"Sambelnya dong, Dell." Evan menunjuk semangkuk kecil berisi sambel yang terletak di dekat minumanku.
" Nyoh!" Aku mendorong mangkuk sambal itu ke arah Evan.
" Thanks!"
Aku kembali menyeruput kuah bakso. Saat ini kami sedang makan di kantin perusahaan untuk makan siang. Yang aku suka dari kantin perusahaan, meski tempatnya tak terlalu lebar, namun menu yang tersedia cukup bervariasi. Jadi kalau lagi malas keluar, bisa makan siang di kantin karena menunya yang nggak itu-itu aja. Hari ini hari pertama Evan bekerja, jadi sekalian aku mengajaknya untuk lebih tahu tentang fasilitas kantor.
" Eh Dell, kamu tahu nggak, Irma sam Fatih mau nikah?"
" Irma sama Fatih? Seriussss?" Mataku mendelik tak percaya.
Irma sama Fatih itu temen satu KKN kami juga. Namun dari yang terakhir aku dengar dari Evi -teman KKN yang lain- mereka putus.
" Iya, Fatih whatsapp aku beberapa waktu lalu."
" Kok belum rame di grup?"
" Belum berani bilang, kali." Evan mengedikkan bahu.
" Ya bagus lah, kita bisa kondangan sekaligus reunian. Udah kangen banget sama mereka."
" Kita kondangan bareng ya, Dell?"
" Ntar menimbulkan 'polemik' lagi, gimana?"
" Siapa yang peduli? Sama mereka ini." Aku dan Evan tertawa.
Kalian yang pernah ngerasain KKN pasti tahu bagaiamana kedekatan anggota satu kelompok, tapi dengan catatan kalau kelompoknya akur-akur aja. Dan kelompokku termasuk yang harmmonis. Kami bersepuluh sangat dekat dan sudah berasa seperti keluarga. Bayangkan, dari bangun tidur sampai tidur lagi kami habiskan bersama di posko. Meski cek-cok kecil pernah terjadi, tapi itu tidak membuat kami jadi saling membenci satu sama lain. Justru setelah KKN selesai, kami menjadi lebih dekat. Hanya saja, satu tahun terakhir ini kami agak kurang komunikasi karena masing-masing dari kami mulai sibuk.
" Gigimu Dell, ada cabenya."
" Eh masak?" Aku reflek meraih ponselku lalu meringis. Begitu tak menemukan apapun di gigiku, aku melirik Evan tajam.
" Ngerjain ya?"
" Kangen tau Dell, liat kamu marah-marah sambil ngomel nggak jelas. Apalagi dulu kalau kamu tahu kami anak cowok lupa nyuci piring."
Aku diam.
Please Van, jangan bikin aku oleng lagi!
" Paan sih!"
" Buruan habisin baksonya."Evan mengusap kepalaku.
" Rambutku berantakan Van!" Evan hanya tersenyum dan mengedikkan bahu.
Sekitar lima menit kemudian, aku dan Evan menuju kasir untuk membayar makan.
" Aku yang traktir." Evan menahan tanganku dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke petugas kasir.
" Nggak usah Van,"
" Nggak usah lebay Dell, aku cuma mau nraktir senior."
" Preeet!"
Evan mengacak rambutku lagi.
" Van! Ramburku rusak!" Aku menggeram sementara Evan malah tertawa.
Setelah menerima kembalian, Aku dan Evan berjalan beriringan kembali menuju ruangan kami.
" Ciaelaaaah! Kencan teroooosss!" goda Reno tepat ketika aku dan Evan masuk ruangan.
" Della teman saya mas, jangan salah paham." Balas Evan.
" Panggil Reno aja, aku belum setua itu. Dan juga, nggak usah terlalu formal."
" Oh iya."
Aku kembali menuju mejaku dan Leni menatapku sinis. Sinis di sini jangan bayangkan sinis yang menyeramkan ya, Leni mana bisa sinis beneran sama aku.
" Baru hari pertama dia kerja, kalian udah go public aja Dell? Ckck!"
" Yaelah go public apanya sih? Dia temenku, aku cuma nemenin dia makan siang."
" Serah deh. Berarti kalau kamu sama Evan, Pak Razan buat aku ya Dell?"
" Hah? Maksudnya? Ya sana, kamu mau Evan atau Pak Razan bukan urusanku."
" Ah yang bener?"
" Iya lah!"
Ngomong-ngomong Pak Razan, dia kenapa betah banget di dalam ya? Dari tadi setelah dia banting pintu, aku belum melihatnya keluar.
" Emangnya kamu tega selingkuhin yayangmu yang di pekalongan itu?" Lanjutku.
" Ya enggak sih, hehe. Buat cuci mata aja." Leni nyengir sementara aku memutar bola mata malas.
