"Aduhh, polos amat sih kamu Ren? Gak kok kamu gak ada salah ke aku, gak jahat juga. Lagian emang kita berdua siapa sih? Cuma temen kan? Gak ada yang merasa terugikan disini." Jelasku, dengan enteng menepuk bahu kiri Lelaki pucat ini.
Kembali aku meraih tas yang kusimpan di kursi, sebelum mengatakan sesuatu pada Renjun.
"Yang penting urusan kamu sama Jiheon beres, Aku kan cuma ngawasin kamu doang." Celetukku dengan tersenyum, Namun saat itu yang kulihat hanya senyuman simpul di bibir tipisnya.
-o-
Tempat ini sangat indah. Padahal tempat ini masih terbilang baru di buka dan belum di resmikan, namun sudah ramai dikunjungi warga sekitar. Akupun mengakui taman ini sebagai taman terbesar di Bandung.
Sudah sekitar satu jam kami disini. Renjun masih berkeliling memutari luasnya taman Kiara Artha, dengan menggenggam sebuah eskrim ditangan kirinya.
"Luas banget, tapi belum ada apa-apanya." Celetuknya melihat bus Bandros melintas dihadapan kami. Aku melihat sekeliling, benar, bahkan sebagian gedung masih dalam tahap pembangunan. "Tapi minggu depan katanya bakal ada Festival Light sebelah sana deket pintu masuk tadi." Jelasku menunjuk yang dimaksud.
"Wah? Bagus tuh klo dateng malem-malem jadi ada hiasan lampu gitu." Jawab Renjun menatap arah yang kutunjuk. Aku terdiam menatap wajahnya dari samping, hingga aku merasa tidak tahan harus menahan ini semua.
"Jadi tentang Jiheon itu gimana? Maksudnya Jisung sama Hari itu apa?"
Setelah menanyakan hal yang sangat ingin ku ketahui, Renjun hanya terdiam menghentikan kegiatan mencolek eskrimnya. Tiba-tiba ia memberikan Eskrimnya padaku, membuatku kebingungan apa maksudnya.
"Dengerin sambil makan eskrim." Hanya itu ucapannya, tapi aku menurutinya dengan mengambil eskrim tersebut.
"Hari itu , sebenernya hari pas Teteh jemput aku bareng Teh Bintang." Kalimat pembukanya membuatku kilas balik pada hari itu, hari dimana aku pun mengatakan lelah pada sikapnya yang tak menentu.
Apakah sebenarnya penyebab ia diam saat itu karna ini? Astaga, aku tidak lihat kondisi sekali, malah menambahkan beban pikiran padanya.
"Sesuai perkataan Teteh, bahwa ngegantungin orang itu gak enak. Aku mutusin buat ngejelasin Ke Jiheon, ngembaliin semua barang yang pernah dia kasih dan bilang bahwa aku enggak nyimpan rasa buat dia."
"Aku ngeberaniin diri untuk bilang itu semua karna yakin sama ucapan Teteh, kalo dia nggak bakal ngebenci aku. Tapi ternyata kenyataan nya bukan begitu."
Renjun mengampiri sebuah bangku taman tak jauh dari kami. Mendaratkan pantat bersama, aku masih mendengar setiap perkataanya.
"Ada satu hal dimana perkataan dia malah bikin aku yang benci sama dia." Jelasnya, terlihat helaan nafas dari mulutnya. Aku diam menatapnya masih menunggu kelanjutan pembicaraannya.
"Dan karna ucapan dia itu, aku melakukan kesalahan yang kasar sampe buat Jiheon kaya sekarang."
Kini Renjun terlihat frustasi, ia menarik anak rambutnya kebelakang dan menundukkan kepalanya. "Aku tau itu salahku." Tutupnya, membiarkan aku tetap merasa ada yang menggantung, masih ada beberapa bagian cerita yang hilang. Seolah sengaja untuk menyembunyikannya.
Mengulum bibir, aku menggeleng pelan "Aku nggak ngerti Ren, perbuatan Kasar apa yang udah kamu buat itu? Dan ucapan yang bagaimana dari Jiheon sehingga bikin kamu melakukan itu?" Tanyaku, merasakan hembusan angin yang teduh di taman ini.
Bahkan belaian anginpun menghembuskan surai hitam Renjun. "Aku nggak bisa bilang."
"Kamu nggak bilang , aku tetep nggak ngerti sama permasalahannya."
