Kombinasi | New Version

By fairstrawberry

10.7K 1.3K 439

Warna-warni kisah remaja yang berlangsung dengan singkat. Dari mereka, yang masih terus berjuang mengejar cit... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Cast
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga
Lima Puluh Empat

Tiga Puluh

100 12 0
By fairstrawberry

Happy Reading!

Ketiga gadis itu duduk di bangku panjang depan kelas. Menikmati waktu istirahat kedua. Jingga memangku kotak bekal yang berisi roti yang disiapkan oleh ibunya tadi pagi. Ia membagi roti itu pada Aura dan juga Jeni. Aura tak suka dengan makanan yang ada kejunya, oleh karena itu Jingga menyodorkan roti yang isinya selai coklat.

“Makasih,” ucap Jeni. Gadis itu langsung menggigit kecil roti dari Jingga.

Aura menerima roti yang didodorkan Jingga, ia membolak-balik roti tersebut. “Nggak ada keju sama susunya kan?” Ia tak suka keju. Menurut Aura, keju dan susu itu sesuatu yang menjijikkan, seenak apapun makanannya jika ada keju dan susu ia tak akan memakan makanan tersebut.

Jingga menggeleng. Berteman dengan Aura dari awal masuk kelas sepuluh, ia tahu apa yang Aura suka ataupun tidak. “Nope. Itu cokelat doang.”

“Aaaa ... makasih, Beb. Lo emang pengertian,” respon Aura ceria dengan mata berbinar. Ia menggigit roti itu, menikmati roti selai cokelat yang lumer di mulut.

Ketiga gadis itu menikmati makanan masing-masing sambil menunggu jam istirahat usai. Biasanya di jam istirahat kedua Jingga dan Aura pergi ke mushola, namun karena Jingga sedang berhalangan ia tidak salat zuhur, sementara Aura akan Salat ketika bell istirahat kurang lima menit. Karena di jam segini mushola sangat ramai dan harus bergantian meminjam mukena.

“Lihat tuh siapa yang jalan arah jam satu,” bisik Jeni pada kedua sahabatnya. Aura dan Jingga menatap arah jam satu seperti apa yang dikatakan Jeni.

“Subhanallah ... dahi Senja kinclong banget abis Salat. Auranya tuh kayak ada cahaya yang bersinar, dia benar-benar kayak malaikat tanpa sayap,” tutur Aura hiperbolis. “Alan tuh sebenarnya juga cakep. Cakepnya yang nggak ngebosenin kalau dilihat terus. Cuma gue nggak suka sifat tengilnya.”

Netranya menatap Senja tanpa kedip sebelum ia tersadar dan mengalihkan pandangan ke segala arah. Jingga sempat terpana, jatuh akan pesona pemuda tersebut.

“Dia cuma jalan tapi kok ganteng banget ya,” cicit Aura lagi. “Auranya kayak jalan di catwalk.”

Jeni mencibir, “Sadar lo, udah punya pacar juga.”

“Cowok gue nggak di sini santai aja.”

“Dasar. Inget, yang lo puji itu idaman gadis-gadis sesekolah. Banyak cewek cantik, lo mundur aja kalau mau dekatin Senja.” Jeni mendengus.

Aura memutar bola mata. “Di dunia ini nggak ada yang mungkin. Kalau misal Senja suka gue yang biasa aja, ya bisa apa?” tuturnya penuh percaya diri. “Tapi, sayangnya dia bukan tipe gue. Seganteng apapun dia, Senja nggak masuk kriteria pacar bagi gue. Ya cakep sih, cuma ngebosenin. Masih ketolong manis aja itu anak kalau senyum. Bukannya apa ... gue cuma berpendapat doang sih.”

Beberapa detik kemudian Jeni mengangguk. “Iya, sih. Lo benar. Gue pun juga gitu.”

“Eh, Daniela masih suka Senja nggak, sih?” tanya Aura memulai sesi perghibahan. Gadis itu menoleh kanan-kiri, siapa tahu ada orang nguping misi perghibahan rahasia mereka.

Jeni menggigit roti terakhir sebelum mulai memberi informasi yang mungkin sangat akan mendukung ke sesi ghibah selanjutnya. “Masih. Dia gencar banget dekatin Senja. Gue dengar awal kelas sepuluh dia suka sama si S ini. Kalian ingat nggak sih, pas kelas sepuluh dia udah dekatin S, tapi si Snya nggak ngerespon. Like ... biasa aja? S emang perhatian, bahkan ke siapa pun. Setahu gue dia anggap D cuma sebagai teman.”

