaban yang Araden berikan. Melainkan gara-gara nama kontak yang ternyata tiba-tiba sudah berubah padahal Alfris sendiri tidak merasa menggantinya. Jika sudah seperti ini Alfris tahu siapa yang menggantinya. Sepertinya besok-besok Alfris harus mengganti kode sandi pada ponselnya dengan yang lebih rumit lagi agar Araden tidak bisa seenaknya membuka dan mengutak-atik ponsel miliknya. Apalagi sampai mengubah nama kontak yang bertolak belakang dengan kelakukan aslinya.

Alfris Thazaka: anak anjing

Alfris Thazaka: males gue sama lo

Araden ganteng nan lugu: mawar aja si yang umum, ribet amat idup lo

Araden ganteng nan lugu: cantik namun berduri kyaa mantep ga? mantep ga?

Araden ganteng nan lugu: manteplah masa engga

Alfris Thazaka: emg kaga

Araden ganteng nan lugu: tolol

Alfris menyimpan ponselnya kembali pada dashboard mobil. Lalu mulai menjalankan mobilnya ke tempat tujuan pertama yaitu, toko bunga.

“Kayaknya enak nih kalau jemur badan jam segini,” ujar Alisya seraya meregangkan tubuhnya.

“Tinggal jemur apa susahnya?” respon Alsya jutek. Cewek itu sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

“Gue ke depan dulu nanti kalau Mama nyari bilang gue lagi jemur badan.”

“Depan rumah ‘kan?” tanya Alsya membuat langkah Alisya tercekat. Lalu memutar tubuhnya menghadap Alsya yang masih anteng menatap layar.

“Yaiyalah emangnya lo mau gue jemur badan di mana? Di depan Monas?!” tanya Alisya berseru.

“Kalau ada Alfris kasih tau gue ya.”

“Hah?” Alisya terkejut. “Alfris?” ulangnya siapa tahu ia salah dengar.

“Gak salah?” tanyanya lagi dan Alsya kemudian menggeleng.

“Jadi lo sebenarnya sama siapa sih? Dirgan apa Alfris? Pilih satu dong jangan semuanya diembat.” Perkataan Alisya membuat Alsya berhenti dari kegiatannya dan menatap wajah kembarannya itu tanpa ekspresi.

“Maruk lo Sya, parah. Gue bilangin Papa biar lo dirukiah.”

“Maruk apa sih? Siapa juga yang maruk? Gue sendiri gak tau Alfris ke sini ngapain. Tapi katanya gak akan lama. Iya udah gue biarin. Mau dilarang juga gak enak lah,” ujar Alsya memberikan alasan terhadap kecurigaan berlebih Alisya terhadapnya.

“Setau gue dulu lo kalau nolak ya tinggal nolak aja gak mikirin perasaan orang itu kayak gimana.”

“Lo gak ngerti Al.”

“Mau gimana ngerti lo sendiri kalau ada apa-apa gue gak pernah dibiarin tau,” sahut Alisya lagi sempat membuat Alsya terdiam lama. Memang benar untuk berbagi cerita saja Alsya masih merasa sulit untuk melakukannya. Kecuali pada saat-saat tertentu. Ketika Alsya merasa butuh pendengar.

“Bukan gitu.” Nada bicara Alsya merendah.

“Taunya nanti jadian beneran,” ucap Alisya asal kemudian melengos.

Alisya berjemur membelakangi sinar matahari. Pikirannya masih tertuju terhadap perdebatannya bersama Alsya. Ia berpikir, kapan kembarannya itu bisa terbuka sepenuhnya kepadanya? Jika tidak bisa sepenuhnya, setidaknya Alisya menjadi orang yang Alsya cari pertama ketika gadis itu berada dalam suatu masalah.

Suara langkah kaki yang mendekat berhasil Alisya dengar. Ia sudah duga bahwa itu Alfris. Namun berusaha tidak peduli sampai cowok itu melempar pertanyaan. “Alsya mana?”

“Dalem, cari sendiri.” Alisya dengan jutek menjawab pertanyaan Alfris. Lalu pergi ke pos, menghampiri Pak Jono yang sedang membaca koran.

“Sorry Alisya kalau lagi datang bulan emang gitu.” Alsya tiba-tiba sudah berdiri di samping Alfris yang masih memandang Alisya dengan terheran-heran.

“Bunga buat siapa?” tanya Alsya.

“Oh?” Alfris menatap sekumpulan mawar cantik di tangannya. “Buat lo.”

Alsya tertawa namun tetap terlihat begitu anggun. “Kenapa pake beli bunga segala? Lo ke rumah cuma tangan kosong juga gue gak masalah.”

Alfris bergumam, kemudian menggaruk tengkuknya. Memikirkan jawaban apa yang sekiranya cocok untuk menjawab Alsya.

“Gue juga bingung. Dari rumah tangan kosong. Cuma pas tadi di jalan gue tiba-tiba kesambet,” jawab Alfris seadanya tetapi tidak sebenarnya. Karena jelas-jelas cowok itu memiliki niat awal membelikan Alsya bunga untuk sekedar tanda terimakasih.

“Tadi gue sempet search katanya bunga mawar pink itu erat kaitannya sama kelemah-lembutan, rasa sayang, juga romantis. Tapi gue gak terlalu peduli sama makna bunganya. Niat gue beli bunga itu cuma buat tanda terimakasih gue sama lo, gak ada maksud lain.”

“Iya santai aja kali. Gue juga gak terlalu ngerti sih kalau urusan bunga kayak gini. Tapi kalau lo kasih bunga ini sama nyokap kayaknya dia bakalan ngerti,” jawab Alsya sambil melirik ke arah dapur.

“Gue masih sayang nyawa gue Sya,” jawab Alfris membuat Alsya tertawa.

“Gue masih mau ngerasain yang namanya punya anak,” lanjut Alfris malu-malu.

