Dari banyaknya meja yang ada di kantin Cakrawala, Dirga lebih memilih duduk diarea sudut kanan bangunan itu. Di jam istirahat kali ini, ia hanya berdua bersama dengan Anindya.
Kedua temannya yang lain, Arsent dan Kalandra masih harus mengikuti latihan di lapangan, turnamen mereka sudah dekat, karena itulah jadwal latihan semakin ditambah. Sedangkan Vino, sedang izin keluar kota untuk menghadiri acara keluarga.
"Dirga," panggil Anindya karena lelaki itu tak kunjung menyentuh makanan yang tadinya sudah mereka pesan.
"Dirga." Gadis itu kembali memanggil karena Dirga sama sekali tak menggubrisnya.
"Ya Allah, Dirga!!" Kali ini, suara kerasnya berhasil membuat Dirga sedikit tersentak dan langsung mengalihkan perhatiannya kearah Anindya.
"Apa, Nin?" Tanyanya.
"Kamu ini kenapa? Kok melamun. Mikirin apa?" Bukannya menjawab, Anindya lebih memilih untuk bertanya balik.
Dirga tampak menyentuh tengkuknya, ia diam beberapa saat. Menghela nafas, kemudian menjawab, "Ga ada apa-apa kok, Nin," ujarnya.
"Bohong," sanggah Nindya keras, "pasti ada sesuatu," sambungnya.
"Ga ada. Lebih baik kita makan aja, yuk," ujar Dirga mengalihkan pembicaraan. Lelaki itu dengan segera langsung menyantap semangkuk makanan yang ada di depannya.
"Aku bahkan udah makan sejak tadi, Dir," lirih Anindya. Dirga yang masih bisa mendengarnya sempat terdiam sebentar, kemudian kembali melanjutkan makannya seolah tidak mendengar apa-apa.
Anindya rasa Dirga memang sedang memikirkan sesuatu. Beberapa hari ini ia memang banyak melamun, bahkan ia juga seringkali melihat Dirga tengah mengotak-atik GPS di ponselnya, dan beberapa aplikasi lainnya yang Anindya sendiri tak tau apa gunanya.
Dirga begini agaknya setelah ada siswa baru yang mendekatinya. Memang, beberapa minggu belakangan, SMA Cakrawala kedatangan murid baru yang bernama Gavin. Lelaki itu kabarnya adalah anak pindahan dari sekolah lain yang sekarang duduk di kelas IPA 2, kelas yang bersebelahan dengan Dirga.
Keberadaan Gavin pun awalnya sempat menjadi pertanyaan besar bagi Anindya. Ia menganggap bahwa Gavin punya tujuan tertentu ketika ingin berteman dengan Dirga. Bagaimana tidak, ia bukan anak yang sekelas dengan Dirga, namun dengan tiba-tiba menemui Dirga dan mengajaknya berteman. Bukankah sebagai anak baru seharusnya lebih dekat dengan anak sekelasnya dulu?
Beberapa minggu belakangan juga Gavin seringkali terlihat bersama dengan Dirga. Anindya saja ikut kesal melihatnya. Alasannya memang untuk berteman, tapi jika ia di posisi Dirga pun pasti akan merasa risih.
Anindya sempat ingin menanyakan pasal Gavin kepada Dirga, namun beberapa hari ini suasananya selalu saja tidak tepat.
"Nindya," panggil Dirga tiba-tiba yang membuatnya terperanjat kaget.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Aku mau nanya sesuatu sama kamu," ujar Dirga pelan, terkesan seperti berbisik.
Anindya tak menjawab, ia hanya mampu mengangguk dengan ekspresi wajah bingung sekaligus sedikit takut. Tumben Dirga membuka pembicaraan dengan kalimat ini, biasanya juga kalau nanya ya langsung nanya aja.
Entah kerasukan syaitan apa, Dirga sedikit mendekatkan wajahnya pada Anindya, membuat gadis itu seketika kehilangan pasokan oksigen. Matanya membelalak saat wajah itu sudah tepat berada di depan wajahnya.
"Gavin pernah nemuin kamu?"
"E-enggak," jawab Anindya terbata kemudian langsung memundurkan wajahnya. Jantungnya tidak aman jika tingkah Dirga seperti ini. Terlebih, Dirga sedang membahas Gavin, kan? Kenapa tiba-tiba.
