Namjoon duduk di kursi roda terdiam, dia khawatir --sangat--.
Seokjin yang sempat sadar mendadak pingsan dipangkuannya saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Tubuhnya dingin, wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Panik itulah yang Namjoon rasakan dan entah kenapa dia merasa bersalah.
"Nak, kembalilah ke kamar rawatmu, biar kami yang menunggu Dokter, sebentar lagi juga orangtua Seokjin datang, kau terlihat lelah."
"Aku baik-baik saja Appa, aku ingin melihat kondisinya."
Orangtua Namjoon hanya bisa menghela nafas, jika Namjoon sudah mulai keras kepala seperti ini. Namun sikap Namjoon semakin meyakinkan kedua orangtuanya jika sang putra menaruh hati pada putra sahabat sang Ayah.
Drap!
Drap!
Langkah kaki cepat dari arah lorong mengalihkan perhatian mereka dari pintu UGD.
"Il Guk!"
"Won Bin, bagaimana keadaan Seokjin?"
Il Guk tergopoh menghampiri sahabatnya dengan sang istri.
"Putramu sedang di periksa, duduklah."
"Terimakasih sudah menolong putraku."
"Kami kebetulan pas ada di tempat tidak jauh dari putramu pingsan, ada masalah apa? Apa kalian bertengkar?"
Won Bin mengusap pundak sahabatnya tersebut, sementara kedua Nyonya Kim nampak saling menatap sendu.
"Iya, beberapa hari yang lalu kami sempat bertengkar, Seokjin selalu keras kepala, dia mulai berani melawanku, dia bahkan sudah beberapa hari tidur di toko, Ibunya selalu membawakan makanan untuknya namun selalu tidak dimakan, dan puncaknya adalah tadi."
"Tenanglah, pelan-pelan saja mengingatkannya, jangan paksa dia."
"Iya, sekali lagi terima kasih sudah menolong putraku."
"Sama-sama."
Won Bin tersenyum tipis.
"Namjoon kenapa? Dia sakit? Apa dia sakit karna menolong Seokjin."
Won Bin gelagapan menjawab pertanyaan putranya pasalnya dia belum menceritakan semuanya tentang kondisi Namjoon.
"Tidak, bukan karna itu, tapi..."
Klek!
Pintu ruang UGD terbuka, Dokter Hwang keluar setelah memeriksa.
"Dokter bagaimana keadaan putra saya?"
Il Guk bergegas mendekat ke Dokter disusul istrinya dan orangtua Namjoon, sedangkan Namjoon di bantu Pak Lee untuk ikut mendekat.
"Putra anda sudah kami tangani dan sekarang kondisinya berangsur membaik, dia kedinginan dan sepertinya asam lambungnya naik dan dia juga demam, kami sudah memberinya obat dan sebentar lagi pasien bisa di pindah ke ruang rawat inap."
"Terimakasih Dokter."
"Dokter Cho, tolong pindahkan pasien di ruang rawat VVIP dan semua administrasi biar ajudan saya yang mengurusnya."
"Baik Tuan Kim, bisa langsung ke bagian administrasi saja."
Pak Lee segera tanggap, setelah sebelumnya Hyunah menggantikan posisinya memegangi kursi roda Namjoon.
Namjoon tersenyum saat melihat Ayahnya mengatakan keinginannya.
"Jangan begitu Won Bin-ah, kami sudah banyak merepotkanmu."
"Jangan berkata seperti itu, aku hanya menyampaikan keinginan putraku, dia tidak berani bilang sendiri jadi aku bantu menyampaikanya."
Il Guk lagi-lagi merasa tidak enak pada keluarga temannya tersebut, dia merasa sudah banyak merepotkan.
"Terimakasih Nak, kau sangat mirip seperti Appamu, semoga kau lekas sembuh."
Il Guk berjongkok didepan Namjoon sembari menggenggam tangan Namjoon merasa sangat berterima kasih.
"Aku hanya membantu sedikit Paman, terimakasih sudah mendoakanku sembuh, aku sangat berterimakasih untuk doa itu, aku juga berterimakasih pada putra paman, dia juga sudah menyelamatkanku."
"Apa penyakitnya yang pernah kau ceritakan itu semakim parah Won Bin, tadi kau belum sempat menjawabnya."
Il Guk mengalihkan tatapannya pada sang teman.
