Permintaan hati yang tidak ingin merasakan sakit hannyalah.
Melepas apa yang seharusnya kamu lepas dan menggenggam apa yang seharusnya kamu pertahankan. Dengan begitu, kamu telah membebaskan hatimu dari sebuah lara.
• Dear Jodoh •
🌺 Karya Nadia Pratama 🌺
Udah siap?
Cuzzzzlah baca hehe...
🥀 Happy Reading 🥀
Ali berlari masuk ke dalam Rumah Sakit As-Syifa. Dia mencari keberadaan ruang ICU.
Obrolan pagi tadi bersama Atha dan Rafi, membuat otaknya kembali berpikir jernih. Melepaskan apa yang seharusnya di lepas, dan menggenggam apa yang seharusnya di pertahankan.
"Dia koma karena kecelakaan itu. Li! Dia cinta sama lo dan lo bener-bener tega lakuin ini pada Alisha!" Atha angkat suara.
"Sejak awal lo bilang ke gue kalau lo bisa jaga Alisha, lo bisa cinta ke dia, lo bisa melepas Asma, tapi nyatanya? Bulshit!" lanjutnya. Ali masih terdiam, pikirannya melayang pada kondisi Alisha.
"Dia masih kritis, sekarang berada di Rumah Sakit As-Syifa. Lebih tepatnya di ruang ICU," tukas Atha.
"Gue ke sana!" Ali langsung beranjak dari duduknya dan pergi menuju rumah sakit As-Syifa.
"Si brengsek itu! Masih aja mikirin masa lalunya, udah sangat jelas jika masa lalunya itu tidak memikirkannya lagi. Tapi dengan bodohnya Ali bertahan dan mengorbankan masa depan," ucap Atha.
"Sudahlah Bang, aku capek. Ingin istirahat," jawab Rafi.
Ali menghentikan langkahnya dan bertanya pada satu suster yang membawa beberapa kertas kerjanya.
"Permisi Sus? Ruang ICU di sebelah mana ya?"
"Iya Mas, anda tinggal lurus saja, mentok di ujung, kalau lewat pintu samping dekat parkiran tadi lebih cepat mas," jawab Suster tadi.
Mana sempat Ali berpikiran seperti itu, kini di otaknya hanya ada Alisha.
"Terima kasih Sus," ucap Ali.
"Iya sama-sama," jawab Suster tersebut dan pergi melanjutkan tugasnya.
"Sha? Saya datang!" Ali kembali berlari menuju ruang ICU.
Ali memperlambat larinya saat melihat satu keluarga yang sedang menangis di depan sana.
Ali seperti mengenal wanita yang tengah menangis di pelukan seorang laki-laki.
Ali juga melihat pemuda yang tengah duduk di lantai sambil menangis .
"Akbar?" ucap Ali pelan.
Dada Ali semakin bergemuru, kakinya sangat gemetar kala harus melanjutkan langkah agar lebih dekat dengan ruangan mengerikan itu.
"Alisha?" Ali menggeleng.
Syabil, Aldi, dan semua keluarga Alisha yang hadir langsung menatap ke arah Ali.
Terlebih Akbar, dia langsung mengelap air matanya dan bangkit untuk menghampiri Ali.
"Brengsek! Ngapain lo ke sini?!" Akbar langsung mencengkeram kerah kemeja yang Ali pakai.
"Alisha," jawab Ali.
"TERLAMBAT!" teriak Akbar sambil mendorong tubuh Ali. Ali hampir saja jatuh, untungnya dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Alisha udah pergi! Ini semua gara-gara elo! Elo yang menyebabkan gue kehilangan sahabat terbaik gue! Lo laki-laki brengsek!" Akbar kembali menangis, dia memegangi dadanya yang terasa sesak.
Dia kehilangan Alisha. Dokter tidak bisa menyelamatkan Alisha, gadis itu telah meninggal tiga menit sebelum Ali datang.
Alisha telah pergi, dia telah kembali ke pangkuan sang Illahi.
"Gak mungkin!" ucap Ali pelan.
"Iya brengsek! Alisha meninggal!" bentak Akbar di sela-sela tangisnya.
Ali langsung menghampiri Sultan yang tengan menenangkan sang istri.
"Pak Sultan? Ini tidak benar kan? Alisha tidak mungkin---"
"Pergilah nak Ali, saya sedang tidak ingin melihat wajah pembunuh putri saya!" jawab Sultan.
Deg!
Plakk!!!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Ali. Syabil dengan raut wajah emosi dan air mata yang masih berlinang dengan deras. Menampar pipi laki-laki yang hampir saja menjadi adik iparnya.
