Subtema : Bertepuk Sebelah Tangan
Kata orang, cinta adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidup.
Karena cinta menyatukan dua insan yang saling mencintai. Cinta melahirkan buah hati, membawanya ke dalam dunia yang penuh dengan cahaya. Cinta membawa kebahagiaan bagi semua orang.
Cinta adalah segalanya.
Namun, aku menentangnya.
Bagiku, cinta hanyalah sebatas kesalahan saraf pada otak manusia.
Cinta membutakan mata yang melihat, membohongi hati yang tahu kenyataan, menutup telinga yang dapat mendengar.
Cinta membuat seseorang menjadi bodoh.
Terlepas dari betapa indahnya cinta, cinta juga memiliki sisi gelap. Sisi yang membuat seseorang jatuh terputuk ke dalam keputus asaan.
Karena itu, aku takut jatuh cinta.
Aku menutup hatiku, aku tidak mau tersakiti. Aku memang terlalu pengecut.
Bangunan bercat putih dengan pagar hitam menjulang tinggi berdiri dengan gagah di hadapanku. Aku menghela napas, membuka gerbang tersebut hingga menghasilkan bunyi berdenyit yang sedikit memekakkan telinga. Tanpa ragu, kulangkahkan kakiku memasuki perkarangan rumah yang telah menjadi tempatku bernaung selama enam belas tahun hidupku.
Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak, aku berjalan memasuki rumah. Ruang tamu yang memiliki berbagai lorong adalah hal pertama yang menyapaku. Aku memasuki salah satu lorong menuju kamarku. Di sisi lorong tepat sebelum tangga menuju lantai dua, terlihat pintu kamar adikku terbuka lebar.
Keningku mengernyit. Karena pintu yang terbuka lebar, maka secara otomatis aku dapat melihat suasana di dalam kamar adikku.
"EXPLOSSION!" teriak Elin.
Aku tersentak pelan karena terkejut. Adikku bernama Liliana, atau biasa kupanggil Lili adalah anak introvert yang sangat menyukai menonton animasi asal Jepang. Dan saat ini dia tengah menonton anime bersama temannya yang bernama Elin. Kalau tidak salah kalimat yang Elin serukan tadi artinya "meledak", tapi aku juga tidak tahu, sih. Aku seperti pernah mendengarnya di suatu tempat.
Mereka tampak sedang asyik menonton serial anime dari laptop. Kamar Lili tampak berantakan sekali. Sangat banyak kertas HVS yang berserakan di lantai kamarnya. Kertas HVS memenuhi kamar Lili. Aku tak habis pikir, kok bisa ya mereka menonton tanpa merasa terganggu dengan keberadaan kertas-kertas itu?
Terkadang aku tidak mengerti hobi aneh Lili yang sangat suka mengoleksi kertas HVS.
Ah, atau mungkin alasannya karena 'hal itu'.
Lili bisa melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain. Mungkin, orang-orang saat ini menyebutnya sebagai indigo. Mungkin alasan Lili senang mengoleksi kertas HVS karena Lili bisa melukis wajah mereka yang tidak terlihat di sana.
"Eh, Kakak!" sapa Lili, sepertinya dia baru menyadari kehadiranku. "Ada apa, Kak?"
"Halo Kak Heny!" Elin menyapaku.
"Eh, nggak," aku menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Tadi Kakak lihat pintu kamarmu terbuka. Kakak kira ada apa."
"Eh, terbuka lagi?" Lili menoleh ke udara kosong di sisi kiri tubuhnya. "Ini ulah kamu, ya? Ih, dasar usil!"
"Harusnya kalau dia nakal, usir saja, Li," timpal Elin. Elin memang satu-satunya teman Lili yang tidak takut terhadap hantu. Itu mengapa mereka bisa berteman dekat.
Lili mulai mengomeli udara kosong, yang kuyakini sebenarnya ada 'seseorang' di sana.
Meskipun sudah sering, namun tetap saja melihat Lili yang sedang berbicara dengan udara kosong itu aneh. Entah mengapa aku tidak pernah bisa terbiasa melihatnya.
"Maaf ya, Kak. Ini nih, temanku hobi sekali membuka-tutup pintu kamar."
"Iya, nggak pa-pa," Aku meraih gagang pintu kamar Lili. "Kakak tutup, ya."
"Iya, Kak. Makasih!"
Setelah menutup pintu kamar Lili, aku segera berjalan menaiki tangga, menuju kamarku yang terletak di lantai dua.
Sesampainya di kamar, aku justru dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang sangat mengejutkanku.
