Bintang di pojok kiri bagian bawah jangan lupa pencet yaa ehehe komentarnya juga, jangan smpe lupa :)
Happy Reading, semoga suka dan terhibur :)
***
Tidak banyak yang berubah dari wajah pria ini, hanya saja jika sekitar sepuluh tahun lalu Dion masih terlihat muda, sekarang ia terlihat sangat matang dan tentu saja memiliki pahatan wajah yang rupawan. Ana tidak sadar bahwa ia sudah menatap lekat pria ini.
Ana melupakan jika bosnya bermarga Vazquez dan dia juga melupakan bahwa pernah berurusan dengan Vazquez lainnya. Dia hanya memikirkan bekerja dengan gaji mahal, urusan lain belakangan, tapi kalau sudah seperti ini mau gimana lagi? Menghindar? Enggak mungkin!
Tanpa sadar ternyata tinggal Ana bersama Dion saja sekarang, sedangkan bos dan istrinya sudah meninggalkan mereka. Pun dengan Yaya dan Varo-anak bos Ana-, mereka meninggalkan Ana bersama Dion dalam keadaan yang dingin yang sangat mencekam ini.
Ana meneguk ludahnya, ia harus apa sekarang? Say hi? Atau minta maaf? Atau minta balikan?
Oh Ana opsi yang ketiga itu bener-bener enggak masuk akal, lo yang ninggalin dan lo juga yang minta balikan, enggak punya malu? Ingat status woi.
Sedangkan pria di hadapannya ini juga diam, seenggaknya bicara kek apa kek. Kalau enggak mau bicara kan pergi aja sana, apa yang ia tunggu?
Ana masih bergumul dengan batinnya, dari ketiga opsi tadi lebih baik dia memilih opsi yang pertama, menyapa. Mungkin akan lebih baik jika kurang lebih selama sepuluh tidak bertemu ini diawali dengan sapaan yah meskipun rasanya akan canggung.
"Eum, hai," sapa Ana, jangan lupakan senyum canggungnya. Oh Tuhan, Ana ingin pergi dari sini.
Tidak ada respon dari pria di hadapannya, oh tidak responnya adalah tatapan setajam elang untuk Ana.
"Kerja di sini?" tanyanya.
Ana tersenyum canggung. "Iya atuh, Pak, kalo cuma main mah saya ga punya orang dalem."
Garing.
"Suami kamu pengangguran?" Tiba-tiba Dion melotarkan pertanyaan itu.
Eh? Ana kebingungan untuk menjawab apa.
"Enggak nafkahin kamu? Suami macam apa," ujar Dion lagi tetapi kali ini diikuti senyum meremehkan untuk Ana. Ingatkan Ana untuk tidak memukul wajah tampan Dion.
Suami?
Udah janda, mas.
Satu sudut bibir Dion terangkat mengukir senyum yang sangat menyebalkan. "Ngerasa bersalah, makanya diem?" Dion bersidekap. "Itu balasan buat kamu yang rela ninggalin serbuk berlian demi remahan rengginang." Dion mendekati Ana, kini jarak mereka tinggal beberapa senti saja hingga Ana bisa merasakan deru napas Dion. "Makan tuh karma."
Ana menelan ludahnya, seketika tubuhnya kelu. Sepeninggal lelaki itu dada Ana berdesir, ia meluruh, dirinya tak mampu bahkan hanya untuk menopang tubuh ringkihnya.
Ia mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir. Ia tersenyum dibalik itu, tidak apa-apa, ini hanya perasaan bersalah saja. Biar bagaimanapun Ana akan meminta maaf.
Sial! Dia menjadi pusat perhatian banyak orang.
***
Menghirup udara, menghembuskannya secara kasar. Kegiatan itu ia lakukan secara berulang.
Dion meremas rambut tebalnya. "Ana cantik banget," ujarnya frustasi, mengusap wajahnya ia melonggarkan ikatan dasi yang terasa sangat mencekik itu. "Dia udah nikah, Dion, astaga!" Kembali Dion berujar frustasi. "Sialan! Kalau kayak gini jiwa pebinor gue jadi meronta-ronta."