"Anda puas? Adik saya meninggal! Anda puas dengan semua ini?!"
"Syabil saya---"
Belum sempat menuntaskan perkataannya, Ali harus melihat kenyataan yang kini ada di depan mata.
Tim dokter mendorong ranjang pasien dari dalam ruang ICU.
"Dokter tunggu!" Ali langsung mencekal ujung besi ranjang pasien itu. Membuat tim dokter tersebut menghantikan langkahnya.
Ali maju beberapa langkah dan membuka kain putih yang menutupi tubuh seseorang tersebut.
Mata Ali membulat sempurna, air matanya menetes begitu saja. "Ini gak mungkin!" ucap Ali.
"Sha?" Ali menatap wajah pucat milik Alisha.
"Sha! Ini bukan kamu kan Sha? Alisha? Saya di sini Alisha! Saya di sampingmu, saya tidak akan pergi lagi. Saya minta maaf Sha! Bangun Sha!" tangis Ali pecah, keadaan begitu menyedihkan saat ini.
"Sha! Jangan tinggalkan saya, kamu bilang akan tetap bersama saya selama saya tidak meninggalkan kamu, saya kembali tapi kenapa kamu malah pergi untuk selamanya Sha?" Ali meremas selimut putih yang menutupi tubuh Alisha.
"Sha? Bicaralah! Marahi saya sesuka hatimu Sha! Bentak saya Sha! Umpat saya!" Air mata Ali jatuh membasahi wajah Alisha.
"Sha, saya ingin menikahi kamu, saya ingin kita halal, saya ingin memelukmu dan meminta maaf untuk segalanya Sha! Bangunlah, dan menikahlah dengan saya! Alisha! BANGUN SHA!" Ali merosot begitu saja.
Tim dokter kembali menutup tubuh Alisha dan membawanya untuk di mandikan.
"Alisha! Jangan bawa pergi calon istri saya!" Ali bangkit dan mengejar tim dokter yang membawa Alisha.
Ali mencekal tangan kanan dokter yang menangani Alisha. "Jangan bawa calon istri saya! Dia masih hidup! Saya yakin!"
Dokter laki-laki muda itu melepas cengkeraman tangan Ali. "Maaf, pasien telah meninggal pada pukul sepuluh lebih tiga menit pagi waktu Indonesia Barat," jawab dokter tersebut.
Ingatan tentang pertemuan pertamnya dengan Alisha, kembali terputar.
"Ekhem!! Mau maling mbak?" gadis itu langsung menoleh ke bawah dan menatap Ali.
"Sembarangan!"
"Mana ada maling ngaku!" ucap Ali.
"Jangan asal nuduh lo!" gadis itu menggerakkan kakinya agar bisa terlepas cengkraman tangan Ali.
"Turun!" titah Ali dengan tegas.
"Apaan sih lo! Kenal juga kaga!"
"Turun!"
"Iya...iya!" Akhirnya gadis itu turun dan menatap tajam ke arah Ali.
"Atas dasar apa kamu mau maling di rumah ini?" tanya Ali to the poin dan membuat gadis itu melotot.
"Itu mulut! Pedes banget ngalahin cabe-cabean pertigaan lampu merah!"
"Saya bisa laporin kamu!" ancam Ali.
"Laporin, laporin! Eh Om!" jeda sekian detik, gadis itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.
"MANA ADA MALING CANTIK KAYA GUE!" teriaknya. Dan membuat Ali memejamkan matanya sejenak.
"GUE ANAKNYA AHMAD SULTAN PRATAMA, KETUA RT KOMPLEK INI SEKALIGUS PEMILIK PERUSAHAAN SUSU UHT TERBESAR DI INDONESIA! ANAK SULTAN , NGAPAIN MALING!" wajah gadis itu tampak memerah karena emosinya membeludak.
Ali menatapnya sejenak sambil beristigfar dalam hati.
"Jangan seudzon dong, Om! Dosa tahu!" bentak gadis itu.
"Terus, ngapain kamu naik-naik pagar rumah ini?"
"Kucing gue ada di dalam!"
"Sha!" Ali menangis sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Sangat sesak malah.
"Tidak! Alisha masih hidup!" Ali kembali menarik kain putih yang menutup tubuh Alisha.
"Sha! Bangun Sha! Bangun!" Ali mengguncang tubuh Alisha.
"Alisha saya cinta sama kamu! Saya mohon bangulah!" lanjutnya.
Akbar menarik Ali dengan kasar.
"Stop brengsek! Jangan pernah ganggu Alisha lagi! Dia udah tenang!"
Bug!