Padahal aku berencana ingin tidur seharian, tapi rencanaku gagal begitu aku mendapati seorang lelaki yang menggenakan kemeja putih dengan celana putih berdiri tepat di tengah-tengah kamar.
Wajahku tertekuk. "Siapa kamu?" tanyaku. Aku sudah memasang kuda-kuda, waspada jika laki-laki itu berbahaya. Bisa saja dia maling, 'kan? Lagipula, kok bisa sih orang itu bisa masuk ke dalam kamarku?
Lelaki itu menatap lurus kepadaku, sorot matanya begitu hampa seakan tidak memiliki semangat hidup. Alih-alih menjawab pertanyaanku, lelaki itu justru balas bertanya, "Kamu tidak takut padaku?"
"Kenapa harus takut?" aku menaikkan dagu, menantang. "Selama kamu manusia, aku tidak takut! Kamu mau apa, hah? Maling ya?!"
"Bukan," lelaki itu menggeleng. Rambut hitamnya sedikit bergerak karena terkena angin yang berhembus masuk lewat jendela yang terbuka. "Aku bukan maling."
Sebenarnya, aku sedikit mempercayai omongannya, sih. Mana ada maling yang berpakaian bergitu rapi sepertinya? Lagipula, wajahnya terlalu tampan untuk ukuran maling. Tapi, tentu saja aku tidak bisa percaya semudah itu. "Jangan bohong!" bentakku. "Mana ada maling mau mengaku? Kalau begitu, penjara bisa penuh!"
"Tidak ada gunanya berbohong."
"Manusia itu makhluk yang penuh dengan kebohongan. Mustahil kamu tida berbohong!"
"Aku bukan manusia," perkataan yang meluncur dari mulut lelaki itu membuatku tersumpal. "Aku ... hantu."
Loading ...
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Kutatap sosok lelaki itu dengan seksama. Benar juga, jika kuperhatikan, kaki lelaki itu tidak memijak ke atas lantai.
Wajahku memucat seketika.
Hanya dalam waktu seperkian detik, aku sudah membanting pintu dan kabur dari kamarku, tergopoh-gopoh menuruni anak tangga. "LILI! LILI!! TOLOOOONG!!" Aku menggedor-gedor pintu kamar Lili dengan panik.
Lili membuka pintu, menatapku heran. "Kenapa sih, Kak?"
"D-DI KAMAR KAKAK ADA HANTU!" jelasku cepat. "TOLONG USIR HANTUNYA!!"
Kupikir Lili akan panik dan langsung membantuku. Nyatanya, Lili hanya menatapku datar, terlalu tenang. "Kak, aku hanya bisa melihat hantu. Aku tidak bisa mengusir hantu. Usir saja sendiri lah. Menggangguku menonton anime saja."
Brak!
Klik!
Lili kembali menutup pintu kamarnya, ditambah dia mengunci pintunya.
Aku terpatung, melotot tak percaya.
Dasar adik laknat!
Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku harus mengusir hantu itu sendirian.
Dengan ragu, aku mulai menaiki anak tangga demi anak tangga, melangkah pelan hingga aku telah tiba di depan pintu kamarku. Tanganku yang bergetar memutar kenop pintu, lalu mendorongnya.
"Heleh, dasar penakut," cibir hantu lelaki itu begitu aku sudah sepenuhnya membuka pintu kamar. Lelaki itu tampak sedang sibuk melihat-lihat koleksi album mafu-mafu milikku yang kuletakkan dengan rapi di atas meja belajar.
Aku mendengus kesal, melangkah memasuki kamar dengan sok berani padahal dalam hati aku takut setengah mati. "Kamu siapa, sih? Keluar dari kamarku!" usirku kasar.
Lelaki itu melirikku sekilas. "Aku Bayu."
"Aku tidak pernah bertanya siapa namamu!"
"Tadi 'kan kamu bertanya 'siapa kamu' dan aku jawab 'aku Bayu'. Dimana letak kesalahanku?"
Aku mencoba mengatur emosiku yang mulai memuncak. Aku tidak percaya bahwa ada hantu semenyebalkan dirinya. "Ya sudah, Bayu, tolong pergi dari kamarku!"
"Tidak mau," jawab Bayu sekenanya.
Aku melotot. "Lho, kenapa?!"
"Aku tidak mau pergi sebelum kamu membantuku."
Aku terdiam, mencoba mencerna perkataan Bayu. "Kamu minta tolong sama aku?"
"Iya. Kau mau menolongku, 'kan?"
