"Kamu bukan seorang pengecut? Kamu adalah seorang pemberani? Buktikan. Jangan melarikan diri kala ada masalah. Bisa?
(BeautifulSea25)
•
•
•
ICU, VVIP's room 2064, Mikhelson Hospital, Moscow---Russia
Keesokkan hari nya, manik indah yang sebelumnya terpejam itu kini mengerjap pelan---menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke retina nya. Bau khas obat-obatan menyeruak ke hidung nya dan dominasi ruangan berwarna putih membuat nya menyadari---jika saat ini, ia tengah berada di rumah sakit.
Wait ... in Hospital?!
Vee mencoba duduk. Tangan nya yang di infus membuat nya meringis nyeri. Ia menatap ke arah pintu yang terbuka lalu mengernyit saat seorang suster dengan sigap membantu nya untuk duduk serta memperbaiki infus nya yang hampir terlepas.
"Bagaimana perasaanmu, Nona?" tanya suster paruh baya tersebut ramah.
"Lebih baik,"
Suster itu tersenyum hangat. "Saya sudah membawakan makanan untuk Anda." ia mengambil sebuah mangkuk mewah dari atas troli makanan yang ia bawa. "Sekarang Anda harus makan," tambah nya mengulurkan sendok berisi bubur itu ke arah Vee.
Vee menggeleng sembari menatap jijik makanan putih tanpa rasa yang di dominasi sayuran itu.
Ugh ... Ia benci sakit!
"Anda harus makan agar segera sembuh, Nona." ucap suster itu membujuk.
"A---aku sudah sembuh," cicit Vee lirih.
"Tubuh Anda masih lemah. Anda harus makan agar luka-luka di tubuh Anda lekas sembuh,"
"A---aku tidak mau," jawab Vee terbata. "A---aku tidak ingin di sini---aku mau pulang. Tolong aku ... Aku ingin pulang," tambah nya terisak.
Suster itu menghela napas sabar lalu bibir itu mengukir senyum lembut. "Anda belum boleh pulang. Luka di tubuh Anda mengharuskan Anda di rawat inap di sini,"
Vee menggeleng kuat. "Aku ingin pulang. Keluarga ku pasti mencari ku." bujuk nya memelas.
"Ayo, makan, Nona."
Vee menggigit bibir nya---menahan kesal. Lebih baik, ia turuti keinginan suster menyebalkan itu dan memikirkan cara keluar dari rumah sakit ini nanti.
"Baiklah."
Suster itu tersenyum lega dan menyuapi gadis kesayangan the Heirs Mikhelson itu telaten. Ia menatap lekat pasien nya yang telah berhasil menaklukan seorang Arnav Mikhelson.
Cantik.
Seolah menyadari sesuatu, Vee mengerjap---menatap Sang suster polos. "Suster..."
"Ya, Nona?"
"Siapa yang membawa ku kemari?"
"Tuan Arnav yang membawa Anda kemari, Nona."
"Tuan Arnav?" beo Vee di sela kunyahan nya. Suster itu mengangguk. "Ma---maksud mu ... Tuan Arnav Mikhelson?" tanya nya ragu.
Tolong katakan bukan, suster...
"Iya, Nona. Tuan Arnav Mikhelson---kekasih Anda."
Vee terkesiap. Jantung nya berdebam keras. Manik nya berkilat tak percaya dan telinga nya berdengung panas.
Apa kata nya tadi? Ia tak salah dengar, 'kan?
"Kau salah, suster. A---aku bukan kekasih nya."
Suster itu mengernyit. "Tapi ... Tuan Arnav mengatakan..."
Ucapan nya menggantung di udara. Pikiran nya langsung mengingat pesan Arnav dengan suara datar khas nya sebelum pria itu pergi.
