Rian benar-benar melaksanakan apa yang ia katakan. Cowok itu kembali ke rumah sakit, menjemput bunda dan Fajar, kemudian kembali ke rumah dimana Acha tinggal.
Mereka sampai di rumah kecil itu tepat pukul 8 malam. Sampai disana, Acha sedang tertidur. Kata Salsa, cewek itu tertidur setelah meminum obat. Mungkin karena ada efek mengantuknya.
Bunda langsung memeluk Acha dengan harunya begitu melihat cewek itu terbaring di kasur. Pancaran lega terpancar di mata bunda ketika melihat kondisi anaknya baik-baik saja. Tetapi semua itu tidak membuat Acha terbangun, mungkin saking lelahnya ia sampai bisa tidur sepulas itu.
"Lo yakin mau bawa dia ke Jakarta?"
Rian mengangguk mantap, sambil menunggu Fajar menyiapkan mobil ia berdiri di ambang pintu bersama dengan Salsa di sebelahnya. Salsa menghela napasnya. Sebenarnya ia cukup kaget dan khawatir dengan keputusan mendadak ini. Namun melihat Rian yang seyakin itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Pesan gue buat lo," kata Salsa mengalihkan perhatian Rian, "Kalo bisa jangan ada yang tau dimana Acha dirawat. Sembunyiin dia sampe dia bener-bener pulih."
"Iya ngerti,"
Salsa manggut-manggut. Setelah itu tidak ada perbincangan apa-apa lagi. Sampai akhirnya Fajar datang dan memecah keheningan diantara mereka.
"Ini gue yang gendong Acha nih?" tanya Fajar namun dengan senyuman jail di wajahnya.
Rian mendengus, "Lo mau nyuruh gua gelindingin Acha lagi?"
Mendengar itu Fajar seketika terbahak, "Hahaha! Enggak lah. Adikku tersayang itu."
Cowok itu kemudian berjalan masuk. Acha masih tertidur, jadi satu-satunya jalan adalah dengan Fajar menggendongnya masuk ke mobil.
Dengan sekali hentakan, Acha sudah berada di gendongannya. Fajar kemudian memutar tubuhnya, namun seseorang yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia tersentak.
"Astaghfirullah!"
Rian berdiri disana. Tersenyum kemudian nyengir lebar begitu melihat Fajar yang terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Fajar mendelik, "Untung Acha gak jatoh gara-gara gua kaget! Lagian lo ngapain disitu? Ngikutin gua?"
"Mau liat aja,"
"Gak usah posesif kale! Ini abangnya yang gendong, gak mungkin gua tikung juga astaga."
Fajar mulai berjalan, diikuti dengan Rian dibelakangnya yang mendumel pelan, "Siapa yang posesif. Orang mau liat doang emang salah?"
Setelah Acha dimasukkan ke mobil, Bunda ikut masuk dan duduk disebelahnya. Sedangkan Fajar duduk di jok kemudi, bersama dengan Rian yang ikut di sebelahnya.
Rian menurunkan kaca, memberikan salam terakhir pada Salsa sebelum pergi, "Sal, makasih banyak ya. Gua gak tau bakalan gimana jadinya kalo lo gak berubah jadi baik," cowok itu kemudian terkekeh dengan ucapannya sendiri.
"Yaa, pokoknya makasih banyak ya. Udah ngerawat Acha juga selama disini. Berkat lo pokoknya, makasih ya," lanjut Rian lagi.
Salsa mengangguk kemudian tersenyum, "Jaga Acha baik-baik ya disana. Dia udah kayak sahabat buat gue."
"Pasti,"
"Oh iya," Salsa menghentikan sebelum Rian menaikkan lagi kacanya, "Kalo nikah ntar undang-undang lah ya. Awas lo gak ngundang gue!"
Rian terkekeh, "Iyaaa, tenang aja. Lo mau undangan berapa biji?"
"Ya ngapain undangan kertas doang banyak-banyak bahlul! Kalo besek iya juga!" Kali ini Fajar yang bersuara. Lalu kemudian Rian tertawa dengan khas tawa garingnya.
"Ya udah, gua pamit ya, Sal."
Setelah itu Rian mengangkat kacanya, dan mobil melaju bergabung ke jalan raya.
***
Hari sudah semakin larut. Pukul 9 malam, dan mereka masih di perjalanan. Ditambah dengan hujan yang tiba-tiba mengguyur dengan deras, membuat cuaca menjadi sangat dingin. Untungnya Rian mengenakan hoodie, jadi tubuhnya akan tetap hangat.