"Tapi aku bener-bener nggak bisa bilang!" Renjun membentakku, membuatku terdiam. Ada sorot yang meyakinkan bahwa ia tetap ingin menyimpan itu sendiri untuknya. Dalam keadaan saling berpandangan ini aku hanya bisa menghembuskan nafas.
"Renjun..." panggilku, sebisa mungkin dengan nada yang halus dan terkesan ramah. "Memang tidak semua cerita mesti diceritakan pada semua orang, tapi tidak semua cerita pula harus kamu simpan sendiri."
"Kamu bilang kamu merasa melakukan kesalahan, tapi kamu nggak menjelaskan kesalahan apa yang kamu buat."
"Artinya kamu lebih menyalahkan diri kamu sendiri kan?"
Lelaki dihadapanku ini terdiam, ia menunduk terpaku pada rumput dibawah. Dari sepengelihatku, ada beberapa gerakan tak terduga yang terjadi di kedua tangannya, seperti kejang namun bergetar. Aku akan menyebutnya tremor agar lebih mudah.
Aku mengambil beberapa lembar tissu basah. "Nggak baik menyalahkan diri sendiri, kamu juga perlu tau pandangan orang apakah benar kamu salah atau enggak." Ujarku, seraya mengelap kedua tangannya yang kotor karna lelehan eskrim.
Tidak ada suara dari lelaki bermarga Huang itu, hanya keheningan diantara kami dan aku yang terfokus membersihkan kedua telapak tangannya. Hingga setelahku selesai dengan urusanku, aku membuang lembaran tissu itu dan kembali menatap manik hitam kelamnya.
"Aku..."
Menunggu ucapan selanjutnya dari mulutnya, aku masih menatap manik indah itu begitupun dirinya. "Aku kelepasan karna dia nyangkutin Teteh."
Ucapannya jelas membuat kedua pupilku membesar, dengan tenang aku mencoba fokus dan menghela nafas.
Si Jiheon itu menarikku? Anak sialan, di depanku baik di belakang julid ya.
"Nah, apalagi bawa-bawa aku, Ren. Aku harus tau dong kalo gitu." Ujarku, seraya merapihkan rambutnya yang tertiup angin.
"Dia bilang kalo Teteh penyebab kenapa aku nggak nerima balik perasaannya. Katanya, Teteh cuma cewek nggak bener yang numpang tinggal dirumahku."
Aku semakin terdiam, tidak menyangka sosok Jiheon dengan wajah polosnya itu mempunyai mulut yang tidak beradab. Renjun melanjutkan "Dan hari itu, aku bilang kalo semua itu nggak benar. Yang ada malah dia yang cewek nggak bener, rela ngejar-ngejar cowok seolah nggak punya harga diri. Disitu kayanya perkataanku yang bikin Jiheon ngedrop." Tutupnya.
Seriusan dia cuma ngomong gitu doang?
Kok aku nggak puas ya?
Tuh Jiheon harus di tampol, Tuman!
Aku ber 'oh' ria, menahan segala caci maki agar tak keluar. "Kalo gitu berarti satu sekolah tahu aku disini gitu?" Tanyaku, Renjun hanya mengangguk lalu menjawab "Ada rumor yang entah kapan tersebar, awalnya cuma rumor aku punya babysitter berujung kalo Teteh itu tunanganku." Ucapannya sukses membuatku ingin tertawa, tapi sebisa mungkin aku menahannya.
"Terus Jiheon mikir aku perusak hubungan dia gitu?" Tanyaku dijawab anggukan Renjun.
"Terus Jiheon pundung berakhir sakit di UKS?" Renjun menganggukkan kepala
"Terus kamu ngerasa salah karna bikin dia ngedown?" Lagi, Renjun mengangguk. Tak tahan, aku tertawa sepuas yang kubisa hingga terasa sakit di perutku. "Aduh, drama anak sekolah." Ucapku, disela tawa.
Renjun hanya menatapku bingung, bahkan ia memegangi perutku khawatir, karna aku mengatakan sakit perut namun terus tertawa. "Nggak Ren, kamu nggak salah kok." Aku mencoba menstabilkan suaraku dan berbicara padanya.
"Buatku malah kamu masih terhitung halus, tapi aku juga nggak membenarkan harus selalu menyelesaikan masalah seperti itu."
