Bisakah seseorang memberitahu Annika bahwa ia baru saja salah dengar? Tidak mungkin kan pria tampan di sebelahnya ini memintanya untuk menjadi kekasihnya?
“Maaf. Maksud saya, saya butuh kamu untuk menjadi kekasih pura-pura saya.”
Kerutan pada dahi Annika semakin dalam. “Lo…minta gue…untuk pura-pura jadi cewek lo?”
Seno menghela nafas berat, kembali menghadap ke depan dan menyandarkan kepalanya sembari memejamkan mata. “Lupakan saja yang barusan saya katakan. Maaf sudah menanyakan hal yang tidak-tidak.”
“Lah? Gak bisa gitu dong. Gue nggak suka berhutang sama orang lain,” gerutu Annika, mengalihkan tatapannya pada keadaan jalanan di luar.
Tidak menerima jawaban apapun, Annika mengulum bibirnya—menahan rasa kesal yang tiab-tiba muncul. Secara diam-diam, Annika melirik pria disampingnya—dan sedikit terkejut karena Seno tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan seolah pria itu akan menyerang Annika.
Dan hal itu, menyebabkan jantung Annika berdegup dengan kencang. Ia menggenggam gaunnya dengan erat—dan ia teringat bahwa ia mengenakan choker pemberian Yoga yang bisa dijadikan senjata—
“Kamu…yakin mau mendengar permintaan saya?”
Ah. Jadi itu penyebab Seno memandangnya dengan tatapan seperti itu? Sepertinya Annika harus terbiasa dengan tatapan tajam Seno yang bisa membuat salah presepsi.
“Sure. Kenapa nggak?” Annika mengedikkan bahunya, membuat senyuman tipis muncul pada wajah tampan pria itu.
“Sebenarnya…orang tua saya sudah berulang kali menjodohkan saya. Dan… saya tidak pernah memiliki ketertarikan dengan wanita-wanita yang dijodohkan dengan saya. Saya bingung harus menghindar seperti apalagi. Orang tua saya tidak menyerah dan mengancam saya untuk…menikahkan saya dengan anak kenalan mereka jika saya terus menolak perjodohan yang diberikan.”
Annika terdiam, terbelalak lebar mendengar penuturan Seno yang baru saja membuka masalah pribadi pria itu padanya—wanita yang baru saja ditemuinya malam ini. “Mm… lo yakin nggak apa-apa nih gue tau masalah pribadi lo?”
Seno kembali menghela nafas, “Saya sudah pusing dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya baru saja terpikir ide ini saat kamu tiba-tiba mengaku sebagai kekasih saya.”
Annika ingin memukul dirinya sendiri saat mendengar perkataan Seno. Memang semua ini terjadi karena ulahnya sendiri. Tapi, Annika perlu waktu untuk memikirkan permintaan Seno. Apalagi ia teringat ada dua pria yang akan berubah menjadi singa kalau mereka tahu Annika baru saja menjerumuskan dirinya sendiri ke masalah baru.
“Saya nggak minta kamu untuk menjawab sekarang, tapi tolong pertimbangkan permintaan saya.” Seno merogoh kantung jasnya, sebelum mengeluarkan kartu hitam dan memberikannya pada Annika. “Ini kartu nama saya, tolong hubungi saya kalau…kamu sudah memutuskan.”
Annika menganggukkan kepalanya, sedikit terkejut bahwa pria disampingnya ini bisa mengetahui isi pikirannya. Tangannya terulur, mengambil kartu hitam dengan glitter perak yang menghiasi sisi atas kartu. Nama Adipati Seno Widjaya tertulis di kartu itu, dibuat dengan warna emas dan efek timbul yang membuat Annika bisa tahu jika ongkos pembuatan kartu itu tidak murah.
“Oh ya—”
Sebelum seno sempat menyelesaikan ucapannya, badan pria itu terhempas ke depan—bersamaan dengan Annika yang segera memegang kursi di depannya demi menghindari benturan. Baik Annika maupun Seno segera menatap ke depan. Dan Annika hampir saja mengumpat dengan keras saat melihat sedan hitam yang sangat familiar, serta motor CBR150R menghalangi jalan mereka.
Annika terbelalak lebar saat melihat sosok pemilik surai pirang keluar dari sisi pengemudi, memakai pakaian serba hitam serta masker hitam yang menutupi seluruh wajahnya. Tatapannya beralih pada pengendara motor yang kini melepas helmnya, memperlihatkan surai hitam dengan tatapan tajam serta masker yang identik dengan milik sang surai pirang.
“Pak…di belakang kita…”
Ucapan supir Seno membuat keduanya serempak menoleh, menatap Jeep Grand Cherokee merah yang sangat familiar di matanya. Benar saja, pemilik Jeep merah itu keluar dari sisi pengemudi, menampakkan sosok Yoga yang masih memakai jas namun separuh wajahnya ditutupi dengan masker hitam.
Annika menggelengkan kepala, bersiap turun saat lengannya dicengkram dengan erat.
“Kamu diam disini, biar saya yang turun—”
Annika menggelengkan kepalanya, membuat Seno mengeryit. “Justru elo yang harus stay disini.”
