Esok hari rasa kantuk luar biasa menyerang di jadwal masuk pagi. Jaga malam benar-benar tidak cocok untukku yang selalu tidur dibawah pukul 9 malam. Aku tidak akan menerima permintaan shift double seperti itu lagi.
Tapi sebenarnya yang membuatku tidak nyenyak tidur adalah Tsukasa. Setelah kepergiannya aku sama sekali tidak bisa melupakannya. Padahal hanya bertemu dalam satu malam saja dia bisa membuatku jatuh hati, seperti dalam cerita dongeng Cinderella. Tapi perkataan Tsukasa sebelum perpisahan lah yang sebenarnya membuatku terus terpikirkan.
Takdir. Bertemu lagi. Tak mungkin
“Keiichiro!!”
“Wuaa!!”
Suara hentakan keras tepat di belakang langsung mengagetkanku. Aku menoleh. Satoru rupanya.
“Lu ngapain ngagetin gue!!” aku berbalik marah padanya. Ia hanya terkekeh.
“Kau melamun dari tadi. Gak lihat apa ada yang mau nyebrang dari sana?” Ia menunjuk sekumpulan anak TK yang hendak menyebrang dari sisi timur.
*priiiiit!!
Tanpa basa basi lagi aku meniup peluitku sekencang mungkin sambil mengangkat plang tanda stop. Beberapa mobil dan motor berhenti, tangan ku lambaikan memberi kode kepada mereka untuk jalan menyebrang. Anak-anak itu berjalan tertib mengikuti guru pendamping mereka.
“Terima kasih,” ucap salah satu guru pendamping menghampiriku untuk berterima kasih.
Aku menundukkan kepala dan badan sembari meminta maaf karena menyadari keberadaan mereka. Bodohnya aku, bisa-bisanya melamun wanita dan melupakan pekerjaanku yang penting ini. Sekali ku menepuk kedua pipiku dengan tangan kiri untuk menyadarkan khayalanku supaya tambah konsentrasi.
“Ada apa?” Satoru menghampiriku ketika beres membantu penyebrangan.
“Ah tidak,” tentu saja aku tak bisa mengatakan hal ini pada orang yang rajin dan serius seperti Satoru. Aku yakin dia akan berucap untuk tidak mencampurkan urusan pribadi ke dalam pekerjaan. Aku sendiri juga menaruh konsep itu dalam-dalam pada kamus hidupku.
Tapi kenapa hanya pada sosok Tsukasa saja, aku bisa sampai seperti ini.
“Kalau lelah, istirahat saja dulu. Biar aku yang urus lalu lintas,”
Satoru sahabat terbaikku
Pria berambut klimis ini menepuk-nepuk pundakku. Dia tahu betul aku sedang tidak dalam keadaan sehat. Bukan sakit fisik, tapi pikiran. Ah mental mungkin.
Aku pergi menuju kantor. Berjalan lemas menuju meja kerja. Lalu bersandar manis di atas kursi sofa, tidak lupa untuk menyandarkan kepala. Kurasa memang benar aku terlalu memikirkan orang yang baru saja kutemui. Aneh.
Mataku terus memandang lampu neon di langit-langit ruangan yang tidak menyala. Memejamkan mata saja rasanya enggan. Enggan untuk membayangkan wanita bernama Tsukasa itu lagi ketika ku menutup mataku. Kalau seperti ini terus mana mungkin aku konsentrasi untuk bekerja.
Sebaiknya aku meminta saran. Tapi ke mana. Satoru. Jelas tidak mungkin. Ah, tiba-tiba saja terlintas satu nama yang telah membuatku bertemu dengan wanita ini.
Sakuya
Tanganku langsung merogoh ponsel yang kuselipkan dalam saku kantong celana. Membuka whatsapp. Lalu mencari kontak Sakuya. Ketemu.
Selang beberapa detik dia tidak online lagi. Sial, sebenarnya apa yang ada dipikiran anak baru itu benar-benar tidak dapat kumengerti.
Aku masih tidak yakin dengan anak ini. Ah tapi berharap saja lah padanya. Yang jelas aku mencari wanita itu untuk bertanya satu kalimat yang ia ucapkan padaku. Itu saja.
--bersambung
Credit:
*tinut tinut tinut
Sebuah pesan sms masuk.
“Sisa Kuota Lokal Kamu tinggal 10MB. Terus nikmati internetan di jaringan Indo*** Oore*** dengan menggunakan kuota lainnya. Cek Kuota *321#”
Sial, kuotaku mau habis, pulsa tidak cukup, uang di dompet juga sedang kosong.