Haricatra (Trilogi Pertama, T...

By aryalawamanuaba

35.6K 3.6K 310

Terbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa... More

Epsilon
Perdebatan Mitos
Sepuluh Tambah Sepuluh
Tarian Tupai
Cinta Itu Tidak Buta
Dua Pilihan
Luka Lama
Ambisi di Gunung Sanghyang
Cita-Cita
Murka
Di Bawah Pohon Flamboyan
Sidang Tanah
Di Mana Nagapuspa
SALCON
Nasi Kuning
Di Jalan Pulang
Jual
Harapan
Komang Jaya
Tragedi Burung Pipit
Kehilangan
Aku Melihat Maut
Hutan Pinus Tua
Abirama
Janji
Dadu Maut
Cinta Dua Sisi
Lari
Sri Purnami
Hidupku Hanya Bagi Raja
Harta Karun
Batur (I)
Batur (II)
Madu dan Jadam
Baik Atau Buruk
Aku Bukan Penggemarmu
Remang
Tangkapan
Sepakat
Ujung Lorong
Puncak Kembar
Lotus di Atas Batu
Tiga Sekawan
Pamitan
Jangan Katakan Selamat Tinggal

Ke Selatan

457 71 0
By aryalawamanuaba

"Dari mana kamu belajar melempar batu seperti itu?" Dhira bertanya. Mobilnya berbelok di blok perumahan. Gas ditancap. Mereka mesti bergegas.

"Wahyuni yang mengajari saya," terang Hari­catra, mengusap peluh yang merambat deras di pipinya. "Hanya saja waktu itu kami latihan pakai sepatu."

Dhira berbelok lagi di tikungan, tanpa meme­lankan laju. Ban mobil itu mendecit nyaring, membuat gigi kesemutan. Mereka mesti meninggalkan jejak secepatnya.

"Bagaimana Bapak bisa menemukan saya?" Haricatra mengurap wajahnya yang berdebu.

"Wahyuni yang memberitahu Bapak."

Mata Haricatra melotot. "Bapak tahu Wahyuni dari mana?"

"Anak gadis itu, 'kan?" kepala Dhira miring, sesekali melirik anaknya di kiri kemudi. "Memang­nya siapa lagi yang namanya sering kamu sebut ketika mengigau malam-malam?"

Memaling muka Haricatra, berbalik menatap kaca samping. Rasa malu terbit merah di pipinya. Tumben bapaknya bisa bercanda di tengah situasi genting semacam itu. Tak pernah disangkanya seseorang telah mengintipnya ketika tidur, menafsir asal-muasal mimpi-mimpi remajanya.

"Jangan buat masalah lain lagi," Dhira mewanti-wanti. "Setidaknya sampai yang ini beres. Paham?"

"Ya, Pak."

Ternyata masih sama. Bapaknya masih sangar.

"Tadi Bapak antar ibu ke Tejakula," sesekali Dhira melirik spion tengah dengan mata tegang. "Malam ini kita menginap di sana. Epsilon ada di mana-mana. Mereka terus mengincarmu."

"Bapak tidak lapor polisi?"

"Kamu pikir polisi mau main tangkap tanpa bukti?"

Alis Haricatra turun. Bukankah buktinya cukup jelas?

"Tidak ada bukti kalau kamu dianiaya atau diculik," sahut Dhira. "Urusannya ribet. Epsilon bukan hanya gudang obat, tapi gudang akal."

Haricatra mendesau. Batinnya gundah.

"Bagaimana pun caranya, kamu harus Bapak sembunyikan," Dhira mencucur tegas. "Kamu pegang kunci. Kamu satu-satunya yang bisa masuk hutan Nagapuspa,—di antara semua manusia yang ada di planet ini."

Lidah Haricatra mengusap bibirnya yang kering kerontang.

"Kamu tahu apa artinya itu?"

Si anak terdiam. Apa pun itu, pasti buruk.

"Kamu jadi buronan elit, Kadek," Dhira mene­kan tiap kata. "Sekarang Epsilon, lalu besok mafia obat Asia Tenggara. Lusa, kamu diburu bankir dunia."

