Pov Karin
Aku masih kesal dengan sikap Pak Vano yang ingin tahu tentang urusan pribadiku, aku tau dia memang atasanku, aku tau jika dia banyak menolongku, namun jika masalah pribadi ia ikut campur, rasanya itu sudah diluar batas.
Setelah pertemuanku dengan Mas Reno dan Riri, pak Vano terus-terusan mengintinidasiku dengan berbagai pertanyaan hingga beberapa hari selanjutnya.
"Rin, kamu bisa minta tolong aku jika kamu memang butuh bantuanku," ucap Pak Vano di suatu pagi.
"Terima kasih, tapi rasanya saya tidak perlu, toh yang saya butuhkan hanya Alena, saya rasa bapak juga tidak bisa memberikannya," ucapku sinis.
"Alena putrimu kan?"
"Iya, apa bapak bisa mengembakikan Alena pada saya?" tantangku.
"Beri aku waktu, aku akan membantumu mendapatkan Alena."
"Oke, kita akan lihat, saya sendiri sudah pasrah karena bekas narapidana dan tunawisma pasti sangat susah mendapat hak asuh Alena."
"Rin, jangan menyerah!" Pak Vano menyemangatiku, dia memegang kedua lenganku.
"Terima kasih atas niat baik anda Pak, tapi saya sendiri tidak yakin."
Pak Vano menatapku, "aku akan membantumu, tapi aku juga ingin bantuanmu." Pak Vano menatapku.
"Apa?"
Pak Vano duduk di kursi kafe, aku mengikutinya, kulihat Pak Vano mengambik nafas panjang, sepertinya beban yang di hatinya begitu berat.
"Kamu tau keadaan Bemla sekarang?"
"Bela?" tanyaku
"Iya, Bela adik tiriku, kamu pasti sudah tau tentang aku dan Bela kan? Perasaan kami harus berakhir karena orang tua kami, tapi apa kamu tau? Bela masih saja ingin bersamaku, bahkan dia tak perduli dengan status hubungan kami sekarang."
Aku hanya diam mendengar ucapan Pak Vano.
"Saat ini dia sedang ada di Jakarta, kamu pikir dia sedang apa? Dia sedang kuliah lagi karena perintahku, dan dia masih menginginkan bersamaku, jika saja kami tak bersaudara, aku pasti akan memperjuangkan hubungan kami meski perasaanku kepadanya sudah perlahan berganti dari kekasih menjadi seorang kakak terhadap adiknya."
"Jadi Pak Vano hanya memberi harapan palsu terhadap Bela?"
"Karena aku gak mau terlalu lama Bela merasa kecewa, maka aku akan sudahi semuanya,"
Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
"Bela memberiku satu pilihan jika memang aku tak bisa bersamanya, yaitu aku harus mempunyai hubungan dengan wanita lain, wanita pilihan Bela yang ia yakini mampu menjagaku dan mencintaiku sebagaimana yang Bela lakukan."
"Maksud anda?"
"Bukan perkara sulit jika aku harus menjalin hubungan dengan wanita lain selain Bela, tapi Bela ingin dia yang memilihkannya, karena dia tak ingin aku berada di genggaman wanita yang hanya melihatku dari segi materi."
Aku masih belum paham arah pembicaraan ini.
"Aku tau pasti kamu bingung dengan perkataanku, kenapa juga aku harus menuruti ucapan konyol Bela, tapi bagiku meski Bela kini hanya adik tiriku, namun dia pernah menjadi perempuan istimewaku."
"Jika tak bersamanya sudah sangat menyakiti hatinya, maka aku tak ingin menolak permintaannya."
"Lalu apa yang akan Pak Vano lakukan?"
Kali ini Pak Vano menatapku, "wanita pilihan Bela adalah kamu, Rin," ucap Pak Vano membuatku tersentak.
"Apa?"
"Kali ini aku ingin kita bekerja sama, Rin, aku akan menolong kamu mendapatkan putrimu, tapi kamu juga harus menolong aku agar Bela bisa melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayangku lagi."
"Omong kosong macam apa ini, pak?" tanyaku kesal.
"Terserah kamu, tapi aku sangat berharap kamu menyetujui permintaanku," ucap Pak Vano.
"Aku gak bisa menjalin hubungan tanpa perasaan, Pak."
"Kita tak harus saling memiliki perasaan, kita cukup bersama maka dengan statusku kamu bisa memiliki hak putrimu, dan dengan bersamamu aku bisa membuat Bela tak memikirkanku lagi."
"Hubungan macam apa ini? Aku gak mau membuat hubungan palsu."
"Aku paham jika semua ini hanya hubungan palsu, tapi aku tak punyaa pilihan lagi, daripada Bela tidak bisa move on dari kehidupaanku, kamu juga dengan menjalin hubungan denganku. maka aku bisa menjadikan namamu bersih dan akan kuberikan tempat tinggal yang layak juga usaha yang bagus agar putrimu bisa kamu ajukan banding tentang hak asuhnya,"ucap Pak Vano.
