TY TRACK HERE !!!
"Hidup yang menyedihkan, membosankan.”
Suara anak kecil itu memecah keheningan panjang yang terbentang.
Setelah Jisoo melihat kilasan-kilasan hidupnya di panti setelah kematian bibinya, kilasan dimana wanita jahat itu menyiksanya, secara tiba-tiba kesadarannya terenggut lagi dan kini telah kembali berada dalam ruang putih dan gelembung itu lagi.
Jisoo hanya terduduk untuk waktu yang lama, merenung dalam diam. Sebelum akhirnya anak kecil tadi memecah keheningan yang terjalin. Mau tak mau Jisoo mengiyakan apa yang dikatakan anak kecil tadi.
Hidupnya memang menyedihkan, apalagi setelah kematian sang bibi. Rasanya hidupnya tak pernah mudah lagi. Setidaknya sampai ia bertemu dengan Suho, kebahagiaannya yang ditunggu untuk waktu yang lama. Akan tetapi tetap saja semuanya terenggut lagi dari dirinya.
“Ah, benar. Kita harus melihat kilasan mengenai percintaanmu.”
Tiba-tiba saja anak kecil itu telah duduk disampingnya, berujar antusias.
“Maksudmu kehidupanku dengan Kak Suho?”
“Bukan.” Anak kecil itu memutar bola mata bosan. “Kisahmu dengan Lee Taeyong.”
Ketika nama itu disebutkan oleh anak kecil di hadapannya dengan senyum ceria, Jisoo tercekat.
“Aku tak punya hubungan apa-apa dengan dirinya.”
Jisoo menggeleng menolak. Perkataan itu malah membuat anak kecil di sampingnya tertawa cekikikan, sebuah ekspresi baru dari anak kecil yang tadinya hanya berekspresi datar dan dingin.
“Kau lucu.” Anak kecil itu berujar dengan masih menyisahkan tawa. “Jelas-jelas pria itu adalah orang yang spesial, bahkan terdapat satu ruang yang hanya dipenuhi dirinya dalam hatimu.”
Jisoo tak dapat mengendalikan wajah shock pun dengan mata yang mengerjap tak percaya dengan apa yang dikatakan anak kecil ini. Sebuah perkataan yang mau tak mau sedikit mencubit dirinya dengan sengatan kebenaran. Walaupun ia terus menggeleng menolak segala kebenaran yang terdapat dalam hatinya.
“Ini pasti menyenangkan!”
Anak kecil itu berujar girang, tak dapat menahan senyum manis yang tersungging jelas dari raut wajahnya. Dengan bersemangat menggerakan jari-jarinya sehingga sebuah gelembung melambung ke arahnya, melayang perlahan.
“Aku suka sekali kisah cinta anak remaja, cinta pertama yang manis.”
Anak kecil itu begitu girang, bahkan ia bertepuk-tepuk tangan senang, senyum bahkan tak pudar dari bibirnya.
“Ayo kita melihatnya!”
Jisoo bahkan tak mampu berkata-kata lagi dan dalam sekejap semuanya kembali menggelap, Jisoo kembali terlelap dalam kegelapan.
***
Ketika netra kelam itu kembali terbuka, dirinya telah berada di sebuah gedung SMA tempatnya dulu menimba ilmu. Sekolah ini begitu ramai dipenuhi oleh siswa-siswi baru yang berdiri berbaris di lapangan sekolah. Dirinya juga berdiri di barisan para murid baru itu, dibaris yang paling belakang, hanya termenung dalam diam.
Jisoo remaja menghela nafas perlahan begitu kepala sekolah telah selesai memberikan sambutan. Kini di podium itu, ketua osis sedang memberikan sambutannya.
Setelah memberikan instruksi-instruksi bahwa murid baru membentuk kelompok-kelompok baru sesuai dengan nama-nama yang ditayangkan pada slide yang terpampang di atas, semuanya mulai berpencar menemukan kelompok yang lain.