Won Bin tertunduk lalu dia memegang pundak Namjoon, dan menatap putranya yang mengangguk seolah mengijinkan sang Ayah mengatakan sebenarnya.
"Akan ku ceritakan semuanya padamu nanti."
Il Guk terdiam dia tahu pasti ada hal besar yang di tutupi temannya tersebut.
.
.
.
"Bagaimana keadaan Seokjin?"
Kini kedua Ayah tersebut sedang duduk menikmati kopi hangat di malam hari di kantin rumah sakit, keduanya mendapat jadwal pertama menjaga putra mereka masing-masing.
"Sudah lebih baik, itu semua berkat pertolonganmu."
"Aku hanya perantara, semuanya kembali kepada Tuhan, Oh ya bagaimana dengan Smeraldo?"
"Semakin membaik, kami sudah berencana membuka cabang di Ilsan."
"Benarkah? Itu kota kelahiran ku, Namjoon juga lahir dikota itu, aku jadi rindu kampung halaman."
Won Bin sesekali menyesap kopi sembari membayangkan kota kelahirannya.
"Ngomong-ngomong soal Namjoon, ada apa? Apa sesuatu terjadi padanya lagi?"
Won Bin menghela nafas lalu membenarkan posisi duduknya dan kemudian menatap sendu temannya tersebut.
"Putraku sedang sakit."
"Sakit apa?"
"Belum lama ini dia baru menjalani operasi Pneumotorak, dan pada saat itu juga aku mendengar kabar lain tentang putraku."
"Kenapa?"
"Ada tumor di otaknya, dan jika dioperasi akan ada efek samping yang sungguh tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi pada putra kecilku, jalan hidupnya masih panjang, masih banyak tempat yang indah untuk dia lihat dan dia kunjungi, aku sadar Guk-ah, uang tak bisa membeli kebahagiaan, harta tak menjamin kau akan tetap bahagia."
Won Bin menangis didepan sahabatnya, meski dia terlihat tegar dan kuat didepan keluarganya siap sangka Bapak 2 anak ini menyimpan kesedihannya sendiri, dan sifat ini menurun pada putra pertamanya. Namjoon.
"Kuatlah Bin-ah, kau harus kuat didepan putramu, dia akan sedih jika melihatmu seperti ini."
"Aku tidak tega Guk-ah, melihatnya tersiksa pneumotorak saja membuatku ikut merasakan sesak nafas, ditambah ini melihatnya mengerang kesakitan dan mencoba terlihat baik-baik saja didepan kami, itu sangat menyakitkan."
"Apa tidak bisa dioperasi?"
"Bisa, tapi Namjoon menolaknya, dia mau dikemoterapi dan lain-lain asal tidak operasi, dia ingin tetap bisa melihat dan mengingat kami."
"Memang kenapa?"
"Efek dari operasi itu bisa membuatnya buta, dan bisa hilang ingatan, dan dia tidak mau hal itu terjadi padanya."
"Ya Tuhan pasti Namjoon merasa sangat sedih."
"Ya, aku tidak suka melihat putraku sedih, aku akan lakukan apapun untuk putraku."
"Jika saja aku bisa membantu, aku akan membantumu kawan."
"Kau bisa membantuku Guk-ah, kau sangat bisa membantuku."
Il Guk menatap bingung sang kawan, dia tak mengerti apa maksud ucapan sahabatnya tersebut.
.
.
.
Suara pintu terbuka lalu menutup kembali membuat pria manis pucat itu terkesiap, mengagetkannya yang sedang memainkan ponselnya.
"Ayah? Ayah darimana?"
"Maaf membuatmu terbangun Nak, apa kau butuh minum?"
"Tidak, aku sudah minum tadi, Dokter jaga baru saja memeriksaku, dan mengatakan padaku lusa aku sudah bisa pulang jika kondisiku membaik."
"Syukurlah, Ayah lega mendengarnya."
Il Guk duduk ditepi ranjang putranya, mengusap pelan surai sang putra, dia menyayangi putranya sungguh dia sangat menyayanginya, karna itulah dia tidak ingin putranya terjerumus kearah yang tidak baik, dia ingin putranya mendapat kebahagiaan.
"Ada apa Yah?".
"Tidak ada, Oh ya kau sudah tahu siapa yang menolongmu?"
"Eum aku lupa, memang siapa yang menolongku?"
Seokjin sesungguhnya ingat siapa yang menolongnya hanya untuk memastikan apa yang dilihatnya.