Akbar memberi pukulan keras di pipi kanan Ali. "Gue kecewa sama lo! Lo hanya bisa membunuh Alisha! Lo gagal bahagiakan Alisha! Lo gagal! LO GAGAL ALI! DAN ALISHA SUDAH MENINGGAL!"
"ALISHA!" Ali terbangun dari tidurnya.
"Astagfirullahaladzim..." Ali mengusap wajahnya kasar. "Syukurlah hanya mimpi. Tapi meski mimpi, saya tidak akan pernah menginginkannya Sha." Ali terdiam sejenak.
Dia tertidur di mushola Rumah Sakit, karena Ali terlalu takut untuk melihat kondisi Alisha, dia memilih untuk sholat dzuhur terlebih dahulu. Namun setelah sholat, Ali merasakan kepalanya pening, akhirnya dia memilih untuk istirahat beberapa menit.
"Astagfirullah, sudah jam dua siang. Ck! Saya ketiduran lama ternyata!" Ali langsung beranjak dari duduknya dan keluat dari mushola.
Ali melangkahkan kakinya menuju ruang ICU. Detak jantungnya berpacu dengan cepat, dia takut jika mimpi buruk itu menjadi kenyataan, dia takut jika harus kehilangan Alisha, Ali belum siap menerima kenyataan pahit itu.
Dari kejauhan, Ali melihat Reza yang baru saja keluar dari ruang ICU. Reza melepas baju khusu berwarna hijau saat dari ruangan ICU.
Iya memang pembesuk yang akan masuk ke dalam ruang ICU diharuskan memakai baju luar yang sudah disediakan oleh rumah sakit entah iu berwarna hijau polos, biru atau berwarna putih, baju luar ini berfungsi sebagai penutup bagi seluruh pakaian yang dipakai pembesuk dari atas sampai ke bawah.
Ali mendekat ke arah Reza dan menyapa anak SMP kelas dua itu.
"Assalamualaikum, Reza?" Reza yang tengah sibuk merapikan baju jenguk pun, menoleh.
Dia tampak terkejut kala melihat Ali, namun ekspresi dingin tiba-tiba muncul di wajah Reza.
"Waalaikumsalam. Mau apa ke sini?!" suara Reza tampak dingin, tak hangat seperti dulu.
"Saya ingin menjenguk Alisha," jawab Ali setenang mungkin. Reza tersenyum sinis.
"Hebat ya? Masih punya muka ternyata. " Reza memberi tepuk tangan untuk Ali.
"Setelah kabur di hari pernikahan dan membuat kakakku kritis, anda masih berani untuk datang?" tanya Reza. Ali masih bungkam.
"Pergi dan tak usah datang lagi! Tak ada gunanya anda datang, karena Ka Alisha gak akan suka jika melihat anda!" lanjut Reza.
"Saya mohon Za, beri saya kesempatan untuk bertemu Alisha. Saya cinta dengan kakak kamu. Izinkan saya---"
"Ternyata kamu masih berani datang."
Ali dan Reza langsung menoleh ke sumber suara.
Di sana ada Sultan, Rania, Syabil, Aldi, dan juga Ayah serta Ibu dari Ali.
"Mau apa kamu datang?" tanya Sultan.
Ali langsung mendekat ke arah Sultan. "Pak Sultan, beri saya kesempatan."
"Untuk apa nak Ali? Saya sudah ikhlas atas musibah yang menimpa Alisha," balas Sultan.
"Izinkan saya untuk menikahi Alisha saat ini juga," jawab Ali.
Semua keluarga yang mendengar hanya diam seribu bahasa.
"Saya mencintai Alisha, saya minta maaf atas kejadian saat itu. Trauma saya akan akad pernikahan, membuat Alisha jadi seperti ini," lanjut Ali.
Rasyid dan Fariha, menatap sang putra yang terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan sebelum merek datang bersama orang tua Alisha ke Rumah Sakit, mereka telah menceritakan masa lalu Ali pada keluarga Alisha.
"Jika kamu masih berada di bawah bayang-bayang masa lalu, Bunda gak akan kasih restu kamu buat menikahi Alisha," ucap Rania dengan mata berkaca-kaca. Ali merunduk.
"Alisha berhak bahagia, dan itu bukan dengan anda!" lanjut Syabil.
"Demi Allah!" Ali kembali menatap satu persatu wajah keluarga Alisha.
"Saya, Ali Khairi Rasyid, mencintai Putri dari Bapak Ahmad Sultan Pratama. Dan akan menjaga, membahagiakan, dan membimbingnya menuju Surga. Izinkan saya untuk menikahi Alisha dan merawatnya sampai dia kembali membuka mata," ucap Ali mantap.
