Grow Up [ ✓ ]

By HwangLuv

553K 68.2K 18K

[ Telah dibukukan. ] ❝You did well, Hyunjin-ah...❞ Sepanjang Hyunjin melewati mereka, dia dihormati. Dia diha... More

01. Memory
02. Am i fine?
03. I'm sorry, I can't..
04. Bleedin'
05. I'm Scared
06. Hematoma
07. Family Goals
09. Hallway
10. Not that Easy
11. Going Over
12. Re-
13. DrUNk
14. Back To 2009
15. Tears
16. Selfish
17. So?
18. Again
19. The Final
20. Suicide?
21. Return
22. HAPPY BIRTHDAY HWANG JANIM! <3
23. The Bells of Happiness
24. Kang Sowoon
25. ACCIDENT!
26. End
27. Tears.2
28. Sweet Scars
29. After All
30. SINGLE CONCERT : HI HYUNJIN!
Last but not Least
31. A Second Chance
day by day:: 2021.
GROW UP COMPLETED, other works?
OTHER NOVEL?
RESTOCK SEKARANG!

08. Secret Untold

15.3K 2.4K 291
By HwangLuv

•••

Satu bulan setelah menerima surat itu, hidup Hyunjin cukup terganggu. Meski tidak ada kejadian yang cukup berat. Hanya satu dua kali demam, itu pun tidak separah dulu.

Dia merasa tentram, tidak banyak beban pikiran. Bisa jadi hasil tes itu tidak benar, atau ada kesalahan. Atau mungkin dia sembuh alami dalam sekejap. Entahlah. Yang jelas, dia bisa melangsungkan comeback Yellow Wood dengan lancar.

"Hyunjin-ah!" Seseorang mengetuk pintu kamar Hyunjin yang sebetulnya sudah terbuka.

Dia sedang berbaring di atas kasur, memainkan ponselnya. Dengan airpod dan volume yang super besar. Akibatnya, dia tidak menyadari kehadiran orang lain di ruangan tempat tidurnya.

"Hyunjin, gue mau ngomong sama lo." Felix mendekati ranjang Hyunjin dan berdiri tepat di sampingnya. "Duduk!" perintah Felix. Hyunjin yang baru menyadari kehadiran Felix segera melepas benda yang menyumbat telinganya. "Apa?" tanyanya dengan raut datar.

Felix dan Hyunjin duduk berhadapan. Hyunjin merasa sedikit aneh karena Felix menatap matanya seserius itu. Dia juga tidak mengatakan apa pun. Hanya datang dan bertatap muka dengan Hyunjin. Tak tahu maksudnya untuk apa.

"Nggak jelas banget, lo!" Hyunjin kembali menggulingkan tubuhnya ke kasur.

Felix berjalan dengan rusuhnya ke luar. Lalu tak lama kembali dengan sebuah kaus di tangannya. Hyunjin terperanjat. Dia berdiri dan merebut bajunya dari tangan Felix.

"Gue nemuin baju itu di mesin cuci. Kenapa mesti lo gulung-gulung ditutupin pake baju lain segala? Baju lo warnanya putih. Gue tau itu bekas ketumpahan sesuatu yang warnanya merah darah."

"Berisik lo!"

"Lo mau ngomong baik-baik atau mau gue bongkar semuanya pake cara kasar?!" Felix, dengan suaranya yang dalam, kembali menjadi dark person yang menyeramkan.

Hyunjin melempar bajunya ke lantai. "Lo bener-bener nggak jelas, tau nggak? Tiba-tiba dateng terus nyolot dan bikin gue ikut emosi!" sentak Hyunjin.

"Gue cuman pengen lo cerita soal semuanya, udah, gitu doang. Gampang, kan?" pinta Felix.

Perasaan Hyunjin mulai tidak enak. Memang, baju yang dibawa Felix tadi adalah kaus yang ia pakai untuk menahan mimisan yang sempat terjadi tadi malam. Hyunjin sempat mencucinya dengan air biasa. Tapi belum bersih sepenuhnya.

