Akhirnya Jaemin dengan ragu-ragu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Jeno. Ketika ia sedang menunggu panggilan tersambung, ia akan berjalan menyeberang karena ia melihat sebuah toko roti di seberang jalan.
"Halo.." Jaemin merasa dirinya begitu bodoh.
"Ya?"
"Jeno, bagaimana caranya bisa sampai ke rumah mu? Aku tersesat di bandara."
Orang yang sedang berada di sambungan lainnya tidak berkata apapun. Kemudian Jeno mulai mengomeli Jaemin.
"Na Jaemin! Apa yang ingin kau dengar apa yang akan ku katakan padamu? Kau sungguh berpikir bahwa kau sedang berada dalam drama? Dasar idiot, bodoh!"
"Aku..."
Jaemin tidak bisa berkata apa pun ,ia menendang nendang salju yang berada di bawah kakinya.
"Aku akan menyusulmu kesitu sekarang. Kau tetap ditempat kau berada sekarang, jangan bergerak!"
"Tapi... "
"Tapi apa?!"
"Aku sedang menyeberang jalan. Jika aku tidak bergerak, aku akan tertabrak dan tewas di jalan." Jaemin merasa tidak berdaya.
Jeno terdiam, lalu ia berteriak.
"WTF!!! Mengapa kau berbicara ditelpon denganku saat kau sedang menyeberang jalan??!!!"
Jeno langsung memutuskan sambungan telepon. Ia meraih jaketnya tanpa berkata apapun pada orang tuanya. Ia membawa kunci mobil Ayahnya dan bergegas menuju bandara.
Disepanjang jalan Jeno terus merutuki Jaemin.
Bagaimana kalau seandainya baterai ponselnya habis?
Bagaimana jika seandainya ia tidak mendengar panggilan masuk tadi?
Na Jaemin idiot! Tidak tahu entah sudah berapa lama bocah itu dibandara!!
Na Jaemin ini, selalu saja tidak pernah berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.
Setelah hampir lebih dari setengah jam, Jaemin melihat Jeno yang sedang turun dari mobil. Ekspresi Jeno terlihat suram. Ia berjalan menghampiri Jaemin.
"Mengapa kau tidak menunggu didalam bandara? mengapa kau di luar?"
Hidung Jaemin sudah berubah merah karena udara yang dingin. Satu tangannya sedang memegang kotak kue dan tangan lainnya memegang kotak lilin. Ia menatap Jeno dengan ekspresi tak berdaya seperti seekor anak anjing.
"Aku takut jika kau tidak bisa menemukan ku."
"Hanya kau dan wajah yang seperti itu, aku bisa dengan mudah menemukanmu dikeramaian."
Jeno mengambil kotak kue yang Jaemin pegang dan menggengam tangan Jaemin, kemudian menariknya menuju mobil. Jaemin merasa lebih hangat sekarang. Ia memeluk erat kotak kue itu, takut kalau kalau isinya rusak.
"Aku... aku... aku sebenarnya ingin memberikanmu kejutan." Jaemin tidak berani menatap kearah Jeno.
"Bukankah aku sudah mengatakan padamu aku akan segera kembali dalam beberapa hari lagi?"
"Aku ingin bersama denganmu dihari ulang tahunmu."
Jeno menatap wajah Jaemin yang bersemu merah.
"Kau pikir seorang seme akan perduli dengan ulang tahunnya?"
Jaemin bergumam. "Aku pikir hanya kau yang tidak perduli."
"Lalu, kau sekarang ingin ikut aku kerumah, atau~" Jeno membisiki kata terakhirnya pada Jaemin. "~hotel?"
Jeno sengaja membuat kata kata terakhirnya terdengar nakal.
Jaemin tipe yang hanya memikirkan hal pertama yang akan dia lakukan tanpa berpikir apa yang akan selanjutnya ia lakukan.
"Aku tidak mau ikut pulang ke rumahmu. Kau cukup melemparkanku ke sebuah rumah inap juga tidak apa-apa."
"Aku akan melemparkanmu ke ban di luar."
"Makhluk tidak berperasaan ini! Aku datang jauh jauh kesini untuk merayakan ulang tahun denganmu. Kau lihat bagaimana kau memperlakukanku dari tadi hingga sekarang?!!! Antarkan aku kembali ke bandara! Aku mau pulang! Ibuku sedang menungguku dengan pangsitnya." Jaemin mulai emosi.
Jeno tidak ambil pusing dengan protes Jaemin. Ia berhenti di depan pintu masuk sebuah hotel internasional. Jeno kemudian memesan sebuah kamar. Jaemin mengikutinya dengan sekotak kue dan lilin ditangan.
Ketika ia masuk kedalam kamar, Jaemin dengan hati-hati meletakkan kuenya dan melihat lihat ruangan kamar itu. Kamarnya bagus, satu tempat tidur besar, satu televisi layar lebar, satu sofa besar. Tolong maafkan Jaemin, kosakata nya sangat terbatas.