“Mikirnya ke mana sih?”

“Kecuali lo kasih bunga ini sama nyokap sambil confess tentang perasaan lo, baru kena amuk bokap gue.”

Alfris tertawa, Alsya pun sama. “Kalau anaknya yang gue confessin, aman?”

“Tuh kan gue sampai kelupaan nawarin minum. Mau minum apa?” Alsya mengalihkan pembicaraan.

“Lagian rapi banget. Beda kayak biasanya. Mau ke mana coba?”

“Awalnya cuma mau ke sini. Tapi kalau lo mau jalan, gue siap anter kemanapun yang lo mau. Ke tempat apapun yang lo tuju,” tawar Alfris dengan senang hati.

“Enggak deh takut ngerepotin.”

Alfris tertawa renyah. “Gila aja gue ngerasa repot malah yang ada gue seneng.”

“Lain kali aja ya?”

Alfris mengangguk pelan. Menyerahkan sepenuhnya pada Alsya. Tidak bisa memaksa.

“Iya udah jadinya mau minum apa?”

Alfris berdiri lalu melihat sekilas waktu yang tertera pada layar. “Gak usah Sya. Kayaknya gue mau balik sekarang. Ada kumpul sama temen-temen.”

“Tadi bukannya gak ada acara lain selain ke rumah gue?”

“Gue baru dapet chat sekarang. Disuruh ke tempat biasa.”

“Iya udah gih. Gue masuk ya?”

“Makasi banyak bunganya. Padahal sebenarnya gak usah. Tapi thanks deh gue bakal simpen ini di kamar gue sampai dia layu.” Mendengar Alsya berkata seperti itu kemudian ia melihat bagaimana saat Alsya menghirup aroma dari mawar yang tengah digenggamnya bersamaan dengan senyuman yang merekah, membuat Alfris kepalang senang sekarang.

“Gue yang harusnya bilang makasi sama lo. Setelah malam itu akhirnya gue bisa tidur nyenyak. Gue juga ngerasa lebih tenang bahkan, gue gak ngerasa kayak orang yang lagi bermasalah. Dan itu hal dalem diri lo yang gak bisa gue temuin di orang lain. You’re the best place i’ve ever met.”

***
“Ngeri juga ye liat orang ini pagi-pagi udah senyam-senyum sendiri,” ujar Nino yang sedari tadi memperhatikan Dirgan.

“Ngeri-ngeri sedap,” timpal Kafka lalu melirik Dirgan yang masih terfokus pada layar ponselnya.

“Perlu dicurigai. Kalau tau-tau lagi order kan bahaya,” ujar Nino dengan pikiran tak beresnya.

Kafka menyerngit, alisnya saling mendekat. “Order apaan? Perasaan makanan di kantin lengkap. Gak perlu beli ke luar.”

“Lemon tea.”

Kafka yang langsung mengerti seketika mengeluarkan oh panjang. “Wah bahaya. Coba lo liat No, siapa tau lagi main dating app. Soalnya feeling gue makin gak enak.”

“Kalem, lagi nyari celah buat ngintip.”

Dirgan menghela napas, menatap kedua temannya dengan dingin. “Banyakin husnudzon sama orang dibanding mikir yang aneh-aneh.”

Selepas berkata seperti itu, Dirgan ke luar dari kelas. Hal itu membuat Kafka dan Nino saling pandang kemudian saling menyalahkan, menganggap Dirgan marah karena tindakan mereka berdua.

“Lo sih,” salah Kafka pada Nino.

“Lo juga ya bangsat. Enak aja cuma nyalahin gue,” jawab Nino tidak mau kalah.

“Tapi lo yang duluan.” Kafka semakin ngotot. Nino adalah penyebab awal semua ini terjadi.

“Lo juga nyuruh gue ngintipin HP-nya kali. Jangan amnesia lo.”

Namun sebenarnya yang terjadi adalah, Dirgan sekedar pergi ke toilet untuk mencuci tangan. Ketika Dirgan tengah menuang sabun pada telapak tangannya, seseorang datang. Itu Griffith. Dengan langkah angkuh sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku, Griffith menghampiri Dirgan.

“Gue denger dari anak-anak, lo jarang kumpul ekskul. Lo jarang ada buat mereka padahal di sini posisi lo sebagai ketua. Lo gak punya rasa tanggung jawab?” tanya Griffith. Dari nada bahkan topik pertanyaan Dirgan tahu, kakak kelasnya itu memang sengaja mencari keributan dengan mengorek-ngorek kesalahannya.

“Atau emang gak niat?” tanya Griffith lagi yang hanya dilirik tipis oleh Dirgan.

“Masih tanya gue niat?”

“Dari awal gue gak pernah mau ada di posisi itu. Lupa lo?”

Dirgan membenarkan posisi berdirinya menjadi sepenuhnya menghadap Griffith. “Kalau lo mau ngejaga ekskul kebanggan lo itu, lo urus sendiri. Cari ketua lain yang dengan suka hati mereka mau lanjutin langkah di ekskul ini lo tanpa ada paksaan.”

Dirgan melengos, namun Griffith dengan cepat kembali bersuara. “Gue belum selesai ngomong.”

“Siapa peduli? Gue gak punya urusan lagi sama lo.”

“Yakin lo gak berurusan lagi sama gue?”

“Terus, Papa lo apa?” tanya Griffith mampu membuat Dirgan tercekat. “Gue bisa jamin kalau urusan gue sama lo, itu masih panjang.”

“Gue jadi penasaran kira-kira apa yang ngebuat Papa lo ngebet mati-matian buat temuin gue.”

“Tapi gue selalu nolak. Karena apa? Karena gue akan gunain Papa lo di waktu yang tepat. Papa lo bisa jadi alat supaya lo bisa tunduk sama gue.”

Dirgan tersenyum miring. Gertakan dari Griffith terdengar lucu di telinganya. “Lakuin aja.”