Jadi dia menggulung beberapa pakaian untuk menutupi kaus itu. Namun Felix terlalu jeli. Hari ini dia hendak menyalakan mesin cuci, dan mendapati sesuatu yang membuatnya cukup penasaran.

"Gue harus cerita apa, sih?! Gue nggak ngerti apa-apa, oke?" Hyunjin mencoba menenangkan dirinya. Mencoba mengerti bahwa perilaku Felix memang emosian. Jadi dia tidak boleh ikut emosi meski tidak tahu apa-apa.

Felix mengancam Hyunjin lewat tatapan matanya. Hyunjin sebenarnya mengerti hal yang diinginkan Felix untuk diketahuinya. Tapi dia terlalu takut. Dia terlalu takut untuk jujur pada Felix tentang suatu hal yang di bumi ini hanya ia dan Tuhan yang tahu. Oh, dengan Mama dan Dokternya.

Beberapa detik berlalu, Felix akhirnya mengambil tindakan nekat.

"Semenjak lo punya buku itu, gue terus awasin lo. Lucu, gue tau lo orangnya males baca, kecuali ada sesuatu yang bikin lo terpaksa."

Felix yang merasa janggal dengan buku 'panduan kesehatan' yang selalu Hyunjin baca dan dibawanya ke mana-mana akhirnya angkat bicara.

Dia membuka laci sebelah ranjang. Mengeluarkan sebuah amplop coklat dan langsung dilemparnya ke lantai. Lalu mengeluarkan beberapa dokumen lainnya. Semuanya berhamburan di lantai. Benar-benar berantakan.

"Sebelum surat ini sampe ke Jeongin, gue udah lebih dulu baca. Gue nunggu lo jujur selama satu bulan ini tapi ternyata nggak sama sekali." Felix meninggikan nada bicaranya.

"Sumpah, lo selama ini cancer dan nggak pernah jujur sama siapa pun? Bitch, dude. Gue tau hampir tiap minggu lo di kasih surat panggilan dari rumah sakit buat cepet-cepet dateng ke sana. Lo mimisan setiap malem. Berapa banyak tisu yang udah lo habisin, Hyun? Gue capek liat lo kayak gini. Susah makan, sampai akhirnya anemia. Tapi gue juga tau lo nggak cuma anemia..." Felix kelelahan dalam menjelaskan tentang semua yang ingin dikatakannya pada Hyunjin.

Sedang Hyunjin hanya mematung. Dia ingin menangis. Demi apa pun, dia sebenarnya sudah tidak kuat menahan air yang menumpuk di pelupuk matanya.

"Setiap beres perform lo pasti sakit kepala. Iya, kan? Terus lo nggak pernah konsultasi ke dokter soal itu. Lo cuman bergantung sama ini." Felix mengangkat sebuah botol kecil berisi pil yang cukup banyak.

"Ini cuman pereda pusing, Hyun. Sampai kapan pun lo nggak akan pernah sembuh kalau cuman minum obat gini." Suaranya semakin pelan. Dia menyadari kalau Hyunjin sekarang sudah menangis. Entah apa yang ditangisinya. Rahasia yang sudah terbongkar, atau Felix terlalu kasar padanya.

PRAK!

Botol tadi dilempar Felix dengan keras, sampai pecah. Kaca berhamburan sampai ke bawah ranjang. Sekarang bukan hanya kertas-kertas, tapi juga pecahan kaca dan tablet obat. Hyunjin semakin menjadi. Meski dia tidak mengeluarkan suara ketika menangis, tapi pundaknya terus naik-turun.

"Gue bakal ngomong sama Chan-hyung. Gue nggak peduli pendapat lo. Gue mau aduin semua ini ke dia sebelum semuanya makin parah." Felix berbalik. Mengambil ancang-ancang untuk pergi. Namun tertahan di ambang pintu. Karena mendengar Hyunjin memanggil namanya pelan.