"Kalau nantinya Gavin nemuin kamu, dan bertanya tentang identitasmu, baik itu cuma sekedar nama. Jangan dijawab, tidak perlu. Oke?" Ujar Dirga dengan seutas senyum diakhir kalimatnya.
"Kenapa?" Tidak salah, kan? Jika Anindya seketika menjadi parno.
"Mungkin nanti aja aku kasih tau," ujar lelaki itu santai kemudian kembali menegakkan tubuhnya. Ia tampak biasa saja sambil terus meminum jus yang masih tersisa setengah gelas itu.
"Ohya, nanti kamu mau ke gelanggang, kan? Aku anterin ya." Fix! Dirga benar-benar kerasukan setan hari ini, tidak biasanya lelaki itu seperti ini.
"Dirga? Kamu ga kenapa-kenapa, kan?" Tanya Anindya khawatir.
"Emang aku kenapa?" Bege! Kenapa malah bertanya balik.
"Ah lupakan!"
"Oke. Yuk, aku anterin ke kelas, dan pulang sekolah nanti, tunggu aku di kelas kamu, ya," ujar Dirga, kemudian dengan santainya langsung bangkit dari duduknya.
"Plisss, gue bisa gila kalau gini caranya," gumam Anindya kemudian langsung mengejar Dirga yang sudah beberapa langkah di depannya.
***
Seperti janjinya tadi, Dirga benar-benar sudah berdiri santai di depan kelas Anindya, bahkan sebelum gadis itu menyelesaikan jam pelajaran terakhirnya.
Dirga sempat menunggu beberapa menit hingga Anindya keluar dari ruangannya. Tak menunggu lama, ia pun langsung mengajak Anindya keluar dari arena sekolah menuju gelanggang Cakrawala.
Baru saja melangkahkan kaki dari gerbang, Dirga langsung mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.
[Om, jangan ke sekolah Dirga dulu. Berhenti aja dimanapun Om berada sekarang. Nanti Dirga kabari lagi, Dirga ada urusan sebentar.]
"Kamu ngechat siapa?" Tanya Anindya, basa-basi.
"Om Andi. Ngabarin kalau aku nemenin kamu dulu, jadi ga usah jemput sekarang," jawab Dirga. Apa yang dia katakan tidak sepenuhnya salah, namun ada sesuatu yang lebih detail yang tidak ia beritahukan pada Anindya.
Sebenarnya sejak awal bertemu dengan Gavin, Dirga sudah merasakan sesuatu yang tidak enak. Rasanya ada satu permainan yang tengah dijalankan oleh Gavin kepadanya.
Dirga tak sebodoh itu sehingga tidak bisa menganalisa orang-orang yang berada di dekatnya. Dengan alasan keamanan, bundanya pernah mengajarkan cara ini kepadanya, cara menilai seseorang dengan menganalisa gerak-geriknya, hal ini berguna untuk mengetahui apakah orang tersebut mempunyai tujuan tertentu dalam mendekati kita.
Hanya dalam waktu beberapa hari, Dirga sudah bisa menyimpulkan bahwa Gavin bisa dikatakan sebagai seorang mata-mata. Itu terlihat dari beberapa pertanyaan yang sempat ia lontarkan kepada Dirga.
Seperti; kemana tujuannya saat pulang sekolah, dengan siapa ia pulang, dan apa rutinitas sehari-harinya. Dirga bisa menangkap semua gelagat ganjil itu karena untuk seukuran orang baru, tentunya tidak wajar menanyakan hal-hal tersebut. Jika biasanya Dirga tak akan menjawab pertanyaan itu, maka tadi ia menjawab dengan gamblang bahwa sepulang sekolah ia akan mengantarkan Anindya ke gelanggang.
Dirga sudah bisa membaca arah permainan Gavin sejak waktu itu ia secara tidak sengaja melihat Gavin sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Dan dalam percakapan tersebut, Gavin sempat menyebut nama Andara.
Meski nama Andara bukan satu di muka bumi ini, namun Dirga meyakini dengan sepenuhnya bahwa yang dimaksudkan adalah Andara, adiknya. Padahal, Dirga tidak pernah membuka identitas Andara di sekolah ini. Bahkan, sangat jarang orang mengetahui bahwa dia punya seorang adik.