"Jaga kekasih ku~"
"Aku bukan kekasih nya." ulang Vee menyakinkan. "A---aku adalah orang yang membuat jas mahal nya kotor." aku nya pelan. "Dia menahan ku di sini---pasti untuk menagih jas nya."
Suster itu membelalak---tak percaya. Ia mengusap kedua telinga nya bergantian secara pelan.
Benarkah?
Mungkin, 'kah ia salah dengar?
~oOo~
Ruang Makan, Mikhailov's Mansion, Moscow---Russia
Melisa dan Vi tengah sarapan bersama di meja makan setelah melalui malam yang panjang.
"Seperti nya ... Daddy-mu itu gila, Vi."
Vi tergelak pelan. "Dari dulu Daddy memang gila, Mom. Gila karena Mommy," ucap nya menggoda.
Melisa memutar mata nya malas.
Pria itu hanya terobsesi pada tubuh nya. Tidak lebih!
Vi meneruskan, "Dan seperti nya ... Daddy semakin gila karena aku baru saja memukul kepala nya." ucap nya mengerjap---pura-pura menyesal.
Ya.
Vi lah yang telah memukul kepala Hans dengan sebuah tongkat bisbol hingga pria paruh baya itu pingsan dengan darah yang merembes dari kepala nya.
Tanpa mengobati luka Hans, Melisa dan Vi mengurung---mengikat dan mengunci pria itu di kamar nya dengan susah payah.
Sungguh isteri dan anak durhaka!
"Baguslah. Kita bisa mengirim pria itu ke rumah sakit jiwa dan Mommy tidak perlu lagi berpura-pura menjadi isteri yang baik." jawab Melisa meminum teh nya perlahan.
Vi tertawa anggun. "Mommy benar-benar isteri durhaka." Melisa ikut tertawa. "Tetapi ... Apa yang membuat Daddy seperti itu, Mom? Setelah pulang dari perjalanan bisnis nya---Daddy sangat berbeda." tambah nya menatap Melisa serius.
"Entahlah." Melisa mengangkat bahu nya tak peduli. "Lagi pula, kita sudah mendapatkan segala nya. Pria tua itu sudah tak berguna lagi." tambah nya meletakan gelas teh nya ke meja.
"Terserah, Mommy saja." Vi menatap Melisa lekat. "Kapan kita akan bawa Daddy ke tempat itu, Mom? Aku sudah lelah berpura-pura menjadi puteri yang baik," keluh nya. "Aku ingin segera tinggal bersama Papa." tambah nya ceria.
Melisa tersenyum lembut. Vi memang bukanlah anak kandung dari Hans.
Saat menikah dengan Hans, Melisa sudah lebih dulu mengandung benih dari orang lain---cinta pertama nya. Itulah sebab nya---mengapa keluarga besar nya memaksa nya untuk segera menikah dengan Hans---seorang duda yang sangat kaya raya.
Melisa tersenyum misterius membuat Vi semakin penasaran. Gadis dewasa itu tersenyum lebar saat mendengar jawaban Ibu nya.
"Malam ini."
~oOo~
Toko Perhiasan, GUM---Russia
Seorang wanita berpakaian sangat fashionista itu menatap lekat sebuah perhiasan yang berada dalam sebuah kaca bening dengan terpesona dan penuh ambisi untuk memiliki perhiasan yang menjadi hot news saat ini.
"Oh God! Indah sekali perhiasan ini."
Stephanie memanggil seorang pelayan toko tersebut dengan isyarat tangan. "Aku ingin perhiasan ini. Kemas secepat nya untuk ku." perintah nya angkuh---khas orang kaya lalu kembali menatap perhiasan itu lekat.
"Maaf, Nyonya. Tetapi Anda tak bisa memiliki perhiasan itu." ucap pelayan itu menunduk sopan.
Stephanie menoleh cepat---menatap pelayan itu kesal. "Apa maksudmu? Berapa pun harga nya---akan ku bayar. Apa kau tak tahu siapa aku?" tanya nya sombong.