Jisoo berjalan belakangan, sedikit mengerinyit menahan sakit di punggungnya. Tadi pagi sebelum bersekolah wanita jahat pemilik panti itu memukulinya lagi dengan rotan di punggung karena Jisoo kesiangan dan tak sempat membuat sarapan pagi untuk penghuni panti.
Wanita itu yang dalam mood tidak baik memukulnya tak tanggung-tanggung. Dengan menahan sakit Jisoo tetap harus bersekolah, menahan perih di punggungnya.
Jisoo menghela nafas berat begitu menemukan kelompoknya. Murid-murid itu mulai saling bercakap-cakap memperkenalkan diri. Seperti biasa Jisoo hanya berdiri mematung dengan jarak yang cukup kentara, berdiri sendirian.
“Hei lo anak baru yang di sana!”
Semua mata langsung tertuju kepada Jisoo begitu seorang anggota osis, senior perempuan menunjuk ke arahnya dengan menyeru menggunakan mic yang dapat didengar semua orang.
Jisoo menelan ludah begitu si senior tadi memandangnya sinis dan tajam menghujami. Merutuki dirinya karena sudah mendapat masalah bahkan di hari pertamanya bersekolah.
“Ngapain lo bengong aja? lo ngak denger disuruh gabung sama kelompok lo? budeg, yah?”
Suasana langsung jadi tegang begitu si senior perempuan berucap pedas, masih memandangnya tajam. Jisoo langsung berjalan mendekat ke kelompoknya patuh. Sedikit bernafas lega karena si ketua osis melerai senior perempuan tadi begitu ia kembali ingin berkata.
Suasana kembali berjalan kondusif begitu ketua osis memberikan serentetan kegiatan yang akan mereka laksanakan untuk tiga hari ke depan. Untuk hari ini mereka sudah diminta untuk mengumpulkan tanda tangan para anggota osis dan sebagai gantinya kelompok yang mengumpulkan tanda tangan paling banya esoknya akan dibebaskan dari segala pemakaian atribut aneh-aneh khas masa orientasi sekolah.
Tentu saja semua murid baru sangat senang dan bersemangat, mereka mulai riuh satu sama lain. Berbeda dengan Jisoo yang hanya berdiri kaku seperti biasa. Ketika ketua osis mulai memberi aba-aba bahwa mereka boleh memulai permainan tanda tangan itu. Otomatis semua murid baru mulai bersiap berlomba-lomba untuk meminta tanda tangan.
“Khusus buat lo, anak baru.”
Si senior perempuan tadi, yang bernama Jennie, menghadang langkah kelompoknya, lebih tepatnya menghadang Jisoo dan memandangnya sinis.
“lo harus minta tanda tangan cowok yang ada di balkon atas, cowok yang namanya Lee Taeyong.”
Jennie kini tepat berdiri di hadapannya, membuat murid-murid lain yang tadi sudah bersiap untuk meminta tanda tangan ikut berhenti ingin mendengar apa yang dikatakan senior mereka.
“lo dan kelompok lo bakal bebas dari segala atribut kalau lo berhasil.” Senior itu kembali berucap. “Kalau lo gagal, lo dan kelompok lo juga yang bakal kena hukuman.” Jennie menyelesaikan perkataannya, melenggang pergi dengan senyum sinis.
Jisoo hanya mampu menghela nafas. Sepertinya senior tadi sudah menaruh dendam tak langsung karena masalah di lapangan tadi. Pada akhirnya Jisoo hanya bisa menurut, melangkah menjauh menuju balkon.
***
Jisoo menarik nafas yang dalam, menghembuskannya perlahan. Kini dirinya telah berdiri di ujung tangga menuju balkon sekolah ini. Ia perlahan melangkah ragu, pandangannya langsung disapukan menuju balkon, dan terlihatlah di sana sosok ia yakini Lee Taeyong.
Jisoo melangkah mendekat tanpa suara, berdiri kaku menimbang-nimbang dengan gugup. Sosok itu duduk membelakanginya, sedikit membungkung sepertinya sedang membaca. Buku-buku sedikit berserakan di dekatnya, sosok itu terlihat begitu serius dan tenggelam dalam bacaannya.
