Alvito memijat kepalanya, barusan mamanya menelepon dan menangis lagi, bercerita tentang hidupnya yang nelangsa setelah perceraian. Hati Alvito sakit. Kehidupan mamanya hancur setelah perpisahan itu.
Dulu mama meminta agar Alvito ikut dengan papanya, karena dia sadar dia tidak bisa memberikan kehidupan yang nyaman untuk Alvito. Apalagi saat itu Alvito sedang giat-giatnya merintis usaha, dia butuh saran papanya. Papa memang sangat berperan pada keberhasilan Alvito.
Beberapa tahun lalu Alvito mengajak mamanya tinggal bersama dia. Dia juga telah membeli rumah, walau tidak sebesar rumah lama mereka. Tapi beliau tidak mau. Mama Alvito berkata dia tidak ingin Alvito bertengkar dengan keluarga barunya. Terutama papanya yang sekarang membenci mama. Sekalipun papanya tidak pernah mengatakan hal itu, Alvito bisa merasakan.
Hati Alvito terasa kosong dan hampa sejak lama. Sampai kehadiran Mischa dalam hidupnya, tapi sayang itu tidak bertahan lama. Cinta? Apa itu? Begitu cepat perasaan manusia berubah.
Lamunannya terhenti saat Alvito melihat kelender. Dia tersenyum senang. Berduaan di rumah dengan Mischa? Siap-siap sayang.
"Sibuk bang?" Alvito menoleh saat karyawannya masuk ke ruangan.
"Oh kamu Bram. Kenapa?"
"Ada tawaran kerjasama dari komunitas kayu. Ini proposalnya." Bram duduk di depan meja Alvito.
Alvito menerima proposal itu, "Bagus juga. Ya boleh saja, memang kita perlu merangkul komunitas. Kamu temui saja penanggung jawabnya."
"Oke bang. Oh iya kemarin saya ketemu adik Bang Vito. Mischa."
Alvito menoleh, memang di kantor pembawaan Alvito sangat ramah sehingga karyawannya tidak segan berbincang, bahkan untuk masalah pribadi.
"Oh ya?"
"Ternyata sempit kota ini bang. Padahal saya sering mendengar nama adik abang itu." Bram tertawa.
"Kamu bikin aku penasaran Bram."
"Teman akrab saya, naksir berat dengan adik abang sudah lama. Dia sering cerita ke saya."
"Oh, Mischa memang banyak penggemar." Alvito tersenyum.
"Susah ya bang punya adik cantik."
"Merangkap jadi bodyguard, tapi nggak dibayar," jawab Alvito. Mereka berdua tertawa.
"Kasian si Lando, banyak saingan."
Alvito bergumam. "Kamu teman Lando?"
Bram mengangguk.
"Jadi kemarin kalian, maksudnya kamu dan Lando bertemu dengan Mischa?"
"Iya, jadi kaya double date bang. Soalnya Mischa bersama temannya juga."
Oh Sialan.
Alvito tertawa. "Asyik ya jadi anak muda."
Bram berpamitan keluar dari ruangan Alvito.
"Mischa, kamu mau main-main?" Alvito melirik smartphone-nya.
Ada pesan dari Mischa yang belum sempat di balas.
"Abang pulang jam berapa hari ini?"
Alvito mengetik pesan balasan.
''Nggak pulang"
"Kenapa?"
"Malas saja."
"Ih kenapa gitu sih?"
"Sedih."
"Apa sih?"
"Abang diselingkuhin."
"Apaan sih????"
Alvito sengaja tidak membalas lagi. Mischa menelponnya. Alvito mengabaikan. Setelah suara deringannya tidak lagi terdengar. Alvito baru membalas pesan.
"Kemarin diam-diam bertemu Landak."
"Nggak sengaja juga. Pasti Bram yang ngadu."
"Kalau nggak sengaja kenapa nggak bilang?"
Alvito terkikik. Seperti anak kecil saja mereka berbalasan pesan itu.
"Belum sempat."
"Abang nggak mau pulang."
"Jangan gitu, sad"
Alvito tidak membalas.
"Emmm...bales abang."
Alvito masih memantau.
"Ya sudah kalau nggak mau pulang."
Apa? Begitu saja? Mischa mulai memainkan strateginya? Balas ngambek. Alvito segera membalas.
"Bilang saja kalau Mischa terpaksa menerima abang."
Tidak ada balasan. Eh apaan nih, niat ngerjain malah dikerjain.
***
Mischa menangis tersedu. Dia kesal karena pesan Alvito menuduhnya selingkuh. Padahal...padahal Mischa telah memberikan seluruh dirinya untuk lelaki itu.
Terserah! Kalau nggak mau pulang. Nggak usah pulang sekalian.
Pandangan mata Mischa kabur karena air mata. Mischa merasakan kemelut saat ini. Memikirkan hubungan terlarangnya, memikirkan dirinya yang bercinta habis-habisan dengan seorang lelaki, hal-hal yang tak pernah dia pikirkan akan dia lakukan. Sembunyi dari mama. Sembunyi menahan perasaan. Mischa mulai merasa sesak.