“Tapi D sempat pacaran sama Kakak kelas, terus pas kelas sebelas gue kira pacaran sama Isha. Ya lo lihat, abis mereka dekat banget.” Aura mengernyit. “Tapi kalau dipikir mungkin cuma sebatas teman, lagian D sama Isha pas SMP satu sekolah.”

“Duh, niatnya gue mau biasa aja, positif thingking. Cuma kok kelakuannya mancing kecurigaan, berkembang pengen gue ghibahin.” Dengan menggebu-gebu, Aura mulai menambah opini-opini. Dan sejak kapan mereka menggunakan nama Daniela menjadi si D? “Ih, tapi sumpah. Gue ngelihat interaksi D sama Isha kayak orang pacaran. Soalnya dulu pas kelas sepuluh mereka biasa aja gerak-geriknya.”

“Iya, mereka sejak kelas sebelas akrab pas D abis putus sama Firman. Terus ya, si D ini balik lagi dekatin S.”

Jingga hanya diam menikmati rotinya yang belum habis. Menjadi penonton sesi association of study statistika focused group discussion yang dibawakan oleh kedua sahabatnya.

“Pada ngobrolin apa nih Ibu-Ibu? Serius banget kayak rapat Departemen Ekonomi,” tanya Alan dalam jarak setengah meter.

Mereka bertiga tersentak dengan kehadiran Alan, juga perkataanya yang tiba-tiba ketika sedang khusyuk association of study statistika focused group discussion. Ketiga gadis itu kompak tutup mulut sebab salah satu oknum pembicaraannya ada dalam jarak dekat.

“Kok pada diam?” Pemuda itu memincangkan mata. “Oh, gue tahu. Pasti pada ghibahin gue sama Senja, ya?”

Maaf Alan, perkataanmu memang benar. Tetapi tidak mungkin ketiga gadis itu mengakuinya. Jingga menelan ludahnya susah payah. Ia berharap Alan tak mendengar apa yang ia bicarakan dengan kedua sahabatnya tadi.

“Lo siapa? Penting banget apa sampai kita ghibahin lo?” tutur Aura dengan nada tak bersahabat.

Alan justru terkekeh. “Gue? Cowok ganteng lah!” ucapnya penuh percaya diri.

Jeni dan Aura membalas dengan gestur seperti orang muntah, sementara Jingga hanya tersenyum kecut. Dan Senja merotasikan bola matanya, ia menarik seragam Alan. “Nggak usah ngadi-ngadi lo,” tukasnya.

Alan berdecak, menepis tangan Senja yang menarik seragamnya. “Ck, punten Hyung ... gue emang tampan dan rupawan.” Ia membetulkan kerah seragamnya sambil tersenyum pongah.

“Hilih, kepedean banget sih jadi cowok,” bisik Aura pada Jeni dan Jingga. “Gue bilang juga apa, anaknya tengil.”

Alan masih mendengar apa yang dikatakan oleh Aura, ia menatap sengit gadis itu. “Heh Aura yang nggak seseksi Joy Red Velved, lo sirik aja sama gue.” Pemuda itu sedikit mencondongkan badannya ke depan, netranya menyipit. “Kita itu harus selalu percaya diri, nggak boleh insecure sama apa yang kita miliki ... dan gue, hanya mengakui dengan jelas kalau gue tampan.” Alan tersenyum, namun senyumnya lebih ke seringai.

“Ya ya ya, terserah lo!” jawab Aura kesal. Meladeni Alan tak akan ada habisnya.

Jeni bersedekap, gadis itu angkat bicara setelah dari tadi terdiam mendengar adu mulut Alan dan Aura. “Maaf, Hyung. Lo masih kalah tampan sama Hanbin Oppa gue,” ucap Jeni tanpa beban.

Alan hendak membalas perkataan Jeni, namun Senja lebih dulu membekap mulut Alan. “Udah deh, nggak usah malu-maluin,” sinis pemuda itu.

