Sekali Merdeka Tetap Merdeka

By farvidkar

1M 105K 6.4K

Merdeka tidak lahir pada tanggal 17 Agustus, punya dua adik perempuan, dan kini dia akan segera punya adik la... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Epilog
Info: Add lagi di perpus ya!

Chapter 6

29.6K 3.2K 135
By farvidkar

DALILA

Biologi, salah satu pelajaran favorit semua siswa terutama tentang organ reproduksi. Mungkin semuanya excited karena mereka sedang dalam masa pubertas. Perempuan mulai bersikap lebih protektif dengan keberadaan lawan jenis. Begitu juga anak-anak lelakinya Adam, wahai kalian calon kepala rumah tangga belajarlah lebih serius mulai dari sekarang.

"Bumba ... bumba ... bumba ...," gumamku membuat irama saat Bu guru menarik garis di papan, jadi ceritanya Bu guru sedang menjelaskan proses bertemunya sel sperma dan sel ovum. Tidak ada yang namanya clbk, yang ada para lelaki berebutan untuk menjadi yang terakhir bersama mempelai wanita.

"Hush, diem," kata Farah. Aku memang sedikit berisik, tetapi bukan hanya aku yang berisik. Para anak laki-laki di kelas jelas sedang tertawa.

"Buka halaman berikut," kata Bu guru.

Kuperhatikan buku yang kupinjam ini sangat bersih. Ada coretan tetapi hanya sebatas garis yang disengaja. Bukunya bersih, tidak lecet sedikit pun, dan tidak ada lipatan. Padahal ini buku anak laki-laki, you know-lah mereka seperti apa. Bukannya aku mengejek kaum mereka, hanya fakta yang sering kita temui seperti itu. Buku tulis saja digulung kemudian ditaruh di dalam saku celana. Yep, walau tidak semuanya model begitu.

"Merdeka Hardiansyah," aku membaca nama yang tertulis di bagian depan. Tulisannya tegak bersambung. Rapi banget. Iseng ku cek lembar belakang buku cetaknya. Biasanya siswa-siswi sering meninggalkan coretan di sana—termasuk aku.

"Ini serigala atau guguk?" gumamku. Ada gambar kepala hewan yang belum kelar digambar. Antara dua itu, serigala atau guguk. Lehernya belum selesai diarsir. Selain itu ada juga gambar doodle di pojok bawah kertas. Monster kribo, gurita yang imut, ulat bulu raksasa. Selera anak cowok banget.

Mataku terfokus pada sesuatu yang tidak dihapus. Sebuah catatan kecil. Aku mencoba membaca tulisan itu.

Susah ih susahhh, batinku. Namanya bikin nambah kerjaan saja jika mencoba membaca tulisan suram itu. Tegak bersambung, dihapus kasar, tidak terbaca pula.

...

Setelah kelas Biologi selesai, aku langsung pergi ke kelas Bara untuk mengembalikan buku cetak teman sebangkunya itu. Aku celingukan mencari mereka berdua, tetapi mereka tidak ada.

"Kevin," panggilku pada Kevin yang berdiri di depan meja Deka. Kevin anak tim basket, aku kenal dia setelah sekian kali pertemuan dengannya di lapangan.

"Dua sejoli kemana?" yang kumaksud Bara dan Deka.

"Ke kantin mungkin," jawab Kevin.

Tidak heran Bara dan Merdeka menghilang begitu cepat. Sekarang sudah jam istirahat. Lagi pula aku juga lapar. Akan ada bunyi 'ninu ninu ninu' suara ambulans datang menjemputku kalau aku sekarat karena tidak makan. Langsung saja aku pergi menyusul mereka ke kantin.

Kantin sekolah kami besar, tidak akan desak-desakan untuk makan di sana. Aku mencari keberada mereka di kantin, tentunya aku juga membawa buku cetak Merdeka. Kutolehkan kepalaku ke penjuru kantin. Ketemu, batinku. Mereka duduk di deretan tengah kantin.

