Hari-hari kembali berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa sudah satu minggu berlalu dari semenjak pembicaraan yang di akhiri dengan kalimat membingungkan yang diucapkan oleh Haikal, pria yang akhir-akhir tak mau juga pergi dari pikiran Fifi.
Meski terdengar biasa saja karena diucapkan oleh pria setua ayah kandung Jovan itu, Fifi tak bisa mengenyahkannya dari kepalanya. Serasa ada yang mengganjal. Seolah-olah ada pesan tersirat yang hendak disampaikan padanya.
"Ngelamunin apa sih, Fi? Soalnya ada ibu-ibu hamil yang mau curhat tapi malah dianggurin."
Dumelan bernada kesal tersebut membuat Fifi mau tak mau harus memaksa dirinya untuk sejenak melupakan masalah yang kini tengah menjadi buah pemikirannya. Saat menoleh ke arah depan, Fifi hanya bisa tersenyum simpul saat mendapati wajah Maudy yang merengut kesal karena sempat diacuhkan olehnya.
"Kalau tau bakal dianggurin kayak obat nyamuk gini, mending aku ngejagain mas Ryan aja di kantor. Biar nggak ada lagi perempuan-perempuan genit yang godain dia." lagi Maudy mengutarakan kekesalannya. Wanita muda yang juga sedang hamil muda itu bahkan tak malu mencebikkan bibirnya sebagai bentuk protes atas sikap mengesalkan sahabatnya itu.
"Iya deh aku minta maaf." tulus Fifi berucap. Ia yang mengetahui mengenai hormon wanita yang sedang hamil memilih untuk lebih banyak mengalah. Toh tidak ada salahnya untuk menjaga moodnya Maudy agar tetap terkendali. "Aku janji, akan jadi pendengar yang baik buatmu. Sekarang, coba kamu ceritain apa masalah kamu."
"Udah nggak mood lagi buat curhat sama kamu. Abisnya kamu ngeselin banget jadi orang." ketus Maudy menjawab seraya memalingkan wajah, enggan menatap dirinya.
Fifi kemudian terkikik kecil melihat tingkah Maudy yang hampir sama seperti Jovan saat sedang merajuk padanya. Anaknya itu pasti akan menolak berbicara dan tak mau melihat ke arahnya.
Sering kali Fifi bertanya-tanya, bagaimana caranya suami Maudy bisa begitu sabar menghadapi sikap Maudy yang manja dan keras kepalanya yang semakin bertambah seiring dengan usia kehamilannya?Fifi meyakini pasti dibutuhkan kesabaran ekstra agar emosinya tetap terkendali.
"Jangan ketawa deh, Fi, kalau nggak mau aku semakin marah sama kamu."
"Soalnya kamu lucu, Dy. Aku jadi ngeliat Jovan pas kamu ngambek kayak gitu."
Bibir Maudy semakin cemberut mendengar ucapan Fifi yang menyamakan dirinya dengan anak yang belum genap berusia enam tahun. Wanita hamil yang seringkali sensitif bahkan untuk hal yang paling kecil itu menyedekapkan kedua tangannya di dada, lalu kemudian berkata dengan kalimat yang semakin menunjukkan sisi kekanak-kanakannya, "Liat aja, pas nanti mas Ryan jemput aku di sini nanti, aku bakalan aduin kamu sama dia. Biar kamu tau rasa dimarahin sama dia."
Dengan sengaja Fifi menghembuskan napasnya keras-keras. Sifat kekanakan Maudy yang dulu memang sudah ada makin bertambah berkali-kali lipat semenjak sahabatnya itu hamil. Meski terkadang terlihat lucu, namun tak jarang juga Fifi merasa kesal dibuatnya.
Bayangkan saja, bagaimana seorang wanita yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai seorang ibu itu bisa bertingkah seperti anak kecil yang kalah dalam perdebatan, sehingga mengancam akan mengadu kepada orang tuanya.
Jika Maudy sudah bersikap seperti ini, Fifi ingin sekali berteriak dan menanyakan kepada pria yang telah menikahi sahabatnya yang super manja mengenai berapa banyak kesabaran yang pria itu miliki sehingga begitu sabar menghadapi Maudy di masa-masa kehamilannya yang selalu menguras emosinya itu?
"Nggak usah nanya mas Ryan, soal gimana dia bisa sabar ngadapin aku. Kamu tanya gimana pun juga, jawaban dia pasti cuma senyum sambil bilang udah cinta mati sama aku."
Perkataan bernada bangga tersebut membuat Fifi mendengus saat mendengarnya. Meski kesal, tapi Fifi tak bisa mengelak bahwa ia juga merasa iri melihat berapa kebahagiaan kini tengah melingkupi Maudy. Jika dibandingkan dengan kehidupan miliknya yang dipenuhi dengan lika-liku penderitaan sebelum ia bisa seperti sekarang, rasanya kebahagiaan yang Fifi miliki belum bisa dibandingkan dengan Maudy.