Alan melepas tangan Senja yang membekap mulutnya, pemuda itu merengut gemas. “Tega lo sama gue?” Ia pura-pura merajuk, pemuda itu lantas masuk ke dalam kelas, meninggalkan Senja, Jingga, Aura dan Jeni.

“Dih, udah gila,” ucap Jeni, ia geli sendiri melihat tingkah Alan.

“Udah yuk masuk, gue mau balikin ponsel terus salat,” ajak Aura pada kedua temannya.

“Gue mau ngomong sama Jingga boleh?” tanya Senja dengan satu kali tarikan napas.

Ketiga gadis itu saling lirik, seolah memberi sinyal. Jingga mengangguk kecil, memberi tahu kedua sahabatnya bahwa ia menerima tawaran Senja. Kedua sahabatnya paham, akhirnya mereka meninggalkan Jingga dengan Senja.

Menggigit bibir bawahnya, ia bertanya tujuan Senja mengajaknya bicara. “Mau ngomong apa?” Jingga meremas-remas kedua tangannya.

Senja melangkah, ia menjatuhkan bokongnya di samping Jingga. “Besok gue mau ngajakin lo jalan, mau?” ucapnya penuh harap.

“Duh, nggak bisa kalau besok,” jawab gadis itu penuh sesal.

Senja tersenyum meski sebenarnya ia sedih karena gadis itu menolak ajakannya. “Oke, nggak apa-apa. Lain kali bisa kan?” Masih banyak hari, tak ada salahnya Senja mencoba, mencoba lebih dekat dengan Jingga. Ia ingin memastikan perasaannya.

Gadis itu mengangguk, tanda menyanggupi. “Gue usahain.” Kemudian ia tersenyum.

“Kenapa nggak ngajakin jalan Daniela?”

Senja tersentak, begitu dengan Jingga yang tak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Senja menatap gadis itu. Jingga yang ditatap seperti itu rasanya mati kutu, ia bergerak-gerak gelisah.

Wajah pemuda itu berubah datar. “Daniela? Kenapa harus Daniela?” Pemuda Aradhana itu mendengus, ia tak suka jika dikait-kaitkan dengan Daniela. Banyak kesalah pahaman mengenai hubungannya dengan primadona Bahasa itu. “I am not close with Daniela. We just friend. Gue sama dia cuma temen sekelas, temen sekelas lo juga. Gue nggak ada rasa sama dia,” tutur pemuda itu penuh penekanan.

Lagi-lagi Jingga hanya tersenyum. Mana gadis itu menyipit dan berkata lirih. “Bukan nggak ada rasa, tapi belum. Maaf, kalau perkataan gue salah.” Ia menjeda ucapannya sejenak. “Tapi Senja ... lo nggak boleh ngomong gitu. Sekarang lo bilang nggak ada rasa sama Daniela, dan kita nggak tau nanti kedepan gimana. Bisa jadi lo jilat ludah sendiri.”

☼☼☼

Sudah lama mereka tak melakukan hal ini lagi, mungkin tiga tahun yang lalu, terakhir kalinya mereka mendirikan tenda di dalam rumah. Tepatnya di rumah Lingga, mendirikan tenda menghadap halaman belakang. Keduanya bisa leluasa nenatap suasana luar, karena hanya bersekat oleh kaca besar.

Tenda berwarna oranye yang mereka dirikan tidak terlalu besar, namun bisa memuat dua orang di dalamnya. Dulu, setiap hari minggu mereka sering tidur di tenda, berdua. Lalu, di tengah malam, biasanya Lingga akan terjaga. Pada akhirnya Jingga menemani Lingga bernyanyi di tengah malam, diiringi melodi dari gitar yang di mainkan oleh Lingga. Tengah malam juga mereka akan bercerita apa saja, sambil memakan keripik kentang buatan Kia—mama Lingga. Dan sekarang, setelah sekian lama, mereka melakukannya kembali. Rasanya menyenangkan, meski hawa dingin menusuk kulit mereka.

“Tidur sana, udah malam.” Pemuda itu duduk bersila dengan pandangan lurus ke depan.

Jingga berdecak, gadis itu malah menyenderkan kepalanya di bahu Lingga, mencari posisi ternyaman. “Tadi Senja ngajak gue jalan.” Gadis itu menghirup aroma parfum pada hoodie abu-abu yang dipakai Lingga, aromanya masih sama, selalu menenangkan.

