Hai🌺 Kembali lagi sama Dell 🌸
Ada yang kangen sama Rara and Tamara?
Enjoy and happy reading!
***
“Tidak ada manusia yang menginginkan brokenhome seumur hidupnya.”
**
“Itu kurang ke kanan, Non,” kata Bi Imah mengarahkan diriku yang membawa sebuah pigura foto keluarga. Aku sedang mengganti kembali foto Tamara.
“Gini, Bi?” tanyaku.
“Kanan dikit, Non.”
Aku kembali membenarkan letak foto sesuai arahan Bi Imah.
“Apa-apaan ini,” suara ketus Tamara membuat kami menoleh. Segera kupinta Bi Imah untuk kembali ke dapur.
“Kenapa?” tanyaku santai.
“Kenapa lo turunin semua foto gue?”
“Ya emang kenapa? Hak gue dong!” kataku masih dengan nada sesantai mungkin.
“Lo bilang kenapa? Jelas-jelas masalah. Gue nyonya sekarang di rumah ini dan gue juga nyokap lo!” sungutnya.
Aku turun dan menghampirinya. “Dengerin ya, Tam. Mimpi lo ketinggian! Pertama, ini rumah gue! Karena rumah dan isinya udah atas nama gue!” Kuhela napas sejenak. “Dan yang kedua, lo bukan nyokap gue!” lanjutku dengan nada sinis.
“Hahaha, lo kalo ngomong jangan asal ya. Jelas-jelas bokap lo udah nikah sama gue.”
“Lo tanya aja sama bokap gue, kalo lo nggak percaya.”
“Lo!” desisnya.
“Ada apa sayang,” ucap papa yang tiba-tiba datang dan memeluk pinggang Tamara posesif.
“Mas, apa benar rumah ini atas nama Rara?” tanyanya dengan nada manja dibuat-buat. Sungguh, aku mual dibuatnya.
“Iya, sayang. Rumah ini atas nama Rara. Putri kita,” kata papa lembut.
Tamara tersenyum, terlihat jelas bahwa senyum itu adalah senyuman palsu. Sekarang ia pasti sangat kesal padaku.
“Pa, aku taroh semua foto keluarga kita di sini,” kataku mengambil alih perhatian papa.
“Anything for you, sayangnya papa.” Papa beralih memelukku meninggalkan Tamara yang menggeram di tempatnya.
Akan kubalik semua keadaan dan kubuat kau bertekuk lutut didepanku.
“Mas, sebaiknya mas istirahat. Ada yang mau aku bicarakan dengan putri kita,” kata Tamara menarik lengan papa lembut. Papa mengangguk dan meninggalkan kami berdua.
Keadaan hening untuk beberapa menit.
“Apa mau lo?” tanyaku ketus.
“Jangan berusaha ngelawan gue!”
“Hanya ada dalam mimpi lo, Jalang!” kataku sinis.
“Atau lo akan nyesel!” ucapnya kemudian tak kalah sinis.
“Gue yang harusnya ngomong gitu, jauhin keluarga gue atau lo yang nyesel!”
Setelah pernikahan papa, Tamara menjadi semena-mena kepadaku. Meminta papa memindahkanku ke sekolah baru, menarik fasilitas hanya karena aku tidak memanggilnya mami, dan beberapa kali hampir menyelakaiku serta Bi Imah.
Dia juga sering mengancamku. Jika aku mengadu, maka ia tak segan-segan melukai mamaku. Awas saja jika dia benar-benar melakukannya akan kubuat sambel cobek dia.
Aku tetap bertahan. Melakukan apapun yang aku bisa. Seperti, mengganggunya saat sedang nonton tv dengan cara mencabut kabel listrik, menguncinya di dalam kamar mandi, atau mencampurkan lem dalam kondisionernya. Meskipun hal itu membuat aku mendapat hukuman dari papa, tetapi aku puas. Melihat ia berteriak kesal, sungguh sangat menyenangkan.
“Rara!” panggilan papa terdengar di lantai bawah. Dengan bersemangat aku turun dan menghampirinya.
“Kenapa, Pa?”
“Besok lusa, papa ada kerjaan di luar kota beberapa hari, kamu di rumah sama mami dulu gk apa-apa, kan?”
“Wah, tentu saja nggak apa-apa, Pa. Rara pasti akan jaga mami,” ucapku sembari melirik wajah Tamara yang menatapku seolah ingin membunuhku saat ini juga.
“Mas, apa nggak sebaiknya aku ikut aja,” rengeknya sama papa.
Cih, takut?
“Nggak bisa, Sayang. Nanti yang jaga Rara sama rumah siapa?”
“Kan ada Bi Imah, lagian Rara udah gede. Pasti bisa jaga diri sendiri,” rengek wanita ular itu lagi.