“Kak Taeyong..”
Setelah mengumpulkan keberanian, Jisoo menyapa dengan gugup. Membuat sosok pria itu yang tadi begitu fokus dengan bacaannya refleks menoleh.
Pria itu mengerinyit, memandang gadis di hadapannya bingung. Gadis yang memandangnya dengan gugup dan takut-takut, berdiri dengan kaku.
“Siapa lo?”
Taeyong berucap datar membuat Jisoo semakin gugup. Cepat-cepat ia menyodorkan kertas di genggamannya ragu.
“Saya..saya mau minta tanda tangan.”
“Gue bukan anggota osis, lo salah orang..”
Taeyong berujar tak peduli, kembali berbalik untuk membaca. Sepertinya gadis itu hanya anak baru yang nyasar.
“Saya disuruh untuk minta tanda tangan kakak.” Gadis itu kembali berujar masih dengan nada yang gugup. Membuat Taeyong menghembuskan nafas kasar. “lo disuruh? sama siapa?” Taeyong berujar, kali ini tak menoleh.
“Kak Jennie..”
Jisoo kembali menyahut pelan, menautkan jari-jarinya, kebiasaan ketika sedang gugup.
“Jennie...”
Taeyong menggumam jengkel, merutuk pelan. Ia kembali berbalik, memandang gadis di hadapannya kini yang masih berdiri gugup sambil menautkan kedua tangannya.
“Bilangin ke dia, gue ngak mau.” Taeyong berucap datar. “lo pergi aja.” Ia kembali berbalik, memfokuskan dirinya kembali dengan buku bacaannya.
“Kak saya minta tolong..”
Jisoo memberanikan diri, kali ini berucap lebih jelas dengan menyodorkan kertas itu kembali.
“Saya butuh tanda tangan kakak, tolong…”
Taeyong berdecak kesal, menghembuskan nafas kasar. Perlahan ia bangkit, merapikan buku-bukunya bersiap melangkah pergi.
Tanpa berfikir panjang, Jisoo mencekal tangan seniornya, menahannya dengan gugup. Dalam hati Jisoo merutuki sikapnya yang implusif dan nekat seperti ini.
Namun ia harus mendapatkan tanda tangan itu. Ia tak mau menjadi sasaran pembullyan oleh kakak kelasnya, ia hanya ingin menjalani masa SMA-nya dengan tenang, sama sekali tak ingin menjadi objek perhatian.
Jisoo langsung melepaskan cekalannya begitu pria di hadapannya kini tegang menahan amarah. Jisoo kembali menyodorkan kertas itu takut-takut, menunduk dalam-dalam tak berani memandang pria dengan tatapan tajam yang siap untuk mengulitinya.
Jisoo merasakan hembusan kasar serta umpatan yang sepertinya tertahan dari pria itu. Hanya beberapa detik, pria itu sudah siap kembali melangkah, tak menghiraukan gadis di hadapannya.
Sebelum Jisoo kembali melangkah untuk mengejar langkah pria itu, gadis itu tiba-tiba terhenti. Mengerinyit menahan sakit yang langusung menyerangnya tepat di punggung, bekas pukulan wanita itu tadi pagi. Pandangan gadis itu berkunang-kunang, menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun.
Hingga pada akhirnya gadis itu oleng, terjatuh tak mampu manahan beban tubuhnya. Memaksa dirinya menutup mata dengan kesadaran yang perlahan semakin menggelap.
“Hei, anak baru, ada apa denganmu!? Hei sadarlah.”
Sebelum kesadarannya hilang total, Jisoo masih mendengar suara seniornya tadi, mengguncang tubuhnya perlahan. Kemudian ia merasa terayun-ayun seolah diangkat.
Namun ketika Jisoo berusaha membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi, kesadarannya semakin kabur. Hingga pada akhirnya semua menjadi gelap dan Jisoo tak mampu merasakan apa-apa lagi.
TBC