"Cinta lahir dari dua hati. Aku mencintainya dan dia juga mencintaiku. Hati kami memiliki rasa yang sama. Apa yang salah jika kami bersama. " - Maddy Maxwell
Ivander menatap lama wajah wanita yang terbaring di atas tilam beralas kain putih itu. Wajah wanita itu kelihatan pucat dengan mata terpejam rapat. Itulah wanita yang beberapa bulan yang lalu masih berstatus kekasihnya. Gadis manis yang begitu dicintainya.
"Aku masih mencintaimu, Vanilla. Rasanya, tiada apa yang dapat membuatku tidak mencintaimu," tangan Ivander menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahi Vanilla.
"Kamu tetap gadisku, Vanilla. Sampai bila-bila kamu tetap gadisku," suaranya begitu perlahan. Dia tidak mahu membangunkan Vanilla.
"Aku tidak tahu mengapa kita jadi begini, Vanilla. Sedangkan kita sudah mengikat janji untuk bersama. Aku sudah berjanji akan melamarmu, Vanilla,"Ivander sudah mencuba untuk ikhlas. Dia sudah berusaha untuk menerima hakikat bahawa kekasihnya sudah dikebas oleh sepupunya sendiri. Namun semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Hakikatnya semakin dia mencuba mengikhlaskan, semakin kuat keinginannya untuk kembali memiliki Vanilla.
Ivander menelusuri tubuh Vanilla dengan pandangannya. Matanya menjamah tubuh di sebalik selimut putih itu. Bertahun dia menahan hasrat untuk menjamah tubuh itu. Dia bersabar, menunggu untuk memiliki Vanilla seutuhnya saat Vanilla sudah halal sebagai miliknya. Namun lihatlah, lelaki lain yang sudah terlebih dahulu menyesap manisnya perawan Vanilla.
Hati Ivander bertambah pedih tika akhirnya matanya singgah pada dua bahagian pada tubuh Vanilla. Dia benci dan cemburu membayangkan bagaimana Maddy membenamkan miliknya ke dalam milik Vanilla. Bayangan bagaimana rakusnya Maddy menikmati tubuh Vanilla hingga menanam benihnya di dalam rahim wanita itu membuat tubuh Ivander menegang. Peluh memercik membasahi tubuhnya.
"Aku ingin memilikimu, Vanilla," akhirnya Ivander tidak dapat menahan diri. Dia menunduk. Dan tanpa berfikir panjang, dia mendekatkan bibirnya pada bibir Vanilla.
"I want you," dia berbisik dalam hati. Bibirnya mencapai bibir Vanilla dan mengucupnya perlahan.
"Emmm..." Vanilla mengerang kecil tanpa membuka matanya. Dia membuka sedikit bibirnya, memberi ruang kepada lidah Ivander untuk menerjah masuk. Lidahnya meneroka di dalam mulut Vanilla, mencari lidah Vanilla dan membelitnya dengan lidahnya.
Manis dan nikmat. Bibirnya saja sudah terasa senikmat ini. Apatah lagi bila aku menghisap putingnya sambil kejantananku menerjah masuk ke dalam liang nikmatnya, fikiran kotor Ivander semakin merangsangnya untuk bertindak lebih.
Dia melepaskan ciumannya pada bibir Vanilla. Kini mulutnya turun lebih ke bawah. Dia menjilat leher Vanilla dengan nafas menderu sambil sesekali menghisap kulit leher Vanilla dengan sedikit keras. Terasa perih. Seakan hisapan itu akan membuat urat lehernya tercabut. Vanilla menjerit kecil.
Ini bukan Maddy. Maddy tidak pernah seganas ini. Vanilla menolak kepala Ivander dengan tangannya yang masih kemah. Namun Ivander menahan kedua tangannya. Sebelah tangannya meremas kuat payudara Vanilla.
"Hentikan, Ivan. Please, hentikan. Aku sedang sakit, Ivan. Jangan sakiti aku. Kasihan bayiku," Vanilla merayu sambil terus meronta. Tetapi tenaganya hanya satu perempat tenaga Ivander.
"Lebih baik bayimu gugur, Vanilla. Bayi itu hanya mengikatmu pada Maddy," Ivander saat ini bukan Ivander yang pernah dikenal Vanilla. Vanilla membencinya. Cintanya yang masih tersisi untuk Ivander saat ini sudah luruh tidak bersisa lagi.
Dia tidak berdaya lagi untuk meronta kerana merasakan sakit pada perutnya. Dia hanya memikirkan bayinya. Kuatlah, nak. Kekallah di dalam rahim mummy, hatinya memohon.