Rian lalu mengalihkan pandangannya pada kaca spion yang menggantung di atas kepala. Acha disana, masih tertidur dengan pulas. Disebelahnya ada bunda yang juga tertidur, mungkin karena kelelahan dan memang sedang tidak fit.
Semakin diperhatikan, semakin Rian sadar ada sesuatu yang salah. Bibir Acha bergetar. Astaga, cewek itu menggigil. Gimana bisa Rian lupa kalau Acha tidak pakai jaket?
Tidak berpikir lama lagi, Rian membuka hoodienya. Membuat Fajar yang berada disebelah menoleh heran, "Kok dibuka? Dingin banget ini, Jom. Gila lu."
"Gak papa, gua masih pake kaos kok." Setelah hoodie itu terlepas, cowok itu menoleh pada Acha lalu berpikir, "Gimana caranya ya?"
Fajar mengernyit, tapi ia tidak banyak berkomentar. Walaupun sebenarnya saat ini ia bingung Rian sedang apa.
"Minggir sebentar coba, Jar."
Fajar menurut. Ditepikannya mobil itu di pinggir jalan. Dan setelah itu, ia melihat Rian yang mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang untuk meletakkan hoodie itu di atas tubuh Acha. Walaupun ia tidak bisa membuat Acha memakainya, setidaknya hoodienya menutupi tubuh Acha dan membuat cewek itu merasa hangat.
Perbuatan itu membuat Fajar tertegun. Bahkan dia sendiri pun lupa kalau Acha tidak pakai jaket di belakang sana. Sedangkan kondisi Acha sedang tidak baik, harusnya cewek itu lah yang paling diperhatikan sedari tadi.
Ternyata Rian lebih siaga daripada abangnya sendiri.
Rian kembali duduk di tempatnya. Cowok itu kemudian memberi aba-aba Fajar untuk melanjutkan perjalanan.
Mobil kembali bergabung ke jalan raya. Bersama dengan derasnya hujan yang menemani. Sesekali ketika melihat ke spion kiri, Fajar mendapati Rian sedang mengusap-usap tangannya. Cowok itu pasti kedinginan, tapi tidak terdengar keluhan sama sekali darinya.
Fajar tersenyum. Demi Acha, Rian rela berkorban menahan dingin seperti ini. Padahal Fajar tahu betul bagaimana menusuknya angin malam ditengah hujan deras begini. Walaupun mereka berada di dalam mobil, tetap saja dinginnya tidak bisa tertahan.
'Cha, kamu beruntung.'
***
Acha menggerakkan tubuhnya sedikit ketika merasa punggungnya mulai panas. Cewek itu ingin merubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman, namun yang ada malah nyeri yang ia rasakan.
"Sssh, aw,"
Rian dan Fajar tersentak. Buru-buru mereka menoleh ke belakang dan mendapati Acha sudah terbangun sambil mengusap-ngusap lehernya yang pegal. Wajah cewek itu terlihat meringis. Apa sakitnya kambuh?
"Kenapa, Cha?"
Suara Rian membuat Acha tersentak. Sepertinya cewek itu baru sadar sepenuhnya sekarang. Ia menoleh ke sekitarnya kemudian mengernyit, "Ini di mobil?"
Rian tertawa, "Kamu tidur sepules itu?"
"Jam berapa sekarang?" tanya Acha sambil mengucek matanya pelan.
Rian melirik jam di tangannya, "Jam setengah sepuluh."
"Oh,"
"Kamu gak papa?" tanya Rian lagi untuk memastikan kalau Acha baik-baik saja. Dan setelah melihat Acha mengangguk pelan, Rian kembali menghadap depan.
Mata Acha meneliti sekitar. Disebelahnya ada bunda yang tertidur sambil bersandar di pintu mobil. Di depan ada abangnya, Fajar, sedang mengemudi sambil sesekali berbincang dengan Rian. Dua orang laki-laki hebat yang hadir di hidupnya. Acha tersenyum, alangkah beruntungnya ia.
Cewek itu lalu melihat ke tubuhnya sendiri. Dan ia baru sadar dengan apa yang menutupinya sedari tadi. Sebuah hoodie putih yang membuatnya hangat. Acha mengangkatnya, meneliti milik siapa hoodie itu. dan setelah ia tersadar, buru-buru ia melihat ke Rian yang berada di depan.
Rian hanya mengenakan kaos tipis dengan lengan pendek. Hoodie putih ini milik Rian, Acha tahu karena ia melihat cowok itu memakainya tadi siang. Dan sekarang hoodie itu menutupi tubuhnya dalam kondisi dingin seperti ini.