Lehernya menengok. Dia terkejut bukan main.

Hyunjin memegang sebuah pecahan kaca yang lumayan besar. Perlahan, dia menggoreskan kaca itu di atas pergelangan tangan kirinya. Tepat di atas urat nadi.

"Hyun." Felix berjalan mendekat. Tapi Hyunjin mundur menjauh.

"Stop, please," lirih Felix. Dia mulai panik dan ketakutan.

"Lo ngomong sama Chan, gue berakhir sekarang." Seolah dendam, Hyunjin menatap sinis ke arah Felix. Matanya memerah, bekas menangis tadi.

"O-oke, Hyun, gue nggak bakal ngomong. Tapi lo lempar benda tajem itu!"

Hyunjin melemparnya. Semudah itu dia kembali percaya pada Felix. Hyunjin selalu mudah percaya dan mudah memaafkan. Tak peduli berapa kali orang itu berbuat jahat padanya. Hatinya terlalu malaikat meski terkadang pikirannya seegois iblis.

Felix merendahkan tubuhnya. Mulai membereskan apa yang dibuatnya berantakan. Dimulai dengan mengumpulkan kembali dokumen-dokumen, lalu membereskan pecahan kaca. Hyunjin terduduk lemas di lantai. Sedikit tersedu-sedu.

Setelah semuanya benar-benar bersih, Felix membungkukkan tubuhnya di hadapan Hyunjin, meminta maaf yang sebesar-besarnya. "Aigoo mianhae," katanya pelan.

Seharusnya hal tadi tidak terjadi. Sepatutnya Felix meminta kejujuran Hyunjin tanpa memaksa. Atau tidak, biar waktu sendiri yang menjawabnya.

"Ayo ke dapur, lo harus minum air anget biar tenang," ajak Felix.

Hyunjin mengangguk. Mereka berdua keluar kamar. Hyunjin berjalan lebih dulu. Lebih depan beberapa langkah. Sesekali mengusap keningnya, dia pening karena menangis tadi.

Ketika baru menginjak keluar kamar, Hyunjin tersentak. Felix yang belum keluar segera menyusul. Dan mendapati Chan ada di sana.

"Oh.. gitu, ya, Hyun?" tanya Chan tiba-tiba.

"H-hyung," Hyunjin terbata-bata. Dia sangat takut Chan mendengar semuanya.

"Iya gue denger semuanya," tegas Chan. Membuat Hyunjin semakin kebingungan dan tidak tahu harus menjawab apa. Jangankan dia, Felix saja terkejut dengan kehadiran Chan yang tidak terduga-duga.

Chan menarik napas dalam. Lalu meninggalkan mereka berdua dengan tanda tanya besar.

"Gue ambil air minum dulu." Felix menepuk pundak Hyunjin. Kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air hangat. Sementara itu, Hyunjin menyusul Chan dengan setengah berlari.

Chan pergi ke kamarnya. Mengambil jaket dan mengenakan masker dengan terburu-buru. Ketika keluar kamar, dia kembali berpapasan dengan Hyunjin. "Mau ke mana, hyung?" tanya Hyunjin sedikit gugup.

"Ke mana lagi? Gue mau bilang sama manager, lah." Chan menghiraukan Hyunjin. Matanya yang baru saja menangis beberapa menit yang lalu kembali memerah. Dia lagi-lagi mengejar Chan yang hendak keluar asrama.

Minho, Woojin, Changbin, dan Seungmin sedang memakan snack sambil menonton drama di televisi. Sewaktu Chan melewati mereka dan disusul Hyunjin, keempatnya langsung beralih fokus dari televisi pada kedua manusia tadi.

"Nah-nah, kan, mulai lagi anjing sama kucing kejar-kejaran," gerutu Minho yang sangat tidak suka acara santainya di hari libur terganggu walau sedikit saja.