Dhira tak melanjutkan kata-katanya. Entah anak SMP paham istilah bankir atau tidak.

"Memangnya apa salah saya?" Haricatra mendesak.

"Kesalahanmu satu," sahut Dhira getir. "Kamu tahu terlalu banyak."

Dada Haricatra mampat dibuatnya. Itu samasekali terbalik dengan kata 'bodoh' yang sering ayahnya katakan.

Mobil itu meliuk di jalanan kota, menyasar arah yang tak tentu. Dhira berpikir panjang. Keluar­ganya mesti selamat. Terlunta-lunta di jalanan bukan solusi yang tepat. Tak ada yang bisa mereka percayai. Lapor polisi bukan jalan keluar. Epsilon adalah perusahaan elit. Jaringannya ada di Asia Tenggara. Infiltrasi elit lazimnya merambah di segenap kaki tangan penguasa.

"Mereka di belakang, Pak!" Haricatra melirik spion kiri. Segala rasa aman di wajahnya buyar seketika.

Beberapa puluh meter di belakang mereka, sebuah mobil adventure hitam beroda keriting besar merangsek maju, menyalip cepat. Kaca depannya benar-benar gelap. Tak jelas wajah pengemudinya.

Dhira meninggikan kepala, memicingkan mata ke spion tengah. Aura yang tidak mengenakkan seketika menjalar.

Tuas gear matik digeser. Deru mobil SUV itu langsung melengking.

"Pakai seat belt!" perintah Dhira.

Haricatra menurut gesit. Sabuk keselamatan ditariknya dari samping, lalu dikliknya di pinggang kanan. SUV itu digas penuh, melesat gesit di jalanan, berkelok di antara mobil yang lebih lambat, menghilangkan jejak di antara deretan kendaraan.

Dan benar saja. Mobil adventure itu juga bergerak gesit, menyalip dengan lincah, memastikan agar posisi mereka tak kehilangan jejak. Lagat mobil itu sudah ketahuan.

Dhira membanting setir ke kiri di perempatan. Kecepatan mobilnya nyaris tak menurun. Haricatra nyaris terpelanting. Decit ban menggigit kuping. Mereka dilempari puluhan suara klakson protes dari pengendara lainnya yang melewati perempatan.

"Hati-hati, Pak!" Haricatra bergidik ngeri. Mobil mereka sedang menyalip buta di jalanan padat. Klakson ramai mencaci-maki. Pengemudi lain yang melihat adegan mobil gila itu pastinya menumpahkan umpatan yang tidak enak didengar. Dhira sedang menjelma jadi pembalap jalanan!

"Pegangan!" perintah Dhria tanpa menoleh. "Kalau tidak kuat, tutup mata!"

Lampu hijau menyala terang di depan. Mereka harus lolos sebelum lampu merah menyala.

Mobil wagon di depan merangkak lambat. Dhira menghujamnya bertubi-tubi dengan klakson. Tak kunjung bergerak lebih cepat, Dhira membanting kemudi tajam ke kanan. Sepeda motor merah yang menyalip di kanan nyaris tersenggol. Pengendaranya meng­umpat galak.

Dhira menyalip, mengambil haluan paling sempit di antara lajur kiri dan kanan. Jalanan jadi kacau balau. Mobil-mobil yang melaju dari kanan langsung banting setir menepi melihat mobil Dhira menyalip egois tanpa perhitungan.

"Tutup matamu!" itu perintah Dhira pada anaknya.

Perang klakson pecah berantakan! Jalanan amburadul. Dhira tak punya ide yang lebih baik. Dia siap didenda jika seandainya polisi men­cegatnya. Tapi ini bukan masalah terlambat kerja! Ini masalah keselamatan anaknya! Orang tua waras mana yang sudi anaknya diculik orang!

Lampu hijau padam. Kuning berkedip.

Pedal gas dihentak. Suara mobil itu jadi mengerikan.

Lampu lalu lintas berkedip lagi. Cahayanya merah benderang.

Mobil Dhira tak memelan sedikit pun. Dia menerobos gagah berani di perempatan. Beberapa orang yang akan menyeberang tiba-tiba berlarian buyar, kembali naik ke badan trotoar yang lebih tinggi.