"Tadi aku ke kelas kalian, eh ternyata kalian malah udah makan di sini," kataku begitu tiba di meja makan mereka. Aku langsung ikutan duduk di sebelah Bara. Tak lama Ibu kantin datang membawa semangkuk bakso dan nasi goreng milik mereka. Aku jadi makin lapar.

"Minta," aku menyicipi mangkuk bakso itu. Cukup sekali telan untukku.

"Eh—itu punyanya Deka," kata Bara. Terlambat. Baksonya udah kutelan.

Canggung sekali. Aku memberikan tatapan tak berdosa pada Merdeka yang hanya diam saja. Harusnya dia segera mengomel saat aku menarik mangkok bakso ke arahku.

"Maaf. Baksomu udah masuk ke ususku," kataku. Duhhh udah dua kali malu-maluin diri di depan dia.

"Sekarang baru nyampe di lambung. Tunggu 3 sampe 5 jam lagi baru masuk ke usus," jelasnya. Aku ber-oh-ria. Aku baru tahu hal ini dari Merdeka. Thanks Merdeka!

"Kamu baru belajar Biologi kenapa nggak tahu?" tanya dia seperti sedang mengolokku.

"Aku baru belajar tentang organ reproduksi, bukan organ pencernaan," sungutku. Bab berikutnya barulah pelajaran yang Merdeka jelaskan. Karena kelas kami tertinggal satu bab, jadi aku tidak merasa terolok-olok.

Dia mengabaikanku. Bara juga ikutan mengabaikanku. Aku pun menunggu bakso yang barusan ku pesan saat Ibu kantin mengantar makanan mereka tadi.

"Terus ngapain duduk di sini?" kali ini Bara yang bertanya. Aku pun menunjukkan buku cetak yang kupinjam itu.

"Makasih," kataku sambil mengembalikan pada yang punya. Merdeka mengangguk. Pria itu kembali memainkan ponselnya. Layarnya tambah retak, heran deh, ponselku sekali kecebur atau kebanting langsung tamat riwayatnya. Tapi ponselnya selalu bisa survive. Mungkin karena ponselnya sangat mahal, walau jatuh bangun masih bisa bertahan.

"Lo nggak makan?" tanya Bara pada Merdeka, piring Bara hampir setengah habis.

"Makanan dia belum dateng."

What? Jadi Merdeka sengaja nungguin aku? Baik banget.

"Nggak usah. Biarin aja dia," teman baikku Bara, tapi dia sangat kurang ajar.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ibu kantin membawa mangkok baksoku. Aku sengaja menatap Merdeka yang bersiap-siap dengan sendoknya. Kini dia juga balas menatap ke arahku. Tatapannya membuatku merasa tidak nyaman.

"Apa?" tanyaku. Dia menatap mangkok baksoku dan mangkok bakso miliknya bergantian.

"Sini tukeran. Tadi kamu udah makan baksoku," katanya.

Astaga terbuat dari apa sih dia? tanah liat, tanah sengketa atau tanah hasil galian emasnya kucing? Padahal masalah antara kita berdua hanya masalah sepele—tapi dia sensi sekali padaku. Sepertinya dia punya dendam yang lain padaku.

Ya sudah, aku mengalah. Kami pun bertukar mangkok bakso. Harusnya sebelum kami bertukar mangkok bakso kuludahi dulu mangkoknya. Terlanjur. Sudah lewat juga. Niat jahatku batal dilaksanakan.

...

MERDEKA

"Merdeka," panggil Dalila. Dia tidak pernah memanggilku Deka, selalu saja lengkap. Merdeka. Aku melihat ke arahnya.

"Kamu suka menggambar? Aku lihat gambar kamu di halaman terakhir buku Biologi."

Aku pun mengecek halaman belakang yang dimaksud. Kira-kira kapan aku mencoret-coret bukuku ini, aku lupa, yang jelas memang akulah yang menggambarnya. Kalau sedang gabut di sekolah biasanya aku sering melakukan ini.