"Aku sudah lama ingin melakukannya, Vanilla. Seharusnya aku sudah mengambil perawanmu sejak dulu agar kau tidak memberikannya kepada lelaki sial itu," Ivander merentap selimut yang menutupi tubuh Vanilla. Dia memandang lapar pada Vanilla.
"Aku sudah lama ingin memasukimu, Vanilla. Sudah begitu lama. Kau fikir aku tidak ada niat untuk melakukannya? Kau silap, Vanilla. Aku puas menahan diri, kau tahu?" Vanilla hanya menitiskan air mata tika Ivander memasukkan tangannya ke dalam sarung yang dipakai Vanilla. Dia hanya berharap ada seseorang yang segera masuk ke dalam bilik itu.
" Aku akan memasukimu, Vanilla. Kau tidak akan menghalangiku, kan? Tentu tidak. Kau bukan perawan lagi. Maddy sudah menebukmu. Berapa kali, Vanilla? Tidak terhitung? Ah.. Kau pasti sudah longgar," Ivander memasukkan satu jarinya. Dia menyeringai melihat Vanilla mengerang nenahan perih pada kemaluannya.
" Jariku terlalu kecil, hmm? Tidak sebanding milik Maddy? " Vanilla merasakan Ivander menambah satu jari lagi ke dalam kemaluannya.
" Stop, Ivan. Please! Sakit!" Vanilla merintih. Dia ingin berteriak, tetapi dia terlalu lemah.
"Sakit? Tapi kau sanggup mengangkangi Maddy hingga kau hamil anaknya!" Ivander memainkan jemarinya di dalam sana. Membuka lebih lebar dan menyusup lebih ke dalam. Vanilla memejamkan matanya. Bukan kerana menikmati. Dia berdoa untuk bayinya.
"Nikmat, Vanilla? Lihat, kau cukup basah," Ivander menarik keluar jarinya. Namun saat dia memandang jarinya, matanya terbeliak. Jemarinya bergetar.
"Darah! Maafkan aku, Vanilla," dia bergegas menuju ke bilik air yang ada di ruangan itu dan membasuh jarinya. Kemudian, dia kembali mendekati katil Vanilla.
Mata Vanilla terpejam bagaikan orang yang sedang tidur. Kedua tangan Vanilla masih berada di atas kepalanya, seperti saat Ivander melepaskannya tadi.
"Oh, my God, Vanilla!" Ivander panik melihat darah membasahi kaki Vanilla. Ivander menekan loceng yang ada di tepi katil Vanilla.
"Maafkan aku, Vanilla. Aku tidak sengaja," dia mencium dahi Vanilla sebelum melangkah keluar meninggalkan bilik itu.
💕💕💕
Maddy berlari menyusuri lorong rumah sakit. Betapa dia panik semasa menerima panggilan dari pihak hospital mengatakan isterinya pendarahan dan berada dalam keadaan kritikal. Baru sekejap tadi dia meninggalkan isterinya di rumah sakit. Itupun kerana dia ingin mengambil pakaian ganti di rumah.
Sampai di luar bilik bedah, Maddy melihat mata ibunya basah. Ibunya menangis? Maddy curiga. Ditatap tajam wajah ibunya.
" Mama baru sampai, Maddy. Jururawat sudah ada di dalam bilik Vanilla masa ibu sampai. Banyak sekali darah Vanilla yang keluar, Maddy. Cucu mama..." Milly menggelengkan kepalanya. Dia takut jika kenyataannya dia akan kehilangan cucu pertamanya.
Maddy terduduk di kerusi di luar bilik bedah itu. Dia menyesal meninggalkan Vanilla. Seandainya dia tidak meninggalkan Vanilla, pasti Vanilla dan bayinya akan baik-baik saja.
Pintu bilik bedah terbuka. Maddy dan ibunya sama-sama bingkas bangun. Raut wajah doktor di hadapannya menakutkan Maddy. Mungkinkah terjadi sesuatu kepada isteri dan bayinya?
" Saya minta maaf harus mengatakan hal ini, encik. Ada seseorang yang masuk ke bilik Puan Vanilla sebelum beliau pendarahan dan tidak sedarkan diri. Kami mendapati ada kesan luka pada kemaluan isteri encik."
Maddy bingung dan marah. Jika bukan ibunya, siapa lagi yang harus disyakinya. Mungkinkah Ivander?
" Bagaimana keadaan isteri saya dan kandungannya, doktor? " Doktor tersebut terdiam seketika. Dipandangnya muka Maddy. Dia merasa berat untuk memberitahu lelaki itu apa yang terjadi kepada isteri dan bayinya.
Vote dan komen.
Happy reading.
Tbc...
*Cerita ini sudah menghampiri endingnya. Mungkinkah happy ending? Atau sad ending? Back to real life... tidak semua kisah akan berakhir dengan happy ending.