"Kalau aku tolong, kamu mau pergi?"
Bayu mengangguk. "Aku justru akan menghilang dari dimensi ini."
"Oke, setuju," sahutku cepat.
Bayu menatap datar. "Sebegitu inginnya ya kamu menginginkan aku menghilang."
"Iya lah! Siapa pula yang mau di kamarnya ada hantu? Menyebalkan pula!"
"Ya, terserahmu."
"Mau minta tolong apa?" Aku beranjak duduk di tepi ranjangku.
Bayu terdiam sejenak. "Sebelum itu, aku ingin bercerita sebentar."
"Bercerita saja, aku akan mendengarkan."
Bayu menatapku lamat-lamat. Entah mengapa, aku dapat merasakan ada kesedihan yang begitu mendalam tersirat dari sorot matanya. Begitu hampa. Seakan, dia telah merasakan hal yang paling menyedihkan di dunia.
Terlepas dari fakta bahwa dia adalah seorang hantu, tatapan mata Bayu begitu teduh. Ditambah rahangnya yang tegas dan hidungnya yang mancung, Bayu terlalu tampan untuk ukuran seorang hantu. Aku bahkan sempat melupakan fakta bahwa Bayu adalah hantu.
Jantungku berderu begitu cepat. Aku segera menepis semua pemikiran itu. Aku ini memikirkan apa, sih?! Ingat, Zeniel, dia itu hantu!
"Sebelum aku tewas dalam kecelakaan, aku sempat bertengkar dengan sahabatku," Bayu mulai bercerita. Dia menunduk, wajahnya penuh dengan rasa penyesalan. "Kami bertengkar karena hal kecil. Saat itu aku terlalu emosi dan pergi meninggalkannya. Namun saat di perjalanan, taxi yang kutumpangi justru terjatuh ke jurang. Sekarang, aku baru mengerti definisi dari menyesal."
Aku menatap prihatin. "Kamu boleh menangis, kok."
Bayu tertawa getir. "Aku ingin, tapi aku tidak bisa menangis. Rasanya menyesakkan."
Entah apa yang mendorongku untuk menepuk bahunya. Meskipun tanganku justru menembus tubuhnya.
Ah, aku tidak bisa menyentuh Bayu.
"Terima kasih sudah prihatin padaku. Yah, meskipun awal melihatku kamu justru kabur."
Aku mendesis. "Kamu menyindirku? Aku tidak mau membantu, nih?!"
"Eh, aku hanya bercanda!"
Aku menghela napas. "Ya sudah. Jadi intinya kamu mau bertemu dengan sahabatmu itu untuk terakhir kalinya?"
Bayu mengangguk. "Iya."
"Siapa namanya?"
"Namanya Farhan."
"Farhan apa?"
Bayu meringis. "Lupa."
Aku melotot. "FARHAN DI DUNIA INI BANYAK TAU!"
"Ya maaf, aku sudah mulai lupa tentang kehidupanku saat menjadi manusia," Bayu menggaruk kepalanya.
Aku menghela napas panjang, memijat keningku yang terasa hendak pecah. "Kamu benar-benar lupa? Keseluruhannya?"
"Hmm ...," Bayu memasang pose berpikir keras. "Kalau tidak salah, dia itu penulis. Dan nama penanya adalah ..."
"Kripik?" celetukku.
Bayu menjentikkan jarinya. "Iya! Eh, tunggu, bagaimana kamu tahu?"
"Si Kripik itu teman sekelasku, tahu!" seruku dengan semangat menggebu-gebu.
"Eh benarkah? Wah, kebetulan macam apa ini?" Air wajah Bayu berubah cerah. "Ini bagus, 'kan? Kita bisa bertemu Farhan secepatnya!"
Tiba-tiba, aku baru saja mengingat sesuatu. Aku menatap ragu. "Eng ... tapi Bay ..."
"Kenapa?"
"Kalau tidak salah, Farhan sedang ikut perkemahan yang mewakili sekolah. Dia baru akan kembali lusa."
Sesuai dugaanku, kecerahan lenyap begitu saja dari wajah Bayu. Lelaki itu mendesah frustasi. "Lama sekali."
"Tenang saja, lusa dia pasti akan kembali," aku mencoba menyemangati. "Selama itu, aku bisa mengajakmu berkeliling untuk menghilangkan bosan."
"Hmm ... mungkin itu ide yang bagus."
"Kalau begitu, mau sekarang? Selagi jam masih menunjukkan pukul tiga sore."
"Ayo."