Aku kembali melirik pintu yang masih tertutup rapat sejak tadi pagi. Seharian ini aku belum lihat wajahnya.
" Len, aku mau bawa laporan ini masuk ya, Pak razan di dalem kan?"
" Kayaknya sih masih di dalem dari tadi pagi. Aku belum liat dia keluar."
Kok horor ya? Jangan-jangan dia pingsan di dalam?
Tok tok tok!
Aku mengetuk pintu lalu membukanya perlahan.
" Pak?"
" Hm."
Beneran ada di dalam, orangnya.
" Saya mau menyerahkan laporan yang kemarin."
" Taruh di meja."
Nada suaranya benar-benar datar, bahkan terkesan dingin. Apa dia masih kurang sehat?
" Bapak udah sembuh?" tanyaku begitu berdiri di depannya.
" Hm."
" Buburnya dimakan, kan pak?"
Aku mundur satu langkah ketika Pak Razan mendongak dan menatapku dengan alis terangkat.
" Oh itu, terima kasih." Dia kembali menunduk menatap kertas laporan di depannya.
" Sama-sama pak."
Hening. Kok jadi canggung gini sih?
" Masih ada perlu?"
" Eh gimana pak?"
" Kalau udah selesai, kamu boleh keluar."
" I-iya pak."
Sebelumm keluar, aku sempat meliriknya sejenak. Ini orang satu gampang banget sikapnya berubah. Sehari keliatan ramah, besok udah judes lagi. Gitu terus sampai kucing melahirkan ular.
***
" Duluan ya Dell, Van." Reno mengambil tasnya lalu pamit bergi.
" Iya, hati-hati."
" Iya."
Sekarang di ruangan tinggal aku sama Evan aja. Sama sepertiku, Evan juga sedang berkemas.
" Biasa pulang naik apa Dell?"
" Gimana Van?"
" Pulang naik apa?"
" Aku biasa naik motor. Masih sama kaya jaman kuliah dulu."
" Nggak minta mobil sama orang tua?"
" Nggak lah, mending uangnya buat yang lain. Satu mobil di rumah, udah cukup."
" Lain kali aku jemput ya Dell, biar pulangnya aku anterin juga. Aku bawa mobil."
" Kemana motor ninjamu?"
" Dijual, buat beli mobil." Evan terkekeh.
" Mana cukup?"
" Ya aku nambahin sisanya. Gimana Dell? Mau ya, sekali-kali aku jemput? Rumah kita juga searah kan?"
" Yakin? Ntar aku ngrepotin, lagi?"
" Nggak papa, direpotin kamu aku nggak rugi, malah seneng."
" To the point banget ya masnya?" Aku hanya geleng-geleng kepala.
Asli, ada nggak sih, cowok yang lebih terus terang dari Evan? Di hari pertama kami bertemu setelah beberapa tahun, dia langsung terang-terangan menunjukkan kalau dia masih menaruh hati padaku. Selama ini kami hampir tidak penah saling balas pesan kecuali di grup.
" Lebih cepat lebih baik, mbaknya. Kebanyakan basa-basi udah basi. Ingat umur." Evan tertawa.
Ngomong-ngomong umur, aku sama Evan beda hampir dua tahun. Dulu aku masuk sekolahnya kecepetan, dan Evan sepertinya masuk sekolahnya telat.
" Nggak takut emang, misal sekarang ada yang marah kalau kamu deketin aku?"
Evan terdiam. Dia menatapku lurus dan aku balik menatapnya.
" Eee, kamu-" Evan menjeda kalimatnya.
" Aku apa?"
" Kok aku oon ya, nggak kepikiran sampai sana. Kamu udah ada yang punya ya Dell?"
" Tadinya udah, sekarang---"
" Ardella!"
Aku hampir terlonjak mendengar namaku di panggil sekeras itu.
" I-iya pak?" Bahkan suaraku jadi bergetar karena saking kagetnya. Aku melihat Pak Razan berdiri di ambang pintu sambil menatapku tajam.
" Ada apa ya pak?"
" Laporanmu yang tadi masih ada typo. Segera perbaiki, saya tunggu hari ini."
" Hah? Hari ini?!"
Aku melotot tak terima. Ini udah saatnya jam pulang dan dia mulai semena-mena lagi? Minta kupotong burungnya, kali ya?!
" Iya, hari ini."
" Nggak bisa gitu dong pak, ini udah jam pulang. Gimana kalau besok pagi jam delapan?" Aku mencoba menawar.
" Saya maunya hari ini!"
Aku meremas kertas yang ada di depanku menahan marah.
" Dell, aku pulang dulu ya." Tiba-tiba Evan sudah berdiri di depanku. Dia menatapku prihatin dan aku hanya bisa mengangguk.
