Fight The World (✓)

By tirameashu

13.8K 1.6K 1K

[Bromance Fiction] Joshua tidak mau adiknya ikut merasakan penderitaan yang sama. Cukup dirinya. Bisa bertaha... More

Introduction
Prolog
1. Disingkat D dan K
2. Perkelahian Murid Kelas 12
3. Tersangka Kedua; Nicheol Zachery
4. Komunikasi Pertama
5. Kesialan Kecil dan Besar
6. Hanya Orang Pamrih
7. Cukup di Sini
8. Juga Bisa Bucin
10. Rahasia di Balik Gitar
11. Rayuan Maut
12. Benar-Benar Sekolah
13. Say The Name: JNK
14. Keluar dari Jurang
Epilog
Catatan Kecil

9. Lomba Akustik

480 84 66
By tirameashu

Joshua bertahan di dalam kelas hingga sekolah menjadi kosong. Berulang kali mengecek jam dinding yang tergantung tepat di atas papan tulis putih. Jika dihitung, sudah lebih dari setengah jam lamanya Joshua berdiam diri sendirian di sana. Dan itu artinya, masih ada waktu kurang lebih setengah jam lagi dari waktu yang diminta oleh Johan.

Merasa cukup, Joshua merapikan seluruh buku masuk ke dalam tasnya. Turun ke lantai utama. Mendatangi koperasi. Membeli minuman kaleng dingin. Sedikit demi sedikit diminum, sambil memandangi lapangan kosong. Bahkan para anggota ekstrakulikuler paskibraka telah berpindah tempat latihan ke dalam ruangan. Membuat sekolah menjadi terasa seperti sebuah gedung kosong.

Tepat di seberang Joshua duduk, ruang kelas 10 berjejer. Kelas IPA di lantai dasar dan kelas IPS di lantai 2. Berbeda halnya dengan kelas 11 dan 12 yang seluruh kelas berjejer di lantai 2, sedangkan lantai dasar dijadikan sebagai ruang ekstrakulikuler, perpustakaan, koperasi, ruang guru, dan yang lainnya. Kepala Joshua mendongak. Ingat Dikey. Adik kelasnya itu berada di kelas 10 IPS 2. Mata Joshua tepat terarahkan ke kelas tersebut.

Tumben sekali Dikey tidak mendatangi Joshua. Biasanya tidak pernah absen. Atau kalau absen, akan mengirimkan Joshua chat, menjelaskan kenapa ia harus pulang cepat. Mulai dari permintaan kedua orangtua Dikey, sampai mengerjakan tugas kelompok. Kebiasaan yang mulai berlaku sejak Joshua mengajak Dikey pulang bersama. Saat itu, sikap Dikey melonjak hingga berani meminta nomor ponsel.

Berkat ingat dengan fakta tersebut, barulah Joshua ingat. Ia belum mengecek ponsel genggam sama sekali. Tanpa banyak berpikir lagi Joshua segera membongkar isi tas ranselnya. Ambil ponsel genggam, mengecek notifikasi. Tidak ada hal yang penting. Buka aplikasi chatting, tidak ada nama Dikey di daftar pesan terbarunya.

Baiklah... Mungkin Dikey memiliki kegiatan penting hari ini.

"Josh!"

Joshua segera menoleh. Johan mengangkat tangan, meminta Joshua agar segera mendatanginya. Bergegas Joshua menuruti.

"Sudah selesai?" tanya Joshua. Menaruh tasnya di salah satu kursi. Memperhatikan Johan dan kawan-kawan anggota bandnya tengah berbenah barang pribadi masing-masing. "Tumben cepat."

Johan tergelak menahan tawa. Meninju bahu Joshua pelan. Merebut minuman kaleng Joshua pula. Diminum hingga habis. Dijatuhkan begitu saja. Secepat kilat Joshua memungutnya. "Kami sudah ahli. Enggak latihan pun, enggak bakal masalah. Cepat bereskan. Jangan pulang sebelum semuanya selesai."

Hanya dengan sebuah anggukan, Johan dan seluruh anggota bandnya meninggalkan ruang latihan dengan perasaan tenang. Tugas mingguan Joshua di hari Sabtu. Tidak pernah mengecewakan hasilnya. Joshua begitu pintar merapikan barang. Sampai-sampai ia menyarankan Joshua agar ikut pelatihan menjadi TKI saja. Tidak perlu bersusah payah mengejar nilai rapor tinggi.

