DRTTT... DRTTT...
ponsel di saku Rafka bergetar. Nomor tidak dikenal.
"Ya, hallo."
"Kak! Manda belum dijemput. Masih di tempat latihan."
"Manda disana sama siapa?" Ia sesekali melirik Rena disampingnya yang melihat dirinya.
"Manda ditemenin ibu guru. Jemput Manda ya kak. Abang Devin Manda telfon enggak di angkat." Terdengar gerutuan disana.
"Iya tunggu kakak bentar ya,"
"Iya kak. Cepet ya kak. Manda laper hehehe."
"Iya. Kakak tutup telfonnya."
"Adek lo?" Tanya Rena yang tadi mendengar sedikit pembicaraan kakak adik tersebut. Rafka mengangguk.
"Gue anter lo dulu,"
"Jangan. Jemput adek lo dulu aja. Kasihan dia nanti nunggu lama," jelas Rena tenang
Rafka melihat jam di pergelangan tangannya. "Jam 8. Lo gak dimarahin mama lo pulang malam?"
"Gue tadi udah ijin pulang agak malam," Jelas Rena
Rafka mengangguk paham"Jadi, bukan anak mama lagi?" Rafka mendapat pelototan Rena.
"Gue masih kesel sama lo. Dan lo hutang jawaban ke gue!" Rena melipat tangannya di depan dada.
"Soal Novel?" Tebaknya yang masih fokus kejalanan.
"Iya!"
Rafka menghela nafas, "Ega yang bagi ke gue."
Rena membulatkan matanya. Tertarik dengan arah pembicaraan ini. "Ega? Lo kenal Ega?" Jelas kenal lah Rena. Pertanyaan apa sih, batinnya.
"Ega juga sekolah di Citra Bangsa kan?" Entah mengapa kali ini ia sedikit bersemangat.
"Pertanyaan lo gak berbobot banget,"
Rena berdecak. Kenapa juga ia mengajukan pertanyaan yang semua sudah jelas. Tapi setidaknya ia ingin mendengar langsung buktinya.
"Lo tau gak sih?" Tanya Rena tiba-tiba
"Enggak,"
"Ckk, serius ih." Rena melempar tatapan sinis. Namun Rafka malah terkekeh.
"Akhir-akhir ini gue nggak pernah lihat Ega lagi di sekolah. Gue takut di gak nyaman gara-gara gue pernah bentak dia," ujarnya sembari mengelus-elus cover novel di tangannya.
Rena mudah berkata jujur tentang isi hatinya dengan orang yang benar-benar ia kenal. Dengan Rafka contohnya.
"Kenapa? Lo kangen sama dia?" Tebaknya menarik kesimpulan.
Rena menghela nafas. Ia harus menahan rasa kesal sekaligus senang bersama dengan Rafka.
"Bukan gitu Rafka. Gue cuman nggak enak aja sama dia. Dia udah sering bantu gue,"
"Dibantu apa? Kayaknya spesial banget," Tanya Rafka mengajukan pertanyaan yang mungkin akan menghibur hatinya.
"Tanya aja sendiri, males gue cerita sama lo." Rena membuang pandangannya menatap jendela. Ia ingin mengembalikan suasana seperti dulu. Saat Rafka dan dirinya sering adu mulut meakipun gemuruh didada semakin menjadi.
Ia harus membiasakan dan menerim kenyataan ini. Hanya berteman saja sudah cukup.
"Beneran ga mau cerita sama gue?"
"Enggak!" Rafka memanggut-manggut. Ia tersenyum kecil ada ide di otaknya. "Ternyata bener ucapan Ega tentang lo waktu itu,"
Seketika Rena menjadi tegang. Ia memiliki fonis kepo akut. Apalagi menyangkut prihal dirinya. Ia benar-benar tidak tahan.
"Ega cerita apa sama lo?" Tanyanya takut sambil menggigit bibir bawahnya.
'GOTCHA!'
Rafka tersenyum samar. "Tanya aja sendiri sama Ega. Gue males cerita," ia mengembalikan ucapan Rena tadi.
"Ckk, ih. Kok lo makin nyebelin sih!" Rena memukul lengan kiri Rafka dengan buku di tangannya. Rafka hanya terkekeh.
Tak terasa mereka telah sampai. Keduanya turun menyusul Amanda.
"Kak!" Teriaknya dari jauh dan berlari menggunakan Leotard warna pink.
"Jangan lari dek," Rafka menangkap pelukan Amanda. Rena hanya tersenyum berdiri disampingnya.