“Mas cuma beberapa hari, begitu pekerjaan mas selesai. Mas langsung pulang. Mas janji!" seru papa membelai pipi Tamara lembut.
Aku berdehem membuat keduanya menoleh. "Pa, inget! Di sini masih ada anak di bawah umur! Eh, iya, walaupun istri papa juga masih di bawah umur, sih."
Tamara mendengkus. Sedangkan papa terkekeh menanggapi sindiranku. Papa lebih santai sekarang, meski beberapa kali tetap saja menghukumku.
“Jaga mamimu, Ra. Papa harus kembali ke kantor.” Papa memeluk Tamara lalu beralih padaku, sesaat kemudian pergi. Menyisakan aku dan Tamara yang hanya saling pandang.
“Punya rencana busuk apa lagi, lo?" tanyanya ketus.
”Gak ada, gue cuman mau main sama mami aja,” ucapku berusaha memancing emosinya.
“Gue peringatin sekali lagi. Lo buat kesalahan fatal. Gue bakal lakuin hal yang lebih dari apa yang pernah gue lakuin!” ancamnya lalu pergi.
**
“Gimana keadaan mama, Mbak?” tanyaku pada Mbak Dayu. Sekarang aku sedang menjenguk mama.
“Bu Renata sudah membaik, sesekali dia menyebut nama Mbak Rara dan tersenyum. Sudah jarang mengamuk juga,” jawab Mbak Dayu membuat aku lega luar biasa.
“Boleh saya ketemu mama?”
“Boleh, mari saya antar.”
Aku dan Mbak Dayu memasuki kamar yang ditempati mama.
“Bu, ini Mbak Rara datang,” kata Mbak Dayu menyentuk pundak mama. Mama menoleh dan tersenyum ke arahku.
“Rara, mama rindu.” Mama berhambur ke dalam pelukanku.
Aku tak dapat menahan diri lagi, isakan kerinduan mama begitu menyayat hati. Keadaan mama semakin membaik, semoga mama bisa cepat sembuh dan kembali berkumpul denganku dan papa di rumah.
“Mama,” panggilku lembut.
Mama tidak menjawab. Ia menatapku datar dan berkata, “Rara udah gak sayang sama mama.”
“Maksud mama, apa?”
"Kenapa kamu tidak pernah mengunjungi mama?" tanyanya sendu.
"Maafin Rara, Ma."
Kerinduanku dan mama akhirnya terobati. Seharian aku menemani mama. Bagaikan waktu dulu terulang kembali. Aku tak pernah sebahagia hari ini setelah Tamara merusak hidupku.
Hari semakin larut. Kuputuskan untuk menginap.
“Ra.” panggilan mama membuatku menoleh, aku sedang menemaninya tidur. Berbaring di sampingnya membuatku merasa tenang dan nyaman.
“Kenapa, Ma?” tanyaku.
Mama mengusap kepalaku lembut.
“Jangan kurung mama di sini terus-menerus, Ra. Mama udah sembuh,” kata mama memohon.
Bagaimana mungkin aku bisa menolak permohonan mama. Namun, tidak mungkin membawa mama pulang sekarang. Mengingat kondisi mama belum benar-benar dinyatakan sembuh oleh Mbak Dayu dan keadaan rumah sedang kacau.
“Ma, Rara janji. Kalo nanti mama udah sembuh total kita akan pulang dan berkumpul lagi,” kataku lembut.
Mama tersenyum dan mengangguk. Kutarik selimut hingga menutupi tubuhnya. “Sekarang mama tidur, biar Rara temani.”
***
Hari yang kutunggu tiba. Papa sudah berangkat ke luar kota pagi tadi. Aku tidak mau repot-repot mengurus Tamara. Dia sudah besar mana mungkin tidak bisa menjaga diri. Jadi pelakor aja jago masa cuma jaga diri aja gak bisa.
Kuhempaskan tubuhku di sofa Hari-hari ke depan pasti akan lebih melelahkan. Kupejamkan mataku sejenak.
“Bi Imah kemana?” suara ketus Tamara mengusik ketenanganku.
“Lo nanya apa ngajak ribut?” tanyaku santai.
“Gue nanya serius!”
“Jangan serius-serius, gue belum siap diseriusin.”
“Lo!” desisnya. Sepertinya aku berhasil memancing emosi Tamara.
“Gue kenapa? Iya-iya gue tau kalo gue cantik,” gumamku, masih selalu dengan nada santai.
“Terserah!” katanya sembari berlalu.
Beberapa menit kemudian ia kembali. Duduk di samping dan menatapku.
“Apa?” tanyaku.
“Gue mau kita berdamai,” katanya. