Oh tidak, kami terjebak macet saat perjalanan menuju rumah Ryan. Sedangkan jarak rumah Ryan sendiri masih terbilang jauh. Kira-kira setengah jam untuk sampai. Sedangkan Ryan sendiri paling tidak membutuhkan waktu seminim mungkin untuk bisa selamat.
Aku sangat cemas, bagaimana tidak. Telepon kami terputus begitu saja. Pasti ulah Hantu Tanpa Mulut.
“Ayah, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku gundah.
Liburan yang seharusnya menyenagkan kini berubah menegangkan.
Ayah membuka jendela mobilnya dan menyetopkan seorang pengendara motor. “Apa yang terjadi?”
Pengendara motor itu membuka helm. “Katanya ada kecelakaan di perempatan.”
“Oh, iya terima kasih banyak.” Ayah kembali menutup jendela mobil.
Pengendara motor itu pun berlalu begitu saja. Bentuk kendaraan yang kecil memudahkannya untuk tidak terkena dampak dari kemacetan. Andai Ayah membawa motor di bagasi. Ya ampun itu konyol.
“Bagaimana kalau kita nebeng?” usul Naomi yang terdengar masuk akal.
“Boleh dicoba.” Ayah menyetujui.
“Tunggu apa lagi?” Aku membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Begitu juga dengan Naomi yang juga ikut menyusul.
Aku berjalan menemui Ayah dari luar mobil.
Ayah membuka jendela mobilnya. “Kalian yakin?” tanya Ayah mengangkat sebelah alisnya. Sedangkan wajah Ayah tampak tenang seperti biasa.
“Sebenarnya aku kurang yakin, apakah para pengendara itu akan mempercayai kami atau tidak.”
“Kamu terlalu pesimis,” sindir Naomi.
“Sistem kerja otak kita berbeda, jadi kamu tidak akan mengerti,” sindirku tak kalah pedas.
Sepeda motor tak lama lagi akan melintas di depan kami. Tak mau menyia-nyiakan waktu, aku pun menyetop Si Pengendara. “Paman, bisakah kami menumpang denganmu?"
Dahi Si Pengendara berkerut. “Maaf, saya tidak bisa mempercayai siapa pun saat ini.”
Lalu, pengemudi itu berlalu begitu saja.
Naomi tersenyum sinis. “Semua orang selalu gagal di percobaan pertama.”
Tak berapa lama, seorang pengendara kembali datang. Dan yang melaksanakan tugas adalah Naomi. “Paman, bisakah Paman mengantar kami ke suatu tempat?”
Orang yang disebut tidak menjawab. “Kami akan membayarmu,” tambah Naomi.
Paman pengendara itu mengangguk.
Sebelum menyetujui secara penuh. Aku memikirkan sesuatu hal yang masih janggal. Aku tidak akan mau jika bonceng tiga. “Naomi kamu tinggal saja,” perintahku.
Dengan cepat Naomi langsung menggeleng. “Aku tidak akan mau melakukan itu.”
Aku berdecih kesal. “Tidak mungkin bonceng tiga?”
“Bagaimana kalau bonceng dua?” Naomi tercengir konyol dengan ide gilanya.
“Caranya?”
“Kita akan meminjam motor Paman ini,” jawabnya mantap.
“Bagaimana Paman?” tanyaku.
“Boleh saja asal ada bayaran tambahan,” katanya.
“Kami akan membayarmu,” timpal Ayah.
Paman itu langsung menyetujui. Dan membiarkan kami mengendarai motornya. Di sini yang akan menyetir adalah aku. Ya, walaupun sudah sangat jarang berlatih mengendarai motor tapi kurasa kemampuan menyetirku ini masih sanggup untuk tiba ke tempat Ryan dengan aman. Semoga saja.
“Naomi ayo naik,” ajakku setelah duduk di atas motor dengan sempurna.
Ayah yang melihatku tampak terheran-heran. “Kevin, kamu bisa mengendarai motor?”
Aku hanya tersenyum singat. Kemudian langsung menancapkan gas setelah Naomi berhasil naik ke atas motor. Ryan, semoga kamu baik-baik saja.