"Tidak ada yang tidak mengenal mu, Nyonya." ucap pelayan itu pelan. Stephanie mencibir. "Tetapi ... Perhiasan ini sudah di beli oleh orang lain."
"Apa?!" pekik Stephanie tak percaya.
Adakah yang mampu membeli perhiasan dengan harga selangit itu selain diri nya?!
Di sisi lain, Vee tengah berlari dengan tertatih. Tubuh nya yang masih lemas, tak menyurutkan semangat nya untuk berlari dari para pria bertubuh besar dan berpakaian serba hitam yang terus saja mengejar nya.
"Kami mohon ... Berhenti, Nona!"
Vee terus berlari lalu masuk ke dalam semak---bersembunyi di sana dengan menutup mulut nya dengan kedua tangan. Orang-orang berwajah sangar itu berada di dekat nya dan hanya terhalang semak.
"Ke arah mana Nona pergi? Cepat sekali seperti kucing." umpat salah satu dari mereka kesal.
"Nona harus segera di temukan. Jika Tuan Arnav tahu---ia akan murka karena kita kehilangan gadis nya." ucap yang lain nya mengingatkan.
Vee menggigit bibir nya takut. Sudah pasti pria itu akan marah---Vee belum mengembalikan jas nya tepat waktu. Ia tersenyum lega saat mendengar langkah kaki orang-orang itu menjauh.
Ia keluar dari semak. "Makan apa mereka? Mengapa mereka tak mengenal lelah." keluh Vee dengan napas terengah.
Salah satu bodyguard Arnav melihat Vee lantas berteriak. "Itu dia Nona!"
Vee panik dan ia langsung berlari tanpa mengenal arah. Secepat mungkin ia berlari dengan tertatih agar tak tertangkap.
"Nona!!! Berhentilah!!!"
Vee menggeleng panik dan terus berlari. Ia tak memperhatikan jalan lalu terjatuh saat sebuah mobil mewah berhenti mendadak. Walaupun tak melukai nya, namun Vee sangat syok.
Seorang wanita paruh baya keluar dari arah kemudi mobil nya dan membantu Vee berdiri. Ia sedikit mengernyit jijik saat melihat wajah dan penampilan kusut gadis itu.
"Kau tak apa-apa, Nak? Lain kali---kalau jalan itu jangan hanya kaki yang di pakai tapi juga mata!" nasihat Stephanie kesal. "Kau kabur dari rumah sakit?" tanya nya memicingkan mata saat melihat penampilan gadis itu.
Vee menggeleng. Ia meringis kala mengingat ia masih mengenakan pakaian rumah sakit. Ia membulatkan mata nya panik kala melihat para pria itu tengah mencari nya. Ia segera berdiri---pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada wanita itu.
"Hey!!! Nak!!!"
Teriakan wanita itu Vee abaikan.
Stephanie menggerutu sebal. "Gadis tidak sopan! Jangan sampai aku memiliki menantu seperti dia!"
~oOo~
Di perjalanan...
Arnav mengemudikan mobil mewah nya dengan kecepatan hampir menyentuh angka maksimal. Sering kali membanting stir---nyaris celaka namun tak membuat nya ingin mengurangi kecepatan mobil nya. Ia mencengkram kemudi nya kuat-kuat, rahang nya mengeras dan manik biru itu berkilat penuh khawatir dan murka yang bercampur jadi satu.
Seharian ini, ia telah mencari gadis nya di mana-mana namun tak kunjung di temukan juga.
"Where are you, little kitten?" gumam Arnav datar namun manik nya berkilat sangat cemas. "Kamu harus di hukum, little kitten." tambah nya penuh kekesalan.
Suara ponsel berdering. Arnav mengangkat nya dan menekan tombol kecil---menyambungkan nya pada earpiece canggih yang terpasang di telinga kiri nya.
"Bagaimana?"