Dirgan memutar tubuhnya perlahan sampai benar-benar menghadap Griffith. “Lo kira gue bakalan tunduk? Ancaman sampah lo gak berarti apa-apa buat gue.”

“Sialan.”

***
“Tiga hari lagi ada yang ulang tahun nih,” ujar Chilla heboh. Setelah ia selesai merapikan peralatan menulisnya. Semuanya tersusun secara rapi di atas meja.

“Mungkin lebih tepatnya sweet seventeen kali ya?” Chilla mengoreksi ucapannya. “Harusnya sih kalau mau sweet seventeen makan hari ini dibayarin. Itung-itung syukuran lah.”

“Bisa aja emang lo cari gratisan,” sahut Sheila sambil tertawa-tawa.

“Siapa? Siapa?” tanya Alisya.

“Tuh orangnya diem mulu dari tadi.”

“Party dong kita?!” tanya Alisya berseru senang.

“Kalau party. Gue lagi ngidam tema cottagorte gitu. Lucu banget serius. Lumayan kan buat feeds di Instagram,” ujar Sheila.

“Yang mau ulang tahun belum komentar apa-apa,” ingat Alsya pada yang lainnya sebelum rencana party mereka semakin panjang dan berakhir wacana.

Zeva tersenyum kecil, bahagia. Karena teman-temannya ternyata lebih ingat tanggal ulang tahunnya dibanding dirinya sendiri. “Kenapa pada inget sih? Jujur gue aja gak ngeh kalau ulang tahun gue sebentar lagi.”

“Ya itu karena lo kebanyakan galauin orang tolol kayak Kafka. Capek gue liatnya,” jawab Chilla tidak santai.

“Orang tolol gak tuh? Parah emang Lo kalau ngomong gak pernah disaring dulu,” ujar Sheila geleng-geleng kepala.

“Apanya yang harus disaring? Emang kenyataannya gitu. Jujur lebih baik.”

“Udah kali jangan dibahas yang jelek-jeleknya lagi. Yang penting kan sekarang Zeva sama Kafka udah pada baikan.”

“Baru baikan belum balikan.”

“Chilla!” tegur Zeva. Pipinya mendadak bersemu.

“Saltingnya to the bone,” ujar Chilla tertawa tanpa dosa.

“Lo semua gak ada yang laper? Dari tadi gak ada satupun yang ngajak ngantin. Padahal gue lagi pengen mie.” Memang begitu waktu istirahat tiba yang terbayang di benak Alisya hingga sekarang adalah nikmatnya mie rebus.

“Enggak sih biasa aja. Kerasa lapernya paling pas maag kambuh,” jawab Chilla.

“Penyakit maag itu bukan hal yang bisa lo anggap sepele. Banyak kasus kematiannya,” sahut Alsya pada Chilla yang menganggap sepele penyakit maag. Tiba-tiba ia teringat ucapannya Alfris. Sebuah ucapan yang sama untuk dua orang yang berbeda. Mengingat bagaimana Alfris terkejut, membuat Alsya mengulas senyum.

“Sya, jangan nakut-nakutin gue lah.”

“Gak ada yang nakut-nakutin. Gak percaya coba searching atau tanya langsung sama dokter.”

“Iya udah ayo ngapain masih diem di kelas? Kantin buruan gue mau makan,” ajak Chilla dengan perasaan takut mati yang berhasil menguasai dirinya.

Semuanya kompak tertawa sebelum meninggalkan kursi-kursi yang sempat menjadi tempat duduknya dan keluar dari kelas.

“Gue liat snap selebgram sekarang banyak yang tour ke Turki. Jadi pengen juga. Ayo dong temenin gue, kayaknya seru kalau bareng-bareng.”

“Gue sih bisa-bisa aja asalkan gue berhasil rayu orang tua gue,” ujar Alisya.

“Lo berdua mau tau caranya biar lebih seru kayak gimana?” tanya Chilla menimbulkan rasa penasaran terhadap siapa saja yang mendengarnya.

“Gimana La?” Alsya yang bertanya.

“Nunggu ada yang bayarin.”

Alisya mendelik, menyesal menunggu jawaban dari Chilla. “Nyesel gak sih nungguin jawabannya?”

“Temen kayak gini halal dibakar kok Al,” ujar Sheila menambahkan.

Di perjalanan menuju kantin lima orang cewek itu tidak henti-hentinya berbagi cerita termasuk hal konyol yang sempat dilihatnya di sosmed. Kekompakan yang terlihat begitu asyik, berhasil menyita perhatian. Sedikitnya beberapa orang yang tengah berada di luar kelasnya masing-masing, menengok ke arah mereka. Bahkan, cowok yang mendadak jaga image demi terlihat keren untuk menyita perhatian pun ada.

“Cewek kiw, yang jomblo sini gue pacarin. Duh cantik-cantik ya gambaran calon ibu dari anak-anakku.” Celetukan menggelikan itu membuat kelimanya saling lirik.

“Dia ngomong sama siapa sih?” tanya Alisya sambil celingukan menatap ke arah belakangnya. Siapa tau memang ada orang lain di sana.

“Bukan gue pastinya,” sahut Zeva.

Sheila memandang bulu tangannya yang meremang. “Merinding sumpah. Bikin baper enggak, bikin takut iya.”

“La, lo kan jomblo tuh. Maju gih.” Sheila malah menumbalkan Chilla yang langsung melayangkan tatapan sinis.

“Chilla as tumbal proyek,” celetuk Zeva mampu membuat teman-temannya tertawa puas.

“Coba La, coba. Siapa tau berujung di pelaminan.” Alisya mendorong-dorong punggung Chilla yang kini berpindah tempat berjalan di samping Alsya. Karena hanya itu tempat yang paling aman baginya sekarang.

“Pelaminan apanya, pemakaman yang ada.”