"Hyung, jangan." Hyunjin menarik tangan Chan yang sudah berada di luar asrama. Keadaan sedang terik. Matahari berada tepat di atas. Jalanan sepi. Tidak banyak orang lalu lalang.

"Semua yang Felix omongin, gue udah denger. Hyun, ini semua buat kebaikan lo. Mungkin manager punya cara supaya lo cepet sembuh. Oke, gue ngerti sakit lo nggak begitu parah sekarang. Tapi, bukan berarti bisa dibiarin gitu aja, kan?"

Hyunjin memaku seribu bahasa. Dia ingin menolak dengan cara apa pun. Tapi dia terlalu lemah. Imun di tubuhnya sedang tidak baik. Dia merasa sebagian tubuhnya mulai panas dan sebagian berubah sedingin kutub. Di saat seperti ini, Chan malah menambah beban pikiran baginya.

"Sore gue balik, janji. Nggak akan ada apa-apa, Hyun. Gue cuman ngomong doang." Chan melepas tangan Hyunjin. Menyuruhnya mundur, kemudian menutup pintunya.

Sang leader berjalan sendirian menyusuri jalanan. Sesekali ia menyeka air matanya yang turun tanpa diperintah. Chan tidak mau apa pun terjadi pada Hyunjin. Tadi, ketika dia mendengar ada suara yang cukup keras dari kamar sebelahnya, dia segera mengintip.

Dia menangkap Felix mengangkat tinggi-tinggi secarik dokumen yang kemudian di buangnya ke lantai. Chan mendengarkan semuanya. Dia mendengar Felix berbicara dengan lantang, dan Hyunjin balas membentaknya. Pertengkaran yang sebenarnya biasa terjadi, tapi tidak separah tadi.

Ponselnya bergetar. Chan merogoh saku. Felix menghubunginya. Tapi kemudian ia tolak panggilan tersebut. Tak lama, berganti Woojin yang menghubunginya, lalu Jisung, dan terakhir Jeongin. Setelah sampai di tempat di mana ia akan bertemu dengan manager, Chan mematikan ponsel. Tidak ingin ada yang mengganggu.

"Ya sudah, intinya saya segera harus ambil tindakan, Chan-ssi, begitu, kan?"

"Ya! Kita harus punya dokter pribadi, manager-nim."

"Kita bicarakan besok pagi. Ini larut malam. Kamu harus cepat pulang ke asrama atau member lain akan mulai mengamuk."

Chan menurut. Tak terasa, dia berbincang dengan manager sangat-sangat memakan waktu. Bukan hanya tentang Hyunjin memang. Mereka juga membicarakan tentang rencana masa depan dan urusan juga perkembangan member lainnya satu persatu.

Saat sedang dalam perjalanan menuju asrama, Chan menyalakan ponselnya. Ratusan pesan masuk dari semua member. Terakhir dan yang paling atas, ada pesan Kakaotalk dari Seungmin. Chan meneguk ludah. Dia mempercepat langkahnya. Bahkan benar-benar berlari kencang.

Seungmin mengirim foto. Foto abstrak yang membuat jantung Chan berdegup tak karuan. Seungmin mengambil foto ambulans yang terparkir di depan asrama. Meski sedikit buram, tapi masih bisa terlihat cukup jelas.

Sialnya adalah, ambulans itu sudah tidak ada ketika Chan sampai ke asrama. Ia menghubungi semua member, dan mereka mematikan ponselnya secara serentak. Membuat Chan terkurung sendirian, kebingungan, dihantui rasa bersalah.

•••

Continue Reading

You'll Also Like

187K 13.4K 80
Tiga pasang remaja yang di takdirkan menemukan bayi yang di takdirkan mengurus ke empat bayi karna suatu insiden dulunya bayi bayi itu di tempatkan...
597K 42.3K 49
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
114K 12.3K 80
"i'm broke and hopeless too." Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Love, penul...
1.6M 107K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...