***
Jalan menuju rumah Ryan tidak begitu rumit. Cukup mengikuti arah jalan yang lurus, maka kami akan menemukan rumahnya. Karena mengendarai motor, akhirnya kami tiba ke tempat tujuan lebih cepat dari setengahnya—15 menit. Tapi aku tidak tahu apakah itu cukup untuk menyelamatkan Ryan?
Aku memarkirkan motor sembarangan. Lebih memilih mengkhawtirkan Ryan. Aku dan Naomi berlari menuju sebuah rumah berlantai dua. Di mana terasnya saja sudah terlihat sangat berantakan, bonek-boneka yang tadinya tersusun rapi kini kacau-balau. Terutama boneka Hello Kitty, boneka itu nyaris tak dikenali lagi wujudnya. Di mana banyak bagian dari tubuhnya yang terlepas.
Saat berada di depan pintu. Aku pun langsung menendang pintu tersebut hingga terbuka. Pemandangan luar biasa langsung menghipnotisku. Keadaan dalam ruangan tak kalah berantakanya di banding teras. Bingkai foto semuanya jatuh, letak kursi dan meja tidak beraturan, dan masih banyak kekacauan lainnya. Entah kenapa aku merasa kalau Ryan dibawa ke kamar mandi.
“Mau ke mana?” tanya Naomi.
“Kamar mandi.” Aku berlari meninggalkan Naomi.
“Terserah kamu saja, aku akan mencari ke ruangan lain!” teriak Naomi yang terlihat naik ke lantai dua.
Oh ya ampun, kenapa aku harus dihadapkan dengan rumah sebesar ini? Kurasa aku harus mengecek separuh ruangan yang ada di rumah ini supaya bisa menemukan kamar mandi.
Langkahku berhenti di sebuah ruangan yang berdekatan dengan ruang keluarga. Aku yakin kalau ruangan itu adalah kamar. Siapa tahu di dalam kamar terdapat kamar mandi.
Aku melangkah masuk. Sebenarnya aku tidak minat menjelajahi seluruh isi kamar. Aku bernapas lega, saat melihat sebuah pintu. Mungkin saja pintu itu menuju kamar mandi.
Ternyata benar. Sekaranng aku tengah berada di kamar mandi. Bulu romaku berdiri, dan mataku terbelak. Melihat Ryan terbaring berlumuran darah. Sedangkan alat komunikasi yang ia gunakan masih tergengam di tangan kanannya. Tidak ada tanda-tanda Hantu Tanpa Mulut di sini.
“Apa yang terjadi?” Naomi berhasil menyuslku, entah bagaimana caranya bisa menemukanku.
Aku melirik ke arah Naomi sebentar. Kemudian kembali menghadap Ryan. Di mana Ryan? Dia menghilang?
“Naomi di mana Ryan.” Saat aku ingin kembali menoleh ke arah Naomi. Naomi juga menghilang.
“Aaaa ....” tubuhku tertarik keluar dari kamar mandi. Aku terseret sampai ke ruang keluarga. Kemudian melewati gundakan tangga yang begitu menyiksa, sepertinya aku akan dibawa ke lantai dua.
Saat hampir mendekati ambang pintu. Aku terlempar keluar melewati teras di lantai dua. Apakah ini akhir hidupku? Namun, sebuah keberuntungan datang menghampiri. Kakiku tak sengaja tersangkut pagar teras. Kini posisiku dalam keadaan terbalik.
Nyaliku ciut seketika. Saat melihat pemandanga bawah yang begitu menyeramkan. Kakiku sakit sekali, rasanya tidak mampu menahan berat tubuhku lebih lama lagi. Tuhan, kirimkan pertolonganmu untuk sekali ini saja. Aku masih mau menyelamatkan orang lain.
Hingga tak terasa air mataku jatuh seketika. Entahlah, aku saja lupa kapan terakhir kali aku menangis. Tapi, kejadian ini sangat membuatku takut akan kematian.
“Hai Kevin.” Harry duduk di atas pagar sambil melambaikan tangannya.
“Harry?”
Harry berjalan menjauh. Mengambil sebuah sapu yang tergeletak di samping pintu.
“Pegang ini Kevin,” ucapnya sambil meyodorkan sapu yang dibawanya.
Dengan tenaga yang masih tersisa. Aku memegang sapu tersebut dan menariknya, sehingga posisi tubuhku kembali berdiri. Setelah berdiri dengan sempurna, kupegang pagar teras dan memanjatnya hingga berhasil masuk ke dalam teras rumah dengan selamat.