"Yang ini serigala atau guguk?" aku hampir tersenyum saat gadis itu mengatakan guguk. Ada beberapa orang yang takut mengatakan kata anjing, karena hewan satu itu sering dijadikan bahan umpatan. Kasian juga.

"Ini kucing."

"Apa?!" Dalila tidak percaya. Selain gadis itu juga memang tidak ada yang percaya. Karena yang kugambar sedikit menyeramkan.

"Ini gambar Kirara, tunggangannya Sango di anime Inuyasha," jelasku ragu apakah gadis itu tahu apa yang kumaksud—seperti anime-anime yang ku nimakmati.

"Oh. Iya aku tahu. Aku juga sering nonton Inuyasha," Dalila terlihat excited. Jarang ada anak gadis yang suka nonton anime model Inuyasha, kebanyakan dari mereka lebih memilih anime sejenis Kaichou wa Maid-sama yang lucu-lucu romantis.

"Tapi kenapa digambar sangar sih? Kirara kan lucu," komentar Dalila.

"Anggap aja lagi ngamuk," kataku asal.

Kami kembali makan. Dia tidak berkomentar lagi. Bara juga sibuk dengan kegiatan makannya. Kami bertiga sama-sama menikmati makanan tanpa banyak bicara.

Dalam diamku ini aku terus memikirkan seiseng apa gadis itu. Kalau pinjam buku untuk belajar Biologi tidak perlu sampai mengecek ke halaman paling akhir. Aku menerka-nerka apakah dia punya rasa penasaran padaku. Masuk akal sih, alasan apa lagi kalau bukan penasaran. Walaupun rasa penasaran yang ku maksud itu sangat luas.

"Selain Kirara yang lagi ngamuk, gambar doodle monster dan kawan-kawannya, aku lihat ada catatan kecil yang kamu hapus. Nggak kebaca jelas sih, tapi kok kayak namaku, ya?"

Tunggu dulu, padahal waktu itu sudah kuhapus bersih. Langsung saja kusimpan kembali buku itu. Dari sudut mata dapat kulihat Dalila terus menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan.

"Nggak kebaca jelas kan? Yaudah," kataku dengan suara datar. Aku tidak ingin melanjutkan topik yang satu ini.

"Yaudah apanya?" tanya gadis itu tak mengerti.

"Selesai, maksudnya," bantu Bara.

"Oh. Jadi gitu cara kalian ngeakhiri percakapan," aku dan Bara sama-sama tidak menjawab.

Aku ingin mencari topik baru, tetapi otakku buntu. Gara-gara dua kata yang kutulis dengan pensil di lembar belakang, Dalila jadi berpikir macam-macam. Aku ingat saat itu aku sedang duduk bersama Bara di kelas. Tiba-tiba dia menunjukkan foto temannya yang ku ketahui bernama Dalila. Bara menanyakan pendapatku.

"Cantik nggak?" tanya Bara. Aku mempertajam penglihatanku meneliti gadis di foto itu lebih dalam.

"Iya," jawabku jujur. "Pacar lo?" tanyaku penasaran. Selama berteman dengan Bara kami tidak pernah membahas tetang perempuan. Aku tidak tahu dia punya pacar atau tidak. Dia juga tidak tahu tentangku yang sudah punya pacar atau tidak.

"Bukan. Teman dekat doang," aku ber-oh-ria.

"Mau gue kenalin?" tawar Bara. Aku pernah lihat gadis itu di sekolah ini. Tetapi tidak tahu dia ada di kelas mana. Kita hanya sesekali berpapasan tanpa menyapa.

"Nggak usah."

Aku suka perempuan, tetapi bukan berarti akan selalu welcome pada semua yang disodorkan padaku. Temannya Bara juga cantik, manis, tetapi aku sedang tidak tertarik untuk menjalin hubungan.

