"Kita menyelesaikan misi kita dengan baik." Tomori mengawali percakapan.
Jalanan cukup lengang untuk ukuran jam sore. Setelah misi berakhir, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sebelumnya, kami harus menaiki bis terlebih dahulu. Saat ini, aku bersama Tomori dan Takajo menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Tomori sibuk dengan handycam-nya, sedangkan Takajo sedang memainkan ponselnya.
Aku yang menekuk lenganku ke depan dada, memanggil, "Hei," Tanpa menunggu respon, aku kembali membuka percakapan. "Kalian selalu melakukan hal semacam ini, ya?"
"Iya. Supaya tidak ada orang berkekuatan khusus yang bernasib seperti kakakku." jawab Tomori yang masih memandangi layar handycam.
Aku sedikit membungkuk ke arahnya. "Lalu, apa yang terjadi pada kakakmu setelah ditangkap para ilmuwan itu?" tanyaku kembali.
Tomori menoleh ke arahku sesaat, lalu melihat ke depan. "Rasanya percuma kalau aku menutup-nutupinya. Apa kau mau pergi denganku besok?" tawarnya.
"Eh? Pergi kemana?"
"Ke tempat kakakku."
-
-
Jam pelajaran berakhir seperti biasanya. Begitu selesai, Tomori menghampiriku bangkuku. "Ayo."
"Oke," aku menoleh ke arah Takajo. "Kau ikut?" tanyaku.
"Aku tidak ikut. Hati-hati di jalan."
Begitulah katanya.
Dan hanya kami berdua yang berangkat. Sebagai langkah awal, kami pergi menuju stasiun terdekat. Tomori mengarahkan badannya padaku. "Kau belum makan siang, 'kan?"
"Belum."
Kemudia dengan semangat, Tomori mengajak, "Kalau begitu, ayo kita beli nasi kardus khas stasiun!" Ia melangkahkan kakinya ke arah sebuah gerai makanan yang menjual nasi kardus lidah sapi. "Ini dia! Nasi kardus lidah sapi yang terasa begitu hangat saat digigit! Hebat sekali, bukan?!" Ia menanyakan pendapatku sambil melompat-lompat layaknya anak kecil.
"Kalau itu, aku juga tahu."
Kami memutuskan untuk membeli satu nasi kardus dan satu roti lapis. Kereta berangkat seperti yang dijadwalkan. Dan aku baru tahu kalau kita menaiki kereta ekspres. Aku memandang datar Tomori yang membuka nasi kardus. Harumnya lidah sapi membelai penciumanku. Begitu pula para penumpang yang berada di dekatnya. Bisa-bisanya dia makan di situasi yang seperti ini? Aku melirik ke arah para penumpang yang memandang sinis pada Tomori. Tidak sopan sekali ...
Tomori menoleh ke arahku. "Lho, roti lapismu tidak kau makan?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa.
Aku memberinya secara cuma-cuma padanya. Ia memakannya setelah kami sampai di tempat pemberhentian bis. Kusilangkan kedua tanganku lalu memandanginya.
Tak perlu menunggu waktu lama, kami berdua menaiki bis berwarna hijau untuk sampai ke tempat kakak Tomori. Tomori memilih untuk mengawali percakapan di antara kami. "Kakakku adalah orang pertama yang memiliki kekuatan istimewa. Kejadiannya terjadi saat aku lulus ujian masuk SMP kejuruan milik universitas negeri ..."
-
-
[Tomori POV]
Terlihat seorang wanita berambut cokelat sebahu sedang mencuci piring. Dirinya yang terkena sinar mentari tenggelam yang hangat, mendengar suaraku yang memanggil dirinya.
"Berhasil! Ibu, aku berhasil! Aku diterima!" pekikku.
Wanita itu memutar badannya ke arahku. "Kau benar-benar berjuang dengan gigih, Nao. Impianmu yang ingin menjadi dokter bisa terwujud, ya?" balasnya dengan senyuman tulus di wajahnya.
"Iya!"
Aku menghilang dari pandangannya lalu bergegas menuju kakak.
Di kamar, kakak sedang membetulkan gitarnya. Aku berlari ke dalam kamarnya.
"Kakak, lihat! Aku diterima, lho!" teriakku dari pintu kamar. Aku mengulurkan selembaran kertas keterangan lulus pada kakakku yang berambut cokelat itu.
"Benarkah? Kamu hebat, ya! Beda dengan kakak." responnya.