Rafka mengucap salam dan berterima kasih kepada guru Ballet Amanda.
"Kakak?!" Sapa Amanda terkejut sekaligus lupa siapa namanya. Rena tersenyum mensejajarkan tingginya dengan Amanda.
"Hai, Manda" sapa Rena manis dan menggandeng Amanda menuju mobil diikuti Rafka di belakangnya.
"Kok kakak bisa disini?" Tanyanya memegang erat telapak Rena.
"Iya sengaja. Biar bisa ketemu kamu lagi," Rena menoel pipi Amanda yang tersenyum kegirangan.
Rena membuka pintu belakang dan menuntun Amanda naik. Rafka menatap bingung keduanya.
"Jadi, nggak ada yang mau duduk didepan?" Keduanya baik Rena maupun Amanda menggeleng bersamaan. Rafka mengangguk.
"Jatuhnya, gue jadi supir." Rena yang mendengar hanya terkekeh.
"Kak Manda laper. Makan dulu ya?"
"Anter kak Rena pulang dulu ya?" Tawar Rafka melihat jam sudah semakin malam. Ia membawa anak orang.
"Tapi Manda laper banget kak." Rengek Amanda sambil memunculkan kepalanya diantara jok depan.
"Ka, gue lebih kasihan sama adek lo. Antar Manda makan dulu. Lo bisa turunin gue disana. Biar gue minta jemput Alif," jelasnya. Namun Rafka tidak menyahut ucapannya.
"Ka, lo denger gue ngomong gak?" Kesal Rena
"Enggak," Rena mengusap dadanya sabar.
"Manda mau lo yang temenin dia makan."
"Kakak jangan pulang dulu. Makan bareng sama Manda ya kak," pinta Amanda imut.
"Ekhmm..." Rafka berdehem.
"E...euu gimana yaa.." Rena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bola matanya berlari kesegala arah. Ia bingung.
Bukan masalah pulang malam yang ia khawatirkan melainkan ia tidak tahan dengan rasa deg-deg an yang harus ia tahan dari tadi.
"Kakak? Boleh ya? Makan sama Manda," ujar Manda sekali lagi.
"Iya Manda, kakak mau." Rena mengusap rambut tipis Amanda.
Diperjalanan, Amanda tiada henti-hentinya bercerita tentang sekolah nya dan latihan balletnya hingga ajakan Manda kepada Rena di ulang tahunnya bulan depan. Namun Rena hanya menanggapi seadanya.
Mereka sampai ditujuan. Rafka memarkirkan mobil nya di depan kedai mie yang berada diarea jalan Sunda.
Mereka memesan pesanan masing - masing.
Ada satu alasan yang memaksa Rafka untuk menuntut Rena agar ikut dengannya.
Ia tau, Rena tidak menyentuh makanannya saat reuni setelah rasa pedas yang ia rasakan. Dan Rafka tidak perlu mengatakan alasan itu kepada Rena.
Dilihatnya sekilas, Rena makan dengan lahap dan Manda disampingnya.
"Udah?" Baik Rena maupun Manda keduanya mengangguk.
Rafka berjalan mendahului diikuti Rena dan Manda dibelakang.
"Rafka," sang empu menoleh kebelakang.
"Harga mienya berapa?"
Rafka berjalan kembali, "gak perlu. Gue masih mampu bayar,"
Rena berdecak. Taraf Intensitas kesombongan Rafka masih tinggi.
"GR banget jadi orang. Siapa juga yang mau bayar," Rena menggendong Manda dan segera berjalan mendahului Rafka.
Rafka melihat jam dipergelangan tangannya. Pukul setengah 10 malam lewat. Ia meragukan diperbolehkannya Rena pulang malam.
Ditengah perjalanan pulang. Rena merasakan pahanya kram. Pasalnya, Amanda tertidur pulas beralas bantal paha Rena.
Rafka menghentikan mobilnya saat sampai di depan rumah Rena.
"Rafka, Manda tidur. Gue nggak bisa keluar?"
"Bangunin aja,"
"Jangan ih, lo tega ya sama adek sendiri." Gerutu pelan Rena berusaha meminimalisir suara.
Rafka keluar. Berjalan memutar menuju belakang. Membawa bantal kecil dari bagasi.
"Gue angkat kepalanya, lo keluar." Rena mengangguk dan Rafka segera menggantinya dengan bantal. Karena pergerakan itu, Amanda hanya menggeliat kecil.
"Makasih," singkat padat jelas.