Akan tetapi, Fifi bukanlah wanita yang berpikiran dangkal. Rasa iri itu tidak pernah ia biarkan menetap lama dalam dirinya. Karena Fifi meyakini, bila sudah waktunya, maka ia juga bisa merasakan kebahagiaan yang sama.
"Eh Fi, ngomong-ngomong, gimana perkembangan hubungan kamu dengan temannya mas Ryan? Ada kemajuan apa nggak?" bagaikan angin yang bisa berhembus kapan saja, mood Maudy pun cepat sekali berubah. Bila tadi ia nampak kesal, maka sekarang ia terlihat sangat penasaran mengenai kehidupan asmara Fifi.
"Kemajuan gimana maksudmu, Dy?" Fifi pura-pura tak tahu. Bahkan untuk mengalihkan perhatian, wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah lain asalkan tidak menatap langsung mata Maudy yang ia yakini pasti sedang menyorotinya dengan tatapan penuh penasaran.
"Alah... pakai pura-pura nggak ngerti segala." Maudy mengibaskan tangannya di udara. Tapi, istri dari Ryan Permadi itu memutuskan belum ingin menyerah. Karenanya ia kembali berkata, "Kamu itu nggak bisa bohongin aku. Soalnya, beberapa hari yang lalu aku nggak sengaja dengan mas Ryan ngomong sama temannya itu soal lamarannya yang terus kamu tolak. Kasian itu loh, Fi, om-om kesepian itu kamu tolak terus niat baiknya. Katanya, hal baik itu jangan ditolak kalau nggak mau nyesal nantinya."
Setelah mendengar apa yang Maudy katakan, Fifi hanya menghela napas seraya menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang ia duduki. Sedangkan tatapannya menerawang jauh sembari mulai bertanya-tanya dalam hati, kenapa perasaan tak mengenakan dalam hatinya semakin terasa?
🍊🍊🍊
Kata orang, sepandai-pandainya seseorang menyembunyikan bangkai, pada akhirnya baunya akan tercium juga. Itulah hal yang kini sedang di hadapi oleh Ardenia saat kakinya menapak tepak di pintu utama di rumah yang kini hanya ditempati oleh wanita muda yang sampai beberapa detik lalu masih ia anggap sebagai menantunya.
Betapa sakit hatinya Ardenia kalau mendengar perbincangan dua orang berlainan jenis kelamin yang suaranya masih bisa ia dengar dengan jelas dari tempat ia berdiri saat ini. Beruntungnya lagi, terdapat sedikit celah pintu yang tak tertutup rapat entah oleh siapa yang lupa menutupnya kembali.
Sungguh, hanya dengan mendengarnya saja sudah membuat Ardenia geram. Andai tak ingin mengetahui lebih banyak cerita yang mendasari perceraian anaknya, mungkin saat ini Ardenia sudah mendobrak masuk dan memberikan beberapa tamparan di pipi Puspa sebagai upaya pelampiasan amarahnya.
Dan tanpa Ardenia sadari, seiring dengan semakin banyaknya fakta yang ia ketahui, air matanya mengalir dengan sendirinya menuruni pipinya.
Wanita paruh baya itu tiba-tiba saja didera penyesalan yang teramat sangat. Kemudian, banyak sekali kata 'andai saja' menggayuti benaknya. Jika bisa, Ardenia ingin sekali saat ini berdiri di hadapan putra semata wayangnya. Mengucapkan beribu-ribu maaf, lalu memeluk anak yang dulu rela melepaskan kebahagiaannya demi seorang ibu yang egois seperti dirinya.
Dalam diamnya, Ardenia mencoba untuk mendengar apa saja isi dari pembicaraan kedua orang yang tak menyadari kehadirannya itu.
"Kamu masih sering ketemu sama Bagas, Kin?"
"Ngapain kamu nanyain itu? Udah kayak polisi yang lagi ngintrogasi tersangka aja."
"Kamu 'kan tau kalau aku bukan tipe orang yang suka mencampuri kehidupan pribadi orang lain. Tapi, buat hubungan kamu dengan mantanmu itu, jujur aja aku nggak suka ngeliat kamu masih berhubungan dengan lelaki yang nggak bisa setia sama pasangannya itu."
"Dia cuma nggak setia sama istrinya. Tapi lain halnya denganku."
Pernyataan bernada bangga tersebut membuat Ardenia yang sedari tadi menahan diri agar tak meledak dalam amarah merasa sangat geram. Ia marah tentu saja. Tidak hanya kepada Puspa tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Bagaimana bisa selama belasan tahun ini Ardenia begitu buta, sehingga tak bisa membedakan seberapa busuknya mantan menantu yang baru ia ketahui tak bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita itu. Yang lebih parahnya lagi, Ardenia bahkan terus menerus melimpahkan kesalahan kepada Haikal atas kandasnya rumah tangga putra semata wayangnya itu.
Oh Tuhan... Ardenia menghela napas berat seraya memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Rasa bersalah yang Ardenia tanggung semakin besar saja. Namun, demi untuk mengetahui sebesar apa kesalahan yang telah ia perbuat, Ardenia menolak untuk beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. Ia bertekad untuk mendengar semua kebenaran yang keluar dari mulut wanita munafik yang pernah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.
