Aldy
"Udah gue bilang, PERGI DARI SINI!" teriak Amanda. "Gue nggak mau lihat muka lo di sini. PERGI!"
Amanda semakin kuat mendorong pintunya dan kakiku semakin sakit tapi aku tetap tidak menariknya sebagai pengganjal pintu. Aku menggigit bibir bagian bawahku menahan rasa sakit di kakiku.
"Lo udah tahu di mana gue tinggal dan kayak apa rumah gue sebenernya. Lo pasti bakalan ngebocorin semuanya ke temen-temen di sekolah, kan? Lo pasti bakal ngehina gue dan ngetawain gue habis-habisan karena gue bukan orang kaya kayak yang selama ini gue bilang sama lo. Kalo lo mau bilang ke semua orang, silahkan! Tapi gue minta lo pergi dari sini sekarang juga!" Amanda marah-marah.
"Enggak. Aku nggak akan ngelakuin itu," ujarku dengan menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. "Aku nggak akan tanya apa-apa, aku nggak akan ngomong apa-apa sama semua orang. Aku janji nggak bakal bocorin apa pun sama mereka. Aku ke sini cuma mau jenguk kamu. Aku khawatir sama kamu. Please, percaya sama aku Manda," pintaku dengan tulus.
"BO'ONG!" seru Amanda tak percaya. "Gue bilang PERGI!" Amanda menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya untuk mendorong pintu dengan sekuat tenaga.
"Arggggghhh!!!" Aku sudah tidak sanggup lagi menahan sakit di kakiku.
Amanda tampak terkejut dengan apa yang terjadi. Sejak tadi dia sama sekali tak peduli dengan apa yang aku alami tapi setelah mendengar teriakanku kelihatannya dia mulai menunjukkan reaksi yang lain selain kemarahan. Amanda melepaskan pegangan pintunya dan membiarkan pintu terbuka karena doronganku.
Kaki kananku terbebas dari menjadi ganjalan pintu. Aku memegangi kakiku yang terasa berdenyut-denyut dan perih di dalam sepatu. Tapi sekali lagi aku mengabaikan rasa sakitku itu untuk kembali memberikan penjelasan kepada Amanda.
"Man, aku nggak akan tanya apa pun. Kamu percaya kan, sama aku?"
Amanda terdiam menatapku. Seperti yang selalu dilakukan orang-orang, dia juga sedang meneliti wajahku. Mencari kebenaran dalam wajahku. Apakah itu mungkin bisa?
"Duduk," ujar Amanda tanpa ekspresi. Dia berjalan menuju kursi yang ada di teras rumah dan mendudukinya tanpa menatap ke arahku.
Aku pun mengikutinya dengan jalan sedikit pincang, duduk di sebelah Amanda.
"Manda?" Aku semakin khawatir melihat Amanda yang diam seperti itu. Apa yang sedang dia pikirkan? Beratkah beban pikirannya? Aku ingin membantu meringankan beban pikirannya.
"Dari mana lo tahu rumah gue?"
"Dari Bibi di rumah seberang jalan," jawabku.
Amanda diam. Dia tahu rumah mana yang kumaksud. "Lo serius kan sama apa yang lo bilang tadi? Lo nggak bakal bocorin ini ke semua orang?"
"Aku serius," kataku mantap. "Aku janji nggak akan kasih tahu siapa pun tentang ini."
Amanda menghela napas. Sudah sedikit agak tenang kelihatannya. "Oke. Gue percaya sama lo."
Sebuah senyuman tipis akhirnya bisa kutunjukkan untuknya.
"Tapi ... kalo suatu saat nanti sampe ada orang yang tahu, itu pasti lo penyebabnya. Karena cuma lo yang tahu rahasia gue." Amanda berkata dengan tenang tapi tegas dan meyakinkan. "Dan kalo sampe semua itu terjadi, gue bakalan marah dan benci sama lo. Gue nggak bakal mau kenal atau ketemu sama lo lagi. Lo ngerti kan, maksud gue?"
Meskipun kedengarannya sangat mengerikan untukku, tapi aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Aku tidak akan melakukan itu dan menyakiti Amanda. Itu tidak mungkin terjadi. "Iya. Gue janji bakalan simpen rahasia ini."
"Terus? Gimana?"
"Gimana apa?"
