Lihatlah, kita sebenarnya sama-sama pendosa hanya saja jalannya yang berbeda.
Akhirnya Syahla kembali ke rumah. Rumah besar dengan gaya sangat minimalis itu masih menyimpan banyak kenangan. Dia tumbuh besar di rumah ini. Dan dia juga merasakan jatuh cinta pertama kali ketika masih tinggal di sini.
Kini Syahla kembali karena permintaan ibunya saja. Setelah sekian lama tidak dia kunjungi, kemarin ibunya memberitahu jika dia sedang sakit, dan meminta Syahla unyuk mengunjunginya. Beruntung ada Safira yang mengantarkannya ke rumah hari ini. Jika tidak, mungkin dia akan tersesat untuk menemukan jalan ke rumahnya ini.
Terasa sangat berlebihan memang. Tapi kalimat itu jelas sangat mewakili sudah berapa lama Syahla tidak kembali ke rumah keluarganya sendiri.
"Yuk. Masuk." Ajak Safira.
Syahla bisa melihat ada mobil ayahnya terparkir rapi disalah satu garasi rumahnya. Beberapa motor antik koleksi ayahnya juga ada. Serta mobil-mobil antik dari bengkel mobil yang dimiliki ayahnya juga berada di dalam garasi lainnya.
Rumah kedua orang tua Syahla memang dibangun di atas tanah yang cukup luas. Dengan arsitektur sendiri, rumah minimalis ini memiliki dua garasi mobil. Sedangkan rumah utama berada di tengah-tengah dua garasi tersebut.
"Mbak. Ayolah." Ajak Safira sekali lagi.
Syahla mengangguk. Dia memperbaiki letak tali tas di bahunya, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah tersebut.
Ketika kakinya masuk ke dalam, seorang bibi menyambutnya dengan hangat. "Non Syahla akhirnya pulang. Bibi buatin makanan dulu ya. Jangan pergi buru-buru."
"Iya, Bi. Terima kasih."
Dia masih tersenyum melihat keceriaan di wajah bibi itu. Memang sudah cukup lama perempuan paruh baya itu mengabdi kepada ibunya. Dan dia tahu, betapa tulusnya bibi itu merawat dirinya dan adik-adiknya di masa kecil dulu.
"Mbak langsung ke atas aja deh. Mami pasti di kamarnya."
"Daddy di mana ya, Fir?"
"Daddy di mushola belakang. Pasti lagi doain Mbak." Goda Safira yang memilih untuk pergi ke dapur. Dia sengaja membiarkan Syahla sendirian. Dan memberikan waktu untuk kakak perempuannya itu bertemu ibu mereka.
"Huh." Satu tarikan napas lolos dari bibirnya. Syahla akhirnya melangkah ke lantai atas, di mana kamar ibunya berada.
Masih harap-harap cemas, dia terus memikirkan kalimat apa yang dikatakan ibunya. Karena jujur saja cukup lama dia tidak bertemu dengan ibunya. Hampir beberapa bulan ini mereka tidak bertemu. Alasan terbesarnya Syahla sulit ditemui, karena jadwal terbangnya yang padat. Kadang video call yang hanya bisa mendekatkan mereka atau menunda rasa rindu yang terus menyerang keduanya.
"Mami.... " Syahla memanggilnya.
Dia membuka pintu kamar itu, menemukan ibunya sedang tertidur di atas ranjang. Wajah pucat ibunya membuatnya langsung menangis.
Syahla naik ke atas ranjang. Memeluk tubuh ibunya sambil menangis.
"Mami, maafin Syahla. Maafin Syahla yang baru bisa datang ke sini."
Rara seketika membuka matanya. Dia kaget sekali ketika mendengar tangisan dan pelukan erat dari putrinya. Tanpa bisa dicegah, sudut bibirnya tertarik tinggi. Tangannya perlahan mengusap lembut kepala Syahla. Rambut putrinya itu yang berwarna pirang, karena diwarnai, membuat senyumannya luntur. Dia tahu, inilah tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk membantu memperbaiki jalan yang dipilih oleh anak-anaknya.
Akan tetapi masalahnya, sudah berbagai cara dia lakukan agar bisa dicontoh oleh anaknya sendiri, namun nyatanya dia masih kesulitan. Sampai detik ini sepertinya belum ada niatan dari Syahla untuk memperbaiki diri seperti perempuan muslimah lainnya.
"Kamu datang juga, Mbak."
"Mami. Tolongin maafin Syahla." Dia terus menangis tanpa mau melepaskan pelukan kepada ibunya itu.