Tak paham tertera jelas di wajah Renjun. "Anggap aja ucapan kamu kedia sebagai pendewasaan diri kamu dalam berfikir."
"Dan tindakan dia selama ini ke kamu sampe kamu bilang hal itu ke dia sebagai potongan memori yang juga membangun kedewasaannya dia."
"Jadi aku percuma dong, minta maaf ke dia tadi di UKS?" Dengan polosnya Renjun menanyakan pertanyaan itu, kembali membuatku terkekeh. "Enggak kok, malah artinya kamu udah bisa mempertanggung jawabkan setiap ucapanmu karna udah berani minta maaf."
"Yang salah itu kamu mau-mau aja di peluk dia."
"Ha? Gimana?"
Sial, aku keceplosan.
Renjun masih menatapku bingung. "Kok tau aku pelukkan?"
"Ngintip ya?" Tebaknya
"Enggak!" Sergahku, lalu bangkit dari bangku. Namun Renjun masih saja mengusikku "Pantes waktu aku keluar, Teteh sama Jisung udah ada di depan Pintu. Kalian ngintip rupanya."
Aku berjalan meninggalkannya, ia mengekoriku tapi masih mengungkit hal itu.
"Ngaku aja hayooo"
"Iyakan Teteh ngintip, iya kan?"
Renjun mulai berisik, sifat jahilnya yang jarang muncul itu mulai naik kepermukaan. Bahkan sekarang ia mencubit-cubit pipiku pelan seraya tetap menanyakan aku mengintipinya.
"Iya Ren iya! Aku ngintip pas kalian lagi pelukkan!" Ucapku pasrah, karna jengkel dengan tangannya yang tak mau berhenti menyentuh pipiku.
"Nggak suka ya aku, Kamu peluk orang kek gitu." Renjun terdiam, namun ada sebuah senyum lebar di wajahnya. "Apalagi yang Kaya Jiheon!orang sakit kamu peluk. Nanti ketularan Ren."
"Eh?" Gumaman itu keluar dari Mulut Renjun.
"Iya, Jiheon lagi sakit kan tadi? Trus kamu peluk nanti virusnya ke kamu, kamu sakit deh karna ketularan." Alibiku, Renjun diam terpaku mendengar ucapanku. Ia sedikit terkaku "E-eh? Abis, itu, Jiheon nya sih yang dadakan meluk. Katanya dia ketakutan sama aku, nyeremin."
Aku menatap Renjun, mencari dimana hal 'menyeramkan' dari dirinya ini. "Emang muka kamu gimana waktu ngobrol sama Jiheon?" Ucapku, yang dijawab oleh Renjun yang tiba-tiba memfokuskan wajahnya menatapku.
Tidak ada yang salah, tidak menyeramkan pula. Hanya tampan dan aku suka.
"Gitu?"
"Iya gini." Yakinnya, malah sekarang menekukkan kedua alisnya. Sok membuat ekspresi serius yang berujung kocak bagiku.
"Lawak ah, nyeremin dari mana. Gemesin yang ada." Celetukku, menggengam tangannya. "Yaudah, udah selesai juga kan ya sama Jiheon? Kita lanjut jalan gimana? Aku pengen ke Korean town. Katanya bagus." Ajakku, Renjun hanya diam mengangguk.
Baru beberapa langkah kami berjalan, lelaki yang tangannya ini menjadi tempat ternyamanku membuka suara.
"Makasih ya Teh, aku harap aku bisa bawa Teteh ke Korea beneran nanti, Ketemu sama Mama."
-o-
"Loh kok ada Bang Jaehyun?"
Aku menunjuk lelaki yang dimaksud, mana kala dipagi ini aku baru saja menuju meja makan, sudah terlihat Jaehyun dan Renjun sedang berbincang berdua disana.
"Eh udah bangun? Selamat pagi Sakha kebo." Ledeknya, aku menepis ucapannya "Kebomu! Baru mandi gue. Belum tidur, sumpah deh kapan dateng? Nggak kedengeran." Kuambil beberapa lembar roti dan telur, siap membuat sarapan "Mau Bang?" Jaehyun hanya mengangguk.
"Tadi sih jam set 6an, mau ngajak lari pagi." Ujarnya, berbeda dengan Renjun yang menanyakan kabarku. "Teteh belum tidur? Begadang lagi ngerjain skripsi?"