Acha tersipu. Ya ampun cowok itu, kenapa perlakuannya selalu semanis ini?
Pemandangan Rian sedang mengusap-ngusap tangannya sendiri kemudian tertangkap mata Acha. Rian kedinginan! Acha tidak tinggal diam, cewek itu merogoh tas yang berada di kakinya. Ia lalu mengeluarkan jaket hitam besar milik Rian yang pernah cowok itu berikan padanya. Jaket kesayangannya Rian.
Acha memakai jaket itu. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, sambil menyodorkan hoodie putih agar Rian kembali memakainya.
"Pake mas,"
Rian menoleh, "Loh, kamu gimana-" lalu ucapannya terhenti setelah melihat Acha memakai jaket hitam miliknya. Cowok itu tersenyum, "Kamu bawa jaket itu terus kemana-mana?"
"Hm, jaketnya bagus."
Mendengarnya Rian terkekeh, "Bukan karena orang yang ngasih?"
"Apaan si," Acha merapatkan bibirnya menahan senyum, "Udah nih, pake sekarang. Nanti kamu sakit, mas. Kamu kan atlet."
Rian menerima hoodie itu dengan senyuman lebar di wajahnya. Dengan sigap ia memakainya, dan dalam sekejap hoodie itu telah membungkus tubuhnya lagi.
Jelas terlihat oleh Fajar bagaimana lucunya hubungan mereka berdua ini. Saling mengkhawatirkan, namun malu-malu kucing. Fajar sampai gemas sendiri, kenapa mereka gak langsung gas aja sih?
"Kalian kenapa gak langsung nikah aja sih? Kenapa segala harus nungguin skripsi Acha dulu? Kelamaan, Jom!"
Rian dan Acha secara bersamaan menoleh pada Fajar yang berbicara sambil fokus menyetir. Mereka kemudian saling berpandangan lewat spion gantung, lalu membuang pandangan masing-masing dengan salah tingkah.
"Gak apa-apa, biar dia fokus skripsi dulu. Gua juga gak buru-buru."
"Lebih cepat lebih baik lah, Jom!"
"Kalo nikah sekarang, nanti dia balik ke bandung nyelesain urusan kuliahnya, gua ditinggal. Gak mau, kalo udah nikah yaudah sama gua aja."
"Beh gila, posesifnyaaa sampe gak mau ditinggal. Sekalian dirante aja si Acha jom."
Rian mendelik, "Dia istri gua bukan tahanan."
Acha tersipu. Astaga obrolan macam apa ini? Mereka dengan entengnya membicarakan obrolan yang benar-benar membuat pipi Acha memanas. Tidak tahukah mereka di belakang sana Acha sedang gunjang-ganjing dengan hatinya sendiri? Atau mereka sudah lupa kalau Acha ada disini?
Obrolan masih berlanjut, "Padahal kalo udah nikah kan lo bisa jaga dia lebih ekstra lagi, ye gak dek?"
Acha melirik ke spion, dan disanalah matanya kemudian bertemu dengan Rian. Cukup lama, sampai kemudian Acha menutup wajahnya dengan tangan.
Rian terkekeh, "Udah Jar, adek lo mesem-mesem di belakang."
"Ih, enggak!" sahut Acha kemudian, tapi wajahnya masih ia benamkan di tangannya.
"Eh demi apa? Acha salting?" Fajar kemudian menoleh, "Eh anjir! HAHAHAHAHA! Dek, sehat?"
"Jar, udah."
"HAHAHAHAHHAHAHA."
Acha semakin menutup wajahnya. Ia tidak tahan lagi. Apalagi sampai Fajar menertawainya kencang-kencang begitu.
"Pegangan kenceng-kenceng, dek."
Acha mengintip sedikit, "Eh kenapa?"
"Abang takut kamu terbang melayang. HAHAHAHAHA."
Astaga abangnya itu! Acha mengambil sesuatu apa saja yang bisa ia raih, lalu melemparnya pada Fajar di depan sana. Alhasil tawa Fajar semakin keras, membuat Acha semakin memerah.
Apalagi ketika matanya menangkap Rian yang diam-diam memperhatikannya lewat kaca spion gantung. Acha merasakan jantungnya melompat-lompat saat ini juga.
Jadi, bolehkah Acha terbang saja? Sepertinya itu lebih baik daripada harus menghadapi situasi ini. Acha tidak sanggup, jantungnya seakan melompat ke perut saat ini juga.
***
YUHUUUUU
GUYS, KALO KOMENNYA RAME AKU UP NEXT PART SECEPATNYA MWEHEHEHE