“Bisa stress gue punya laki modelan kayak gitu. Bisanya cuma rayu-rayu.”

“Yang satu gila yang satu lagi cepet emosian. Belum dua puluh empat jam udah cerai duluan,” celetuk Sheila asal yang membuat teman-temannya kembali tertawa.

Begitu sampai di kantin, Chilla langsung mengambil posisi untuk mengantri selagi antriannya belum terlalu panjang. “Al tadi lo mie rebus kan?” tanyanya pada Alisya yang mengangguk, membenarkan.

“Iya gue mie rebus, sama tolong sekalian minta juga sama ibu kantin buat tambahin cabe yang banyak.”

Chilla mengacungkan jempol. “Yang lainnya disamain aja ya sama gue? Biar gak ribet ambil sana-sini.”

“Gue apa aja bebas sih asalkan makanannya enak bisa dimakan,” jawab Sheila tidak mau menyia-nyiakan waktunya hanya untuk mengantri makanan.

Chilla menatap temannya satu persatu yang langsung mengeluarkan ponsel menjelajahi sosial media masing-masing. “Ini seriusan gak ada yang mau nemenin gue ngantri apa?”

Alsya tersenyum melihat wajah Chilla yang begitu menyedihkan. “Biar gue temenin lo antri.”

Chilla langsung menggandeng Alsya. Seolah menunjukan kepada publik bahwa dirinya memiliki seorang teman yang sangat pengertian. “Emang lo doang yang top Sya, yang lain bengbeng.”

“Awas Sya, hati-hati takutnya nanti ada maunya.” Sheila berkata pada Alsya membuat Chilla mendelik mendengarnya.

“Udah Shei, kasian. Liat tuh mukanya dongkol abis,” ujar Alsya lalu setelahnya Chilla tersenyum lebar. Berasa mendapat perlindungan.

“Iya udah pada cari tempat duduk sana. Biar gue sama Alsya yang nunggu di sini. Nanti keburu penuh terus gak kebagian tempat gimana?” tanya Chilla sambil mengibaskan tangannya, mengusir.

Dirgan dari tempat duduknya bersama Nino, Kafka dan juga Arga terus memperhatikan Alsya beserta pergerakan orang-orang di sekitarnya. Entah mengapa, dirinya memiliki firasat sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Terlebih lagi, gerak-gerik seorang cowok yang berdiri di samping Alsya membuat kecurigaan Dirgan semakin bertambah.

Cowok itu secara sengaja terus melakukan kontak fisik dengan Alsya. Salah satunya, memepetkan tubuhnya pada Alsya. Sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. Ketika cowok itu terdesak, ia pasti akan melebih-lebihkan hal tersebut dengan pura-pura hampir terjatuh ke arah Alsya.

“Sorry,” katanya yang hanya disenyumi tipis oleh Alsya.

Saat Alsya tengah diajak berbicara oleh Chilla, cowok yang berdiri di sampingnya itu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya sambil melirik tipis ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya membuka kamera dan mengarahkannya pada Alsya yang tidak tahu apa-apa.

Dirgan yang melihat cowok itu pergi dengan tanpa dosa. Seolah tidak terjadi apa pun dan tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang hina pada Alsya. Dirgan bangkit dari duduknya, tentu marah. Melihat orang yang melecehkan perempuan di depan matanya, terlebih pada Alsya, Dirgan berkeinginan untuk membuatnya lenyap. Meski sangat tidak mungkin keinginannya terlaksana.

“Eh! Eh! Itu Dirgan ngapain tuh?” tanya Alisya. Matanya terus mengikuti arah pergerakan Dirgan yang terlihat menyeret seorang cowok keluar dari area kantin.

“Emang penting buat lo tau Dirgan lagi ngapain?” tanya Sheila tanpa menatap Alisya. Karena sedari tadi yang ia lakukan hanyalah menonton video-video yang masuk dalam FYP-nya.

“Ya enggak juga sih. Tapi gue liat dia narik orang. Ngapain coba?” Alisya masih penasaran. Karena raut wajah seperti itu hanya dimiliki seorang cowok ketika sedang marah besar.

“Mau ngajak ngobrol mungkin. Kalau ngobrol di sini takutnya gak kedenger. Kalah sama suara-suara lain.” Zeva membantu menjawab dengan pemikiran yang positif.

“Sini HP lo.”

“Waras lo? Tiba-tiba narik gue terus minta HP. Sakit nih orang,” jawabnya mencerca Dirgan.

“Sini HP lo, sebelum gue rebut paksa.” Dirgan tetap meminta ponsel cowok itu. Karena ia yakin bahwa kejadian tadi benar adanya. Bukan salah lihat.

“Gue gak bakalan kasi HP gue sama lo. Privasi lah. Miskin lo? Gak punya HP sendiri?”

“Anjrit kaget gue Dirgan dibilang miskin. Keponakan Bill Gates lo?” celetuk Nino yang baru saja datang dan mendengar kata yang merujuk pada status ekonomi seseorang disebutkan untuk Dirgan yang sedang direndahkan atas itu

“Bisa lo ngomongin soal privasi sama gue?” tanya Dirgan. Tatapan dinginnya begitu menusuk.

“Sementara tindakan lo tadi, lo foto bagian tubuh bawah cewek yang berdiri di samping lo, itu termasuk pelecehan yang kasusnya lebih parah dari pelanggaran privasi.”

Cowok itu terbelalak karena ternyata ada orang yang mengetahui apa yang baru saja diperbuatnya. “Jangan ngarang lo,” bantahnya mulai belingsatan. Sementara keadaan sekitar kantin sudah mulai ramai.

“Reaksi lo udah jadi bukti kalau apa yang gue bilang itu fakta,” ujar Dirgan simpel.

“Berarti lo s-salah orang. Hubungannya fakta sama reaksi gue apaan? Lawak lo sumpah,” jawabnya lalu tertawa singkat menutupi kegugupannya.

