JUNGKOOK POV
Hal terakhir yang jungkook dengar adalah suara Pak Pelatih Hedge yang menggerutu, "Wah, ini tidak bagus." Jungkook bertanya-tanya apa kesalahannya kali ini. Mungkin dia meneleportasikan mereka ke sarang Cyclops, atau lagi-lagi ke seribu kaki di atas gunung berapi. Tiada yang dapat dia lakukan. Penglihatannya gelap. Indranya yang lain tidak berfungsi. Lututnya lemas dan dia pun pingsan. Dia berusaha untuk memanfaatkan ketidaksadarannya. Mimpi dan maut adalah kawan lama Jungkook. Dia tahu caranya mengarungi perbatasan gelap keduanya. Dia meluaskan pikiran demi mencari Jeongyeon Kim. Jungkook melesat cepat kala melewati kepingan memori menyakitkan yang biasa—ibu yang memandanginya sambil tersenyum dengan wajah diterangi pendar mentari di Kanal Utama Venesia; kakaknya, Eunbi, yang tertawa sambil menggandengnya menyeberangi National Mall di Washington, D.C, topi hijau Eunbi yang berkelepai meneduhi matanya dan bintik-bintik di hidungnya. Jungkook melihat Jimin Park di tebing bersalju di luar Westover Hall, melindungi Jungkook dan Eunbi dari manticore scmentara Jungkook mencengkeram figurin Mythomagic erat-erat sambil membisikkan, Aku takut. Dia melihat Minos, mentor hantunya, yang membimbing Jungkook melewati Labirin. Senyum Minos dingin dan keji. Jangan khawatir, Putra Hades. Kau akan membalaskan dendammu. Jungkook tidak bisa menghentikan rentetan memori itu. Kenangan demi kenangan menyesaki mimpinya bagai hantu-hantu di Padang Asphodel—kerumunan jiwa yang keluyuran tak tentu arah, memelas-melas pilu demi meminta perhatian. Selamatkan aku, mereka seakan berbisik. Kenanglah aku. Tolonglah aku. Hiburlah aku. Dia tidak berani berhenti untuk menekuri kenangan-kenangan tersebut. Semuanya semata-mata akan meluluhlantakkan Jungkook dengan keinginan dan penyesalan. Yang terbaik yang bisa dia lakukan hanyalah tetap memusatkan fokus dan melaju terus. Aku putra Hades, pikirnya. Aku bisa pergi ke mana pun aku suka. Kegelapan adalah hak lahirku. Jungkook terus merangsek ke dalam medan kelabu dan hitam, mencari-cari mimpi Jeongyeon Kim, putri Zeus. Akan tetapi, tanah terbuyarkan di bawah kakinya dan dia jatuh ke wilayah terpencil yang sudah tak asing lagi—Pondok Hypnos di Perkemahan Blasteran. Terkubur di balik tumpukan selimut bulu, para demigod yang mendengkur bergelung dalam tempat tidur masing-masing. Di atas rak perapian, sebatang ranting gelap meneteskan air sekental susu dari Sungai Lethe ke dalam mangkuk. Api nan ceria meretih di pendiangan. Di depan perapian, di kursi berlengan dari jok kulit, terlelaplah konselor kepala Pondok Lima Belas—cowok berambut pirang acak-acakan, dan berwajah lembut montok seperti sapi.
"Kyungsoo," geram Jungkook, "demi dewa-dewi, berhentilah bermimpi senyenyak itu!" Mata Kyungsoo terbuka pelan-pelan. Dia berpaling dan menatap Jungkook, kendati Jungkook tahu bahwa ini semata-mata merupakan bagian dari alam mimpi Kyungsoo sendiri. Kyungsoo yang ash masih menduduki kursi berlengan di perkemahan sambil mendengkur.
"Oh, hai ..." Kyungsoo menguap lebar sekali sampai-sampai cukup untuk menelan dewa minor. "Sori. Apa aku lagi-lagi menarikmu keluar jalur?" Jungkook mengertakkan gigi. Tiada gunanya marah marah. Pondok Hypnos tak ubahnya Stasiun Induk untuk aktivitas mimpi. Kita tidak bisa bepergian ke mana pun tanpa melewati pondok tersebut sesekali.