Dion kembali menghirup udara lalu menghembuskannya tetapi kali ini dengan perlahan. "Tenang, ingat satu hal, Dion. Ana adalah wanita yang telah menghancurkan hatimu, butuh waktu yang sangat lama buat lo kembali menjadi Dion. Jangan sampe benteng yang lo buat hancur hanya karna say hi dari dia," peringat Dion pada dirinya sendiri.
Terdengar suara dering dari ponsel miliknya.
"Kenapa, Pak?" tanya Dion. Ternyata itu adalah atasannya yang tak lain sepupunya sendiri.
Tau kan Dion itu bekerja hanya jadi karyawan biasa di VQ group? Sebenarnya Dion memiliki perusahaan sendiri juga perusahaan yang diberikan oleh ayahnya, tetapi karena bosan ia mau jadi karyawan biasa dulu beberapa bulan di tempat sepupunya. Tapi ya gini, Dion selalu ternistakan oleh sepupunya itu. Untuk sementara, perusahaan pemberian ayahnya dipegang kembali oleh sang ayah.
"Kamu mau ke mana?" tanya Ardo lagi, bos Dion.
Dion hanya bisa menahan kekesalannya itu. Kepo banget sih?
"Keluar bentar, Pak," jawab Dion. Dia memang ada rencana mau keluar untuk menenangkan pikirannya.
"Halah! Ngomong aja mau maen sama jalang-jalang itu! Enggak bisa, saya minta laporan keuangan minggu ini, sekarang!"
"Loh, harusnya kan besok, Pak?"
"Kamu atau saya yang bos di sini? Saya minta sekarang ya sekarang! Saya tau kamu lagi galauin mantan kamu yang tadi itu, tapi tolong jangan bawa urusan pribadi dalam pekerjaan."
Dion mendelik, apa-apaan?! Mana ada Dion galauin bini orang itu. Hais sotoy banget!
"Enggak kok-"
"Yaudah sih ya menurut saya lebih baik kamu balikan aja sama mantan kamu itu, saya kasian liat kamu nelangsa banget pas ketemu mantan. Nampak banget gagal move on-nya."
Astagfirullah, emang wajah Dion sememprihatinkan itu tadi? Perasaan enggak sih, atau si bos aja yang sok tau?
"Katanya playboy, tapi pas ketemu mantan langsung kicep, coba liat saya ketemu mantan biasa-biasa aja tuh enggak nelangsa kayak kamu," ucapnya lagi.
Dion semakin kesal dibuatnya. "Eh Pak! Anda itu enggak punya mantan ya wajar biasa-biasa aja! Enggak usah sok tau deh Pak!"
"Berani kamu bentak saya?! Antarkan laporan keuangan itu sekarang! Awas aja kalau terlambat sedetik aja, saya bakal suruh mantan kamu--"
"Iya Pak, iya! Saya antarkan sekarang!"
Dion memutuskan sambungan telepon itu, napasnya memburu. Emang lucqnut sih bos yang satu itu, enggak bisa ya kalem dikit? Pengen nyumpahin tapi takut kualat, hadeh.
Kembali Dion menghela napasnya, kalau begini ia akan mengurus perusahaannya kembali, cape jadi kacung.
***
Setelah mengantarkan laporan keuangan, Dion keluar dari ruangan bos dengan membawa dua tuyul, yang satu laki dan satunya perempuan. Ya tuyul itu namanya Varo dan Yaya, keponakan asli dan keponakan palsunya. Sebenarnya bisa saja ia mengirimkan file laporan tersebut, berhubung keponakannya berada di sini ia ingin bermain sebentar.
"Uncle, tau enggak? Kita udah pacaran lho," kata Varo yang berada di pimpinan sebelah kiri Dion.
"Oh ya? Murid Uncle pintar banget, tapi jangan cuma Yaya doang yang jadi pacar Varo, cari yang lain lagi."
Varo menggeleng. "Enggak ah, Varo kan setia kaya papa, makanya cuma Yaya yang ada di hati Varo."
Dion mendelik, masih bocah udah mikir setia-setiaan. "Varo mau jadi laki-laki sejati enggak?" tanya Dion.
Varo mengangguk antusias.
"Om Dion, Yaya juga mau jadi laki-laki sejati!" seru gadis kecil di pimpinan sebelah kanannya. "Eh laki-laki kan Varo, Yaya kan perempuan," ujarnya lagi.