"Aku nggak tau lagi harus gimana nasehatin kamu, Kin. Otakmu itu udah bebal. Sampai apapun nasehat yang aku kasih, mental semuanya jadinya."
"Kalau gitu, kamu lebih baik diam aja, Dim." Puspa menjawab tak peduli. Wanita itu bahkan menambahkan dengan kalimat lainnya di beberapa detik kemudian. "Lagian ya, Dim, biarpun hubungan aku sama Bagas itu merupakan penyebab hancurnya rumah tanggaku dengan mas Haikal, kamu harus tau kalau aku ini tetaplah perempuan biasa. Yang di saat kesepian, aku butuh seseorang untuk menemaniku."
"Tapi nggak harus dengan ngenalin hubungan dengan suami orang, Kin." suara Dimas terdengar putus asa. "Rasa sepi kamu itu bisa kamu hilangkan dengan berkumpul bersama kedua orang tuamu. Seenggaknya, Kin, jagalah martabat kamu sebagai seorang wanita. Jangan hanya karena alasan sepele seperti itu, kamu membutakan mata dan hatimu, lalu lebih memilih menyakiti wanita lainnya."
"Alah, Dim, nggak usah terus nasehatin aku gitulah."
"Kin... "
"Mending kamu lanjutin aja pengejaran kamu sama incaran kamu yang masih belia itu daripada terus di sini dan ngomongin hal yang nggak ada pentingnya buatku itu."
Untuk beberapa saat menit lamanya Ardenia tak lagi mendengar percakapan. Lalu, tidak lama kemudian pintu di hadapannya terbuka lebar dan menampakan satu sosok yang pernah cukup familiar di matanya itu.
Tampak jelas jika pria yang ia kenal dengan nama Dimas itu terkejut saat melihat dirinya. Akan tetapi, pria yang berprofesi sebagai dokter itu dengan cepat dapat menguasai dirinya. Dan, hanya dalam hitungan detik setelahnya pria itu memberikan seulas senyum seraya menundukan sedikit kepala sebelum berlalu pergi dari hadapannya, meninggalkan sang mantan menantu yang matanya membeliak ngeri menatap ke arahnya.
Meski begitu, Ardenia sangat enggan untuk hanya sekadar melangkah masuk ke dalam rumah dimana dulu pernah menjadi tempat tinggal putranya itu. Marah sekaligus benci kini bernaung dalam hatinya membuat Ardenia harus sekuat tenaga agar tak menyemburkan sumpah serapahnya.
"Bu... " lesu Puspa mencoba menggerakan kakinya untuk menghampiri wanita paruh baya yang saat ini sedang menatap dingin dirinya. Sekujur tubuh Puspa merinding kalau tak lagi mendapat tatapan lembut seperti biasanya. "Itu... yang ibu dengar, semuanya cuma salah paham. Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya." imbuh Puspa dengan nada memelas.
Namun tanggapan yang Ardenia berikan hanyalah diam dan terus menatap tajam wanita yang beberapa saat lalu masih memiliki kriteria menantu sempurna di matanya itu. Sekarang, di mata Ardenia, Puspa tak lebih berharga dari sebagian wanita yang hanya demi harta dan nafsu dunia rela melakukan apa saja demi mewujudkan semua keinginannya.
"Masuk dulu, bu, kita bicara di dalam. Nggak enak diliat tetangga kalau kita ngomongnya di muka pintu kayak gini. Aku janji bakal menjelaskan semuanya sama ibu."
"Apa lagi yang perlu dijelaskan, Puspa?" tanya Ardenia dengan nada tak suka. Lalu, beberapa detik kemudian ia kembali berkata, "Lagi pula saya tidak sudi masuk ke dalam rumah dimana kamu pernah bermain api dengan laki-laki lain di belakang anak saya."
"Tunggu dulu, bu, semuanya itu cuma salah pa... "
"Salah paham apanya?" Ardenia tak ingin memberikan kesempatan kepada Puspa untuk kembali mengarang cerita dustanya. Kali ini ia tidak mau dibutakan lagi oleh hal yang sudah ia ketahui kebenarannya. "Sekarang saya akhirnya tau mengapa Haikal bisa sampai jatuh hati dengan perempuan lain. Semua itu karena ulah kamu sendiri yang tidak bisa menjaga kehormatan kamu sebagai seorang istri. Benar-benar memalukan!"
Puspa kehilangan kata-kata. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang tak lagi muda itu hanya bisa terdiam bahkan setelah wanita paruh baya yang selama ini mendukungnya berlalu pergi setelah mengucapkan kalimat yang membuat ia merasa bahwa tidak ada lagi harapan baginya untuk memiliki Haikal kembali.
"Saya menyesal pernah menjodohkan kamu dengan anak saya! Mulai sekarang, kalau tidak ingin aibmu saya bongkar di depan orang banyak, maka jangan berani lagi menampakan muka munafikmu itu di depan saya!!"
🍊🍊🍊
🍀🍊🍊🍀
Salam, eria90 🐇
Pontianak,-12-01-2020