"Tapi,,,"
"Jika saja keinginanmu memiliki putrimu lebih besar dari prinsip hidupmu, maka aku yakin kamu akan menyetujui ucapanku."
"Apalagi kudengar info jika mantan suamimu sedang dalam masa menuju kebangkrutan," lanjut Pak Vano membuatku makin terkejut.
"Kenapa Pak Vano bisa yakin?" tanyaku.
Pak Vano membuka sebuah map, lalu ia menunjukan sebuah berkas tentang usaha Mas Reno, disana tertulis Mas Reno mengajukan permohonan untuk menawarkan produknya, di berkas lain juga tertulis jika rumah lama Mas Reno sudah terjual.
Aku membaca lembaran demi lembaran itu, aku tak mnyangka usaha yang kami bangun bersama dulu diambang kehancuran, bahkan rumah yang sekarang mereka tempati akan segera di sita bank.
"Apa kamu akan membiarkan putrimu kesusahan jika papa nya bangkrut?"
Kata-kata Pak Vano terus terngiang di telinga dan hatiku. Dan pada akhirnya, aku memutuskan memyetujui ajakannya. Biarlah aku mempermainkan hakikat cinta, ini bukan lagi tentang cinta, tapi Alena! Dia lebih penting dari apapun, termasuk urusan hatiku.
***
"Aku mohon kamu pikirkan lagi," ucap Akbar saat bersamaku saat Pak Vano mengatakan jika akan menikahiku. Tentu saja kami tak mengatakan jika pernikahan ini tanpa perasaan.
"Kenapa sih, bro? ini keputusan kami berdua, kami ngasih tau gini hanya minta doa aja, bukan pendapat," ucap Pak Vano sinis.
Akbar menatapku, kulihat ia tampak kecewa, tapi aku juga tak dapat memahami arti kecewa dari dirinya, toh selama ini dia tak pernah mengatakan apapun padaku.
Aku juga tak memahami perasaanku sendiri, rasanya aku sudah mati rasa dengan rasa cinta. Aku masih sangat takut jika terlalu mencintai maka aku akan tersakiti lagi.
"Aku ingin bicara sama Karin," ucap Akbar.
"Aku nggak ngijinin, pasti kau akan ngomong yang membuat Karin goyah." Pak Vano makin sinis pada Akbar.
"Pak, tolong izinkan, aku janji apapun ucapan Mas Akbar gak akan mempengaruhi rencana kita," ucapku menengahi mereka.
Pak Vano menatapku kesal, ia pasti kesal karena aku lebih memihak pendapat Mas Akbar.
"Oke, jangan lama-lama ya sayang," ucap Pak Vano membuatku geli karena panggilan barunya padaku.
"Rin, kenapa tiba-tiba sekali kamu akan menikah dengan Vano?" tanya Akbar setelah Pak Vano menghilang dari hadapan kami.
"Sudahlah, Mas, ini keputusanku," ucapku tak ingin memberi penjelasan pada Akbar.
"Kenapa? Aku tak ingin kamu salah pilih lagi. Rin," Akbar menatapku.
"Ini hidupku, tolong jangan ikut campur."
"Sungguh kukira kamu belum bisa melupakan rasa sakitmu pada Reno, namun sekarang kamu justru menghadirkan Vano dalam hidupmu." Kulihat mata Akbar berkaca-kaca, aku tak tau kenapa dia bersikap seperti itu.
"Mas, aku harus pergi," ucapku sambil berdiri dari dudukku.
"Karin, apa kamu sudah yakin jika memang kamu bahagia dan yakin pada Vano. aku akan mendoakan yang terbaik untukmu." Akbar menatapku penuh kepedihan.
Jika saja saat ini dia mengatakan apaa yang dia rasakan seperti kata teman-temanku dulu, mungkin aku akan berubah pikiran, meski aku sendiri belum mencintainya, tapi setidaknya aku tak akan memupus perasaannya kedua kalinya. Mungkin aku akan meminta Akbar yang menjadi sandaranku untuk mendapatkan Alena. Toh. pada Pak Vano pun aku tak mempunyai perasaan spesial, hanya saja Pak Vano lebih berani daripada Akbar. Yang kubutuhkan hanya seorang laki-laki yang bisa mengangkatku menjadi wanita yang bebas untuk memiliki hak asuh anak. Persetan dengan cinta.
"Terima kasih," ucapku sambil berlalu, aku tak ingin melihat kesedihan di hati Akbar, aku berharap dia mengejarku dan memintaku membatalkan rencanaku, namun semua hanya angan-anganku saja.
****
Seperti rencana awalku dan Pak Vano, dia berencana menunjukan hubungan kami pada Mas Reno dan Riri, dia juga ingin agar Mas Reno terlihat kerdil dihadapanku saat ini.
Dengan sengaja resto di Malang di atas namakan aku, kata Pak Vano , ini hanya pura-pura saja agar terlihat begitu meyakinkan. Ia ingin aku terlihat berkelas dan mapan. Pak Vano juga meyakinkanku jika meski atas namaku, aku tak berhak memiliki penuh, tentu saja aku tak berhak, karena aku tau semua ini hanya sandiwara.