Akan tetapi, semakin ditutup-tutupi kebenaran akan terlihat semakin jelas. Pancaran mata seseorang tidak bisa membohongi suatu keadaan. Maka dari itu, yang Dirgan lakukan hanya memandang cowok di hadapannya ini cukup lama dan lekat. Membuat pergerakannya semakin tidak nyaman, diambang kegelisahan. Namun ketika cowok itu sibuk melawan rasa takutnya sendiri, Dirgan dengan pintar mencari celah dan mengambil ponsel yang disembunyikan di belakang tubuh dengan cepat.

“ANJING! BERANI LO AMBIL HP GUE??!” tanyanya berteriak terkejut campur marah. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Cowok itu berusaha kembali merebut ponselnya dari Dirgan. Tetapi tidak berhasil.

“Kenapa gue harus takut?” Dirgan berbalik tanya. Sambil mencari foto itu. Lalu ditunjukkannya agar tidak bisa lagi untuk menghindar dari tuduhan.

Setelah berhasil mendapat bukti, Dirgan  menunjukannya tepat di depan muka. “Gue bukan sekedar nuduh lo. Buktinya jelas ada di tangan gue.”

“Sekali bajingan tetap bajingan,” tambah Kafka yang berdiri tidak jauh dari tempat Dirgan berdiri.

“Bejat banget lo jadi orang,” kata-kata Arga mampu membuat cowok itu menoleh padanya. Lalu menunduk karena merasa semakin tersudut tanpa memiliki pembelaan.

“Mampus diem kan lo,” ujar Nino bersidekap dada. Ia menatap cowok itu dari atas sampai bawah dengan mata yang memicing.

“I think there’s nothing else you can do right now. Lo juga gak punya kesempatan buat muncul lagi di sekolah ini,” ujar Dirgan. Sementara cowok itu semakin mengeluarkan keringat dingin. Panik, ketakutan setengah mati.

“Gan, maafin gue. Gue gak punya niatan kayak gitu.” Begitulah kira-kira alasan klasik yang Dirgan terima. Dirgan yang sudah muak, langsung pergi dengan barang bukti yang tersita di tangannya.

Alih-alih pergi, Kafka malah menyodorkan tangan. “Salaman dulu dong, itung-itung salam perpisahan dari gue.”

“Gue sebenernya agak kaget pas lo ngatain Dirgan miskin. Berarti lo punya banyak duit ceritanya? Nanti kan lo balik nih dari sekolah. Jangan ke rumah dulu. Ke supermarket aja beli sabun. Buat cuci otak lo yang kelewat tolol itu,” ujar Nino dengan sengaja menekan tiga kata terakhir dalam ucapannya. Sebelum cowok itu melepas status siswanya di sekolah tercinta ini, alangkah baiknya Nino memberikan kata-kata mutiara. Walaupun mutiara tersebut tercampur oleh bubuk cabai.

“Bro lo mau mesum, jangan di sini. Cari tempat lain. Sekolah bukan tempat orang-orang bajingan kayak lo,” ujar Arga santai lalu menepuk-nepuk pundak cowok itu yang wajahnya kian memucat.

Alfris tentu melihat semua itu. Dan ia juga mendengar semua perkataan Dirgan serta cowok itu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, ada niat dalam hatinya untuk membuat cowok yang berani melecehkan Alsya itu hingga babak belur. Tetapi Alfris tahan sampai Dirgan benar-benar keluar dari area kantin.

“Sini ikut gue.” Tanpa basa-basi lagi Alfris menarik kerah baju cowok itu. Langkah kakinya sengaja ia percepat agar kesempatan untuk menjelaskan omong kosong tidak pernah tercipta. Begitu sampai di depan gudang sekolah, Alfris melempar cowok itu dengan keras. Hingga tubuhnya terbentur tembok.

“Bang ampun Bang. Jangan apa-apain gue. Maafin gue Bang. Gue kapok, gak lagi dah janji.”

Sambil menyatukan tangannya, memohon. Cowok itu setengah membungkuk. Membuat Alfris menyerngit dalam lalu tertawa setelahnya. “Gue belum ngomong apa-apa.”

“Berarti lo emang sadar kalau lo punya salah,” ujar Alfris lagi. “Bagus, bagus.”

“Anak kelas mana lo?” tanya Alfris. Sebenarnya ia tak ingin berbasa-basi. Tapi hanya dengan cara seperti ini Alfris bisa mengetahui hal-hal yang tidak ia ketahui lebih dalam.

“Sebelas MIPA 6 Bang,” jawabnya terbata-bata.

“Punya masalah apa lo sama Dirgan sampai Alsya lo jadiin batu lemparan?” tanya Alfris lagi. Namun kali ini, tidak ada jawaban.

“Belum budeg ‘kan? Atau lo mau gue bikin gak bisa denger?” Begitulah Alfris, tidak mau pertanyaannya dikacangi.

“G-gue iri Bang.”

Alfris tersenyum miring. Jawaban seperti itu bukan jawaban yang tepat untuk ukuran anak SMA. Jawaban seperti itu lebih terdengar seperti jawaban anak Sekolah Dasar. Alfris butuh jawaban yang lebih spesifik.

“Lo sebenernya juga suka kan sama Alsya?” tanya Alfris dari jarak yang begitu dekat. Membuat cowok itu menelan ludahnya dengan susah payah.

Bukannya menjawab, cowok itu malah memohon. Yang membuat Alfris sendiri makin senang berlama-lama agar cowok yang ada di depannya ini semakin takut.

“Apapun resikonya pasti gue tanggung, termasuk di keluarin dari sekolah ini. Tapi jangan apa-apain gue Bang, tolong.”

“Barusan lo minta tolong sama gue? Masih yakin gue bakalan bermurah hati sama orang hina kayak lo?”

