"Gila! Sinting!" Domi yang tengah bersantai di sofa apartemen Luna tiba-tiba menjerit dan melompat berdiri.
"Apaan, sih?" tanya Luna sebal. "Tumpah semua itu jadinya!"
Domi tidak memedulikan kantong keripik yang terguling ke lantai bersama isinya yang turut berserakan. Ia berjalan tergesa ke arah Luna yang sedang memasak mie instan. Disodorkannya ponselnya ke depan Luna. "Liat, nih!"
Satu detik. Dua detik. Mata Luna semakin melebar. Kemudian ia berseru sama histerisnya dengan Domi tadi. "Anjir!"
"Apa-apaan coba ini Bocah!" Domi terus saja memelototi layar ponselnya. "Kaga ada cerita-cerita sama kita, tau-tau udah dilamar aja."
"Nggak bisa dibiarin. Harus disidang dia!" sembur Luna berapi-api.
"Setuju!" Wajah Domi terlihat sangat galak ketika mengatakannya.
"Kapan dia kosong?" tanya Luna cepat.
"Kenapa tanya gue?" Domi mendengus heran.
"Kan lo yang satu tempat kerja sama dia, Bego!" maki Luna.
"Oh, iya! Bener juga." Domi tergelak kencang. "Eh, tapi! Gue 'kan bukan asisten dia."
"Cepet jawab! Dia kosongnya kapan?" sentak Luna tidak sabar. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
"Malem harusnya kosong. Kaga ada siaran."
"Sekarang juga kita ganyang dia." Luna begitu bersemangat ingin menyerang Jill saat ini juga. Ia bahkan lupa dengan mie instan yang tengah dimasaknya.
"Setuju! Tapi mau ketemu di mana? Kalo diajak keluar pasti nggak bisa terus jawabnya."
"Datengin aja kamarnya."
"Tumben pinter," puji Domi.
"Gue, sih, emang dari sononya pinter kali!" ujar Luna sombong.
"Pinter banget emang. Masak indomie aja kaga becus," sindir Domi. "Abis tuh airnya, gosong!"
Luna menjerit kesal melihat hasil masakannya. "Si Jill kudu tanggung jawab ini! Gara-gara dia gue batal makan mie!"
"Lo aja yang bego, Kutu!" Domi terbahak jahat.
"Gue sirem pake ini masih bisa ketawa nggak lo?" Luna menyorongkan panci panas berisi mie instannya yang gagal ke dekat Domi.
"Eh, Monyong! Gila!" Domi mundur menjauh. "Aset gue ini!"
Kini giliran Luna yang terbahak jahat.
"Dibuang itu?" Domi melotot ketika melihat Luna membuang mie gosongnya ke tempat sampah.
"Coba aja lo pikir gimana caranya gue makan mie yang udah kering semua di panci macem kerak telor gini!" sungut Luna kesal.
"Udah nggak usah ngamuk-ngamuk." Domi terus saja terbahak melihat kekesalan Luna. "Sekarang kita ke tempat si Jill. Nanti di sana lo boleh lanjut marah-marah."
Luna mendengus kesal tapi menuruti juga ajakan Domi. Hampir satu jam setelahnya mereka tiba di Forty Media dan langsung menuju lantai 20. Domi menggedor pintu kamar Jill keras-keras tanpa perasaan.
Begitu pintu terbuka, teriakan Domi langsung menggema demi melihat sesosok lain di dalam kamar Jill. "Wah, gila! Parah banget, parah banget!"
Luna mendesak Domi ke samping agar ia bisa ikut melihat ke dalam. "Wah, ancur!"
Jill menoleh ke belakang, mengernyit heran, kemudian kembali berhadapan dengan kedua sahabatnya. Jill benar-benar heran karena ia tidak tahu apa yang salah dengan kamarnya. "Kenapa kalian dateng-dateng teriak-teriak begitu?"
Domi melipat tangannya di depan dada. "Kita mau intergosai lo soal sesuatu yang penting. Eh, anaknya malah ada di sini juga."
Luna mengedik ke dalam kamar Jill. "Lo ngapain dua-duaan di kamar?"
"Nonton," jawab Jill polos.
"Cuma nonton?" Domi tersenyum sinis.
"Iya. Emang mau ngapaian?" tanya Jill tidak mengerti.
Domi mengangkat bahunya tidak peduli. "Ena-ena kali."
"Domi!" seru Jill panik, takut pembicaraan mereka terdengar ke mana-mana.
"Jill, geser!" Luna merangsek maju. "Gue sama Domi mau masuk."
Dav yang sejak tadi duduk tenang di depan televisi, kini bangun dan berjalan ke arah pintu. Tersenyum sopan pada Luna dan Domi, kemudian tersenyum lembut pada Jill. "Jill, aku balik ke kamar aku dulu. Pasti banyak yang mau kalian obrolin."
"Eh, mau ke mana? Jangan kabur!" Domi cepat-cepat menahan lengan Dav sebelum pria itu keluar dari kamar Jill.
"Dom ...," tegur Jill.
Domi segera menyadari kesalahannya dan cepat-cepat melepaskan tangannya dari lengan Dav. "Ops! Sorry!"