"Catet dulu Instagram-nya," Bara mencari halaman kosong di buku cetakku. Kemudian dia memberikan pulpennya padaku.

Malas berdebat. Aku pun menulis nama lengkap gadis itu bukannya username Instagramnya. Kenapa tidak kutulis username-nya saja? Tulisan di ponsel Bara terlalu kecil. Tidak tahu ada berapa huruf 'a' di sana.

Dalila Anastasya

...

DALILA

Coach Eli memakai pakaian paling bagus di antara semua pakaian yang dia punya. Begitu juga tim basket putra yang paling di-wahwah-kan siswi sekolah hari ini memakai seragam latihan mereka. Tumben bangetkan? itu semua karena hari ini akan diambil foto mereka yang sedang latihan untuk dimasukkan ke dalam buletin.

Bukan aku yang pegang kamera. Aku tidak punya keahlian bidik membidik. Tugas itu milik Rusli—adik kelasku yang berkewajiban sebagai fotografer di ekstrakurikuler kami. Bakatnya adalah menyulap yang jelek bisa kelihatan cakep kalau dia yang membidik.

"Jangan fotoin Bara mulu, yang lain juga dong," kataku sedikit kesal.

"Kata Kak Chiko, fotonya Bang Bara harus paling banyak." Sudah kuduga pasti ulah Michiko. Slogan gadis itu adalah Bara is the most charming prince in this school. Bohong banget cuih cuih. Kalau saja Michiko berada di sini, di lapangan ini melihat tim basket pria latihan tanding 5 lawan 5 gadis itu akan histeris. Bara memang kaptennya, tetapi Merdeka juga lumayan bagus. Bahkan pria itu paling banyak mencetak angka. Cerdiknya lagi Merdeka seorang stealer.

"Ambil fotonya Merdeka lebih banyak lagi," perintahku.

Aku menonton ulang Kuroko no Basket karena mendapat tugas menulis berita tentang tim basket. Setidaknya walau menonton anime pasti ada gambaran sedikit. Berapa poin yang akan didapatkan jika mencetak dari garis dalam ataupun strategi apa yang digunakan jika tim lawan bermain 2-3.

Tiba-tiba bola yang mereka mainkan menggelinding ke arahku. Aku mengambil bola yang berhenti tepat di kakiku. Dan aku mau bilang kalau situasiku saat ini asdfghjkl—susah dijelaskan begitu Merdeka mendekat. Ingin bertingkah biasa saja tapi tidak bisa. Ingin sok keren tapi tidak bisa juga karena aku merasakan dejavu situasi di lapangan yang lebih heboh dari sebelumnya.

Pria itu mengulurkan tangannya lagi. Lagi! sama seperti yang dulu dia lakukan.

"Apa nih? minta salaman atau minta bola?" sungutku yang berhasil bertingkah sok cool.

Dia tersenyum. TERSENYUM.

Aku tidak sedang jatuh cinta padanya. Tetapi dia seribu kali lebih cocok jika tersenyum seperti ini. Semoga aku tidak jadi korban cie-cie, yang ujung-ujungnya malah berakhir pacaran.

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 226 19
(TAMAT) Cerita ini berkisah tentang dua kakak beradik yang sering mengalami kekerasan di rumahnya. Perilaku ayahnya membuat Arun dan Mika ingin menda...
123K 10.5K 42
Semua bisa berubah hanya karena orang disebelahmu tersenyum padamu. Tapi, apa iya juga bisa membuat menangis? © Hak Cipta Terlindungi, oleh empinguni...
677K 85.6K 43
Setelah hidupnya dipermainkan nasib--di mana ayahnya kabur dan kekasihnya menghamili gadis lain--, Alean kembali digoda oleh suratan takdir. Ia yang...
290K 39.3K 36
Apa yang kalian lakukan jika seseorang yang tidak kalian kenal mengaku sebagai mantan kalian yang datang dari masa depan? Titan bertemu dengan seoran...