"Mumpung aku di sini," ujar Jungkook, "sampaikan pesan dariku. Beri tahu Chiron aku sedang dalam perjalanan ke sini beserta dua orang teman. Kami membawakan Athena Parthenos."
Kyungsoo menggosok-gosok matanya. "Jadi, benar ya? Bagaimana kau mengangkut patung itu? Apa kau menyewa van atau semacamnya?" Jungkook menjelaskan selugas mungkin. Pesan yang sampai dalam mimpi kerap kali kabur, terutama ketika yang dititipi pesan tersebut adalah Kyungsoo. Semakin sederhana, semakin baik.
"Kami diikuti seorang pemburu," kata Jungkook. "Salah satu raksasa Gaea, menurutku. Bisakah kausampaikan pesan itu kepada Jeongyeon Kim? Kau lebih jago menemukan orang dalam mimpi ketimbang aku. Aku butuh saran Jeongyeon."
"Akan kucoba." Kyungsoo menggapai secangkir cokelat panas di meja samping. "Anu, sebelum kau pergi, bisa kuminta waktumu sebentar?"
"Kyungsoo, ini cuma mimpi," Jungkook mengingatkannya. "Waktu di sini lentur." Sekalipun berkata begitu, Jungkook mengkhawatirkan kejadian di dunia nyata. Raganya mungkin saja tengah menukik menjemput ajal, atau dikepung oleh monster. Namun demikian, Jungkook tidak bisa memaksa diri untuk bangun—sebab energinya telah amat banyak terkuras sehabis melakukan perjalanan bayangan.
Kyungsoo mengangguk. "Benar juga menurutku kau barangkali perlu melihat kejadian di rapat dewan perang hari ini. Aku sempat ketiduran saat rapat, tapi—"
"Tunjukkan padaku," ujar Jungkook. Pemandangan berubah. Jungkook mendapati dirinya dalam ruang rekreasi di Rumah Besar, semua pimpinan senior perkemahan berkumpul di sekeliling meja pingpong. Di ujung meja, duduklah Chiron sang centaurus, posterior kudanya terlipat ke dalam kursi roda ajaib sehingga dia terlihat seperti manusia biasa. Rambut dan janggut cokelatnya yang keriting beruban lebih banyak daripada sebelumnya. Wajahnya berkeriputkeriput dalam.
"—keadaan yang tidak bisa kita kontrol," dia berkata. "Sekarang, mari kita tinjau ulang pertahanan kita. Bagaimana posisi kita saat ini?"
Krystal dari Pondok Ares duduk ke depan. Tipikal Krystal, dialah satu-satunya yang mengenakan baju tempur lengkap. Dia berbicara sambil menggerakgerakkan belati, alhasil membuat konselor-konselor yang lain mencondongkan badan menjauhinya. "Garis pertahanan kita sebagian besar solid," kata Krystal. "Para pekemah sudah siap tempur sebisa mereka. Kita mengontrol pantai. Trireme kita tidak tertandingi di Selat Long Island, tapi elang-elang raksasa bodoh itu mendominasi ruang udara kita. Di daratan, orang-orang barbar itu sudah mengepung kita di ketiga arah."
"Mereka orang Romawi," kata Park Rose sambil menggambari lutut jinsnya dengan spidol. "Bukan orang barbar."
Krystal mengacungkan belati kepada Rose. "Lalu, bagaimana dengan sekutu mereka? Apa kaulihat suku beranggotakan manusia berkepala dua yang tiba kemarin? Atau orang-orang berkepala anjing dan berpendar merah yang membawa kapak perang besar? Menurutku, mereka kelihatan barbar. Bagus seandainya kau meramalkan kemunculan mereka, seandainya kesaktianmu sebagai Oracle tidak macet justru di saat kita paling membutuhkannya!"
