Aku mencoba mengembalikan akal sehat seorang 'ayah' yang sepantasnya.
Jika Seokjinie tidak ingin terlalu dekat, maka akan kuhargai keinginannya.
Mungkin, ia merasa risih dengan semua perhatianku yang agak kelewatan.
Aku berhenti terlalu ingin tahu tentangnya.
Aku berhenti menungguinya pulang ke rumah.
Aku berhenti mengajaknya sarapan bersama.
Dan aku berhenti mencoba pulang ke rumah lebih awal.
Aku duda, belum terlalu tua, dan punya materi yang cukup.
Tidak sedikit wanita yang menawarkan kehangatan padaku.
Tetapi aku lelah.
Tidak ingin lagi terjebak.
Atau mungkin karena egoku yang tak membiarkanku sampai dikhianati lagi.
Jadi aku lebih memilih untuk membenamkan diri dalam rutinitas bekerja sampai jauh malam.
Kudengar dari pengawal yang kuperintahkan untuk diam-diam menjaga Seokjinie, ia sibuk bermain kesana-kemari.
Bermain wanita.
Awalnya jelas aku terkejut.
Tetapi setelahnya, aku mencoba berpikir jernih.
Seokjinie adalah seorang pria, sama sepertiku.
Ia sedang berada di usia awal dua puluhannya. Sedang dalam masa-masa melampiaskan rasa penasaran serta hawa nafsunya.
Hanya karena aku menginginkannya, bukan berarti ia pun demikian.
Tidak ada yang bisa kulakukan.
Aku tidak mau membuatnya menyimpang seperti diriku, meski sesungguhnya hati kecilku ingin sekali menyeretnya pergi dari para wanita itu, mengurungnya, menjadikannya hanya milikku.
Namun, puing-puing kesadaranku yang tersisa sebagai ayahnya menghentikan hati kecilku.
Ini adalah yang terbaik.
Seokjinie harus bahagia, dengan atau tanpa diriku bersamanya.
***
Begitulah tekadku, mencoba melepaskannya.
Tetapi, tidak semudah itu melakukannya.
Justru terasa sangat berat dan kian menyiksa.
Hatiku koyak.
Berusaha menerima sekaligus menolak diriku yang tak senonoh karena melabuhkan perasaan tabu ini pada putra angkatku sendiri.
Putra yang kubesarkan.
Aku menjalani hidup, namun serasa mati.