Lingga berguman, membenarkan kaca mata yang bertengker di hidung bangirnya. Ia menyimak baik-baik apa yang dikatakan Jingga.

Netranya menatap ke depan, memperhatikan daun-daun yang bergerak karena tertiup angin. “Tapi gue alasan nggak bisa,” tutur Jingga pelan.

“Kenapa?”

Setahu Lingga, Jingga amat sangat menyukai pemuda Aradhana itu. Tapi mengapa, ketika Senja mengajaknya pergi gadis ini malah menolak.

Gadis itu menyembunyikan wajahnya di lengan Lingga. “Gue juga nggak tahu. Rasanya gue pengin nyerah buat suka sama dia. Tapi pikiran dan hati gue isinya Senja. Di sisi lain, berkali-kali gue lihat dia sama Daniela, itu buat gue sadar kalau sekarang gue harus mundur.”

“Lo pernah bilang bakal nyerah kalau udah capek. Sekarang lo udah capek?”

“Senja tadi juga bilang, kalau dia nggak ada apa-apa sama Daniela. Dia nggak ada rasa sama Daniela. Tapi gue malah takut, gue insecure, Lingga.”

Lingga mengatupkan bibirnya, berusaha mencerna semuanya. Itu terlalu tiba-tiba. Pemuda itu merangkul pundak Jingga, memberikan kenyamanan yang ia punya. “The giving up is the hardest part,” respon cowok itu sambil tersenyum tipis. “Mau nyerah, tapi hati sama otak lo isinya dia ya percuma.”

Gadis itu cemberut, bibirnya mengerucut. “Ah! Gue pusing Lingga.”

Lingga menghela napas. “Ikuti kata hati lo. Senja ngajak lo jalan, bukannya itu kesempatan, ya? Lo suka dia udah lama, mungkin sekarang saatnya perasaan lo terbalaskan. Mending lo chat Senja, bilang lo mau ikut ajakannya.”

Jingga menegakkan tubuhnya, gadis itu menatap Lingga tanpa kedip. Kesempatan? Benarkah ada kesempatan untuknya?

Lingga meraih gitar cokelat miliknya. “Terima aja. Nggak usah peduli sama Daniela. Kalau Daniela sama Senja main-main, biar gue yang hadapin mereka.” Pemuda Ananta itu lantas memetik senar gitarnya, terdengar melodi indah mengalun di udara.

When you're dreaming with a broken heart

The waking up is the hardest part

You roll outta bed and down on your kness

And for a moment you can hardly breathe

Pemuda itu menoleh, netranya bertemu manik mata hitam yang indah milik Jingga.

“Biar semua ngalir dengan sendirinya. Mending ... kita nyanyi bareng? Udah lama kita nggak kayak gini.”

Gadis itu mendengus, namun selanjutnya ia tersenyum. “Jangan lagunya Jhon Mayer terus dong.” Ia sedikit berpikir. “Gue lagi pengin lagunya Coldplay yang Fix You, lo yang nyanyi.”

“Dih,” cibirnya. “Berani bayar berapa lo nyuruh gue nyanyi lagunya Coldplay?”

“Calon Dokter pelit amat. Buruan!” geram Jingga.

“Apa korelasinya coba.” Meski terlihat ogah-ogahan, Lingga tetap melaksanakan apa yang Jingga suruh. Ia menunduk serius, memetik senar gitar, dan mulai terdengar alunan indah.

When you try your best but you don't succeed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can't sleep

Stuck in reverse

Jingga menatap Lingga yang fokus bernyanyi, sebelum netranya menerawang langit gelap di luar sana. Jingga pernah berusaha sebaik mungin, mamun semua tak sesuai dengan yang ia mau. Apa yang dilakukan selalu gagal. Ia juga pernah mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, namun ia tak benar-benar membutuhkan. Semua terlalu rumit, membingungkan.

And the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone but it goes to waste

Could it be worse?

Lights will guide you home

And ignite your bones

And i will try to fix you

Hari kian larut, semilir angin menusuk sampai ke tulang-tulang. Lampu ruangan telah padam beberapa jam yang lalu, hanya ada pencahayaan minim dari lampu LED berwarna oranye yang di letakkan dekat tenda mereka. Di bantu pancaran sinar dewi malam yang memantul dari luar sana.