" Hati-hati van,"
Setelah Evan pergi, aku menoleh dan menatap Pak Razan tajam. Rasanya pengen aku tinju wajahnya sampai bonyok.
" Mana laporan saya pak? Biar saya segera perbaiki terus bisa pulang."
" Di dalam."
Aku menghentakkan kaki kesal melewatinya lalu mengambil laporanku yang ada di atas meja.
" Laporan saya salah dimananya ya pak?"
" Ada dua typo di halaman lima."
" Cuma ini pak? "
" Iya."
Demi jambulnya upin dan ayam gorengnya ipin, pengen banget kujambak rambut Pak Razan saat ini juga. Lama-lama segala tindak kejahatan timbul diotakku. Tadi pengen nonjok, sekarang pengen jambak. Besok apa lagi?
Please ya, typoku di halaman lima yang dia lingkari cuma 'yang' aku tulis 'yg' dan 'lebih' aku tulih 'lbih'. Bahkan typo macam begini nggak diedit nggak masalah. Kata Mas Doni dulu, asal typonya bukan nominal angka, masih bisa di toleran.
" Pak," Aku berjelan mendekat ke arahnya sambil tersenyum. senyum yang aku buat seramah mungkin.
Serius, aku nggak mau kehilangan lebih banyak waktu istirahatku gara-gara typo nggak penting itu. Laporan ini nggak akan dilaporkan ke pengamat EYD, cuma buat arsip. Dan typo seperti itu sama sekali nggak penting. Toh orang yang baca otomatis sudah paham meski itu typo. Memang beda lagi, kalau typonya berupa titik dan koma di bagian nominal biaya. Kalau itu bisa super fatal.
" Hm?"
" Pak Razan yang baik hatinya, yang gantengnya mirip Ji Chang Wook, boleh nggak kalau---"
" Stop! Ji Chang Wook siapa?" Alis Pak Razan berkerut.
" Aktor korea pak. Ganteng banget asli, badannya bagus, suka main drama genre action, terus kalau sama cewek romantis banget. Duh, roti sobeknya bikin--- aw!" Aku meringis ketika dahiku disentil cukup kuat.
" Saya nggak peduli sama Jiwok-jiwok mu itu."
" Ji Chang Wook, bapak." Aku buru-buru meralatnya.
" Siapapun itu, saya nggak mau tahu. Cepet diedit, saya tunggu." Pak Razan baru akan balik badan ketika kutarik lengan kemejanya.
" Apa lagi, Dell?"
" Ya ampun pak, saya janji edit ini besok. Sekarang udah saatnya pulang. Belum lagi saya harus nyalain laptop lagi, printer juga, lama pak." Aku memasang wajah paling melas yang aku bisa. Ternyata Pak Razan nggak mempan aku gombalin.
" Tuh komputer saya masih menyala." Dia menunjuk komputer dengan dagunya.
" Aduh pak, nggak baik atuh, laki-laki sama perempuan di ruangan tertutup, padahal udah hampir malem begini. Udah gitu nggak ada orang lagi. Nanti kalau ada setan lewat, bisa berabe pak."
" Oh ya? Memangnya kalau ada setan lewat, apa yang kamu takutkan?" Wajahku condong kebelakang ketika wajah Pak Razan tiba-tiba mendekat.
" Nanti bisa terjadi yang iya-iya, bapak." Cicitku sambil meringis.
" Seperti?" Kepalaku semakin mundur ketika wajahnya semakin maju.
" Pak!"
Aku memejamkan mata erat-erat. Detik berikutnya aku merasakan ada yang kosong. Ketika aku membuka mata, Pak Razan sudah tidak ada di depanku.
Kemana dia?
" Kamu boleh pulang. Saya cuma bercanda tadi." Ucapnya begitu kembali berdiri di depanku.
Apa katanya? Bercanda? What the---
" Mau tetap disitu?" Aku menoleh ketika Pak Razan sudah berjalan keluar. Praktis aku meletakkan laporan di atas meja lalu menyambar tas.
Orang ini benar-benar---!
" Lama-lama kupotong juga burungnya!" Aku mulai ngedumal nggak jelas.
" Apa kamu bilang?"
" Apa?! Saya nggak ngomong apa-apa." Aku menatapnya sebal, namun tetap masuk di lift yang sama dengannya.
Begitu lift sampai di lantai satu, kami keluar dan seperti kemarin, aku berjalan di belakangnya.
" Eh Dell," Dia berhenti, praktis aku ikut berhenti.
" Apa lagi pak?!"
" Jangan dipotong, nanti kamu yang rugi." Ucapnya sambil tersenyum miring lalu pergi.
HAH, MAKSUDNYA?
***
Razan, mau kamu apa sih?! Wkwkwk
Masih penasaran sama Pov Razan?
Makanya jangan Sider... Hehe😚
Komen yang banyak yaw😚
Happy reading ya!