“Bagi gue, sekecil apapun kesalahan lo kalau lo udah usik Alsya gue gak akan pernah bisa maafin orangnya sebelum gue bisa bales hal yang sama. Lain kali kalau lo horny, cari lonte. Bukan ngerusak cewek yang gak seharusnya lo rusak.”

Alfris melangkah perlahan. Sementara cowok yang di hadapannya ini sudah pasrah menanggung apa saja. Sesaat sebelum pukulan Alfris mengenai titik-titik rawan di tubuhnya, cowok itu sempat meneteskan air mata.

***
Jam istirahat masih berlangsung. Tersisa sekitar 10 menit sebelum bel masuk kembali berbunyi. Bu Iren mengetuk pintu kelas XI MIPA 1 yang terbuka lebar, menarik perhatian murid yang berada di kelas. Setelah hampir semua perhatian tertuju padanya, Bu Iren berbicara.

“Dirgan Alsya, lima menit lagi ke BK ya.” Setelah berkata seperti itu, Bu Iren pergi. Meninggalkan rasa penasaran anak-anak kelas terhadap dua orang yang baru saja dipanggil.

“Ruang konseling?” tanya Zeva sambil menatap Alsya yang sama-sama tidak mengerti.

“Sya lo punya masalah sama adik kelas? Apa kakak kelas? Kok gak cerita sih? Terus kenapa lo tiba-tiba masuk BK?” tanya Chilla tidak tanggung.

“Enggak La. Gue gak tau.”

“Menurut gue gak mungkin sih Alsya berurusan sama mereka. Keluar kelas sendirian aja gue jarang liat. Hampir tiap cabut dari kelas barengan sama kita-kita,” ujar Sheila. Dibenarkan oleh Alisya dan Zeva.

“Tanya Dirgan. Disuruh bareng Dirgan juga ‘kan?” Alisya memberi saran. Alsya mengangguk lalu menghampiri Dirgan.

“Dirgan ada apa?”

Nino menatap Alsya bingung. “Lo sama sekali gak tau?”

“Kalau Alsya tau juga dia gak bakalan nanya ada apa,” jawab Arga.

“Serius Sya lo gak ngerasa ada hal-hal ganjil gitu?” tanya Nino lagi. Alsya semakin dibuat bingung.

“Enggak. Alsya ngerasanya hal genap,” jawab Kafka ngaco.

“Jadi gini Sya, lo tau kan tadi kantin rame banget? Banyak orang-orang dateng?”

Tentu Alsya tahu itu, bahkan untuk memesan makanan saja ia sampai berdesakan. Tetapi sepertinya memang umum, kantin sekolah selalu ramai setiap hari ketika jam istirahat tiba.

“Dateng buat makan?” tanya Alsya begitu polos membuat Nino menepuk kening. Sementara Dirgan tersenyum kecil mendengarnya. Kafka dan Arga pun sama.

“Bukan. Lo—”

“Nanti aja.” Dirgan cepat-cepat memotong. “Lo pasti tau kalau udah di BK.”

“Tapi gue takut,” kata Alsya sambil menatap manik mata Dirgan.

“Apa yang harus ditakutin?” Dirgan berdiri menghadap Alsya yang menunduk. “Gue di depan lo Sya.”

***
Setelah melihat bukti yang diperlihatkan Dirgan, Alsya menatap cowok yang diam-diam mengambil foto bagian tubuh bawahnya dengan rasa benci. Jika dirinya tidak sedang berada di dalam ruangan konseling, dipastikan Alsya sudah menampar cowok itu.

Untungnya foto tersebut buram dan yang lebih baiknya lagi, walaupun di sekolah sebagian besar siswinya memakai rok pendek, Alsya selalu merangkap dalamannya. Seperti memakai celana pendek sebelum ia memakai rok sekolah. Tapi tetap saja mengambil gambar bagian wajah atau tubuh orang lain, tidaklah dibenarkan.

“Hal kayak gini bukan hal yang pantas untuk ditolerir. Sebagai pendidik ibu harus bisa memberi sanksi yang berat agar kasus seperti ini tidak terulang lagi. Jika sebelah pihak merasa dirugikan, maka pelaku harus menanggung kerugian serupa,” ujar Dirgan tegas. Kata-katanya dalam menuntut si pelaku, terdengar begitu dewasa.

“Iya Dirgan, ibu mengerti. Ibu akan sampaikan kasus ini kepada kepala sekolah. Untuk keputusan sebagai guru BK sendiri, ibu beri kamu SP 3.”

“Seandainya lo dikeluarin dari sini. Itu belum sepadan sama apa yang Alsya tanggung akibat dari perbuatan lo,” bisik Dirgan samar-samar.

“Kerjaan lo ‘kan?”

Suara itu berhasil membuat Griffith menoleh sekilas lalu menemukan Alfris yang berdiri di sampingnya. “Ada bukti?”

“Gue gak perlu bukti. Sifat lo, kebiasaan lo, bagi gue itu udah cukup buat jelasin segila apa diri lo.”

“Ternyata lo lebih kenal diri gue dari apa yang gue kira,” respon Griffith.

“Kenapa harus Alsya?”

“Karena bokapnya gak cukup kuat buat gue jatuhin Dirgan. Gue juga gak bisa ambil kesempatan dari situ.”

“Alsya punya arti lebih bagi gue. Gue gak pernah suruh lo bertindak seenaknya.”

Griffith menggedikan bahunya tak acuh. “Gue gak peduli.”

“Lo gak usah ngerasa jadi pihak yang dirugikan, jangan munafik. Lo juga mau kan Alsya jadi milik lo?”

“Udahlah, gak usah ngeluarin protes segala macem. Lo tinggal diem.”

“Tadinya gitu,” jawab Alfris. “Sekarang enggak. Gue gak mau lagi terlibat sama cowok gila kayak lo.”

“Bikin Alsya terlibat sama lo sama aja nempatin dia dalam masalah,” ujar Alfris.