Tentu saja Mas Reno juga Riri hadir dalam launching resto itu, mereka harus melihat dengan mata kepala mereka sendiri jika aku sekarang cukup mapan, meski hanya pura-pura. Kutanggalkan prinsip kemandirianku demi Alena, Alena harus jadi milikku lagi.
Rencana kami berjalan sangat mulus, ketika Pak Vano mengatakan di depan umum tentang rencana pernikah kami. kulihat Mas Reno begitu terkejut. Dia tampak menunduk sesekali sambil menatapku, entahlah dia sedang bersedih atau menyesal, aku tak ingin tahu.
Dengan make up dan gaun mahal pemberian Pak Vano, aku berjalan mendekati Riri dan Mas Reno, tentu saja bukan untuk menemui dua makhluk penghianat itu, tapi untuk menemui tuan putriku yang berada di sisi mereka.
Aku tak peduli dengan tatapan kepedihan dari Mas Reno, toh aku ini wanita yang sudah dibuangnya, yang kuinginkan hanya Alena, hanya dia!
Hingga Pak Vano pun berbaur bersama kami, tentu saja dengan gaya sok lugu dia berpura-pura tidak tau jika aku mantan istri dari Mas Reno. Bahkan aku sendiri pun tak menyangka jika Pak Vano begitu sempurna memainkan perannya.
***
Aku berjalan menyusuri balkon kamar penginapan, kulihat deburan ombak pantai menyapu pasir. Indah sebenarnya, namun hati ini entah kenapa merasa begitu hampa.
Aku menyadari jika apa yang akan aku lakukan dengan Pak Vano bukanlah hal yang benar, namun di sisi lain aku menginginkan Alena.
Tubuhku bersandar di sisi balkon, ta sengaja netraku menangkap sosok Mas Reno di balkon kamarnya. Dia terlihat menatap ke arah laut lepas, tak ada Riri juga Alena disana.
Bagaimana hatimu saat ini, Mas? Apakah ada sepercik penyesalan karena menghianatiku? Apakah ada sejumput rindu untukku?
Ah, masa bodoh denganmu, aku tak peduli, aku hanya ingin mengambil Alena ku.
Kudengar pintu kamarku di ketuk, aku berjalan dan membuka pintunya, kulihat Pak Vano memakai kaos dan celana pendek di depan pintu.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Kamu jauh-jauh kesini emang ga mau nyoba main pasir pantai,yuk ikut aku." Tiba-tiba Pak Vano meraih tanganku dan membimbingku menuju ke pantai di depan resto.
"Pak, pak,, sudah, saya lelah," ucapku sambil melepaskan tangan Pak Vano lalau aku duduk menyelonjorkan kakiku diatas pasir.
"Ya ampun, Rin, kamu itu punya sakit asam urat kah?" tanya Pak Vano saat melihatku memijit kakiku sendiri.
Aku tak menanggapi, hanya ku manyunkan sedikit bibirku tanda protes. Pak Vano hanya tertawa melihat tingkahku. Pak Vano duduk di sebelahku, iaa menatap laut lepas di depan kami.
"Rin, kamu nyaman kah dengan keputusan kita ini?" tanya Pak Vano tanpa menoleh kearahku.
"Lalu saya harus bagaimana lagi ? hanya Alena satu-satunya alasan," ucapku.
"Jika kamu lelah dalam misi ini, katakan saja, karena aku tak mau menyakiti kamu." Kali ini wajah Pak Vano menoleh kearahku, dekat sekali hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
"Apakah Pak Vano ingin menyerah sebelum bertanding?" tanyaku.
Pak Vano menggeleng, "nggak, aku hanya nggak mau kamu menjalani semua ini karena aku," ucap Pak Vano.
Aku menatap Pak Vano, kulihat ia gusar, apakah dia ingin mengakhiri sebelum benar-benar di mulai?
"Jika Pak Vano tak yakin, bapak bisa menghentikannya sekarang juga, saya akan mencari cara lain untuk mendapatkan Alena, entah dengan cara apa."
"Nggak, Rin, jangan menghkhawatirkan perasaanku, yang terpenting disini perasaan kamu."
"Segera urus pernikahan kita, Pak, soal perasaan, biar waktu yang menjawab, kalaupun hingga nanti kita tak bisa saling mencintai, Pak Vano boleh menghadirkan wanita lain dalam hidup kita." Ucapku tanpa menatap kearah Pak Vano.
"Apa?" tanya Pak Vano karena terkejut dengan ucapanku. "Kamu ini aneh, belum juga kunikahi, udah minta ku ma," ucap Pak Vano sambil tersenyum, " aku bukan lelaki yang bisa membagi hati dengan mudah,"
"Tapi hati Pak Vano kan memang belum menjadi milik saya," jawabku.
"Biar waktu yang menjawab," ucap Pak Vano sambil menatapku.