"It's okay!" ujar Dav berusaha mengendalikan suaranya agar tetap tenang, padahal ketika tangan Domi menyentuh lengannya tadi, ia langsung mual seketika.
"Lo di sini aja, kita ngobrol berempat," ujar Luna datar.
Jill memelototi kedua sahabatnya. "Kalian nakutin, deh."
"Bodo!" Domi membalas dengan tidak peduli, lalu langsung melenggang santai bersama Luna ke arah tempat tidur Jill.
Kalau sudah begini Jill pasrah. Domi dan Luna tidak akan melepaskan mereka sampai semua rasa ingin tahu keduanya terpuaskan. Ia menggandeng Dav dan membawanya duduk di sofa. "Jadi kenapa?" tanya Jill tenang.
"Ini apa?" Domi langsung memperlihatkan ponselnya ke arah Jill.
Tidak membutuhkan waktu lebih dari lima detik bagi Jill untuk mengenali video yang diperlihatkan oleh Domi. "Rekaman tadi malam," jawabnya santai.
"Jelasin!" tuntut Domi.
"Apanya?" tanya Jill tidak mengerti.
"Ini apa-apaan? Lo dilamar?" tanya Luna tidak sabar.
"Di depan banyak orang?" Domi ikut bertanya.
"Di rekam?" tambah Luna.
"Di share di medsos?" Domi semakin menggebu saja.
"GILA!" teriak keduanya serempak.
Tiba-tiba Dav bersuara. "Aku cuma mengungkapkan perasaan aku sama Jill."
"Tapi lo bilang sampe sama-sama tua!" balas Domi.
"Apa aku nggak boleh berharap begitu?" tanya Dav meringis.
"Bukan nggak boleh, tapi apa nggak kecepetan?" sahut Domi.
"Jill masih muda," ujar Luna.
"Banget!" Domi menimpali.
"Baru lulus kuliah!" ujar Luna lagi.
"Baru mulai terkenal!" sambung Domi lagi.
"Yang itu, sih, nggak penting, Dodol!" omel Luna.
"Baru mulai karir!" ralat Domi.
"Baru mau ngejar mimpi!" tambah Luna.
"JALANNYA MASIH PANJANG!" teriak keduanya kompak.
Jill meringis ngeri melihat kedua sahabatnya. "Kalian kompak banget."
"Gak usah komenin yang nggak penting," sambar Luna pedas.
"Jawab aja!" titah Domi.
"Kalian, kok, kayak mami-mami kelakuannya," keluh Jill.
Domi mendengus sombong. "Karena lo masih bocah!"
"Karena lo terlalu polos!" sambar Luna.
"DAN HARUS ADA YANG JAGAIN LO!" teriak keduanya lagi bersamaan.
"Dav 'kan nggak akan celakain aku," bela Jill.
Luna mencebik. "Tapi lo yang mungkin celakain diri lo sendiri."
"Maksudnya?" tanya Jill tidak mengerti.
"Kalo lo salah ambil keputusan, nanti lo nyesel seumur idup," sahut Luna.
"Dan kita nggak mau itu kejadian!" sambut Domi.
Jill menggeleng lemah. "Aku nggak paham."
Domi berpandangan dengan Luna dan mencibir. "Percuma ngomong sama anak ini. Kita interogasi yang satunya aja."
"Lo serius sama Jill?" tanya Luna langsung pada Dav.
"Serius," jawab Dav yakin.
"Lo yakin sama perasaan lo buat Jill?" tanya Domi.
"Yakin." Ia mengangguk mantap.
"Sejak kapan lo jatuh cinta sama Jill?" tanya Luna lagi.
"Mungkin sejak pertama kami bertemu."
"Pret!" seru Domi.
"Gombal!" desis Luna.
"Bokis!" tambah Domi lagi.
"Dusta!" Luna terus menimpali.
"Domi, Luna ...," ujar Jill memperingatkan.
"Lo diem aja, Jill!" omel Domi.
"Hak ngomong lo dicabut!" tambah Luna sadis.
"Lo yakin bisa buat Jill bahagia?" tantang Domi.
"Aku akan terus berusaha buat Jill bahagia," jawab Dav.
"Lo yakin nggak akan buat Jill kecewa?" cecar Luna.
"Aku harap nggak akan pernah."
"Lo yakin nggak akan buat dia sakit hati?" Domi terus saja bertanya
"Aku akan selalu jaga perasaan Jill."
"Edanlah! Dia beneran serius kayaknya!" seru Domi.
Luna mengangguk setuju. "Keliatannya emang gitu."
"Ya, udah! Kita restuin aja," ujar Domi.
Luna mengangkat sebelah alisnya. "Gampang banget, nggak pake masa percobaan?"
"Boleh juga, tuh!" Domi mengangguk setuju.
"Ya, udah! Kalo gitu kita bakal liat, apa lo bener bisa buktiin kata-kata lo." Luna berujar angkuh.
"Kita bakal pantau lo terus." Domi menunjuk matanya sendiri dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian bergantian menunjuk ke arah Dav.
"INGET!" Keduanya kompak berdiri serentak. "JANGAN BERANI MACEM-MACEM SAMA JILL!"
***
--- to be continue ---