“Terserah lo mau ngomong apa. Yang pasti, gue gak akan pernah berhenti.”

“Gue bisa ngabisin lo kapan aja. Berani lo usik Alsya sekali lagi itu tandanya lo juga berurusan sama gue.” Alfris memberi peringatan, tidak main-main.

“Gue tunggu.”

***
Semenjak hari itu, Alsya memutuskan untuk tidak dulu bersekolah selama dua hari. Dibilang takut, memang benar dia takut. Walaupun pelaku kini sudah tidak lagi ada di sekolah, Alsya tetap takut jika hal-hal buruk selanjutnya menimpa dirinya kembali. Karena pelecehan  dalam bentuk apapun, bukan sesuatu yang dapat disepelekan. Dan selama itu Alsya tidak membalas atau menerima chat dari siapapun.

Suara pintu kamar yang terdengar di buka membuat Alsya menoleh dan menyingkapkan selimutnya untuk menghampiri sang Mama yang berdiri di dekat pintu.

“Alsya,” panggil Fany dengan lembut. “Ada temen-temen kamu tuh ke sini.”

Belum sempat Alsya menjawab Mamanya. Tapi Alisya dan teman-teman sekolahnya sudah muncul dari balik tangga terakhir yang dipijaknya.

“Sore tante.” Sapaan itu terdengar kompak. Fany tersenyum lalu mengangguk tipis.

“Sya liat deh gue sama yang lain bawain lo apa. Makanannn!” seru Alisya heboh. Alsya hanya tersenyum simpul.

“Makasi ya semua.”

“Pokoknya mood lo harus bisa balik lagi setelah lo habisin makanan-makanan ini. Parah sih kalau enggak,” ujar Sheila sambil bersidekap dada. Tak mau tahu Alsya harus menghabiskan semua pemberian ini.

“Gaya lo makanan, orang cuma roti. Beli juga di toko roti depan sekolah. Bukan di Italia,” sahut Chilla memutar bola mata jengah. Karena menurutnya nada bicara Sheila terlalu lebay.

“Gak apa-apa, gue dikasi ini aja udah seneng.” Alsya menengahi dengan senyuman. Namun tetap kedua matanya tidak bisa berbohong, ada sorot penuh luka yang tergambar di sana.

“Sya?” Zeva meletakkan tangannya di bahu Alsya. “Lupain ya?”

Sheila tampak setuju dengan Zeva lantas menggeser duduknya sedikit lebih dekat. “Kali ini, lo harus bisa lari dari masalah lo. I mean, lo harus bisa lupa sama semua hal-hal buruk yang pernah lo terima.”

“Emang setan tuh cowok mesum. Syaraf-syaraf otaknya udah pada disconect semua. Kalau aja gue tau dari awal niat jahanamnya kayak apa, pasti udah gue cabik-cabik mukanya!” Chilla menggebu-gebu. Sorot matanya terlihat penuh kebencian.

“Apa coba motifnya ngelakuin kayak gitu?” tanya Chilla tak habis pikir. “Cari mati?”

“Taunya pas mati ditolak bumi,” balas Alisya. Lebih terdengar seperti sedang menyumpahi.

“Serem gila.” Sheila menoyor kepala Alisya yang kini tengah cengengesan.

Zeva yang menyadari gerakan tak nyaman dari Alsya lantas menengahi teman-temannya agar tidak lagi membahas topik tersebut. “Udah dong jangan dibahas lagi. Kita kan gak tau gimana usaha Alsya untuk lepas dari kejadian itu. Masa malah diungkit lagi?”

“Gue udah gak apa-apa Va,” ujar Alsya meyakinkan dirinya sudah baik-baik saja. Bisa saja seperti itu. Namun tetap, kondisi Alsya saat ini masih tidak sebaik yang terlihat maupun yang terucap.

“Gue juga bersyukur. Setidaknya foto gue berhenti di hari itu juga, di ruang BK. Gsampai kesebar lebih luas lagi apalagi sampai ke sosmed,” lanjut Alsya. Masih sempat bersyukur atas kejadian yang menimpanya.

Semua hal yang terjadi harus dipandang dengan sama. Bukan hanya mengingat sisi buruknya namun hal baik yang ada dibaliknya juga. Karena dengan begitu manusia akan lebih mengerti apa artinya bersyukur.

“Dirgan keren banget serius. Dia selalu tau siapa-siapa aja yang punya niat gak baik sama lo Sya, padahal lo sendiri gak sadar. Tuh kan bener kata gue walaupun orangnya kayak gitu dia masih punya sisi baik.”

“Yaiyalah Dirgan masih manusia kali bukan setan,” jawab Chilla. “Hati nurani nya masih ada.”

“Ada dendam apa sih La?” Alisya memutar bola mata. Karena nampaknya Chilla tidak terima jika Dirgan dipuji seperti itu.

“Enggak ada sih. Cuma gue gak mau terlalu percaya sama orang. Karena gue tau mereka gak akan selamanya kayak gitu. Dirgan juga sama. Enggak menutup kemungkinan.”

“Rasa percaya yang terlalu besar sama orang, ditambah harapan yang dibangun setinggi mungkin. Hal-hal kayak gitu yang ngebuat lo ngerasa sakit nantinya. Mending juga percaya sama diri sendiri. Setidaknya kita punya kendali penuh atas semuanya. Kemungkinan buat nyakitin diri sendiri juga kayaknya gak ada. Kalau sampai ada ya namanya lo udah gila,” ujar Chilla panjang lebar.

Self love banget ya? Pantes aja sampai hari ini lo gak punya niatan buat cari...” Sheila sengaja menggantungkan ucapannya karena tatapan yang Chilla berikan padanya terlihat begitu tajam.

“Cari apa?!” tanya Chilla galak. Sementara Sheila cengengesan lalu menempatkan dirinya di belakang Alisya, meminta perlindungan.