Ku sodorkan masing-masing sepiring roti panggang dan Telur orak-arik kepada mereka berdua "Iya skripsi, jadi mau tidur nggak mau diajak olahraga." Celetukku, dibalas Jaehyun "Siapa yang mau ngajak lu? Orang gue udah janjian sama Renjun."
Sialan oknum Jung Jaehyun ini.
Aku mendengus kesal, memulai acara makanku sebelum kembali bertanya "Lari pagi dimana betewe? Jangan jauh-jauh anaknya nggak bisa jauh." Ujarku, merujuk pada Renjun yang asyik makan. "Di taman depan komplek doang kok, gue tau dia nggak bisa lebih jauh selain ke sekolah atau kampus, takut ilang kan lu?"
"Sembarangan, sebocah apa dia sampe gue takut ilang?. Gue cuma takut lu bawanya bukan ke tempat lari, malah ke bar ngajak minum."
Jaehyun menatapku kaget, sekilas memutar kedua matanya "Astaga Sakha, pagi gini mana ada clubing sama bar yang buka? Lu Suudzon mulu sama gue deh heran."
"Iyalah gue Suudzon, dimata gue lu tuh fakboi bang." Celetukku, dijawab Lelaki berparas tampan ini dengan nada seolah tersakiti dan memegang dadanya "Kok sakit ya Kha..."
Renjun yang menyaksikan kami hanya tertawa, hingga ia menatapku dan mencondongkan badannya kedepan. "Kita cuma olahraga kok Teh, serius, nanti kalo emang Bang Jaehyun beneran ngajak yang nggak-nggak aku lapor ke Teteh." Ucapnya, seraya mengacungkan jempol kanan.
"Euh, ada pawang kalo gini mah." Celetuk Jaehyun, membuatku membalas acungan Jempol Renjun "Nah iya Ren! Laporan aja ya kalo dia ngajak maksiat mah. Kadang Bang Jaehyun harus di bawa ke BRC (Bandung Ruqyah Center)."
Jaehyun mendengus seraya menyentil dahiku yang terbuka lebar tanpa poni. "Dikira gue Setan! Dah ah, udah kan makannya Ren? Caw lah kita." Ajak Jaehyun pada Renjun, dan mereka berdua bangkit dari meja makan begitu saja.
"Pergi dulu ya Teh." Pamit Renjun, dengan wajah yang senang tak seperti biasanya, ia melambaikan tangan padaku. Aku membalas lambaian tangannya dan melihat tubuh kurus berbalut pakaian olahraga serba abu itu menjauh dari pagar rumah.
Setelah kedua pria itu pergi, aku membereskan seluruh sisa sarapan. Berencana untuk membersihkan rumah pula Sebelum Tidur.
Belakangan ini aku begadang karna pembahasan Bab Empat mengacu pada penjabaran teori dan data informasi yang kupunya. Jadi sedikit menguras otak, sedangkan kadang otak sangat tak tahu diri hanya kreatif di tengah malam.
"Permisi, Ren.."
Suara yang terdengar familier menarik atensiku yang sedang mengepel permukaan lantai rumah. Dari suaranya, kurasa orang itu membuka pintu karna pintu memang tidak ku kunci. Aku yang sedang berada di dapur belakang bergegas keluar dan melihat siapa yang bertamu dipagi ini.
"Renjunnya lagi kel-" ucapanku terpotong manakala melihat sosok yang bertamu itu.
Jeno, teman Renjun yang pernah aku temui di sekolah mereka. Aku terkejut melihatnya sama sepertinya terkejut melihatku "Renjunnya kemana Teh?" Tanyanya.
"Lagi olahraga pagi ke lapangan depan." Jawabku, Jeno lagi-lagi melebarkan pupilnya "Olahraga?" Aku hanya mengangguk
"Wow. Udah lama nggak denger Renjun olahraga." Candanya, ditutupi Kekehan. "Baru hari ini sih dia olahraga, diajak orang. Masuk dulu aja Jen, kalo mau nunggu Renjun." Ajakku pada Jeno, lelaki itu dengan Segan memasuki rumah, menenteng sebuah buku tulis Merah yang masih terlihat baru ditangan kanannya, dan sling bag yang melingkar di dadanya.
"Lagi beberes Teh?" Celetuknya, "Iyanih, baru aja beres." Aku berlari menuju dapur menyediakan minum untuknya "Duh aku ngotorin lantainya lagi atuh." Jeno ini terlihat suka bercanda, terdengar dari tiap nada yang ia ucapkan begitu ramah.