Kapan lagi Indonesia mempunyai TKI berdarah Korea-Amerika? katanya. Gemuruh tawa dari seluruh pengunjung kantin terdengar beberapa saat setelahnya.

Ada beberapa bungkus camilan bercecer di lantai. Dipungut satu per satu, digabung, dibuang ke tempat yang seharusnya. Joshua mengembalikan beberapa alat musik yang diletakkan sembarangan. Tidak pada tempatnya. Bass, stik drum, gitar. Akan tetapi, khusus untuk gitar, Joshua diam sebentar memandanginya. Mendatangi pintu. Menelusupkan kepala ke luar. Memeriksa apakah masih terdapat orang lain atau tidak. Aman. Joshua membawa gitar yang ada di tangannya mendatangi salah satu kursi.

Senar pertama telah Joshua petik. Rasanya begitu melegakan. Melepas rasa rindu. Joshua lupa kapan terakhir kali ia menyentuh senar gitar seperti ini. Sebenarnya, bukan lupa. Joshua sengaja berusaha keras melupakannya. Ingat, namun pura-pura tidak ingat. Cara terampuh untuk mengubur luka lama.

Berhasil memetik senar untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hasrat Joshua melonjak tajam. Satu kali lagi Joshua melihat ke arah pintu. Memetik senar berikutnya begitu yakin bahwa tidak akan ada yang melihat kegiatan lancangnya hari ini. Setelah 2 tahun berlalu, akhirnya Joshua kembali bisa bernyanyi diiringi petikan gitar.

"Woah..."

Suara itu bukan lagi sekadar mengejutkan Joshua. Namun hampir meledakkan jantungnya detik itu juga. Ada Dikey di sana. Melebarkan kedua mulut hingga membentuk lingkaran besar seperti donat. Bertepuk tangan riuh.

"Lagi, lagi!" Dikey memekik gembira. Tanpa permisi ikut masuk ke dalam studio, duduk tepat di hadapan Joshua. "Boleh aku request lagu?"

Joshua membuang muka. Segera beranjak. Meletakkan gitar ke tempat yang seharusnya.

Wajah Dikey menunjukkan kekecewaan yang teramat dalam. "Yah... Kenapa? Ayo bernyanyi lagi! Apa perlu kita duet saja?"

"Kenapa kamu masih di sekolah? Aku kira sudah pulang."

Dikey menggelengkan kepala cepat. Menahan tubuh kecil kakak kelasnya itu agar tidak berpindah tempat duduk. Mengambilkan gitar. Diberikannya pada Joshua. "Aku ketiduran di kelas," katanya. Menyengir lebar. "Gyu kejam banget. Ketua kelas macam apa itu? Guru mata pelajaran Geografi enggak masuk, jadi aku tidur. Eh pas aku bangun ruang kelas sudah kosong."

"Sahabat kamu enggak membangunkanmu?"

"Siapa? Yuha?"

"Yuha ya namanya? Dia pacar kamu?"

Kepala Dikey menggeleng untuk yang kesekian kalinya. Membantah pertanyaan Joshua. "Sahabat. Sahabat jadi pacar itu terlalu ekstrim. Dia juga enggak bangunin. Tapi kirim chat. Katanya maaf, mau bangunin, malah dimarahin Eissa. Disuruh biarin."

Joshua tersenyum iri. Dikey dikelilingi orang-orang baik. Tidak seperti dirinya. Tapi wajar saja. Orang baik, pasti akan dikelilingi orang baik juga. Joshua sadar. Kalau dia tidak dikelilingi orang baik, itu artinya dirinya belum cukup baik. Joshua wajib terus memperbaiki diri, agar suatu saat nanti dikelilingi orang baik juga.

"Sudah... Ayo nyanyi," tegur Dikey. Joshua terlalu lama melamun. "Mau lagu Jawa, Sunda, Melayu, hits Tik Tok, Barat, sampai lagu Korea aku juga bisa. Tenang saja..."

Joshua tertawa. Tanpa sadar jarinya mulai memetik senar gitar.