Aku lekas duduk di sebelah kakak. "Jangan begitu, ah! Kakak lebih hebat dari aku. Aku sudah dengar, ada perusahaan yang melirik band kakak, ya?"
"Kita ini orang miskin, kakak ingin segera debut dan hidup mandiri. Oh iya, kamu sudah memutar CD yang kakak pinjamkan, belum?" tanya kakakku.
Aku membalas, "Karena belajarnya nanti jadi terganggu, belum kuputar."
"Ujiannya 'kan sudah selesai. Setel dong! Kakak mau membuat lagu yang seperti itu." Kakakku kembali membetulkan gitarnya.
Aku mengayunkan kedua kakinya. "Aku tidak begitu tertarik dengan musik rock yang teriak-teriak seperti itu." akuku.
"Beda! Aliran ZHIEND bukan rock, tapi post-rock."
"Sebelumnya kakak juga mengatakannya! Tapi akunya yang tetap tidak paham ..."
-
-
[Yuu POV]
Aku melirik ke arah Tomori yang memandangi pemandangan luar bis yang mengabur.
"Tapi pada akhirnya, aku tidak masuk ke sekolah itu."
"Eh?"
-
-
[Tomori POV]
Pandangan wanita bersurai cokelat itu tampak sayu. Tidak ada senyuman yang menghiasi wajahnya seperti biasa. "Ada hal penting yang Ibu ingin bicarakan." katanya.
Aku, kakakku, dan juga ibu kini tengah duduk di ruang makan dengan suasana hening. "Agar bakat kalian lebih terasah, ibu memutuskan untuk mendaftarkan kalian ke sekolah berasrama."
"Hah?"
Kakak membalas, "Bukankah ibu sudah tahu, kalau aku akan menandatangani kontrak dengan label rekaman?"
Wanita berambut cokelat itu mengerutkan dahinya. "Kalau itu, sementara ditunda dulu, ya?"
Sembari mendobrak meja, kakak meneruskan percakapannya. "Aku tidak mengerti jalan pikiran Ibu! Kalau aku hidup sendiri, harusnya ibu senang, bukan?! Beban ekonomi kita juga akan berkurang!"
Ibu mengusap wajahnya. "Justru sebaliknya, ekonomi kita akan terbantu kalau kalian masuk sekolah itu."
Aku hanya bisa menatap kedua orang terdekatku yang sedang berdebat.
Kakak tak dapat menahan emosinya lagi, "Apa yang ibu maksud kebalikannya?! Secara akademis, Nao anak yang pintar. Berbeda denganku yang merupakan anak bodoh bermodalkan permainan gitar!" Ia menekankan kata 'bodoh' sambil meletakkan telapak tangannya di dadanya.
"Ibu rasa, karena hal itu mereka mau menerimamu."
"Berarti, itu sekolah musik? Kalau begitu, apanya yang 'kalian berdua'?"
Setelah kakak berkata seperti itu, ibu bersujud ke arah kami, memohon agar kami memasuki sekolah itu.
Aku membelalakkan mataku. Hari itu, untuk pertama kalinya kami melihat ibu memohon sambil meletakkan kepalanya ke bawah pada kami. Ibu kami, orang yang mengurus kami sepanjang hidupnya sendirian ...
-
-
Dari luar, tempat itu terlihat seperti sekolah biasa. Aku juga bisa langsung mendapatkan teman. Tapi, setiap selesai sekolah, aku dipaksa menjalani tes fisik. Padahal kami satu sekolah, tapi aku sama sekali tak pernah bertemu dengan kakakku.
Setiap kali aku mencari kakakku, teman-temanku pasti langsung mengalihkan perhatianku. Padahal, selama itu kakakku dijadikan sebagai kelinci percobaan. Kekuatan kakakku adalah mengendalikan vibrasi udara di sekitarnya. Ia menggunakan kekuatannya saat konser berlangsung untuk mengubah variasi suara dari gitarnya. Begitulah cara mereka bisa mengetahuinya.
Para ilmuwan meyakini kalau kekuatan kakakku bisa digunakan untuk menghentikan jalur komunikasi atau bahkan membajak gelombang udara.
Setahun kemudian, akhirnya aku dipertemukan kembali dengan kakakku. Dan sejak saat itu, ia bukanlah kakak yang kukenal. Ia bahkan tidak sadar bahwa aku adalah adiknya.
Teman-teman yang menjauhkanku dari kakakku, adalah teman palsu yang sudah diatur oleh para ilmuwan. Alasan mengapa mereka memeriksaku sepulang sekolah adalah, 'Kalau salah satu dari dua bersaudara mempunyai kekuatan istimewa, maka kemungkinan saudara yang lainnya juga memilikinya.'