Sunyi. Sepi. Semua orang terlelap di alam mimpi. Tapi ... dua anak manusia itu masih terjaga, seolah tak kenal lelah. Dua anak manusia itu hanyut pada pikiran masing-masing. Menerka-nerka akan terjadi apa di hari esok ketika mereka terbangun.

Adakah yang lebih buruk dari kehilangan sesuatu yang tak tergantikan?

Adakah yang lebih buruk dari mencintai seseorang namun bertepuk sebelah tangan?

☼☼☼

“Eh Lingga? Masuk aja Pak ketua, nggak usah sungkan,” ucap Citra yang kebetulan tempat duduknya dekat pintu. Suara Citra barusan membuat semua anak 12 Bahas menoleh ke ambang pintu. Menatap Lingga yang masih berdiri di sana.

Saat itu bertepatan jam istirahat pertama, dan kelas 12 Bahasa selalu berubah menjadi restoran. Kelas sedang ramai-ramainya. Karena pada jam itu, anak Bahasa biasanya memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kelas, membuka kotak bekal masing-masing dan makan bersama.

Kehadiran Lingga di kelas Bahasa membuat penghuni kelas menjadi sedikit hening. Pemuda Ananta itu datang dengan tumpukan kertas yang terlipat rapi, diduga adalah surat dari sekolah alias surat pemberitahuan UAS.

“Surat apa tuh, Li?” Suara Vizco dari belakan memecak keheningan. Datangnya Lingga ke sini membuat penghuni kelas menahan napas. Pasalnya, dulu ketika Lingga menjabat sebagai Ketua OSIS, pemuda itu sangat tegas dan disiplin  Dan auranya masih kebawa sampai jabatannya lengser. Hal itu membuat anak-anak sungkan kepadanya. Dia masih tertib, terbukti dengan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana. Terlihat licin dan bersih sekali kemeja pemuda itu.

Ia menaruh surat yang jumlahnya tiga puluh itu di atas meja Yudha. “Surat pemberitahuan UAS. Jangan lupa yang belum bayar SPP bulan ini segera dilunasin,” jelas Lingga dengan singkat. Tidak ada basa-basi sama sekali.

“Eh, serius nih minggu depan UAS?” tanya Satriya terkejut.

“Iya,” responnya.

“Kalau surat undangan kita kapan, Pak ketua? Surat pemberitahuan UAS aja udah disebar, masa surat undangan kita belum,” tutur Anggia dengan malu-malu. Gadis itu pipinya sudah memerah, akibat menahan tawa. Semua penghuni kelas bersorak, menggoda Anggia dan Lingga dengan terang-terangan.

Lingga diam, berdiri tegap. Tangannya bertautan, bersembunyi di balik punggungnya. Wajahnya masih tak menghadirkan sedikitpun ekspresi. Padahal semua penghuni kelas Bahasa sudah tertawa mendengar ucapan Anggia.

Jingga meredakan tawanya. Gadis itu mendengus kala menatap Lingga yang masih saja mempertahankan sisi coolnya. Andai saja semua orang tahu, kalau pemuda yang digadang-gadangkan banyak orang itu tak secool seperti sekarang, yang dilihat di sekolah. Tak ada yang tahu kalau pemuda itu sangat bucin dengan semangka, juga tingkahnya yang kekanak-kanakan. Hanya ia, keluarganya, orang tua pemuda itu, dan sahabat dekatnya yang tahu kalau Lingga itu recehnya minta ampun.

“Udah dong Nggi, nggak usah ngimpi terus. Lingga nggak bakalan mau sama lo,” tukas Daniela yang ada di belakang Anggia. Semua orang tahu, Anggia hanya bercanda. Karena Anggia sukanya sama mantan Ketua Bantara, yang judesnya minta ampun kalau sama orang asing.

“Kalau nggak ada yang ditanya gue permisi,” kata Lingga. Pemuda itu sempat melirik Jingga sebelum ia memberi delikan tajam kepada sahabatnya—Senja dan Alan, yang duduk di belakang menertawakannya.

“Sahabat lo tuh ngadi-ngadi, gayanya sok cool,” ujar Alan sedikit berbisik pada Senja yang duduk di belakang sana.

☼☼☼

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

2.1M 108K 42
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6.2M 342K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
338K 31.4K 33
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
5.9M 414K 56
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...