Wajah Rose merona semerah rambutnya. "Itu bukan salahku. Ada yang tidak beres dengan anugerah meramal pemberian Apollo. Jika aku tahu cara memperbaikinya—"
"Rose benar." Byun Baekhyun, konselor kepala di Pondok Apollo, memegangi pergelangan Krystal dengan lembut. Tak banyak pekemah yang bisa melakukan itu tanpa ditikam oleh Krystal, tapi Baekhyun punya keahlian dalam meredakan amarah orang. Baekhyun berhasil membuat Krystal menurunkan belatinya. "Semua orang di pondok kami terpengaruh. Bukan Rose seorang yang anugerahnya macet." Rambut pirang gondrong dan mata biru Baekhyun mengingatkan Jungkook akan Taehyung Kim, tapi hanya itu kemiripan keduanya. Taehyung seorang petarung. Kita bisa melihatnya dari tajamnya tatapan Taehyung, sikapnya yang senantiasa waspada, perawakannya yang tegap dan tangguh. Baekhyun Byun lebih mirip kucing ramping yang sedang berjemur matahari. Gerakannya santai dan tidak mengancam, tatapannya lembut menerawang. Dalam balutan kaus garis-garis yang sudah usang, celana buntung, dan selop, penampilannya sebagai demigod sama sekali tidak agresif, tapi Jungkook tahu Baekhyun orang yang pemberani di bawah serangan. Dalam Pertempuran Manhattan, Jungkook sempat melihat Baekhyun beraksi— paramedis terbaik yang perkemahan mereka miliki di medan laga, mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan para pekemah yang terluka. "Kita tidak tahu apa yang terjadi di Delphi," Baekhyun melanjutkan. "Ayahku tidak menjawab doaku, juga tidak menampakkan diri dalam mimpi maksudku, semua dewa memang tengah membisu, tapi Apollo tidak biasanya seperti ini. Ada yang tidak beres."
Di seberang meja, Kim Hanbin mendengus. "Barangkali gara-gara si sampah Romawi yang memimpin serangan—Jinhwan siapa-itu-namanya. Andai aku ini Apollo dan keturunanku bertingkah seperti itu, aku akan bersembunyi karena malu."
"Aku sepakat," kata Baekhyun. "Coba kalau aku lebih ulung memanah aku tidak keberatan menembaki kerabat Romawiku itu supaya sadar diri. Sebenarnya, kuharap aku bisa menggunakan anugerah ayahku yang mana saja demi menghentikan perang ini." Dia memandangi tangannya sendiri dengan muak. "Sayangnya, aku cuma seorang tabib."
"Bakatmu esensial," kata Chiron. "Aku khawatir kita akan segera membutuhkannya. Terkait kemampuan melihat masa depan bagaimana dengan Ella sang harpy? Sudahkah ia menyumbangkan saran dari Kitab Sibylline?"
Rose menggelengkan kepala. "Makhluk malang itu ketakutan setengah mati. Harpy benci dikurung. Sejak orang-orang Romawi mengepung kita pokoknya, Ella merasa terperangkap. Dia tahu Jinhwan bermaksud menangkapnya. Aku dan Tyson harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya terbang kabur."
"Yang sama artinya dengan bunuh diri." Namjoon, putra Iris, menyedekapkan lengannya yang kekar. "Selagi elang-elang Romawi itu berada di udara, terbang tidaklah aman. Aku sudah kehilangan dua pegasus."
"Paling tidak Tyson mengajak serta beberapa temannya sesama Cyclops untuk membantu," ajar Rose. "Itu kabar bagus kecil-kecilan."
Di meja makanan, Lee Taeyong tertawa. Dia meraup segenggam biskuit di satu tangan dan memegang sekaleng keju busa di tangan satunya lagi. "Selusin Cyclops dewasa? Itu kabar bagus besar. Selain itu, Choi Yuna dan anak-anak Hecate sudah memasang tameng magis, sedangkan seisi Pondok Hermes sudah memasangi bukit dengan jebakan dan jerat serta segala macam kejutan untuk orang-orang Romawi!"
Kim Hanbin mengerutkan dahi. "Yang sebagian besarnya kalian curi dari Bungker Sembilan dan Pondok Hephaestus."
Krystal menggerutu tanda setuju. "Mereka bahkan mencuri ranjau darat dari Pondok Ares. Bisa-bisanya kalian mencuri ranjau darat aktif"
"Kami menyita barang-barang itu untuk amunisi perang." Taeyong menyemprotkan keju busa ke dalam mulutnya. "Lagi pula, kalian punya banyak mainan. Kalian tentu bisa berbagi!"