Il Guk tersenyum, kemudian mengusap pelan jemari lentik putranya.
"Putra Tuan Kim yang menolongmu, kau masih ingat saat kita makan siang bersama? Dia yang pertama melihatmu pingsan, dia juga yang mengendongmu dan membawamu kerumah sakit lalu meminta Dokter menempatkanmu disini."
Seokjin sedang tidak bisa beradu argument dengan sang Ayah dikarenakan dia sakit, tapi juga dia membenarkan ucapan sang Ayah.
"Putra Tuan Kim juga dirawat disini."
"Dia sakit juga?"
"Iya, dia sakit juga, dia..."
"Jangan katakan penyakit Namjoon pada Seokjin, itu pesan Namjoon."
"Sakit apa?"
"Eum demam, dia sedikit ringkih kata Tuan Kim, jadi kehujanan sebentar saja langsung demam."
"Oh."
Seokjin hanya menjawab 'Oh' tapi dalam hatinya dia sedikit merasa bersalah karna menolong dirinya, Namjoon sakit.
"Kau tidurlah, ini sudah malam."
"Ayah."
"Iya?"
"Terimakasih."
"Iya Nak, tapi kau juga harus berterima kasih pada Tuan Kim."
Seokjin mengangguk singkat.
"Kenapa dia begitu baik pada keluargaku? Apa ada maksud tersembunyi?"
-●●-
Namjoon berdiri didepan wastafel, dia menatap pantulan dirinya di cermin, matanya sayu, nafasnya memburu, dia baru saja muntah-muntah kepalanya yang berdenyut membuatnya pusing dan mual.
Tok!
Tok!
"Namjoon-ah, kau baik-baik saja sayang? Kenapa sarapannya tidak dihabiskan?"
Suara sang Ibu membuyarkan lamunan Namjoon, ya dia memang sedang sarapan pagi, dan dia berlari begitu saja ke kamar mandi saat 2 suapan karna mual tak tertahan, beruntung Ibu dan Ayahnya sedang tidak menemaninya.
"Sebentar Eomma, aku sedang mencukur kumisku."
"Baiklah, jangan lama-lama."
"Eum!"
Namjoon berbohong, dia hanya sedang menahan mualnya didalam kamar mandi, sekiranya 5 menit dia barulah membuka pintu, dan melihat orangtuanya dan seseorang yang dia kenal duduk di sofa.
"Eoh, Yoongi kapan datang?"
Namjoon berjalan santai kearah Yoongi dan duduk di sofa didepannya.
"Baru saja, bagaimana keadaanmu? Kau terlihat lemas."
Ingat Yoongi adalah seorang Dokter dia tahu kondisi pasien dari wajahnya.
"Aku baik, hanya sedikit demam saja, oh kau tidak datang dengan Dokter Jimin?"
"Dia sedang ada rapat, jadi dia memintaku menjemputmu, agar kau dipindah ke Seoul Hospital saja."
Namjoon terkejut mendengar penuturan Yoongi.
"Aku tidak mau dipindah, lagipula rumah sakit ini tidak terlalu buruk, disini bisa menyembuhkan orang sakit juga."
"Tapi disini tidak ada alat MRI, Kemoterapi dan fisioterapi, disini kurang lengkap."
"Jadwal cek lengkapku masih satu minggu lagi Yoon, jadi tenang saja, aku tidak akan satu minggu disini, besok juga aku sudah boleh pulang, iya kan Appa? Appa!"
Namjoon membuyarkan lamunan sang Ayah.
"Ah ya Nakk ada apa?"
"Kenapa melamun?"
"Tidak apa, tadi aku bilang apa Nak?"
"Besok aku sudah boleh pulang kan?"
Belum sempat sang Ayah menjawab, sang Ibu datang membawa minum dan buah.
"Bukan besok sayang, tapi lusa."
Sang Ibu menjawab sembari meletakkan cangkir minum untuk Yoongi.
Namjoon mendengus, lalu dengan kesal dia berdiri dari duduknya.
Lalu..
Bruk!
.
.
.
.
Tbc
Halo pemirsah semuanya, aku datang terlambat sangat terlambat karna lama sekali upatenya.
Maafkan hamba kisanak. 🙇
Ini sengaja di cut disini agar dapat feelnya di next episode.
Semoga bisa cepat update.
Bangtan lagi istirahat, author seneng dengernya. 😄😄
I purple You