“Kamu—”
Annika kembali menggelengkan kepalanya, perlahan melepaskan cengkraman Seno pada lengannya. “Percaya sama gue. Dan…” Annika mengulas senyum kecil, “Gue bakal hubungi lo soal keputusan gue.”
Tanpa menunggu balasan dari Seno, Annika bergegas membuka pintu mobil dan menutupnya dengan cepat. Meskipun ia tidak bisa melihat Seno karena jendela mobil yang dilapisi dengan v-kool, ia mengulas senyum kecil—berharap hal itu bisa menenangkan pria tampan itu.
“Annika.”
Suara berat itu berhasil membuat Annika mengalihkan tatapannya pada sosok Yoga yang berdiri di sisi Jeep, menunggunya untuk menghampiri saudara kembarnya itu. Annika segera berjalan menghampiri Yoga, menghindari tatapan tajam yang diberikan saudara kembarnya.
“Masuk.”
Tanpa membalas ucapan Yoga, Annika segera masuk ke dalam sisi samping pengemudi, segera memasang seat-belt. Tak lama, Yoga kembali masuk dan melepas masker hitam yang sejak tadi menutupi separuh wajahnya. Rahangnya mengeras, segera kembali menjalankan mobil tanpa mengucapkan sepatah kata.
Annika hanya menghela nafas pelan, menatap mobil Seno saat Jeep merah milik Yoga melalui mobil itu. Ia terbelalak lebar saat mendapati Seno yang beranjak keluar dan menatap kepergiannya. Bahkan pria itu tidak menatap ke arah Agus dan Bobby—yang segera mengikuti jejak Yoga—tatapannya terus terfokus pada Jeep merah.
“Stop looking at him. Kamu hutang penjelasan ke aku, Sweetie.”
Tanpa menatap Yoga—yang ia yakin masih terlihat kesal—Annika menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. “Nanti aku jelasin di rumah.”
---
“So?”
Annika menghela nafas pelan, memeluk erat guling yang berbalut sarung abu-abu. “Simple. Dia pacar aku.”
“Bullshit.”
Annika mengedikkan bahunya, “Fine. Terserah kamu mau percaya apa ngga—”
“Adipati Seno Widjaya, 25 tahun, penerus Widjaya, baru aja di Indonesia waktu umur 20. Sejak kecil tinggal sama eyang di U.S.A. Good news is, dia cerdas luar biasa.”
“The heck? Kamu dapet darimana infonya dia?” Annika melempar tatapan shock pada Yoga—yang hanya dibalas sang pria dengan dengusan.
“Nggak penting aku dapet darimana. Yang aku mau tahu, ngapain kamu pura-pura jadi pacarnya that Widjaya?”
Annika merengut saat mendapat tatapan tajam dari Yoga. “Terserah aku dong? Lagian ngapain kamu urusin urusanku sih? Aku bisa—”
“Bisa apa? Bisa berakhir seperti Arjuno nanti? Iya?”
Annika memicingkan matanya saat mendengar nama sang mantan. “Don’t.”
Alih-alih merasa terintimidasi, Yoga menaikkan kedua alisnya. “What? Aku benar kan—”
Tangan Yoga mencengkram lengan Annika yang terangkat. Tatapannya semakin tajam, seiring dengan cengkramannya yang semakin erat pada lengan Annika. Seringai tertera pada wajah Yoga. “Kamu lupa, siapa yang berlatih dengan nyctophile sejak kecil?”
Annika menggeram, berusaha menarik tangannya namun usahanya tidak membuahkan hasil apapun. “Lepas Yoga.”
“Sure.” Annika berdecak saat Yoga mengambil garpu kecil yang sejak tadi digenggamnya. Dengan gerakan santai, pria itu melempar garpu kecil itu hingga mendarat tepat di atas wastafel dapur, sebelum melepas cengkramannya pada tangan Annika.
Annika mengelus lengannya yang sedikit terasa sakit, rahangnya mengeras menahan emosi yang memuncak.
“Bukan aku nggak percaya kamu bisa selesaikan masalahmu sendiri. Tapi, berkaca dari kasus Arjuno yang mengharuskan aku kembali ke sini, kamu nggak berpikir aku bakal biarin kamu berbuat seenakmu sendiri kan? Untuk masalah cowok tentunya.”
Annika hanya diam, memilih untuk menatap layar TV yang gelap.
“Fine, diam aja sepuasmu. I’m tired. Ah, aku udah ubah password apartemen. Kalau kamu mau keluar-keluar, bangunin aku.”
Ingin rasanya Annika berdiri dan menghajar wajah pongah Yoga. Namun, ia tahu kalau Yoga bukan tandingannya. Bisa-bisa, ia yang duluan ‘tidur’ sebelum ia berhasil mendaratkan satu pukulan pada wajah Yoga.
“Oh. Kalau sesuatu terjadi, and I mean something that involve my name or yours, kamu tahu kan aku bisa bawa seluruh Widjaya jatuh?”
Dan Annika hanya bisa diam, dengan tangan mengepal di kedua sisinya.
×××
Jadi... gimana? 😆
Si yoga ....