-Carissa POV-
Around a month later...
"Begini, Carissa," ujarnya. "Kita ambil kemungkinan terbaiknya. Misalnya kau berhasil menang-"
"Bukan aku," aku mengoreksi, menyandarkan ponselku di headboard tempat tidurku. "Tapi, kita."
"Lupakan itu," balasnya sambil terus merapikan rambutnya di depan cermin. "Begini, kalau kita menang, itu berarti kau bisa membuktikan pada kedua orang tuamu kalau pilihan mereka menjauhkanmu dari akting itu tidaklah tepat. Masalahnya adalah kalau kau mau membuktikan itu pada kedua orang tuamu, kau harus punya bukti untuk diperlihatkan. Singkatnya, piala itu."
Aku menghela napas. "Aku tahu, Daniel. Percayalah, aku tahu."
"Jadi, kau akan datang ke New Jersey atau tidak?"
Lagi-lagi pertanyaan ini.
Aku membetulkan posisi bantal yang kugunakan untuk tengkurap. "Tapi bagaimana jika aku kalah?"
"Kenapa kau jadi seperti anak TK yang baru pertama kali mengikuti perlombaan, Carissa?" Daniel memegangi ponselnya sekarang, selesai dengan rambutnya. "Kau-"
"Bukan begitu," aku menyela tak terima.
"Lalu bagaimana?"
"Aku sudah mengatakan semuanya pada orang tuaku. Mereka tidak mengizinkanku kembali ke New Jersey, apalagi untuk menghadiri acara yang bahkan tidak akan membuat mereka senang," bohongku, aku bahkan tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. "Mereka tidak akan mengizinkanku pergi ke sana."
"Aku akan bujuk mereka," tukasnya. "Kau hanya harus terus mencoba meminta izin orang tuamu. Coba kau pikirkan, pengumuman juaranya keluar sehari sebelum kau diminta menghadiri acaranya. Kalau kau menunggu sampai kau mendapatkan e-mail konfirmasi bahwa kau menang, kau tidak akan bisa menghadiri acaranya."
Aku tahu itu.
"Baiklah, aku akan membujuk orang tuaku lagi nanti," aku mengakhiri topik pembicaraan, lelah berdebat dengannya.
"Kalau kau butuh sesuatu, hubungi nomor di bawah ini."
"Ha-ha."
"Aku serius," ujar Daniel. "Kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau."
"Ya," jawabku. "Aku akan menghubungimu lewat FaceTime beberapa jam ke depan, tepat saat kau sedang menggombal teman kencanmu. Kemudian aku akan berpura-pura jadi pacarmu dan mengatakan kalau-"
"Ha-ha."
Aku mencebikkan bibirku padanya.
"Aku tidak akan pergi kencan," tambahnya. "Aku hanya akan pergi menonton showcase musik temanku."
"Temanku," aku membeo. "Tapi, kau tidak pernah melewatkan satu pun penampilannya."
"Apa kau bilang?"
"Tidak ada," jawabku. "Cepat pergilah, tidak baik membiarkan teman kencanmu menunggu."
"See ya, I love you,"
"Hmm..."
Aku membalikkan tubuhku dan menatap ke langit-langit kamar tidur dengan hampir seluruh kalimat yang dikatakan Daniel merasuki pikiranku. Ia menasihatkku seolah itu adalah hal yang mudah dilakukan, padahal semua yang baru saja kukatakan soal orang tuaku yang melarangku pergi ke New Jersey, itu hanyalah sebuah kebohongan. Aku belum mengatakan apapun pada mereka soal kompetisinya.
Jujur, aku sendiri merasa terlalu takut untuk mengatakan soal kompetisi film itu pada orang tuaku. Bukan takut karena berpikir mereka tidak akan mengizinkanku pergi ke New Jersey, melainkan takut untuk mengakui bahwa aku telah melawan kehendak mereka.