If you ever find yourself stuck in the middle of the sea,
I'll sail the world to find you
If you ever find yourself lost in the dark and you can't see,
I'll be the light to guide you
Find out what we're made of

When we are called to help our friends in need

Lagu berhenti di tengah jalan. Joshua menyetop petikan gitarnya. "Nyanyi terus, kapan selesainya? Bantu aku beresin semuanya."

Bibir Dikey menukik ke bawah. Kesal bukan main. Lagi asik-asiknya padahal. Tapi tetap saja menurut pada kakak kelasnya itu. Mendatangi sofa dengan meja yang tepat berada di depannya. Penuh dengan kertas-kertas yang berisi lirik lagu beserta kunci gitar.

Kegiatan membersihkan studio musik ini akhirnya selesai jauh lebih cepat karena dikerjakan berdua. Padahal biasanya Joshua hampir setengah jam berada di dalam sana. Karena Johan dan kawan-kawannya masuk tanpa melepas alas kaki, membuat karpet studio pun wajib dibersihkan dengan vacuum cleaner.

Dikey mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi begitu keluar dari studio. Merenggangkan otot-ototnya. Baru bangun tidur, sudah harus bekerja keras seperti ini. Ah... Menyebalkan sekali. Untung saja semua ini dilakukannya demi kakak kelas yang bernama unik.

"Enggak dikunci?" tanya Dikey. Menunggu Joshua memasang sepatunya.

"Pak Ilyas yang ngunci, aku cuma bersihin," kata Joshua. Berdiri. Ikut merenggangkan badan. Ke kiri, berhenti di kanan. Tidak sengaja melihat papan pengumuman di sana. "Oh, lomba akustik. Sepertinya bandnya Johan pengin ikut lomba ini, makanya tadi mereka bongkar lirik lagu. Lagi milih-milih lagu."

Dikey ikut memperhatikan. Mata berkaca-kaca begitu ingat dengan duet sekilas mereka tadi. "Ayo kita ikut!"

Kening Joshua mengerut. Tidak hanya itu, ada suara tertawa yang begitu nyaring tepat di belakang mereka. Kompak keduanya berbalik badan. Pelakunya adalah Johan.

"Apa tadi? Kalian pengin ikut lomba ini? Enggak salah?" tanyanya. Coba memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Tertawa lagi begitu melihat Dikey menganggukkan kepala. "Lawakan apa ini, astaga... Jangan mimpi! Mending kerjakan PR-ku, nih."

Johan menabrakkan buku tulisnya ke dada Joshua. Bahasa Indonesia tertulis di sampulnya, bersama nama lengkap Johan. Johan Putra. Bahkan suara tawa Johan terus terdengar hingga beberapa langkah setelah ia pergi dari sana. Membiarkan Joshua membeku di tempat. Bahkan ucapan tadi terasa jauh lebih menyakitkan daripada hinaan yang telah diterimanya selama berada di SMA Budikarya.

Alis Dikey terangkat naik. Melirik buku yang diberikan Johan sekilas. "Josh, jangan didengarkan. Belum tahu saja kalau kita ini pasangan duet yang fenomenal. Bagaimana? Mau ikut lomba itu, kan?"

Akhirnya Joshua membalas tatapan Dikey setelah sedari tadi hanya menundukkan kepala. Kali ini perasaannya sangat marah. Namun tidak jelas sedang marah kepada siapa. Kepada Johan yang mengatainya, atau malah Dikey yang membawanya ke dalam masalah baru.

"Enggak," kata Joshua. Lalu pergi begitu saja. Laju, hingga Dikey sedikit tergopoh saat berusaha menyusulnya.

tirameashu, 08 Mei 2020

Continue Reading

You'll Also Like

820K 117K 37
RAIN ELKANA GANENDRA. Di SMA Skyline, tidak ada yang tidak kenal cowok itu. Bukan hanya karena Orang tuanya adalah pemilik yayasan sekolah yang masuk...
772K 76K 53
"Haduh ngurus suami yang polosnya minta digeplak kaya ngsurus bayi gede aja. Untung ganteng". -Jung Jesun "Sayang kaus kaki Hello Kitty punya Shua m...
667K 74.2K 38
"Kita dipersatukan diwaktu yang salah."
274K 34.5K 23
Awalnya ingin menjadi pekerja kantoran, tapi malah berakhir menjadi seorang baby sitter! Hong Jisoo rupanya harus membanting tulang untuk mencari pek...