Aku tidak bisa mengontrol diri. Akibatnya, aku terlalu panik. “Aku harus mencari Naomi dan Ryan.”
Harry berjalan ke arah pintu. “Ikut aku Kevin.”
Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Aku tidak menyangka kalau Harry bisa berlari secepat itu, lebih tepatnya melayang. Harry membawaku ke sebuah ruangan yang gelap. Sebelum masuk ke ruangan ini, aku lebih dulu dihadapkan dengan tangga yang mengarah bawah. Bukan menuju lantai satu. Tapi, lantai yang lebih bawah.
Tangga yang kami lalui berbentuk spiral dan juga sangat sempit, hanya cukup untuk satu orang saja. Itu pun kalau orangnya kurus. Harry gendut, tapi pagar-pagar pembatas tangga hanya bisa menembusnya, sehingga tempat sekecil apa pun bisa ia lalui. Ruang bawah tanah ini tak lebih dari rumah hantu. Hanya ada beberapa obor di sekeliling ruangan yang menjadi sumber cahaya. Aku bisa mengatakan, kalau itu tidak cukup.
Aku baru teringat satu hal. Bukankah Harry pernah mengatakan kalau tidak akan pernah membantuku untuk kedua kalinya. Tapi, kenapa dia membantuku saat ini? Sudahlah, tidak ada guna memikirkan hal itu. Yang terpenting adalah menyelamatkan Ryan dan Naomi.
Akhirnya kami tiba di ujung tangga. Aku melirik kiri dan kanan, tapi tak ada seorang pun di sini. Termasuk Harry. Berarti tugas Harry untuk menunjukan keberadaan Ryan dan Naomi telah selesai. Mereka pasti tak jauh dari sini.
Aku berjalan mendekati dinding dan mengambil satu obor yang terpasang di sana.
“Naomi!” panggilku sambil berteriak. “Ryan!” panggilku lagi.
Aku berjalan menyusuri lorong sempit. Karena memang lorong itulah yang ada di ruangan ini. Siapa tahu lorong itu bisa menghubungkanku dengan mereka.
Sungguh di luar dugaaan. Ternyata lorong ini panjang sekali. Hal itu terbukti dengan lamanya aku menjelajah, namun belum juga menemukan ujungnya. Aku bahkan tidak pernah terpikir kalau Ibu memiliki rumah yang dilengkapi dengan ruang bawah tanah. Keadaan ruang bawah tanah yang lembab dan basah , membuatku harus mengigiil kedinginan.
Suara gemuruh tanah membuatku terlonjak kaget. Suara itu persis menujukan kalau akan ada ruangan yang tak lama lagi segera runtuh. Aku mempercepat lariku, sambil berharap Tuhan masih memberikan waktu. Aku tidak tahu lagi, apakah aku akan benar-benar bisa menyelamatkan Naomi dan Ryan atau aku yang juga akan mati.
Penantian panjangku berakhir ketika melihat cahaya berwarna merah terpancar di ujung lorong. Aku yakin, mereka pasti di sana. Pada akhirnya aku sampai.
Mataku terbelak, saat menyaksikan kedua orang di depanku sedang dihadapkan dengan satu pisau berkarat yang berjarak 5 cm dari leher mereka. Mereka berdiri mematung, berhimpitan langsung dengan dinding ruang bawah tanah, seolah terkunci. Aku harus menyelamatkan mereka.
Aku melangkah mendekati Ryan dan Naomi. Namun, semakin aku melangkah ke depan. Maka pisau itu semakin dekat dengan leher mereka. Bisa dipastikan bahwa, satu langkah maju, maka satu centi pisau itu akan mendekat ke leher mereka. Ini gila, aku sudah maju sebanyak empat langkah. Tersisa 1 cm lagi.
Yang aku tahu dari ruangan ini adalah. Ruangan ini sangat mengerikan. Bukan karena visualnya, tapi karena kondisi sandraaan Hantu Tanpa Mulut yang penuh darah dan luka lebam. Namun untungnya, mereka masih hidup. Bahkan mereka menjerit meminta tolong, walaupun tidak terlalu keras. Tapi aku masih bisa mendengarnya.