Hanya itu alasannya.
Aku sudah berjanji tidak akan memercayai siapapun lagi. Karenanya, kuputuskan untuk kabur dari sekolah.
-
-
[Yuu POV]
"Setelah itu, apa yang terjadi?"
Tomori masih sibuk memandangi pemandangan luar jendela. "Aku bertemu dengan seseorang yang bisa kupercaya dan itulah yang membuatku bisa ada disini." jawabnya.
"Lalu, orang ituー"
"Ah, kita turun di halte depan." ujarnya yang sudah tidak melihat pemandangan luar lagi.
Kami pun turun lantas menaiki puluhan anak tangga untuk menuju tempat itu.
"Dengan Tomori Nao. Saya ingin menjenguk kakak saya." katanya pada seorang suster yang sedang berjaga.
Aku membalikkan badan ke arahnya. Jadi namanya depannya Nao?
"Dia ada di kamar nomor 12. Langsung saja."
"Apakah kakak saya boleh diajak keluar?" tanyanya.
"Selama masih di sekitar sini, boleh saja."
"Terima kasih banyak." Tomori mengambil tasnya yang sebelumnya ia letakkan di bawah. "Ke sini." Ia memimpin jalannya. Kami lagi-lagi menaiki tangga untuk mencapai kamar kakaknya. "Kamar yang ini."
Kami berhenti tepat di depan kamar bernomor 12 itu. Aku menoleh ke arah Tomori yang mengetuk pintu kamar. Saat ia menggeser pintu, aku membelalakkan mata. Bulu-bulu yang merupakan isi bantal berterbangan. Lelaki bersurai cokelat itu merobek-robek bantal dengan liarnya. Aku dapat mendengar suara teriakan yang memilukan darinya.
"Duh, efek analgesiknya sudah habis." Tomori melangkahkan kakinya ke dalam kamar.
Aku memandangi kakaknya yang masih saja merobek-robek bantalnya. "Sebenarnya, apa yang sedang dilakukannya?" tanyaku, masih dengan keterkejutanku.
"Sedang menggubah lagu."
Aku kembali melebarkan mataku. "Hah?"
Sambil meletakkan tasnya, ia membalas, "Saat ini, kakakku menganggap dirinya sedang bermain gitar." Ia menekan bel pemanggil suster kemudian duduk di sebelah kakaknya. "Teriakan yang kau dengar adalah melodinya. Lebih tepatnya, melodi utama."
Aku masih syok melihat keadaan kakaknya. Tak perlu menunggu lama, karena suster yang dipanggil Tomori berjalan dari belakangku.
Lagi-lagi kakak merusak bantalnya ...
-
-
Setelah keadaan kakak Tomori lebih baik, Tomori mempersilahkanku duduk di kursi yang telah disediakan pihak rumah sakit. Aku menerimanya lantas duduk agak jauh dari kakak Tomori. "Kakak mau jalan-jalan keluar? Kebetulan sekarang ini pemandangannya paling bagus." tanyanya dengan lembut.
Namun kakaknya tidak membalas perkataannya. Bahkan tidak ada respon darinya. Tatapannya terlihat kosong, seakan sekarang ini kami hanya bertanya pada raganya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Tomori memindahkan kakaknya dari kasur ke kursi roda lalu mendorongnya ke sebuah padang ilalang sepi yang perlahan berganti menjadi hamparan rumput yang luas. Saat kami berhenti, aku mendesah kagum.
"Indahnya ..."
"Menakjubkan, bukan?"
Hamparan rumput hijau dipadu-padankan dengan laut biru yang terpapar sinar mentari tenggelam membuatku tak bisa mengedipkan mata walau sedetik pun.
"Iya." Aku menoleh ke arah Tomori. "Tapi, bagaimana caranya kakakmu bisa berada di tempat ini?"
Tanpa menatapku, ia membalas, "Ini berkat seseorang yang bisa kupercaya tadi. Kakakku dipindahkan ke rumah sakit dengan pemandangan luar biasa ini secara cuma-cuma."
"Ternyata ada juga ya, orang yang berbuat sampai sejauh ini ..." Aku melihat kakak Tomori yang masih setia dengan wajah datarnya.
Tomori menghela napas. "Ternyata dia tetap tidak tertarik."
Aku sedikit merentangkan tanganku. "Tapi, mungkin saja sebentar lagi obatnya ditemukan."