Rasa lelah selepas pulang sekolah menguap seketika. Aku dan Bayu bersama-sama pergi ke luar rumah, berkeliling Kota untuk melakukan apa saja.
Bayu ternyata anak yang cukup menyenangkan untuk diajak bicara. Kami membicarakan banyak hal, seperti misalkan Bayu yang ternyata dulu sangat handal dalam hal memasak.
Kami berhenti sementara di depan kedai yang menjual makanan karena perutku berbunyi minta diisi sesuatu. Aku berpikir sejenak. "Sepertinya makan donat enak, deh."
"Makan kripik saja," usul Bayu.
Aku mendelik. "Donat lebih enak, tahu!"
"Kripik lebih enak! Gurih dan garing! Sangat cocok untuk bahan cemilan."
"Apaan sih, donat lebih enak! Manis, kayak aku!"
"Kripik!"
"Donat!"
"Kripik!"
Dan jadilah kami berdebat mengenai lebih enak donat atau kripik. Pada akhirnya, aku lebih memilih membeli ayam geprek.
Setelah mengisi perut, kami kembali jalan-jalan berdua. Kami mampir ke Bioskop untuk menonton film horor. Karena Bayu adalah hantu dan tidak terlihat, maka aku hanya perlu membeli satu tiket.
Rasanya lucu melihat hantu menonton film horor. Ironis sekali.
Sebenarnya, ini pertama kalinya aku jalan dengan anak laki-laki. Aku adalah gadis dingin yang takut jatuh cinta. Namun sejak bertemu Bayu, perasaanku yang beku mulai luluh.
Aku nyaman saat bersama Bayu. Ini kenyamanan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Tak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat. Akhirnya, lusapun telah tiba. Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan yang campur aduk.
Sebelum berangkat sekolah, Lili sempat mengejekku, "Wah, Kakak udah akrab nih ya dengan 'seseorang'."
"Ck, berisik."
Sedangkan Bayu yang ada di sebelahku hanya mengulum senyum.
Kami berdua berangkat ke sekolah, di sepanjang perjalanan Bayu berbicara seperti biasanya, mengajakku mengobrol. Aku meladeninya, tertawa lepas, meskipun dalam hati aku terus mencemaskan sesuatu.
Sesampainya di kelas, kelas sudah sangat ramai. Jadi, tidak mungkin aku mempertemukan Farhan dengan Bayu sekarang. Maka, aku mendatangi meja Farhan. "Far, nanti sepulang sekolah kita bisa bicara?" tanyaku serius.
Farhan yang sedang sibuk mengetik di depan laptopnya mendongak. "Eh? Bisa. Ada apa?"
"Ada sesuatu yang harus kukatakan."
"Zeniel mau nembak Farhan ya?" celetuk Rehan--teman sekelasku yang kebetulan duduk di sebelah Farhan.
Aku refleks menatapnya tajam. "Berisik! Jangan sok tahu!"
"Tahu nih, Rehan," Kripik mencibir. "Aku 'kan sudah punya Fuyu, untuk apa mencari pacar lagi?"
"Yah, intinya nanti pulang sekolah jangan lupa. Aku tunggu di Taman belakang sekolah, ya," pintaku, kemudian aku beranjak duduk ke kursiku.
Bayu masih berdiri di hadapan Kripik, menatap lamat. Aku tidak mengerti mengapa hanya aku yang bisa melihat Bayu, sedangkan yang lain tidak. Mungkin, karena aku adalah kakak dari seorang anak indigo? Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi, aku pernah bertanya kepada Bayu mengenai hal ini. Kata Bayu, dia hanya menunjukkan dirinya kepadaku, dan itu akan menguras energinya. Dia bisa saja menunjukkan sosoknya ke orang lain, namun entah mengapa dia justru memilihku.
Aku tidak mau mengakuinya, tapi hal itu membuatku ge-er sendiri!
Proses belajar mengajar berlangsung. Bu Milkita--wali kelasku--melangkah memasuki kelas. Para anak lelaki refleks menegakkan tubuhnya, mencoba fokus.
Bu Milkita memang masih muda dan sangat cantik. Tidak heran para anak lelaki di kelasku banyak yang memujinya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Milkita sambil tersenyum.
"Selamat pagi, Bu!" balas kami, tentunya suara para anak lelaki paling keras.
"Bu, Bu!" Rehan mengangkat tangan. "Bu, saya mau nanya, boleh nggak?"
Bu Milkita tersenyum. "Boleh, mau nanya apa, Rehan?"