Pekik rem bersahutan di semua ruas jalan. Kendaraan dari arah lain langsung banting kemudi, menghindari ganasnya mobil Dhira yang menerjang tanpa peduli aturan jalan. Mobil boks pengangkut barang yang datang dari kanan langsung mengerem dan belok haluan, menciptakan pekik rem yang suaranya kasar. Pantatnya tertabrak mobil silver yang lalu mendamprat dengan klakson nyaring. Tabrakan beruntun terjadi di arah kanan. Orang-orang di tepi jalan berseru ngeri. Dhira terlambat membelokkan setir.

Benturan di sisi mobil terasa begitu keruh. Dengan sekali tancap, SUV itu kembali ke lajur kiri, melesat tanpa jejak meninggalkan perempatan yang kacau balau itu.

Genggaman tangan Dhira di kemudi bergetar hebat. Dua mobil nyaris ditabraknya barusan, dan tak tahulah bagaimana jadinya jika ada korban manusia. Yang paling membuatnya lega adalah kenyataan bahwa mobil adventure berbodi sangar itu tak tampak lagi di spion. Mobil hitam besar itu pastinya tak segesit SUV Dhria, dan tak ayal lagi pasti terjebak macet di belakang.

"Kita mau ke mana, Pak?" Haricatra bertanya. Mereka sedang melesat gesit di jalan protokol kota. Ayahnya samasekali tidak sedang membawanya ke mana pun di wilayah Singaraja. Jalan protokol itu hanya membawa setiap pengendara ke satu arah: Denpasar.

"Beachwalk," balas Dhira sambil sesekali mengawasi spion.

"Buat apa ke sana?"

Pendek Dhira menyahut. "Bertemu seseorang."

"Siapa, Pak?"

"Orang yang dulu memberitahu Bapak tentang Nagapuspa."

Haricatra tak menyahut lagi. Dia tahu Gunung Sanghyang dan di mana Abirama menyembunyikan hutan Nagapuspa, tetapi dia samasekali tidak tahu tempat bernama Beachwalk. Yang jelas, tempat itu ada di sisi selatan pulau, tiga jam dari Singaraja, terselip anggun di antara ratusan bangunan mewah bertingkat empat di jalan antah-berantah.

***

Lumayan lama anak itu terlelap. Tatkala matanya terbuka, di seberang jalan besar terhampar pantai Kuta yang fenomenal, penuh turis berjemur santai. Di sana orang-orang menghabiskan waktu dan uang, berkamoflase dalam realitas mewah yang palsu. Beberapa orang tak akan kekurangan uang bahkan jika berbelanja ke sana setiap hari, namun beberapa yang lain mungkin ke sana hanya untuk diakui sebagai orang berada. Jika saja prestise sirna, manusia akan kembali ke tabiatnya yang waras, sembuh dari sakit gilanya akan harta dan tahta.

Mereka keluar di lantai tiga setelah memarkir mobil di basement dan naik lift yang AC-nya sedingin kulkas. Wajah Haricatra serba tanggung. Segerombolan anak seusianya memadati ambang pintu kaca di sisi kiri, menatap ponsel sambil terkekeh-kekeh. Salah seorang anak tak sengaja menatapnya dengan aneh. Buru-buru Haricatra melihat ke arah lain.

Setelah melewati puluhan gerai, artshop, distro kelas internasional dan berbagai sentra makanan, mereka berhenti di depan sebuah gerai antik. Nyaris saja Haricatra menabrak punggung ayahnya sendiri. Matanya sibuk melirik kesana-kemari, terpikat pada orang-orang yang duduk di bawah kubah lantai empat yang tampaknya sejuk. Lagaknya masih tetap kelihatan canggung meski dia telah berusaha tampak sesantai mungkin.

Gerai itu punya jendela kaca memanjang setinggi pinggang orang dewasa, dipenuhi berbagai benda antik yang aneh. Lukisan-lukisan dan topeng-topeng kayu berjajar di display bagian kiri, sementara benda-benda antik berupa tongkat, belati, sampai manekin berpakaian ninja menyeringai tanpa ekspresi di jendela kanan.