"Tidak ada seorang pun yang meneliti cara menyelamatkan pasien seperti ini, tahu?"
"Kenapa?" tanyaku kembali.
Dengan senyuman tipis, Tomori menjawab, "Bagi para ilmuwan, anak berkekuatan spesial itu seperti baterai. Kalau kekuatannya habis, mereka hanya tinggal beralih ke anak yang lain. Tidak ada untungnya bagi mereka untuk menyelamatkan anak berkekuatan khusus seperti ini."
"Tidak mungkin ..."
"Kita juga tidak akan tahu bagaimana nasib kita di esok hari."
Aku memberikan sedikit ancaman padanya. "Jangan berbicara yang aneh-aneh."
Bukannya berhenti, Tomori malah membalas ancaman halusku. "Bagaimana kalau kau berpikir dulu sebelum mengatakan sesuatu?"
Karena bingung menjawabnya, aku hanya melontarkan permintaan maaf.
"Kalau begitu, ayo kita pulang."
-
-
Di perjalanan pun, aku masih terbayang akan pengalaman Tomori. Sekarang aku mengerti mengapa ia bersikeras ingin menyelamatkan anak berkekuatan istimewa. Ia tidak ingin anak lain berakhir seperti kakaknya. "Kehidupanmu ... pasti berat sekali, ya?"
Tomori tertawa hambar. "Kau mengasihaniku? Orang licik sepertimu tidak perlu repot-repot seperti itu."
Aku baru saja teringat akan perbuatanku tempoh hari yang lalu. Perkataannya ada benarnya juga. Ini tidak seperti diriku yang biasanya.
-
-
"Aku pulang ..."
Ayumi menggembungkan pipinya, menatapku dengan tatapan kesalnya.
Aku menarik kursi meja makan seraya berkata, "Aku tidak menduga kalau pekerjaan OSIS akan sesibuk ini. Mau bagaimana lagi?"
"Kak Yuu menjadi anggota OSIS?" tanyanya sembari menghampiriku.
"Bukankah aku sudah memberitahumu?" Setelah bertanya, aku menjatuhkan diri ke atas kursi yang sudah kutarik sebelumnya. Ayumi memegangi kedua pipinya. "Wah, aku baru mendengar berita itu!" Sembari berjalan ke dapur, ia mengoceh riang dengan imajinasi tingkat tingginya. "Kalau begitu, akan kubuatkan Kari Sayur Guling-Guling ala Ayu!"
Aku merenung memandangi Ayumi yang sedang mengaduk-aduk kari buatannya. Kalau aku mempunyai kekuatan istimewa, ada kemungkinan bahwa Ayumi juga punya. Kalau aku sampai tertangkap, nasib Ayumi ... akan seperti Tomori.
"Akhirnya selesai juga!"
Aku mengambil suapan pertama menggunakan sendok. "Selamat makan." ucapku dan Ayumi dengan nada yang berbeda. Tanpa menunggu, aku lekas mencicipi masakannya.
Terlalu manis!
"Jangan-jangan... kari ini memakai... bahan rahasia, ya?" tanyaku yang masih terkena efek samping makanannya.
Ayumi menjawabnya dengan semangat seperti biasanya. "Bahan rahasia dapur Otosaka : saus pizza!"
Aku menangis dalam hati. Kalau begini, apa bedanya dengan memakan nasi telur dadar ...
-
-
"Woah!!"
Salah satu tanganku membalikkan kertas dengan malas. "Aku tidak peduli dengan rutinitasmu atau bukan, cepatlah tidur." suruhku.
"Hari ini aku melihat komet lewat, sampai-sampai aku ingin menangis! Pasti tidurku akan lebih nyenyak!" pekik Ayumi. Kali ini teriakannya lebih menggebu dari biasanya.
"Kalau begitu hebat, bukan?"
Ayumi menggoyang-goyangkan pinggulnya. "Tapi, komet yang ingin aku lihat beda lagi."
"Eh?"
"Komet berorbit panjang!"
Aku berjalan mendekati Ayumi. "Memangnya kenapa?"
"Komet itu hanya beredar sekali dalam seratus tahun!"
Sembari memandangi langit berhiaskan bintang, aku bergumam, "Ada juga ya, komet yang seperti itu."
--
Siang, readers! Author mau minta maaf karena update cerita telat hueheu. Sinyal di rumah author lagi jelek, jadinya update sekarang🤧 Oiya, barangkali kalo author typo atau ada yg salah sama EYD-nya jangan sungkan2 komen!
Selamat membaca❤️