"Jika dia tidak akan membuka mata lagi bagaimana? Dan apa kamu yakin akan tetap menikahi Alisha dengan keadaannya yang kritis?" tanya Sultan.
"Qodarullah! Semua ketetapan Allah itu baik, dan saya akan menerima semua konsekuensinya. Saya akan tetap menikahi Alisha, sekarang juga," jawab Ali mantap.
🍃🍃🍃
Rasa dingin dan mencekam ruang ICU, tak membuat Ali takut akan semua keadaan ini. Dia menatap Alisha dari jarak yang lumayan dekat.
Dan lagi, peralatan monitoring yang terpasanga untuk memantau denyut nadi atau jantung dan pernafasan, selang infus untuk memasukkan bahan nutrisi serta selang untuk mengeluarkan urine, cairan lambung atau cairan dari bagian tubuh lain menambah suasana menjadi semakin tak biasa.
"Hai, assalamualaikum, Suzana mulut mercon. Saya datang, maaf ya sempat kabur saat akad kemarin.
Tapi hari ini, saya akan mengakad kamu, saya tidak akan kabur lagi. Saya janji," ucap Ali di akhiri senyum, namun matanya mengeluarkan cairan bening begitu saja.
Tak lama dari itu, Sultan, Ayah Ali, dan penghulu ikut masuk dengan didampingi oleh dokter laki-laki yang menangani Alisha.
Sedangkan keluarga yang lain menunggu di luar ruang ICU. Sahabat Alisha juga sudah datang, meski mereka sebenarnya menolak keputusan Sultan untuk kembali merestui Ali menikahi Alisha. Merek semua hanya pasrah dan berharap yang terbaik untuk Alisha.
Rasyid membawa parsel berisi seperangkat alat sholat dan musyaf Al-Qur'an sebagai mahar.
Ali sudah duduk di kursi plastik yang telah di siapkan untuk acara akad nikah mengharukan ini.
Ali telah menggenggam tangan Sultan. Meski tangannya kembali dingin dan gemetar, namun kali ini Ali bisa mengontrolnya.
"Sudah siap?" tanya Sultan. Ali mengangguk.
"Bismillahirohmanirohim... Ananda Ali Khairi Rasyid bin Haji Muklisin Rasyid. Saya nikahkan dan kawinkan engkau, dengan putri ke dua saya yang bernama, Nufalyn Alisha Rabbani binti Haji Ahmad Sultan, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan musyaf Al-Qur'an di bayar tunai!"
Bayangan Asma dan Rafi kembali muncul, rasa pening itu kembali hadir, namun kali ini Ali menahannya mati-matian demi Alisha.
Keluarga yang melihat dari luar, sudah begitu cemas menunggu Ali yang tak kunjung menjawab ucapan Sultan.
Ali mengucap basmalah dalam hati dan mulai mengucap qobul atas Alisha.
"Sa...saya te.." Ali mengela napas pelan sejenak.
"Saya terima nikah dan kawinnya Naufalyn Alisha Rabbani binti Haji Ahmad Sultan Pratama, dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!"
SAH?
SAH!
Alhamdulillah... Seribu syukur Ali haturkan, begitupun keluarga yang hadir.
Setelah mengucap hambalah dan doa, Ali langsung menghampiri Alisha.
Ali berdiri di samping ranjang penuh alat medis tersebut, dia menyentuk ubun-ubun Alisha dan berdoa atas istrinya, setelah itu Ali membungkuk dan mencium kening Alisha lama.
Air mata Ali turun membasahi wajah Alisha.
"Bangunlah sayang," ucap Ali setelah mencium kening Alisha. Detik berikutnya Ali mencium ke dua kelopak mata Alisha yang tertutup rapat.
"Saya mencintaimu karena Allah."
Suasana haru pun kembali menyelimuti.
Nit...nit...nit.............................................
Garis lurus terpajang di layar monitor pendeteksi jantung.
Deg!
"Alisha?" ucap Ali pelan. Dokter yang menangani Alisha langsung memencet tombol darurat dan tidak lama kemudian tim tiga perawat datang.
Ali dan orang-orang yang ada di ruang ICU di minta untuk keluar.
"Tidak! Saya ingin menemani istri saya!" berontak Ali.
"Maaf Pak! Anda harus keluar!" jawab Suster tersebut. Ali menggeleng.
Nit...............................................
Suara nyaring itu tak mau berhenti berhenti. Garis lurus hanya itu yang terakhir kali Ali lihat sebelum dia ambruk begitu saja di ambang pintu ICU.
-
-
-
-
-
-
-
-
Jangan lupa vote and coment.