Dhira membuka pintu kaca, mendorongnya lebar-lebar. Gerai itu kelihatan sepi-sepi saja. Bau kayu manis dicampur cengkeh yang hangat menyapa lembut. Hidung Haricatra nyaman dibuatnya. Ada berbagai kerajinan tangan di lemari bagian kiri. Di kanan, benda-benda antik yang fungsinya tak bisa dijelaskan berderet memenuhi ruangan. Di dinding bagian atas terpampang sederet tulisan besar yang menyita perhatian: PURNAMI'S ANTIQUES,—berbahan kayu-kayuan dan dedaunan yang dicat eksotis. Lumayan naturalis.

Langsung Dhira menerobos deretan lemari berisi benda-benda antik, jam besar dari abad kesembilan belas, dan segala pernik-pernik antik lainnya. Pria itu berhenti di depan pintu cokelat tua yang tertutup rapat, lengkap dengan ruas kaca bertirai jingga yang bisa dipakai mengintip tamu sebelum disapa. Walaupun pintu itu selalu tertutup, orang bisa tahu apakah penunggu gerai itu masih rela menerima pengunjung atau tidak dari kata OPEN dan CLOSED merah besar yang bisa dibolak-balik di bagian kaca pintu bagian dalam.

Bel ditekan Dhira. Ada suara ding-dong yang sayup. Hari itu dia tidak datang sebagai pengunjung. Apa pun tulisan yang terpampang di pintu tak akan dipedulikannya.

Tak ada reaksi.

Sekali lagi bel dipencet. Suara ding-dong bertahan cukup lama di balik pintu. Mungkin si empunya gerai sedang ketiduran.

Dhira melirik jam tangannya. Pukul empat sore. Jarum panjang nyaris lewat di angka satu. Kakinya sudah tak bisa diajak kompromi, berdebam tak sabar di balik sepatu kets putih.

Nyaris saja Dhira menekan sekali lagi tombol bel sebelum suara sapaan tiba-tiba menghentikan niatnya.

"Tunggu sebentar!" pekik seseorang dari dalam. Kedengaran parau namun kencang. Bel itu rupanya sanggup menghalau rasa malas yang tengah merasuki dengkul tuan toko. Haricatra bisa mendengar suara itu dengan cukup jelas walaupun teralang pintu yang tertutup rapat.

"Aku sudah tua. Sabar sedikit!"

Dhira mengambil napas panjang. Akhirnya. Sambutan yang benar-benar tak ramah namun bisa membuyarkan semua beban di kepalanya.

Tirai di kaca pintu tersibak sedikit. Separuh wajah tua mengintip. Matanya memicing keriput, menaruh tatapan curiga. Sejurus kemudian, wajah itu tersentak kaget.

"Terberkatilah masa tuaku!" jeritnya dari dalam, lalu tergesa-gesa memutar-mutar gagang pintu. Suara kunci diputar bergemerutuk, gagang pintu bergerak-gerak. Ada suara tawa yang tulus dan lepas berbarengan dengan daun pintu yang terbuka dengan lebar.

Dan Haricatra pun ternganga.

Sedan dan sejenisnya.

Continue Reading

You'll Also Like

8.5M 1M 56
Resa Maundya Putri, gadis yang tewas usai terjatuh dari wahana rollercoaster, bukannya berakhir ke akhirat jiwa nya malah bertransmigrasi ke tubuh to...
3.6M 442K 63
[TAMAT - LENGKAP] Demeter Ceysa Crusader, seorang model juga ceo brand terkenal di kota A. ia mengalami kecelakaan hingga membuatnya koma 3 tahun. sa...
35.6K 3.6K 46
Terbit Januari 2022! Untuk pemesanan, isi formulir di bit.ly/novelharicatra Jika bisa kamu temukan Nagapuspa, lotus emas yang tumbuh di atas batu dan...
5.9M 529K 66
WARNING!!! Fantasy - Romance. #1 in World ใ€Š22 desember 2020ใ€‹ #1 in Warewolf ใ€Š22 desember 2020ใ€‹ #1 in Devil ใ€Š28 desember 2020ใ€‹ #1 in Human ใ€Š28 desemb...