Aku tidak tahu apa yang membuat Daniel terus memaksaku kembali ke New Jersey sampai ia selalu membujukku di setiap percakapan kami. Ia membuat seolah-olah mengatakan sebuah kejujuran pada orang tuaku adalah hal yang mudah. Jelas saja begitu, ia tidak pernah tahu sehancur apa diriku jika melihat orang tuaku kecewa terhadapku.
Waktu yang mengubah pemikiranku. Sesuatu yang awalnya ingin kubuktikan, sekarang perasaan tersebut telah hilang. Aku menyesal karena melakukan hal ini diam-diam. Sialnya lagi, penyesalan itu semakin bertambah setiap aku mengingat tujuannya melakukan itu.
Aku bergerak, berusaha menaruh ponselku mencapai nakas. Aku merasakan sesuatu yang ada di sana tergeser posisinya oleh ponselku. Tidak mau benda itu terjatuh, aku terpaksa bangun untuk mengeceknya.
Pigura itu, aku teringat kalau aku masih menaruhnya di sana. Pigura berisi fotoku bersama Corbyn yang kami ambil di photobox saat mengunjungi fun fest waktu lalu. Benda itu berada dalam posisi tidur dan tertutup. Aku memembiarkannya tetap seperti itu dan tidak pernah mengembalikannya ke posisi semula sejak aku kembali dari New Jersey sekitar sebulan lalu.
Sampai saat ini, tidak jarang terlintas dibenakku pertanyaan tentang apa yang sedang dilakukannya di sana. Berkali-kali aku mencoba mengetikkan e-mail padanya, tetapi e-mail itu selalu berakhir di draftku. Sebelum itu, aku juga sering mengetikkan pesanku untuknya di kolom pesan singkat kemudian menghapusnya kembali.
Hingga saat ini, kami tidak pernah berkirim pesan singkat, e-mail, apalagi bercakap-cakap di telepon dan melakukan FaceTime seperti yang nyaris setiap hari kulakukan dengan Daniel. Tak lain, aku hanya ingin melupakan perasaanku untuknya.
Aku berusaha melupakan perasaanku untuknya.
Aku pasti bisa melupakan perasaanku untuknya.
Aku selalu yakin aku akan mewujudkan semua itu. Tetapi di sisi lain, diam-diam aku selalu mengucapkan syukur ketika Daniel membicarakan Corbyn. Tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan sekaligus menyakitkan ketika mengetahui dirinya baik-baik saja.
Andaikan perasaanku untuk Corbyn hilang secepat miliknya.
***
Aku melirik jam dinding dan berusaha menggapai ponselku di nakas. Siapa yang akan menelepon pukul 6 pagi?
Silena Hawkins, nama itu tertera dalam layar ponselku.
Tentu saja, di Princeton 'kan sudah pukul 9.
"Halo?" sapaku dengan suara bangun tidur segera setelah aku menjawab panggilannya.
"Apa kau sudah dapat izin orang tuamu, Carissa?" ia bahkan tidak basa-basi.
Aku kembali ke tempat tidurku. "Hm... tunggu apaaa?!"
"Oh, Carissa, c'mon. Tinggal 2 hari lagi menuju pengumuman pemenangnya dan kau belum juga datang kemari," ujarnya di seberang sana. "Kalau kau tidak datang ke Princeton, kita semua tidak akan datang ke acara itu meskipun kita menang."
"Apa?" aku terperanjat di tempat tidurku. Ia pasti hanya menggertak. "Apa-apaan, kenapa seperti itu?"
"Makanya, kau harus segera datang kemari," ia tidak menjawab pertanyaanku. "Bilang pada mereka kau akan membuat mereka bangga, kau akan menang. Lakukan perjanjian apapun asalkan kau bisa datang kemari."
"Apa kau gila?"
"Kau tidak perlu berbohong lagi," balasnya. "Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu orang tuamu tidak pernah mengizinkanmu jadi aktris."