"Lo udah tahu semuanya kalo ternyata gue bukan orang kaya. Lo masih mau temenan sama gue?" tanya Amanda.
"Kenapa aku harus nggak mau temenan sama kamu?" Aku melihat Amanda sekarang menatapku. "Aku kepengen jadi temen kamu bukan karena kamu orang kaya, anak pejabat, atau apa. Tapi karena aku tulus pengen jadi temen kamu. Aku nggak peduli kamu mau anak orang kaya atau enggak. Itu semua nggak penting kok, buat aku."
Amanda tertawa sinis mendengar ucapanku.
Lucu kah?
"Setelah bertahun-tahun, baru kali ini gue denger kata-kata macam ini."
"Maksudnya?"
Amanda menerawang jauh ke langit, mencoba mengenang sesuatu dan mengeluarkan sedikit beban di hatinya yang selama ini dipendamnya sendirian. "Dulu emang gue anak orang kaya, Al. Papa gue seorang pengusaha sukses yang punya banyak perusahaan cabang di kota-kota besar. Tapi ... dia bangkrut. Dan kami jatuh miskin. Ya, kayak yang lo lihat ini, deh."
"...."
"Nggak kuat dengan beban hidup yang semakin menyiksa, Papa gue akhirnya sakit-sakitan dan meninggal karena serangan jantung. Hidup gue sama mama gue semakin susah dan menderita. Bahkan kami sempet jadi gelandangan selama berbulan-bulan."
Amanda tertawa sinis. Lagi-lagi? Sesuatu yang menurutku tidak lucu ini mungkinkah lucu di matanya. "Lo pikir kenapa gue ngerahasian soal status gue yang sebenernya ke semua orang? Karena malu? Enggak. Bukan itu alasannya. Semua temen-temen gue, sahabat-sahabat gue, semuanya pergi ninggalin gue begitu tahu gue jatuh miskin. Nggak ada satu pun dari mereka yang mau deket atau kenal lagi sama gue. Gue ngerasa diasingkan di mana pun gue berada. Dan itu rasanya sakit banget, tahu nggak."
"...."
"Mereka semua yang ngaku sebagai sahabat gue, selalu ada buat gue. Mana buktinya? Mereka cuma ada di saat gue lagi seneng doang, tapi pergi di saat gue lagi butuh mereka. Munafik semuanya," caci Amanda.
Aku tak bisa berkata apa pun mendengar cerita Amanda. Ya, siapa pun pasti akan merasakan hal yang sama jika dihadapkan pada situasi yang sulit seperti itu. Dan aku berusaha memahaminya sekarang.
"Makanya gue sengaja bohong sama semua orang, semua temen-temen di sekolah. Kalo gue ini anak orang kaya. Kalo nggak gitu, mana mau mereka deket sama gue, cowok-cowok bakalan jijik banget sama gue dan nggak bakalan ngerayu-ngerayu gue dengan gombalan yang basi banget itu. Mereka nggak bakalan mau nembak cewek miskin yang nggak punya apa-apa kayak gue. Mereka bakalan ninggalin gue dan gue bakal kesepian lagi--"
"Nggak semuanya kayak gitu," aku menyela.
Amanda memandangku penuh pertanyaan.
"Nggak semua orang itu sama, Man. Mungkin emang iya ada beberapa yang kayak gitu. Tapi dunia ini kan luas. Nggak semuanya punya pemikiran yang sama."
"...."
"Aku yakin, kok. Dari sepuluh orang yang nggak tulus, ada tiga di antaranya yang tulus. Tulus nerima apa adanya tanpa memandang status apa pun. Orang kayak gitu masih ada, dan kamu nggak boleh selalu memandang sama tentang orang-orang yang kamu kenal."
"...."
"Tuhan itu adil," ujarku lagi. "Di balik semua kesedihan dan penderitaan kamu, pasti kebahagiaan yang lain sedang menunggu kamu. Kamu nggak boleh putus asa dan menganggap bahwa kamu adalah orang paling menderita di dunia ini. Dan aku ... aku nggak akan ngebiarin kamu ngerasa kesepian. Aku janji."
Amanda terdiam dan menatapku lama sekali. Apa yang dia pikirkan? Apa dia sedang memikirkan bahwa aku terlalu sok tahu dan sok mengkuliahinya? Aku hanya ingin menenangkan hatinya dan membuatnya merasa tidak diasingkan. Aku ingin dia tahu bahwa masih ada orang yang tulus di dunia ini agar dia tidak terperangkap pada kebenciannya terhadap ujian hidup yang sedang dijalaninya. Aku ingin dia bahagia.