"Udah. Makasi aja?"
"Iyalah. Terus apalagi?" Tanya tajam Rena.
"Bayar hutang,"
"Astaga! Tadi bilangnya gak perlu sekarang diminta lagi. Entar timbilan mampus! gue sukurin lo," hujatnya tiada ampun sambil mengorek isi dompet.
Rafka terkekeh kecil.
"Ngapain ketawa?! Jadi total, berapa semua?" Sungutnya judes.
"Oon banget si lo. Bukan hutang itu yang gue maksud. Ajakan Manda ke lo tentang ultanya dia. Lo harus dateng."
Rena mengangguk malu. "gue nggak janji tentang itu," pandangannya beralih menuju tempat dimana Amanda sedang tidur pulas.
"Terserah. Gue cuman mau ingetin lo Jangan bikin Manda nangis nanti," Rena membulatkan matanya.
"Iya gue pasti dateng,"jawabnya cepat. gertakannya berhasil. Rafka tersenyum tipis dan mengangguk.
"Gue balik,"
"Hati-hatii!" Ia melambaikan tangannya dan berbalik segera menuju pintu kamarnya. Menahan pipinya yang memerah dan gemuruh didadanya yang semakin menjadi.
"Pasti ini mimpi," ia menepuk nepuk pipinya. Namun rasa sakit yang didapat.
"Ga sia-sia tadi gak sengaja makan pedas. Ada untungnya juga hahhaha," ia mengusap-usap, perutnya sambil tersenyum. Namun sepersekian detik ia tersadar.
"Astaghfirullah! Ngomong apa gue barusan! Dosa! Dosa! Gak boleh!" Ia menepuk- nepuk bibirnya.
Ia mengambil ponselnya didalam tas. Ada beberapa pesan yang belum ia buka. Salah satunya Alif
Alif
Gimana keadaan lo. Udah sampai rumah? Kalo udah bls chat gue.
20.07
Alhamdulillah gue udah enakan
21.46
Setelah itu ia berjalan menuju rak buku. Saat ia ingin meletakan novelnya. Sebuah Kertas terjatuh disana.
Kertas dengan gambar familiar disana bertuliskan 'Hakuna Matata'
Rena membulatkan matanya. Pertanyaannya mulai sedikit terjawab.
"Jadi, yang kirim kertas itu Ega? Atau Rafka?"
***
Pagi ini ia datang lebih awal dari biasanya. Senyuman tak pernah hilang dari bibirnya.
"Ngapain lo senyum senyum gak jelas gitu," heran Icha yang baru saja datang.
"Lo mau tau gak?"
"Apaan?" Icha meletakkan tasnya di bangku depan Rena.
"Gue sedikit baikan sama Rafka," ia menekankan kata sedikit.
"Hah! Sumpah! Demi apapun lo serius?!" Rena hanya mengangguk.
"Kok bisa? Gimana ceritanya?" Icha mulai tertarik dengan pembicaraan itu. Dan Rena menceritakannya secara detail.
"Cuman semalam doang. Dan lo sebahagia ini?" Rena mengangguk antusias. "Astaga, Na. Gampang banget ya bikin lo senyum-senyum aneh gitu."
"Sebenernya sih ada yang ingin gue ciritain ke lo. Tapi... " Icha menggantung kalimatnya membuat Rena frustasi.
"Cha cerita! Gue kepo banget suer!" Pintanya serius.
"Jadi gini, lo inget waktu lo pingsan?"
"Iya inget. Emang kenapa?" Rena sangat tertarik dengan arah pembicaraan ini.
"Lo gak pernah tanya ke gue sama Fara kenapa gue kasih lo susu sama roti keju?"
"Nah! Kenapa baru sekarang lo peka. Dari dulu gue pingin tanya ke lo sama Fara
tapi gue tahan. Lo tau kan gue nggak suka kedua itu,"
"Sorry na. Gue waktu itu cuman ngikutin suruhan dari Rafka,"
"Rafka? Serius?" Dulu ia sempat berpikir bahwa Rafka yang membawa susu dan roti tersebut. Karena hanya Rafka yang tau kedua itu adalah favoritnya dan juga Anemianya. Namun pemikiran itu tidak memiliki bukti jelas. Jadi menurutnya sangat tidak mungkin karena pada saat itu ia dan Rafka masih bermusuhan.
"Waktu Devin panggil gue sama Fara bagi tau keadaan lo, Fara langsung lari katanya ke Rafka." Rena mengangguk paham.