Syahla sadar sekali jika dosanya terlalu besar. Dan sebuah kata maaf tidak bisa menghapus dosa-dosanya itu. Namun Syahla pikir, jika tidak meminta maaf, apa yang harus dia lakukan?
"Sudah, jangan nangis. Mami enggak papa. Mami udah sembuh lihat Mbak datang hari ini."
Seperti anak kecil lagi, Syahla mengusap kedua matanya dengan punggung tangannya. Dia memerhatikan senyum tulus ibunya. Lalu senyuman itu menular. Dia mulai merasa nyaman kembali. Sebelumnya dia benar-benar takut. Takut menjadi anak yang durhaka karena terlalu menyepelekan waktu pertemuan dirinya dan ibu kandungnya sendiri. Tapi beruntungnya Syahla, respon ibunya masih sangat baik.
"Kamu kenapa datang-datang nangis? Mami memang minta kamu datang. Tapi enggak sambil nangis gini."
"Syahla kangen sama Mami."
"Kalau kangen ya datang dong. Jangan dilupain gitu maminya."
"Syahla enggak lupain Mami, ya." Katanya tegas. "Cuma sibuk kerja aja beberapa bulan ini. Apalagi lagi ada kasus kan di perusahaanku itu. Jadinya jadwal terbang acak-acakan banget."
"Memang belum selesai kasus itu? Kan direkturnya sudah diberhentikan."
"Ye, Mami. Kayak enggak tahu aja. Direkturnya berhenti, antek-anteknya banyak. Syahla jadi pengen pindah aja rasanya. Ada temen Syahla ngajakin pindah ke penerbangan di Singapura."
"SQ?" tanya Rara tidak suka.
Kepala Syahla mengangguk. "Gimana, Mi?"
"Makin lama aja deh kamu enggak temuin mami." Keluhnya pada Putri pertama yang usianya kini hampir 27 tahun.
"Ya terus gimana? Mami mau Syahla berhenti?"
"Maunya sih gitu, tapi pasti kan kamu enggak mau. Sama kayak mami minta kamu berhenti suka sama Abi, pastinya kamu bakalan nolak, kan?"
"Syahla enggak nolak. Karena Syahla sama Abi memang enggak pernah ada hubungan apa-apa." Katanya pelan. Bahkan lebih pelan dari suara tarikan napas Rara.
"Kenapa?" tanya Rara penasaran. Pasalnya sejak kecil, Rara tahu sekali bagaimana kedekatan Syahla dan Abi. Memang dari dulu belum ada penjelasan khusus mengenai hubungan keduanya. Tapi Rara yakin, putrinya, Syahla memiliki rasa yang berbeda kepada Abi. Bukan hanya sekedar rasa sayang antara sesama sepupu.
"Ah, enggak papa, Mi. Syahla cuma yakin aja dia bukan jodoh Syahla." Katanya berusaha menekan dalam-dalam perasaan yang dia rasakan.
Rara berusaha memahami apa yang terjadi antara Syahla dan Abi. Apalagi dalam grup keluarga mereka, belum ada cuatan-cuatan yang muncul. Mungkin pikirnya Syahla dan Abi berusaha menyelesaikan masalah mereka tanpa melibatkan peran keluarga besar mereka.
"Ya sudah, mami tahu pasti ada alasannya kenapa kamu bicara begini. Tapi semoga bukan keputusan sepihak dari kamu doang. Kamu tahu sendiri kan, karakter Abi cukup gila. Menurut mami. Hehehe. Karena beberapa tahun lalu dia bahkan rela di penjara demi bisa menyatukan ibu dan ayahnya lagi."
"Jadi Mami pikir dia akan melakukan hal gila supaya bisa memperbaiki hubungan kami?"
Kedua bahu Rara terangkat sebagai responnya. "Entahlah. Kalau bukan dia yang berbuat nekad dan gila, mungkin kamu. Malah mami yang enggak yakin sama karakter kamu. Dari kecil apapun yang kamu mau pasti dipenuhi sama daddy. Jadi mami rasa, kamu akan melakukan apa saja demi mendapatkan sesuatu."
"Dih, Syahla enggak sebodoh itu."
"Mami juga enggak bilang Syahla bodoh. Hanya saja, kadang cinta membuat kita gila dan rela melakukan apa saja demi perasaan itu."
Kata-kata dari ibunya membuat Syahla diam. Apa benar nantinya dia akan melakukan hal nekad?
Continue..
Masih ada yang baca gak sih guyss..
Komen dong.. Aku cuma minta komen kok. Gak minta kalian beli novel. Susah yak???