“Sya to be honest, gak ada lo satu hari aja berasa ada yang kurang,” ujar Alisya dengan dilebay-lebaykan. Sementara Alsya yang sudah terlanjur mengerti akan semua drama adiknya ini bersikap biasa saja.

“Kurang sumber nyontek Al?” tanya Zeva iseng. Namun kenyataannya memang benar begitu.

“Mmm, gak salah sih. Tapi juga gak sepenuhnya bener. Intinya kayak gitu lah,” jawab Alisya pada Zeva yang geleng-geleng kepala.

“Lo bayangin, nilai gue sama manusia-manusia yang ada di sini cuma angka enam doang Sya. Perasaan gue ngisi bener semua. Kenapa bisa ya dapet nilai jelek amat?”

“Tau kesel banget. Padahal gue sama yang lain udah diskusi sebelumnya,” tambah Sheila. Kecewa dengan nilai yang diperolehnya.

“Lagian gue heran. Setiap selesai materi pasti ulangan. Gitu aja terus sampai otak gue keluar dari tempurung kepala!”

“Sebenernya sistem kayak gitu dipake buat evaluasi. Sejauh mana siswa paham sama materi yang dipelajari.” Alsya mencoba bergabung pada topik yang sedang dibahas. Berlarut-larut dalam kemalangan, bukan suatu tindakan yang benar. Dalam jawabannya, Alsya membeberkan alasan mengapa di sekolahnya begitu sering dilaksanakan ulangan harian.

“Berarti gue bego banget dong? Gue gak pernah ngerti soalnya,” tanya Chilla. Alsya menggeleng.

“Lo bisa aja ngerti. Tapi lo gak pernah paksain otak lo buat berpikir lebih keras lagi,” jawab Alsya membuat semua orang yang ada di dalam kamarnya tertampar.

“Gue banget,” aku Sheila.

“Gue juga.” Alisya juga mengaku.

“Alsya setiap ngomong selalu relateable. Tapi gue sadarnya cuma beberapa menit. Pas pulang ke rumah balik lagi ke setelan pabrik,”

“Lo semua dapet enam puluh?” tanya Zeva bingung. Karena memang bukan kertas bernilaikan enam puluh yang di dapatnya. Melainkan lebih dari itu.

“Perasaan di lembar kertas gue, gue dapet delapan puluh.”

“DEMI APA? GIMANA BISA?!” tanya Chilla berseru. Tidak menyangka bahwa Zeva mendapat nilai yang bisa terbilang bagus dan memenuhi kriteria minimal.

“Lo semua ngumpulin barengan tanpa di cek dulu?”

“Iya langsung dikumpul begitu selesai. Abisan lo lama,” jawab Sheila jujur.

“Tadinya gue mau kasih tau ada jawaban yang kurang tepat. Tapi lo semua udah pada keluar dari kelas. Serius gue gak expect lo semua bakalan dapet nilai segitu. Gue kira aman, di atas KKM.”

“Nanti lagi jangan buru-buru,” ucap Alsya pada teman-temannya. “Gue juga sering kecolongan nilai gara-gara ceroboh.”

Setelah melewati obrolan yang begitu random. Dari mulai berita anak kelas sebelah yang semakin hari semakin tampan sampai berita pernikahan salah satu seorang guru yang akan datang di bulan mendatang, semua dibahas tanpa terlewatkan satupun. Hingga tiba saatnya dimana matahari telah meninggalkan langit petang dan berganti dengan purnama yang terang sempurna di indahnya langit malam bertabur bintang.

Zeva menghampiri Alsya ketika yang lain sudah lebih dulu keluar dari rumahnya. Memberikan secarik kertas yang nampak kecil. “Sya dari Dirgan.”

“Katanya lo susah buat dihubungi. Makannya dia suruh gue buat kasi ini sama lo.” Zeva menjelaskan, Alsya mengangguk lalu berterimakasih.

“Gue balik dulu ya Sya,” pamit Zeva.

“Iya Va, sekali lagi makasi banyak.” Alsya melambaikan tangan begitu keempat temannya berlalu dengan mobil yang dikendarai oleh Sheila.

Sambil berjalan masuk, Alsya membuka lipatan kertas kecil tersebut. Sedetik setelah membaca note yang Dirgan tulis, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum.

Tadi ada ulangan.
Gue tulis semua kunci jawabannya di sini. Get some rest, see u later.

———
(5708)
Part sembilan belas, revisi ketiga.

Hai!!
Minal aidin wal faidzin ya temen-temen dunia oranye. Mohon maaf lahir dan batin. Salam tempel nya lain kali, okay?

Gimana nih part nya? Kasih rate yuk!

1—100?

Dirgan di part ini bikin gemes tapi bikin curiga juga, bener apa engga?

Kira-kira apa ya yang bikin Dirgan senyum-senyum pagi-pagi?

Mari berpositif thinking, mungkin karena dapet THR gepokan.

Note: SEBELUM MENINGGALKAN PART INI PASTIKAN KALIAN SUDAH VOTE DAN KOMENTAR YA!

Ayo jangan jadi sider.

SHARE JUGA CERITA INI KE TEMEN-TEMEN KALIAN!! ❤️

<3

Continue Reading

You'll Also Like

614K 658 39
warning! Cerita khusus 21+ bocil dilarang mendekat!! Akun kedua dari vpussyy Sekumpulan tentang one shoot yang langsung tamat! Gak suka skip! Jangan...
1.5M 51.4K 55
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
821K 33.7K 52
Mendengar rumor yang mengatakan bahwa Renggala adalah lelaki jahat the real of monster dunia nyata, Renjana benar-benar membayangkan lelaki itu seper...
180K 10K 24
Kisah seorang Andrea si bodyguard tampan tapi Manis yang selalu menarik perhatian tuannya . "Tidak ada yang aneh, hanya saja kamu terlihat menarik di...