Chiron menoleh ke kiri, ke tempat Grover Underwood sang satir duduk membisu sambil mengelus-elus seruling alang-alangnya. "Grover? Ada kabar apa dari roh-roh alam?"
Grover mendesah. "Di hari baik sekalipun, sulit untuk mengoordinasi para peri dan dryad. Sementara Gaea pelan-pelan terjaga, para peri alam hampir sama linglungnya seperti dewa-dewi. Yerim dan Go Woon dari Pondok Demeter saat ini sedang keluar untuk ikut membantu, tapi jika Ibu Bumi terbangun sepenuhnya ...." Dia memandang ke sepenjuru meja dengan gugup. "Singkat kata, aku tidak bisa janji bahwa hutan bakalan aman. Begitu pula perbukitan. Atau ladang stroberi. Atau—"
"Hebat." Kim Hanbin menyikut Kyungsoo, yang hampir tertidur. "Jadi, kita harus berbuat apa?"
"Menyerang." Krystal menggebrak meja pingpong, alhasil menyebabkan semua orang berjengit. "Orang-orang Romawi semakin hari mendapat semakin banyak bala bantuan. Kita tahu mereka berencana menyerang pada 1 Agustus. Kenapa kita mesti membiarkan mereka menentukan jadwal? Kuperkirakan mereka menunggu datangnya lebih banyak pasukan. Jumlah mereka sudah melampaui kita. Kita sebaiknya menyerang sekarang, sebelum mereka bertambah kuat; serbu mereka duluan!"
Daniel, wakil konselor kepala Pondok Athena, terbatuk-batuk ke kepalannya. "Krystal, aku paham maksudmu. Tapi, pernahkah kau mempelajari teknik rekayasa Romawi? Kamp sementara mereka lebih terlindungi daripada Perkemahan Blasteran. Kalau kita serang markas mereka, kita yang akan dibantai."
"kita tunggu solo?" sergah Krystal. "Biarkan mereka mempersiapkan seluruh pasukan sementara Gaea menjelang kebangkitannya? Aku diberi tanggung jawab untuk melindungi istri Pak Pelatih Hedge yang sedang hamil. Aku tidak akan membiarkan apa pun menimpanya. Aku berutang nyawa kepada Hedge. Lagi pula, aku sudah melatih lebih banyak pekemah daripada kau, Daniel. Semangat juang mereka sedang terpuruk. Semua orang ketakutan. Jika kita dikepung sembilan hari lagi—"
"Kita harus tetap mengikuti rencana Seulgi." Lee Taeyong kelihatan lebih series ketimbang biasanya, sekalipun mulutnya berlumur keju busa. "Kita harus bertahan sampai Seulgi mengembalikan patung Athena ajaib itu ke sini"
Krystal memutar-mutar bola matanya. "Maksudmu kalau si praetor Romawi mengembalikan patung itu ke sini. Aku tidak paham maksud Seulgi, berkongkalikong dengan musuh. Kalaupun si orang Romawi mengembalikan patung itu—meskipun menurutku mustahil—haruskah kita meyakini bahwa tindakan itu akan mendatangkan perdamaian? Patung itu sampai dan mendadak bangsa Romawi meletakkan senjata dan mulai menari-nari sambil melemparkan bungs?"
Rose meletakkan spidolnya. "Seulgi tahu apa yang dia lakukan. Kita harus mengusahakan perdamaian. Terkecuali kita bisa menyatukan bangsa Yunani dan Romawi, dewa-dewi takkan sembuh. Terkecuali dewa-dewi sembuh, kita takkan bisa membunuh para raksasa. Dan kecuali kita membunuh para raksasa-
"Bangunlah, Gaea," kata Taeyong. "Tamatlah sudah. Dengar Krystal, Seulgi mengirimiku pesan dari Tartarus. Dari Tartarus. Percaya, tidak?! Siapa pun yang bisa melakukan itu pokoknya, akan kuturuti kata-katanya." Krystal membuka mulut untuk menimpali, tapi ketika dia berbicara, keluarlah suara Pak Pelatih Hedge: "Jungkook, bangun. Kita dapat masalah."