"Jam 07:00 AM itu pagi atau malam, Bu?"
"Pagi, Rehan."
"Pagi juga Bu guru," balas Rehan, tak lupa sambil menaik turunkan alisnya.
Anak sekelas sontak berseru heboh. Bu Milkita hanya tersenyum akan tingkah anak muridnya.
"Saya nanya lagi boleh nggak Bu?" tanya Rehan. Sebelum Bu Milkita memperbolehkan, Rehan sudah lebih dulu bertanya, "Ibu tahu perbedaan sejarah sama Ibu nggak?"
Bu Milkita tampak berpikir sesaat. "Nggak, memangnya kenapa?"
"Kalau sejarah diciptakan Tuhan untuk masa lalu. Kalau Ibu diciptakan Tuhan untuk masa depan saya."
Kelas semakin menjadi-jadi, heboh tak karuan seperti pasar malam. Bu Milkita tersenyum, namun kali ini senyumnya tampak kelam. "Rehan," panggil Bu Milkita.
"Iya Bu?"
"Kamu diam atau mau Ibu santet?" tanya Bu Milkita, dengan senyum manis tentunya.
Rehan terdiam, kelas seketika menjadi hening.
Wah, jurus santet Bu Milkita sudah keluar. Sasuga Milkita-sensei.
Proses ajar mengajar berlangsung. Tanpa kusadari, bel pulang sudah berbunyi. Waktu berjalan begitu cepat, di saat aku berharap waktu terhenti.
Sesuai perjanjian, Farhan menemuiku setelah pulang sekolah di Taman belakang. Tubuhku menegang. Hal yang paling kucemasi telah tiba.
"Ada apa, Zeniel? Kok tumben memanggilku?" tanya Farhan bingung.
Aku terdiam sesaat, lalu dengan suara serak berkata, "Ada sahabatmu yang ingin bertemu ... untuk terakhir kalinya."
Farhan menatap tidak mengerti. "Sahabat? Siapa?"
"Aku."
Farhan refleks menoleh. Pupil matanya mengecil karena terkejut. Dia menatap tak percaya sosok Bayu yang kini berdiri di sampingku. "Ba-Bayu?!"
"Hai, kawan," Bayu tersenyum. "Lama tak bertemu."
Farhan menggepalkan tangannya, rahangnya menggertak. "Bego! Dasar Bayu bego! Kamu tahu tidak sih rasanya ditinggal sahabat sendiri?!" betak Farhan dengan emosi menggebu-gebu.
Bayu tersenyum. "Kamu nggak pernah berubah, ya. Selalu saja emosian."
"Yang emosian itu kamu, tahu!" Mata Farhan memanas, bulir-bulir bening mulai mengepul di pelupuk matanya. "Kenapa kamu pakai acara ngambek segala, sih?! Lihat nih akibatnya!"
"Maaf," Bayu menunduk, begitu menyesal. "Ini salahku. Aku minta maaf Far, atas semua kesalahanku. Selamanya, kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak akan pernah melupakanmu."
"Bego!" Farhan menutup matanya menggunalan siku tangannya. Mencoba menyumbat air mata yang berdesakkan keluar. "Tentu saja aku akan memaafkanmu, dasar Bayu bego!"
Bayu tersenyum. Tubuhnya mulai tampak transpara.
Ah, ini dia hal yang kutakutkan. Akhirnya terjadi juga.
"Bayu, tunggu!" aku mencegat sebelum Bayu pergi ke tempat yang seharusnya. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan!" seruku.
"Ya?" Bayu menatapku lembut.
"Aku ... menyukaimu!" Aku mulai menangis. "Tolong jangan pergi. Aku nyaman saat berada bersamamu."
Bayu tersenyum hangat. "Maaf, Zeniel. Sejak awal, aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapmu. Tapi terima kasih telah memiliki perasaan terhadapku. Aku senang mengetahuinya." Perlahan, tubuh Bayu mulai menghilang. Bayu tersenyum, untuk yang terakhir kalinya. "Terima kasih, dan selamat tinggal."
Kini, sosok Bayu telah menghilang sepenuhnya, jauh pergi ke tempat yang lebih tinggi.
Aku jatuh terduduk, terisak dalam diam.
Aku tak menyangka bahwa cinta pertamaku adalah Bayu.
Dan cinta pertamaku, bertepuk sebelah tangan.
***END***
A/N
Ini fiksi ya, Vara cuman minjem nama. Bayu-nii masih sehat sentosa kok :v
Ampuni Vara~
/kaboor.
Penulis
VaraUser