"Kok gue agak seneng sama bingung ya," ia tersenyum aneh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Labil banget lo, Na."
"Baru aja diperhatiin. Seneng ampe segitunya."
"Sekarang gue bener-bener percaya Cha. Bahagia itu sederhana, hahaha." Ucapnya mendramatisir.
"Na, kalo gue Fans sama Rafka lo cemburu gak?" Tanya Icha tiba-tiba
"Ih. Sejak kapan lo ngalay gini?"
"Serah gue dong. Gue tu cewek tulen ya. Alay dikit gak bikin gue gila kok tenang aja."
"Hahaha. Kenapa tanya gitu ke gue?"
"Ya gue pingin tau aja. Kali aja lo marah gitu sama gue,"
"Emang gue ada hubungan apa sama dia sampai gue cemburu gitu?"
"Ya gak ada sih. Oke, jadi nggak apa ya?"
"Terserah lo lah. Gue mah nggak peduli. Gue udah Nggak PEDULI,"
"Dih, gue nggak percaya. Kemarin aja bilang katanya 'gue bakalan lupain Rafka' tapi sekarang?" Ucapnya sembari mengikuti bagaimana cara Rena berbicara.
Rena membulatkan matanya. Ia menutupi wajahnya dengan tangan, sungguh malu ia sekarang.
"Khilaf Cha. Gue khilaf."
"Mangkannya, jangan ambil keputusan saat lo marah. Nyesel kan lo?"
"Iya iya. Gue salah," Rena mengerucutkan bibirnya.
***
Hari ini kelasnya pindah ke sebuah lab.
"Rena, bisa minta tolong ambilkan tanaman Hydra di ruangan sebelah?"
"Iya, bu." Ia berjalan dan seseorang menyusulnya disamping.
"Ngapain ngikut?" Tanya Rena sambil berjalan keluar Lab.
"Gue bantuin, Na. Galak amat sih."
"Cuman ambil tanaman doang. Satu orang bisa kali," ia berjalan masuk ruangan tempat menyimpan barang lab.
"Lo yakin?" Tanya Adam saat melihat kotak aquarium berisikan tanaman hydra beserta air nya yang semakin membuat berat.
"Yaudah gue balik,"
"Eh, bantuin gue." Cepatnya sebelum Adam benar-benar pergi.
"Katanya bisa sendiri?"
"Gue tarik ucapan gue." Adam yang disebelahnya hanya tertawa.
"Lo pegang sisi sana gue sini. Pegang bagian bawanya ya!" Suru Adam memberi petunjuk.
Saat mereka keluar, ia berpapasan dengan Rafka seorang temannya. Jika suara detak jantung bisa terdengar, mungkin saat ini diantara mereka jantung Rena yang paling keras suaranya.
Namun Rafka hanya melewatinya begitu saja. Rena menganga tak percaya. Ia melihat Rafka tak melihatnya sama sekali. Seperti tidak saling mengenal.
Adam mengikuti kemana arah pandang Rena melihat. "Siapa Na? Lo kenal?"
"Enggak. Gue gak kenal," ketusnya. Wajahnya berubah kesal.
Di lain sisi, "ka, tu tadi ada temen lo mukanya garang banget." Ucap Ethan memberi tahu
"Gue tau,"
"Lo musuhan sama cewek tadi?"
"Enggak,"
"Kenapa muka lo juga ikut kusut gitu? Gue setrika mau?"
"Gue jahit tu mulut mau?" Balas Rafka.
"Hahahahah... ampun bang. Jangan ngambek dong ntar gantengnya ilang," Ethan mencolek pipi Rafka dan langsung ditepisnya.
Ponsel di saku Rafka bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Hallo,"
"Rafka, Aku udah di bandung."
"Hah?! Kenapa baru ngabarin sekarang?"
"Biar kejutan buat kamu." Ia mendengar kekehan disana.
"Sekarang kamu dimana?" Tanyanya melembut. Disampingnya Ethan menyipitkan matanya dan tersenyum aneh.
"Aku di cafe depan bandara."
"Aku kesana sekarang, shareloc."
"Iya, aku tunggu."
Rafka menutup panggilannya. "Gue nggak ikut jam berikutnya. Bilang aja ada urusan keluarga." Ucapnya terburu-buru setelah itu Keluar gerbang tanpa surat izin membawa kunci mobil yang ia ambil sebelumnya dari Devin.
TO BE CONTINUE.....
🍁Salam, pengarang amatir yang memutuhkan pembaca T_T
😀😀😀😀😀😍