Dirga mulai memikirkan segala teori-teori dimulai dengan bagaimana caranya Gavin bisa masuk ke sekolahnya. Dengan mengingat beberapa kasus yang pernah melibatkan bundanya, ia jadi bisa menemukan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Yang pertama, adanya pihak Cakrawala yang memang bekerja sama dengan kelompok Gavin. Kedua, adanya tindakan pemalsuan berkas ataupun identitas.
Hari ini ia hanya ingin membuktikan apakah analisanya benar atau tidak. Ia juga ingin membuktikan siapa Gavin, dan apa tujuannya masuk ke sekolah ini dan menjalin pertemanan dengan Dirga.
Dengan adanya Anindya, Dirga bisa menjamin bahwa rencana Gavin akan segera terbongkar. Ini bisa dikatakan hanya sebuah pancingan saja, dan Dirga berjanji, jika sebentar lagi hal buruk akan terjadi, maka tidak akan ia biarkan Anindya tersentuh barang sedikitpun.
"Jangan jauh-jauh dari aku, ya. Apapun yang terjadi," ujar Dirga mulai memberikan sedikit kejelasan.
"HAH?!" Bukannya mengerti, Anindya malah shock mendengar sebaris perkataan Dirga yang sangat-sangat membagongkan.
"Ya pokoknya jangan jauh-jauh aja," sambungnya lagi dengan tampang tak berdosa.
Anindya hanya terdiam dengan pandangan yang tetap lurus ke depan. Atmosfer di antara mereka agaknya sudah berubah menjadi sangat mencekam. Gadis itu bahkan sangat susah untuk menelan salivanya, bayangkan saja segugup apa dia sekarang.
Mereka terus berjalan, hening, tanpa kata. Hingga Dirga tiba-tiba merasakan ada yang mengikuti mereka. Lelaki itu tiba-tiba berhenti dan langsung menoleh kebelakang.
"Dirga ... Plis jangan buat aku takut," lirih Anindya karena melihat gerak refleks Dirga barusan. Lelaki itu juga terlihat sedang mencari keberadaan seseorang. Tanpa sadar, tangan Anindya kini tengah mencengkram ujung kemeja Dirga sangking takutnya.
Dirga yang tiba-tiba berdehem membuat Anindya langsung tersadar dan cepat-cepat melepaskan tangannya dari sana. Bisa-bisanya.
"Jangan takut, ga ada apa-apa kok," jawab Dirga. Sama sekali tidak sinkron dengan hatinya, yang mana ia telah meyakini bahwa mereka diikuti oleh sekelompok orang.
Mereka kembali berjalan, namun Dirga sudah bersiap-siap jika memang hal buruk itu akan tejadi. Tali tas yang semula tersampir di kedua bahunya, kini ia lepaskan sebelah. Semua itu mempunyai maksud yang akan diketahui nanti.
Tidak berselang lama, hal yang Dirga pikirkan akhirnya terjadi. Sebuah senjata tajam hampir menikam tengkuk Anindya jika dia tidak dengan segera menarik tubuh gadis itu. Dalam sekejap, Dirga membawa Anindya ke belakang tubuhnya, ia juga dengan cepat menangkis pisau itu sebelum mengenai dirinya sendiri.
Ada tiga orang yang kini berada di depannya. Mereka semua berpakaian serba hitam dengan topeng yang menutupi wajahnya.
Dirga dengan spontan langsung melemparkan tasnya kesamping ketika orang-orang itu kembali menyerang. Ia juga langsung menerjang dada salah satu dari mereka mendekat kearahnya.
Meski Dirga masih mampu melawan tiga orang itu seorang diri, namun sebagai seorang atlet yang menekuni ilmu beladiri Anindya juga tak bisa diam begitu saja. Meski awalnya sempat cengo melihat apa yang terjadi, kini ia juga mulai mengeluarkan kemampuannya.
"Hati-hati, Nindya!!" Teriak Dirga ketika melihat gadis itu ikut melawan. Ia khawatir karena orang-orang ini bisa saja dibekali oleh senjata tajam. Dan untuk menangani hal itu, ia rasa Anindya belum cukup mampu.
Dirga dengan sesegera mungkin berusaha menaklukkan dua orang yang masih terus menyerangnya. Ia bahkan sudah mendapatkan sebuah goresan pisau dilengannya ketika hendak menangkis tadi.