Ketika Jaemin berbalik, ia melihat Jeno yang sedang duduk di sofa tersenyum ke arahnya.
Jaemin cemberut. "Apa kau tidak senang karena aku datang untuk menemuimu?"
Melihat Jeno tidak menjawab pertanyaanya, Jaemin mulai menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"Kau benar-benar tidak senang? Lihat ekspresimu! Aku tahu kau tidak senang! Aku datang sejauh ini untuk merayakan ulang tahun denganmu. Lihat kelakuanmu padaku dari tadi hingga sekarang, bagaimana sikapmu padaku?! Bawa aku kembali kebandara! Aku mau pulang! Ibuku sedang menungguku dengan pangsitnya."
"Mengapa hanya kata-kata itu yang bisa kau katakan dari tadi?"
Jeno merasa sangat lucu melihat Jaemin. Ia pun melambaikan tangannya ke arah Jaemin yang masih kesal.
"Mendekatlah, biarkan aku memelukmu."
Jaemin berjalan ke arah Jeno. Jeno menarik tangan Jaemin sehingga Jaemin jatuh ke pangkuannya. Dengan lembut Jeno meletakkan bibirnya di dahi Jaemin dan menciumnya. Jaemin mencoba meronta dan mendorong Jeno menjauh, tetapi Jeno malah memeluknya semakin erat dan berbisik ke telinga Jaemin.
"Jangan bergerak, biarkan aku memelukmu sebentar."
Jaemin diam di dalam pelukan hangat Jeno.
Tiba tiba Jeno bangun dari sofa, membuat Jaemin mendarat keras di lantai.
"Aku akan mengajak mu jalan-jalan."
Jaemin mengerang, ia menggosok gosok bokongnya yang terasa sakit.
"WTF! apa kau tidak bisa mengatakan padaku terlebih dahulu sebelum kau berdiri?"
Jeno merapikan kemejanya yang tadi diduduki Jaemin, terlihat penuh kerutan. Jeno berpura-pura tidak mendengar protesan Jaemin. Kemudian ia pun berjalan menuju pintu dengan Jaemin yang mengikutinya dari belakang. Jaemin masih menunjuk-nunjuk ke arah Jeno sambil mengomel.
"Devil, bad ass, seperti itulah kau! Selalu meninggalkanku setelah menggunakanku."
🐁🐁🐁
Sepanjang hari, Jeno terus membawa Jaemin berkeliling.
Salju yang turun di kota sangat indah. Baginya semua ini begitu menarik. Hingga saat langit mulai beranjak gelap, Jaemin baru mengingat sesuatu. Ia menarik lengan baju Jeno.
"Apa kau tidak perlu kembali ke rumah?"
"Tidak perlu. Aku baru saja menelpon kerumah tadi."
"Kau tidak merayakan ulang tahun dengan kedua orang tuamu?"
Jeno menyapu salju yang jatuh di atas kepala Jaemin.
"Tidak semua orang sama denganmu, Uke terbaik. Tidak ada yang menganggap kalau ulang tahun begitu berarti."
Jaemin merasa kalau Jeno sedang menyindirnya. Ia menepiskan tangan Jeno dari rambutnya. Hanya ketika Jaemin ingin mengatakan sesuatu, Jeno mendahuluinya.
"Apa kau ingin berkata untuk membawamu kembali ke bandara dan kau ingin pulang. Ibumu sedang menunggu mu dengan pangsitnya?"
Apa yang ingin Jaemin katakan sudah dikatakan Jeno. Yang bisa ia lakukan hanya menatap Jeno dan memikirkan kata-kata lain untuk dikatakan.
Jeno meraih tangan Jaemin, Jaemin ingin menolaknya, ia gelisah sambil melihat sekeliling.
"Jangan, orang-orang akan memperhatikan kita."
"Apa yang kau takutkan? Disini tidak ada orang yang mengenalmu."
"Tapi mereka akan merasa aneh." Jaemin merasa tidak nyaman.
Jeno menggenggam tangan Jaemin lebih erat.
"Apa yang orang lain pikirkan tidak penting untukku. Na Jaemin, ayo kita makan kue."
Dijalanan yang ramai, Jeno dengan bahagia bergandengan tangan dengan Jaemin. Di bawah cahaya lampu jalanan, bisa terlihat ekspresi penuh cinta di wajah Jaemin.
🐁🐁🐁
Saat mereka kembali ke hotel, Jeno pergi mandi. Jaemin dengan hati hati meletakkan lilin satu persatu di atas kue tart yang tadi ia beli. Saat Jeno keluar dari kamar mandi dan melihat lilin-lilin itu, ekspresinya berubah suram.