"Enggak atuh, emang kamu abis dari sawah sampe kotor kakinya?" Jawabku, Jeno yang membuntuti ku sampai kedapur duduk di meja makan. "Iya enggak sih."
"Emang nggak janjian dulu sebelumnya sama Renjun mau kesini?" Aku menuangkan segelas Jus untuk Jeno. "Enggak, biasanya dia dirumah terus kan jadi aku langsung kesini aja." Jelasnya, meneguk jus itu.
Setelah meneguk habis segelas Jus, Tubuh besar dan tinggi Jeno bangkit dari kursi. "Aku ke kamar Renjun dulu nyimpen buku ini." Jelasnya, melipir begitu saja memasuki Kamar Renjun, terlihat bahwa ia sudah akrab dengan tempat ini.
Aku kembali melanjutkan acara cuci piringku, dan tak lama Jeno sudah kembali ke kursi meja makan semula. Kali ini ia membawa sebuah buku tulis berwarna merah lain yang terlihat usang dan beberapa buah cutter yang ia letakkan begitu saja diatas meja. Aku yang terkejut hanya bisa menatapnya kebingungan.
"Aku nemu di laci Renjun, cutter nya." Ujar Jeno tenang, berbanding terbalik denganku yang kebingungan. "Kemaren Dia kenapa teh? Pintu kamarnya banyak goresan kuku sama Cutter." Tanyanya menatapku, tidak dengan tatapan mengintimidasi hanya tatapan seolah mengajak berbincang Ringan.
Aku kembali diam, memikirkan apa yang terjadi kemarin. Karna seingatku sudah beberapa hari ini Renjun tenang, pemberian susu obat nya yang Rutin tidak menyebabkan ia kembali kambuh.
Hanya saja mungkin kejadian yang di ceritakan Jungwoo yang ia bilang bahwa mendengar suara gedoran dari kamar Renjun. Tapi jika iya artinya itu sudah lumaya lama.
Tunggu, apa Jeno mengetahui sesuatu?
"Pernah sih, minggu kemarin waktu itu temenku yang denger dan liat Renjun susah di atur." Jawabku, Jeno masih memperhatikanku sesekali ia membaca lembaran buku yang ia ambil dari kamar Renjun. "Minggu kemarin ya, terus? Digimanain?"
"Sama dia di Kasih susu biasanya."
Jeno terdiam, masih membaca buku tulis itu. "Hm..."
"Kayanya kamu tau sesuatu deh."
"Kayanya Teteh nggak tau sesuatu deh."
Jeno membalikkan pernyataanku membuatku terdiam, ia menatapku lalu tersenyum menampakkan matanya yang melengkung. "Ya kan aku nggak tau, kamu tau makanya aku nanya."
"Tapi aku nggak yakin, Teteh nggak tau sama sekali. Jadi apa yang udah Teteh tahu?" Anak ini seperti mempermainkanku, tapi entah mengapa aku mengerti maksudnya.
Iya, dia hanya ingin menyimpan rahasia temannya.
"Dia depresi, punya serangan panik dan halusinasi. Bener?" Aku bertanya balik setelah mengatakan apa yang aku tahu. Jeno masih tersenyum. Ia menutup buku tulis itu kemudian menopang dagu dengan kedua tangannya "Benar tapi belum tepat."
"Terus apa yang tepatnya?"
"Kalo itu aku nggak bisa kasih tau."
Kami berdua saling diam, aku hanya melengkungkan bibirku. Jeno adalah orang yang tangguh, walaupun terus tersenyum ia tetap akan menyimpan rahasia temannya. "Jangan Cemberut terus, nanti lucunya ilang loh Teh." Celetuknya dengan kekehan. Aku tersipu malu dengan ucapannya.
Bagaimana bisa ia semudah itu mengatakan nya padaku.
"Aku kan udah bilang, apa yang Teteh bilang bener kok cuma belum tepat." Ujarnya, seraya menuang sendiri Jus kedalam gelasnya. "Aku tau Teteh pasti cari sendiri kan Renjun kenapa. Nah Teteh udah dapet jawaban yang mendekati. Mendekati loh belum benar."
"Ya itu Jen kan aku butuh yang benarnya." Kukuhku, Jeno kembali meneguk jusnya. "Emang Teteh nggak nanya langsung aja gitu ke Om Gongli?" Tanya Jeno merujuk pada ayah Renjun.