Tadi, dia ingin suara lembut Alvito menenangkannya. Yang ada malah membaca pesan yang menyakitkan itu.
Mischa membanjiri bantalnya dengan air mata. Pikirannya begitu kosong. Hatinya sakit. Mischa belum pernah mencintai seorang lelaki sebelumnya. Untuk pertama kalinya dia meyakini bahwa dia mencintai Alvito, abang tirinya itu. Tapi bukan Mischa duluan yang memulai.
Mischa tidak menyadari pintu kamarnya terbuka. Kemudian dikunci kembali.
"Ssttt..."
Alvito kaget saat mendapati Mischa yang menangis terisak. Tadinya dia pikir Mischa hanya pura-pura ngambek. Ya Tuhan! Hati Alvito tersayat melihat air mata Mischa. Bagaimana nanti? Bagaimana dengan rencananya? Sementara melihat Mischa menangis pertahanannya hampir bobol.
Alvito memeluk Mischa erat. Mischa tergugu dan gemetar di pelukannya. Alvito memejamkan mata, rambut Mischa wangi. Dia tak bicara sepatah katapun.
"Mischa." Terdengar ketukan di pintu kamar Mischa.
Mama Arisa? Ngapain malam-malam begini? Sialan. Alvito menahan nafas.
"Sayang kamu sudah tidur?" Terdengar lagi suara itu bertanya.
Mischa telah berhenti menangis, Alvito membelai-belai rambutnya. Akhirnya ketukan di pintu berhenti. Alvito menghela nafas lega.
"Liat abang," bisik Alvito.
Mischa akhirnya mengangkat wajahnya, menatap mata Alvito dengan matanya yang indah. Alvito mengusap pipi Mischa.
"Baju abang bagus-bagus dijadiin lap ingus."
Mischa memukulnya pelan.
"Ngapain pulang? Pergi sana, katanya nggak mau pulang."
"Habis abang cemburu sama Lando. Mischa diam-diam bertemu pria lain."
"Mischa nggak suka abang nuduh Mischa yang nggak-nggak. Padahal Mischa nggak pernah pacaran sama Lando."
"Iya deh. Masa gitu aja nangis." Alvito mengecup bibir Mischa lembut. "Coba bilang kenapa sampe nangis sedih gini?"
Mischa diam tidak menjawab.
"Ayolah."
"Mischa kepikiran sama hubungan kita. Mischa takut. Mischa ngerasa sembunyi-sembunyi bohong sama mama dan papa."
Alvito menarik nafas, "Ini salah abang, karena mencintai Mischa."
Mischa terdiam. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Alvito. Membenamkan wajah di dadanya. Tangan Alvito yang membelai rambut dan punggung Mischa bergantian membuatnya nyaman.
"Kata Tante Rika abang punya pacar? Siapa itu? Abang jangan bohong."
"Itu Mischa."
"Tante Rika bilang sudah tiga bulan yang lalu."
"Abang sudah lama mencintai Mischa."
"Nggak percaya."
"Secepatnya abang akan bilang sama papa dan mama."
"T-tapi kalau papa dan mama marah?"
"Mischa nggak perlu pikirkan itu sayang, biar abang yang memikirkan." Alvito mengangkat tubuh Mischa ke atasnya. Wajah mereka berhadapan. Matanya sembab, bibirnya mengulum basah.
Mischa mencium bibir Alvito, Alvito membalasnya dengan bergairah. Lama mereka saling berpagutan.
"M-Mischa mau pegang perut abang."
"Tubuh abang milik Mischa, lakukan yang Mischa suka."
Mischa menarik kemeja Alvito yang mulai kusut, menelusupkan tangan ke perut rata pria itu. Mischa membaringkan lagi kepalanya di dada Alvito sambil mengusap-ngusap perutnya, merasakan kulit mereka bersentuhan.
"Abang nggak berat?" Mischa bertanya karena Tubuh Mischa yang berada di atas Alvito saat ini.
"Nggak."
"Hmm."
"Abang suka kamu di atas abang." Wajah Mischa memerah mendengar kata-kata itu.
"Kenapa abang belum ganti baju?" Aroma Alvito begitu kentara saat ini, membuat Mischa mabuk kepayang. Apapun kondisinya, tubuh Alvito selalu wangi.
"Tadi buru-buru ke sini, nggak sempat ke kamar."
"Ih padahal dekat aja." Mischa memajukan bibirnya.
"Abang nggak sabar mau ketemu kamu."
"Tadi aja katanya nggak mau pulang."
"Abang becanda. Mana abang tau kalau Mischa sesedih ini."
"Pikiran Mischa lagi kalut."
"Sudah jangan dipikirkan lagi." Alvito melingkarkan tangannya memeluk erat tubuh Mischa.
"Tidur di sini?" Mischa bertanya ragu. Alvito mengangguk, dia sudah tidak peduli apapun.
"Kenapa tadi Mischa mau abang ganti baju? Mau ngapain? Mau aneh-aneh, ya?"
"Ihhh nggak."
Alvito tertawa geli. "Ayo kita tidur."
Mischa merasa sangat nyaman berada dalam pelukan lelaki itu. Dia bahkan tidur sangat pulas.
🌿
1-20/12/19