"Ma---maafkan kami, Tuan Muda. Kami masih berusaha---"
"You're stupid!" bentak Arnav tertahan membuat tubuh kekar Raymond---Kepala bodyguard itu bergetar pelan. "Temukan. Gadisku. Secepat nya. Dalam. Keadaan. Hidup." perintah nya dingin dan penuh penekanan. "Atau ... Kalian akan tahu akibat nya," tambah nya menggeram rendah---tampak berbahaya.
Raymond menelan ludah nya susah payah. Tubuh nya masih bergetar dan merinding ketakutan. "Ba---baik, Tuan."
Arnav memutuskan sambungan nya sepihak dan membuang asal earpiece di telinga murka namun manik biru itu berkilat penuh emosi.
Ini sudah malam, gadis nya sakit dan sendirian di luaran sana. Bagaimana jika gadis nya terluka? Bagaimana jika ada orang yang berniat jahat pada nya?
Arnav berteriak murka---seperti orang gila. Ia tak, 'kan pernah membiarkan hal buruk terjadi pada gadis nya, atau...
Ia tak, 'kan pernah memaafkan diri nya sendiri...
~oOo~
Night Club---Russia
"You're really stupid, Nath."
Jason berdecak dan menatap Albert kesal. "Bisa, kah kau berhenti mengoceh?" Albert mendelik malas. "Kau tidak lihat jika Nathan mabuk? Ia tak, 'kan mendengar ocehan mu itu, Al."
"Vee, come back, please..." rancau Nathan lirih. "I want hug you so tight. I miss you so much, Vee..." tambah nya lalu terisak pelan.
"Menyusahkan saja!" sungut Albert kesal namun tetap membantu Jason untuk memapah tubuh lemah Nathan keluar dari tempat hiburan malam tersebut.
Nathan berontak. "Lepaskan aku! Biarkan aku mencari Vee!" teriak nya keras---seperti orang gila.
Albert dan Jason mengernyit jijik kala mencium aroma alkohol yang begitu menyengat dari mulut Nathan.
Entah sudah berapa berapa banyak botol yang di minum oleh sahabat mereka itu.
"Kau tidak akan menemukan Vee di tempat ini, bodoh!" hardik Jason meluapkan kekesalan yang sejak tadi ia tahan. "Aku tidak tahu, jika cinta bisa membuat orang menjadi bodoh! Ini lah sebab nya, mengapa aku sangat malas jatuh cinta." sungut nya setelah memasukan Nathan ke mobil.
"Vee..." gumam Nathan lirih lalu perlahan ia mulai kehilangan kesadaran nya.
Pemuda itu pingsan.
Albert tersenyum samar. "Kau yang malas jatuh cinta atau karena memang tak ada yang mau dengan mu?" ucap nya datar namun Jason dapat melihat kilat jahil di mata sahabat nya itu.
Kini, mereka tengah bersandar di salah satu sisi mobil milik Jason.
"Jangan membuat ku semakin kesal, Al." Jason menatap nya tajam. "Sebenar nya di mana, Vee? Tidak tahu, 'kah Vee, jika ada pemuda malang yang gila karena kehilangan nya." tambah nya penuh kekesalan.
Albert tertawa pelan. "Vee sedang bersama dengan the Heirs Mikhelson itu, Jas."
"Mengapa kau sangat yakin?"
"Opsi kedua." jawab Albert ambigu.
Jason memicing. "Maksud mu?"
Albert bergeming. Ia menatap ke depan dengan penuh kalkulasi dan menjawab yakin membuat Jason membulatkan mata---tak percaya.
"Ku rasa ... The Heirs Mikhelson itu memang menyukai Baby Vee."
Benarkah?
~oOo~
HOPE YOU LIKE IT!
Jangan lupa vote, komen + share ke teman curcol kalian gaiss:p
Makasih yang mampir + selalu nungguin cerita ku:)
See you soon😘