Lelaki itu mulai mengeluarkan tendangan dengan sasaran kepala lawan. Dalam sekejap, dua orang itu langsung jatuh ke jalan dan terkulai lemas.
Namun, satu orang yang tersisa, yang tadinya tengah berlawanan dengan Anindya langsung menghampirinya. Lelaki bertopeng itu dengan tiba-tiba langsung menghujami Dirga dengan pukulan di perutnya. Ia juga menerjang Dirga hingga anak itu terjatuh ke kerasnya aspal.
Tak semudah itu bagi dirinya untuk mengaku kalah. Dirga kembali bangun dan balas menerjang lelaki itu. Setelah terjatuh, Dirga langsung membuka topengnya lalu memukul wajah lelaki dengan membabi buta.
"Lo dibayar berapa untuk nyelakai gue hah?!" Tanyanya keras tanpa menghentikan pukulannya.
"SIAPA YANG NYURUH LO KE SINI, BANGSAT?!"
Anindya seketika panik ketika melihat Dirga seolah kehilangan kendalinya. Ia bisa membunuh orang itu jika tidak berhenti memukulinya.
"Dirga, cukup!" Teriaknya. Ia dengan segera menghampiri Dirga dan menahan lengan anak itu.
Ketiga orang tadi telah terkulai tak berdaya di badan jalan. Kebetulan, jalanan ini memang sepi, jarang ada orang yang melintas di sana. Jadi, kejadian ini tak akan menarik perhatian banyak orang.
Dirga langsung berdiri ketika tangannya terus-terusan ditarik oleh Nindya. Namun, ia juga tak diam saja, ia berjalan mendekati seseorang yang di duga paling berpengaruh dalam penyerangan ini.
Dirga dengan gampangnya langsung menarik kerah lelaki yang tadinya terkapar itu hingga langsung terduduk tegap. Tangannya kemudian berpindah ke bahu lelaki itu, menekannya dengan kuat persis di daerah tulang selangka.
Lelaki itu sempat berteriak kencang karena kesakitan, namun ancaman Dirga langsung membuatnya diam seribu bahasa.
"Lo diam, atau gue bunuh."
Sambil terus menekan bagian itu, Dirga mengeluarkan senyum sinisnya sambil menatap tajam kearah pria yang ia prediksi masih berusia dua puluh tahunan.
"Dengerin gue baik-baik! Bilang sama pimpinan lo, nyusun rencana tuh yang bener. Ngintai gue ga semudah itu. Lo kira dengan adanya Gavin, lo bakal berhasil gitu? Enggak!"
Dirga sedikit mendekatkan ketubuhnya ke pria itu, bersiap untuk membisikkan sesuatu.
"Gue pastiin lo mati kalau berani nyelakain adik gue. Bilang sama pimpinan lo, langkahi dulu mayat gue sebelum nyentuh Andara," bisiknya dengan penuh penekanan di setiap katanya.
"Pergi lo semua! ANJING!!" Teriak Dirga beberapa saat setelah memundurkan tubuhnya.
Dirga terdiam beberapa saat setelah orang-orang itu pergi meninggalkan mereka. Pandangannya kosong dengan deru nafas yang masih tak beraturan. Ia sedang berusaha menetralisir emosinya sebelum menemui Anindya.
"Dirga ..."
Dirga menghela nafas kemudian mengulas sebuah senyum, gadis itu ternyata memilih menghampirinya lebih dulu.
"Kamu gapapa?" Tanya Dirga sambil memperhatikan Anindya.
"Enggak," jawab Nindya jujur. Ia bahkan tidak terluka sedikitpun. Terhitung sangat sebentar lelaki tadi melakukan penyerangan terhadap dirinya.
"Dir, kenapa kamu malah nanyain aku padahal kamu sendiri terluka. Lengan kamu___"
"Gapapa. Ini cuma luka kecil," ujar Dirga tenang.
"Nindya ..." panggilnya.
"Maaf untuk hari ini. Maaf atas pemandangan kurang menyenangkan yang harus kamu lihat. Maaf atas ucapan-ucapan kasarku yang tadinya harus kamu dengar. Tolong lupakan hari ini, anggap saja ini tidak pernah terjadi. Jangan takut, setelah ini aku menjamin kejadian serupa tidak akan terulang lagi di kehidupanmu."
"Maaf ... Karena telah menempatkanmu dalam bahaya."
***