"Aku gak mau sekolah disini lagi!!!" Jerit Valentina ketakutan, memeluk Verisa.
"Bisa jadi korban selanjutnya kita!!" Ujar Verisa.
Seperti biasa, bagaimana pun kondisi korban, bernafas atau tidak, tetap saja di bawa ke rumah sakit.
"Sebenarnya ada apa ini!" Bu Nofi sangat ketakutan.
"Kursi itu Buk," Nindy menunjuk kursi pembunuh itu.
"Kita harus segera cari tahu soal teror ini," ujar Bu Indah.
"Cek data alumni siswa sebelumnya," perintah Bu Nofi.
Bu Indah bergegas menuju kantor, mencari buku data nama siswa yang telah jadi Alumni.
"Tak ada siswa yang bernama Merah," ujar Bu Indah sambil melihat seluruh data nama siswa di buku itu.
"Masalahnya ada di kursinya, Merah tak akan membunuh sebelum dia berhasil menarik korbannya untuk duduk," ujar Nindy.
"Baiklah, Ibuk akan tanyakan pada pembuat kursinya," ujar Bu Nofi.
"Tapi kan Buk, kursi ini sudah lama sekali di beli," ujar Bu Indah.
"Baiklah, nanti akan saya usahakan," balas Bu Nofi.
Setelah sekian lama menggali informasi, akhirnya Bu Nofi tahu pembuat kursinya. Seorang lelaki paruh baya, tapi tak tahu kabarnya bagaimana pada saat ini. Bu Nofi menelpon nomor yang di dapatkannya.
"Ya apa yang bisa saya bantu?" Ujar seseorang lelaki muda dari telepon.
"Apakah Bapak Roni nya ada?" Tanya Bu Nofi.
"Ooh Bapak itu, beliau sudah meninggal 5 tahun yang lalu," ujar lelaki muda itu.
"Baiklah, terima kasih," ujar Bu Nofi dan menutup teleponnya.
"Gawat! Haruskah kita yang mencari tahu?" Ujar Bu Nofi.
"Saya akan bantu Buk!" Ujar Nindy.
"Aku juga!" Sela-ku.
Adhian dan Devan juga ikut. Valentina dan Verisa langsung mundur, takut ikut serta dalam pencarian informasi ini.
"Paranormal?" Tawar Nindy.
"Semoga ada, kalau ada langsung panggil dia, Ibuk akan tanggung semua biayanya," ujar Buk Nofi.
"Demi kalian," sambung Buk Nofi.
"Wow, terharu... Terharu...," Ledek Maura.
"Ish! Ntar di kasih point negatif baru tau rasa," Della menyubit lengan Maura.
"Aduh-aduh, ampun," Maura mengaduh.
"Baiklah, beritahu semua siswa untuk berkumpul di lapangan upacara," perintah Bu Nofi pada Bu Indah.
Tak lama kemudian semua siswa berkumpul di lapangan. Bu Nofi berpidato singkat soal masalah berat ini. Semua siswa dipulangkan, karena akan mencari tahu soal Merah.
"Aku kenal dengan salah satu paranormal, Bang Mamat, rumahnya tak jauh dari rumahku," ujar Nindy.
"Ok, panggil dia," ujar Bu Nofi.
"Ayo pergi dengan mobil Ibuk, tunjukkan jalannya," ujar Bu Nofi.
Nindy ikut bersama Bu Nofi. Tak lama kemudian mereka kembali bersama Bang Mamat. Dia di ajak menuju kelas.
"Hmm, hawanya saja sudah berbeda," gumam Bang Mamat saat memasuki kelas 9.4.
"Ada kisah tragis di balik kayu pembuat kursi yang satu ini," ujar Bang Mamat.
"Berarti ada kursi lain yang berhantu, kan pakai kayu yang sama," ujar Devan.
"Tidak, hantu ini lebih memilih disini, aku tak tahu alasannya kenapa," ujar Bang Mamat.
Merah masih duduk diam disana, tidak mau diwawancarai Bang Mamat.
"Dari kondisinya, sepertinya dia dibunuh seseorang di dekat pohon untuk membuat kursi ini," ujar Bang Mamat.
"Mulutnya yang robek dan hancur tampak seperti disayat dan dipukul," sambung Bang Mamat.
"Bagaimana caranya agar Merah bisa pergi?" Tanya Adhian.
Merah tampak kesal, dia mengibaskan tangannya ke arah Bang Mamat. Perutnya terluka hebat, dia bisa kehabisan darah. Kami yang tak bisa melihat Merah kebingungan.
"Merah melukainya," ujar Nindy.
List panggilan Bu Nofi hanya dipenuhi nomor rumah sakit, sekarang di telpon lagi.
"Bertahanlah, ambulance akan datang," ujar Bu Nofi panik.