Amanda tiba-tiba tersenyum dan mencubit pipiku.
"Aduh!" jeritku refleks.
Senyuman Amanda yang ingin kulihat akhirnya bisa kulihat sekarang. Benarkah dia tersenyum? Dia tidak marah padaku?
"Meskipun kedengerannya agak nggak masuk akal, tapi bakalan gue usahain buat gue masuk akalin, deh." Amanda berkata, menanggapi tentang ucapanku tadi. "Lo bener. Emang masih ada orang yang tulus di dunia ini. Dan ini salah satu contohnya," ujarnya sambil menunjuk ke dadaku.
Lalu Amanda tertawa. Membuatku ikut tertawa. Aku bahagia melihatnya tersenyum seperti ini, dan aku lega dia percaya padaku. Lega sekali.
"Makasih ya, udah mau nenangin gue."
"Sama-sama. Oh iya, katanya kamu sakit? Kamu sakit apa? Gimana keadaan kamu sekarang?" Itu adalah hal yang sudah sejak tadi ingin aku tanyakan.
Amanda mengangkat kedua bahunya. "Gue nggak apa-apa, kok. Cuma sedikit pilek aja, besok juga udah sembuh."
Lega. Kelegaan kembali aku dapatkan. Aku senang Amanda tidak apa-apa. "Syukur deh, kalo gitu."
"Lo khawatir banget ya, sama gue?"
"Iyalah," jawabku. "Temen lagi sakit masa aku nggak khawatir? Jelas, aku khawatir."
"Makasih ya, udah khawatir sama gue dan mau jenguk gue."
"Ya."
Amanda mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menunduk ke bawah. "Ngomong-ngomong kaki lo nggak apa-apa? Tadi kayaknya lo kesakitan banget?"
Aku kaget, ternyata Amanda melihat kakiku. "Eh? Nggak kok, nggak apa-apa. Palingan juga cuma lecet dikit."
"Coba sini gue lihat." Amanda memegang kakiku dan menariknya ke pangkuannya.
Aku terkejut melihat apa yang dilakukan Amanda ini. "Eh? Nggak usah, nggak usah. Nggak apa-apa, kok." Aku mau menurunkan kakiku dari pangkuan Amanda tapi Amanda menahannya.
"Diem dulu, deh." Perlahan-lahan Amanda melepaskan sepatuku. Dia terkejut melihat kaos kakiku yang putih penuh dengan noda darah. "Ya ampun."
Aku pun juga terkejut melihatnya. Tidak menyangka akan separah ini lukanya.
"Sampe berdarah gini? Pasti sakit banget, ya? Duh, gue minta maaf ya, Al. Gue sama sekali nggak ngira bakalan jadi kayak gini." Amanda menyesal sekali dan dia melepaskan kaos kakiku dengan sangat perlahan.
"Iya, kok. Nggak apa-apa. Aow!" jeritan refleks yang keluar dari mulutku saat Amanda tanpa sengaja menyentuh bagian luka di kakiku yang menurutku cukup dalam.
Amanda kaget dan segera menarik tangannya. "Hah? Sakit, ya? Aduh, sorry ya? Gue nggak sengaja."
Aku hanya bisa terbengong-bengong Amanda perhatian padaku. Namun aku tidak pernah berharap ada sesuatu yang lebih yang akan Amanda berikan padaku. Amanda percaya padaku pun aku sudah cukup senang. Dan rasanya seperti mimpi bahwa hari ini aku dan Amanda tanpa sengaja sudah semakin dekat.
"Astaga, Al!" seru Amanda saat melihat kakiku lecet dan luka sampai mengeluarkan darah. "Kalo nggak diobatin ntar bisa-bisa infeksi lagi, nih. Lagian lo sih, ngapain pake nahan pintu sama kaki segala? Jadi gini kan, kejadiannya. Gue ambilin kotak obat dulu, ya?"
Amanda menurunkan kakiku perlahan kemudian berlari masuk ke dalam rumahnya.
==============
Maap kalo gaje😭😭😭
Votenya udah belum 😳
BBK, Sabtu 11-01-2020
dan
Rabu 11-03-2020