"Kalau kau ingin aku memakan kue tart, aku masih bisa mentoleransinya. Sekarang kau bahkan menaruh banyak lilin? Jika kau berani menyanyikan lagu selamat ulang tahun, aku akan melemparkanmu keluar."
Jaemin yang baru saja berniat akan bernyanyi langsung terdiam.
"Ini yang disebut suasana. Kau mengerti tidak?suasana!!" Protes Jaemin.
Jeno tidak perduli. Apapun yang ia lihat saat ini, semua benda benda yang berada di atas meja terasa mengganggu baginya. Mau memakan kue tart saja sudah merupakan batas toleransi terbesarnya. Lilin, make a wish, semua itu terlalu girly. Ia lebih memilih mati daripada melakukannya.
Jaemin menggerutu. "Tidak romantis! No taste."
Jeno mendekat. "Hey, mengapa kau meletakkan begitu banyak lilin?"
"Karena jumlahnya sesuai dengan umurmu." Balas Jaemin seadanya.
"Tapi umurku bukan segitu."
Bola mata Jaemin membesar. "Bukan 21 tahun?" Jaemin menghitung lagi lilinnya.
"Siapa yang mengatakan padamu kalau aku berumur 21 tahun?" Jeno meraih remote kontrol dan mulai menyalakan televisi.
Jaemin bingung, "22?"
Beruntung tadi pegawai toko kue itu memberikannya tambahan lilin. Jaemin mengeluarkan lilin tersebut.
"Bukan."
Jaemin mulai cemas. 23? Ia sudah kehabisan lilin sekarang.
Jeno beralih dari televisi dan menatap Jaemin yang sedang bingung. Jeno berdiri dan berjalan menuju Jaemin, kemudian ia menarik dua lilin dari atas kue, lalu kembali ke sofa.
Jaemin menatap Jeno. Apa yang baru saja ia lakukan? Jaemin menghitung lagi jumlah lilin yang masih berada di atas kue kemudian setelah selesai ia berteriak.
"19?!!! Kau berumur 19 tahun hari ini? Kau yakin? Kau tidak salah ingat?"
Jeno menatap Jaemin datar, sungguh tidak berniat merespon Jaemin. Jaemin tidak bisa terima, ia masih menatap lilin-lilin itu.
"Aku tidak bisa percaya ini, aku seperti *sapi tua yang memakan rumput muda."
(*ungkapan itu berarti seseorang yang lebih tua bersama dengan seseorang yang lebih muda, biasanya digunakan oleh pasangan wanita yang lebih tua dengan pria yang lebih muda.)
Jeno tertawa hingga ia terjatuh ke atas tempat tidur. Dalam waktu yang cukup lama, Jeno hanya bisa terus tertawa.
"Sapi tua, kapan kita akan mulai memakan kue itu?"
Selesai bertanya sekali lagi, Jeno terjatuh ditempat tidur sambil tertawa. Jaemin meraih pisau kue dan dengan marah mulai menotong-motong kue.
"Apa yang lucu? Itu tidak lucu. Kau terlihat seperti idiot sekarang. Tertawalah! Teruslah tertawa! Hati-hati aku akan mengubah hari ulang tahunmu menjadi hari terakhirmu."
Ketika sedang memotong kue, Jaemin baru menyadari sesuatu.
"Kau belum membuat permohonan! Kau! Kau sengaja membuatku melupakannya!"
Jeno berjalan menghampiri Jaemin. Memeluknya dari belakang.
"Untuk apa lagi meminta permohonan?"
Ia meraih tangan Jaemin dan mengambil sepotong kue di hadapannya dengan tangan Jaemin. Memasukkannya kedalam mulut, kemudian menjilati jari Jaemin. Jaemin merona. Jari-jarinya basah.
Jeno hanya mau memakan sepotong kue. Sisanya ia berikan pada Jaemin. Setelah selesai makan, ia mandi lagi, kemudian berbaring ditempat tidur melanjutkan menonton tv.
Jaemin gantian mandi. Ia berpikir ini adalah pertama kalinya ia dan Jeno bermalam di hotel. Jaemin mulai berkhayal banyak hal. Ia mencuci bersih tubuhnya. Berdiri di depan cermin dan memandangi tubuhnya sendiri.
Tetapi saat ia keluar dari kamar mandi, Jeno sudah tertidur nyenyak di atas tempat tidur. Jaemin bergerak mendekat dan menatap Jeno. Ia menggunakan jarinya menyentuh Jeno.
"Bocah ini, bagaimana bisa ia begitu tampan?" Jaemin berkata setelah memastikan Jeno benar-benar tertidur. Saat si devil terbangun, Jaemin tidak mungkin bisa berkata seperti itu.
Jaemin mencari posisi nyaman, ia menyusupkan tubuhnya dalam pelukan Jeno. Dengan aroma tubuh Jeno, Jaemin pun terlelap.
.
.
.
Tbc~
[ piceboo & Angelina, 2020 ]