"Tapi, dari mana-"
"Percaya padaku. Kau buat saja perjanjian atau jaminan apapun yang akan membuat orang tuamu percaya padamu dan datanglah kemari," ia berkata seolah semuanya semudah berkedip. "Tetapi, ingat, kau harus membuktikan itu. Jangan bicara omong kosong, atau orang tuamu akan-"
"Ya, percayalah, aku tahu."
"Baiklah," akhirnya ia menyelesaikan pidato panjangnya. Ada jeda sebelum ia berkata, "Kabari aku secepatnya."
"Tentu."
"Oke, see-"
"Tunggu, Silena, um-" aku menyela. "Kau tidak merasa eh... kecewa, marah, atau... apapun itu karena sekarang kau tahu aku punya tujuan lain untuk... filmnya?"
Selama beberapa saat, hanya terdengar suara gemerisik di telepon. Tetapi suara itu tak lama, Suara Silena kembali terdengar dan menjawabku sebelum aku berpikir untuk mengakhiri panggilannya. "Tidak, kenapa aku harus marah?"
"Kalau begitu, apa..." aku terpikir untuk menanyakan apakah Corbyn sudah mengatakan semua kebenaran tentang tujuan sebenarnya ia mengikuti kompetisi film ini pada Silena dan teman-temanku yang lain atau belum.
Beruntungnya, sepersekian detik kemudian aku teringat kalau aku sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah ini. Aku menghentikan ucapanku sendiri.
"Kalau begitu apa?"
"Tidak ada," jawabku cepat. "Aku lupa. Nanti akan kuberitahu jika ingat."
"Okay, bye," ia mengakhiri percakapan kami.
"Bye."
Aku hendak mengakhiri panggilannya saat suara Silena kembali terdengar memanggil namaku. "Janji kau akan datang?"
"Tidak," aku kembali menempelkan ponselku di telinga. "Tidak ada janji apapun."
Dengan itu, tanpa menunggu Silena membalas percakapanku, aku segera mengakhiri pangilannya.
Aku terjebak antara pilihan mengatakan semuanya pada orang tuaku, meyakinkan mereka, dan terbang kembali ke New Jersey seperti apa yang dikatakan teman-temanku dan bertahan pada pilihanku untuk tetap membiarkan semua tentang film ini menjadi rahasia di hadapan orang tuaku dan menetap di sini.
Sesaat aku yakin kalau aku harus meyakinkan orang tuaku. Tetapi sebagian dari diriku merasa berat hati dan tidak ingin kembali ke New Jersey. Aku tidak tahu apa yang menyebabkanku seperti ini.
Dua bulan yang lalu, aku merasa yakin kalau aku harus membuktikan hal ini pada mereka. Tetapi saat semuanya sudah di depan mata, aku malah merasakan penyesalan dan membuat pilihan-pilihan bodoh yang membuat diriku sendiri kebingungan. Seakan-akan semua semangatku memudar bersama waktu. Aku hanya menjadi gadis biasa dengan segudang rutinitasnya, gadis yang takut untuk keluar dari zona nyamannya.
Aku mengikatkan hair band yang melingkar di pergelangan tangan ke rambutku. Pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka kemudian pergi ke dapur untuk membuat segelas teh, hal yang setiap pagi kulakukan sejak beberapa waktu lalu.
Aku mengambil teh celup dari lemari. Baru saja aku selesai menuangkan air yang sudah panas ke dalam cangkir, aku mendengar suara mum memanggil namaku.
"Ya?" sahutku tanpa berbalik, masih membuat teh.
"Carissa."
Aku tahu nada bicara seperti badai salju yang satu ini. Dingin dan menyeramkan.
Aku berbalik, bersiap dengan segera semprotan yang kuyakin akan kudapatkan. "Mum, ada-"
"Apa kau meminta Daniel memberitahukan sesuatu padaku?"
[a/n]: maap gais, libur tida membuatku jadi produktif