“Ingat pesanku yang satu ini. Tutup mulut kalian jika tidak mau mati,” tegasku sambil sesekali melirik kiri dan kanan.
Untuk sekarang, belum ada tanda kedatangan Hantu Tanpa Mulut.
Dengan jari lemahnya. Ryan menunjuk sesuatu di belakangku.
Aku berbalik, mengikuti arah jari Ryan. “Apa ini?” Aku terkejut melihat sebuah tulisan berwarna merah darah tercetak di dinding. ‘Pilih salah satu?’ begitulah yang tertulis.
Aku yakin betul, dari tulisan itu bermakna bahwa. Aku harus memilih Ryan atau Naomi.
Hantu Tanpa Mulut muncul tepat di hadapanku. Kemudian dia berjalan mundur mendekati Ryan dan Naomi. Seolah menegaskan kembali apa yang ia tulis.
“Kevin!” panggil Naomi. “Biarkan aku mati,” lanjutnya.
“Tutup mulutmu Naomi,” teriakku memperingtakan. Kenapa perempuan itu sulit sekali diatur.
Ryan yang mendengar penuturan dari Naomi pun menoleh ke arah Naomi. Aku sedikit bersyukur, karena Ryan masih menutup mulutnya.
“Jangan egois Kevin. Dari awal hantu biadab ini memang ingin membunuhku. Maka dari itu, biarkan aku yang menjadi orang keempat dan menghentikan teror yang dilakukannya.”
“Tidak bisa,” gertakku penuh emosi. Aku menarik napas dengan perlahan. “Aku akan menyelamatkan kalian berdua, walau dengan nyawaku sekali pun.”
Naomi terlihat geram. “Itu mustahil Kevin. Hantu itu hanya menginginkan nyawa kami berdua.”
“Cepat memilih Kakak!” bentak Ryan setelah sekian lama berdiam diri.
Aku tidak tahu. Kenapa Hantu Tanpa Mulut belum juga membunuh salah satu dari kami. Bukankah ia akan membunuh siapa saja yang membuka mulut. Dan Ryan, dia seolah mendukung ucupan Naomi. Sifat yang ia miliki sangat manusiawi, ia tidak akan sungkan bila menerima kabar kematian orang yang sama sekali tidak ia kenali. Haruskah aku mengorbankan Naomi?
Gemuruh yang dihasilkan dari pergerakan tanah membuatku sedikit panik. Ruang bawah tanah ini akan runtuh. Bila tak cepat, maka aku juga akan mati. Aku harus segera mengambil keputusan.
“Baiklah, jika itu yang kalain inginkan.”
Pisau yang ada pada Ryan jatuh ke tanah. Tapi tidak dengan Naomi.
“Kevin, majulah satu langkah,” perintah Naomi.
Aku diam termangu. Berusaha memikirkan pilihanku ini matang-matang. Benarkah ini pilihan terbaik yang harus kutempuh? Naomi, dia teman manusia pertama yang kumilki. Aku sendiri juga bingung, sejak kapan aku mulai menggangapnya teman. Padahal aku selalu membenci keberadaanya. Tapi kali ini, dia rela mengorbankan nyawanya demi adikku Ryan. Di balik sifat cerewetmu itu, ternyata kamu memiliki hati yang lembut Naomi.
Hidup adalah pilihan. Dan aku harus memilih Naomi untuk mati. Lagi pula, Hantu Tanpa Mulut memang ingin mengincar Naomi. Aku tidak tahu, kenapa Hantu Tanpa Mulut senang menyiksaku. Tidak secara fisik, tapi secara mental. Dan itu lebih menyakitkan dari apa pun.
Hantu Tanpa Mulut sengaja mengajakku ke sini. Lalu memberi pilihan yang mampu menguras semua isi otakku. Lebih baik aku mati dari pada dirudung persoalan seperti ini. Kenapa harus aku yang memilih? Aku sangat yakin, pilihanku ini pasti akan menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang sangat dalam.
“Cepat Kakak,” kata Ryan.
Tanpa babibu. Aku melangkah maju. Pisau itu berhasil tergores di leher Naomi. Naomi jatuh bersimba darah, lagi-lagi aku menjadi saksi dari korban pembunuhan yang dilakukan Hantu Tanpa Mulut.
Aku begitu shock, hingga terjatuh.
***