"Aku takut nggak sopan kalo nanya ke beliau. Kaya udah masuk ke ranah masalah keluarga mereka."
"Apalagi aku yang ngasih tau, jelas-jelas aku orang luar cuma Temen Renjun." Potong Jeno membuatku terdiam, ada benarnya juga ucapannya itu. "Daripada Teteh menerka-nerka lebih baik tanya aja langsung. Gapapa kok, bukan berarti Teteh nggak sopan, tapi karna kondisi Teteh yang udah berada disini Teteh tetep harus tau apa yang sebenarnya." Jelasnya.
Aku masih terdiam, melamunkan bahwa ini sudah titik terendahku mencari sendiri apa yang terjadi pada Renjun. Aku pun sudah harus fokus pada urusanku sendiri, skripsi.
"Jangan dibawa ngelamun juga sih Teh, mending kompres matanya merah banget keliatan belum tidur. Aku mau buang Cutter ini sebelum ketauan Renjun, trus balik Nunggu di kamarnya. Teteh bobo cantik aja dulu biar segeran." Ujar Jeno, belum saja Jeno beranjak dari tempatnya. Kami berdua mendengar suara dobrakan Pintu depan yang begitu kencang membuat kami berdua menoleh kearah suara.
Jeno menghampiri ruang depan diikuti olehku. Terlihat, pintu utama sudah terbuka lebar, begitu pula pintu kamarku. Di dalam nya ku melihat siluet seseorang. Jeno menghampiri masuk kamarku "Ren?" Panggilnya, apakah itu Renjun?.
Bersamaan dengan itu Jaehyun memasuki rumah dengan kondisi berlari. Dengan nafas yang berderu ia melihatku dan Jeno "Dia kenapa?" Tanyanya.
Aku mendekati Jeno ke kamarku, melihat Renjun yang hanya berdiam diri di tengah kamarku. "Ren?" Panggilku.
Lelaki itu membalikan badannya dan dengan cepat menubruk Jeno yang menghalanginya, lalu memelukku. Aku yang terkejut hanya bisa terdiam menatap bingung Jeno yang dapat kulihat dibalik Punggung Renjun.
"Ren?" Aku kembali bertanya dan menepuk Punggungnya. Deru nafasnya begitu cepat, debaran dadanya bahkan bisa kudengar. Ia begitu bergetar hebat.
Isakkan tangis mulai terdengar, ia merengkuh tubuhku begitu kencang. "Aku nggak mau keluar lagi. Aku nggak mau." Ujarnya, semakin membuatku bingung.
"Kenapa Ren? Aku disini, coba bilang kamu kenapa?" Pancingku.
"Aku takut, semua orang takut, aku nggak mau, aku mau dirumah aja."
Semua orang yang ada disini terdiam, Jeno menghampiri Renjun yang masih memelukku dan mengusap pundakknya. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun ia menyibakkan lengan sweater yang digunakan Renjun, entah apa yang ia lihat. Jeno kembali mengusap punggung Renjun.
Sedangkan lelaki yang masih memelukku ini tetap menangis tanpa suara yang keluar.
"Tadi Bang Jaehyun nakal ya? Sampe kamu nangis gini?" Aku mencoba membujuknya, tapi Renjun tetap tidak bergeming.
Pasrah, aku hanya bisa mengusap-usap punggung dan Rambutnya. Hingga aku mendengar suara Jaehyun yang mungkin bermaksud pada Jeno.
"Eh, lo mau ngapain woy?"
Sebelum aku melirik Jeno, aku merasakan bahwa berat Renjun semakin bertambah. Hingga tanpa sadar yang kurasa Renjun kehilangan kesadarannya seolah Terbius sesuatu.
To Be Continued
Key's Note
Hayoooo ada yang kangen?
Btw aku pen buka sesi tanya jawab.
Jadi kalian bebas komen apa aja seputar pertanyaan, mau tentang alur cerita,teori ataupun yang emang kalian kepoin. Aku bakal jawab di kolom komentar kalian.
Aku begini karna gatel aja ada yang komen gk bisa ku love kek twitter Jadi pengen interaksi gitu sama kalian. Itung-itung usah 5k viewers lagi wkwkwkwkwkwkwkwkw
Thankyouuuu
11119
Keys