"Yaya pinter," puji Dion. "Nah sini sensei kasi tau, untuk menjadi laki-laki sejati Varo harus bisa naklukin semua wanita! Tapi ingat hati Varo hanya untuk satu wanita."
Varo mengangguk. "Untuk Yaya," jawabnya.
"Bagus! Sini tos dulu."
Varo dan Dion pun bertos ria.
"Untuk Yaya, kalau mau jadi wanita sejati Yaya harus kuat dengan serangan laki-laki." Dion berdehem ketika melihat seseorang yang tak jauh dari mereka. "Maksudnya jangan mudah tergoda sama laki-laki lain. Itu namanya wanita kurang belaian, murahan, satu laki-laki aja enggak cukup? Lemah banget imannya, Yaya enggak boleh gitu ya." kata Dion.
Yaya menganggukkan kepalanya meskipun dia tidak mengerti. "Gitu ya Om?"
"Iya, Om heran deh, kurang apa sih laki-laki yang ditinggalkannya itu? Ganteng? Wih enggak usah ditanya, Nick Bateman aja kalah! Kaya? Enggak boleh pamer, sebenernya dia punya perusahaan tambang dan batubara sendiri! Baik? Yah saking baiknya laki-laki itu mau aja dikibulin penjahat," kata Dion lagi, sengaja sih Dion mengeraskan suaranya agar kedengaran orang yang sedari tadi ia lirik-lirik.
Ana meringis mendengar suara yang sengaja dikeraskan itu. Dia tau sindiran itu ditujukan padanya. Selain meringis Ana juga ingin mendelik mendengar ucapan Dion yang bilang enggak mau mamerin hartanya tapi kok dibilangin dia punya perusahaan tambang juga batubara segala? Pamer enggak tuh?
Dion berdehem kuat. "Hei!" panggil Dion.
Ana menoleh kiri dan kanan, tidak ada orang di sekitarnya. Jadi, apakah Dion memanggilnya?
"Saya Pak?" tanya Ana.
"Bukan, wanita kurang belaian yang saya bilang tadi!"
Lagi-lagi Ana meringis, emang pedes sih mulut Dion ini.
Kekanakan? Memang, bahkan ia tidak sadar dengan umurnya.
Ana mendekat lalu mencoba untuk tersenyum meskipun orang yang didekatinya ini memandangnya datar.
"Ngapain kamu ke sini? Ngerasa ya kamu wanita kurang belaian itu?"
Ana menghela napasnya, apa sih kemauan Dion ini? Dia tuh enggak salah apa-apa hari ini, enggak tau sepuluh lalu. Tapi beneran, Dion tuh kayak pak Ruslan Kost-an yang sering ia liat di Instagram, ngeselin.
"Maaf Pak bukannya Bapak--"
"Saya bukan bos dan juga bapak kamu, enggak perlu manggil saya bapak."
Lagi-lagi Ana menghela nafasnya, untung Ana tidak punya riwayat penyakit jantung. Kalau punya, langsung stroke di tempat.
"Maaf, bukannya Anda memanggil saya? Soalnya tidak ada siapapun selain saya di sana?" jelas Ana.
Dion mengangkat sebelah alisnya. Beneran dia manggil Ana? Dion juga lupa kenapa dia manggil, udahlah ya anggap aja yang manggil Ana tuh Angry Bird, eh?.
"Telinga kamu kayaknya harus diperiksa ke dokter THT deh, saya enggak ada manggil kamu tuh," elak Dion. "Oh atau jangan-jangan suara saya selalu terngiang-ngiang dalam kepala kamu?"
Ana menghela napasnya, lagi? untuk ketiga kalinya. Lalu ia menggeleng pelan. Tangannya serasa gatal ingin menggaruk mulut orang di hadapannya ini.
"Kamu enggak bisa ngomong, bisu?"
"Tidak, Pak."
"Lalu ngapain kamu masih di sini? Nungguin saya? Enggak usah mimpi, saya bukan pebinor," sinis Dion.
Astagfirullah, sebenarnya Dion ini kenapa sih? Ana jadi serba salah, diem salah, ngomong salah. Maunya apa?
***
See u next chapter!
.
.
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI!!!
Love @ptrmyllln
Revisi : 13 Januari 2021, 21 Mei 2021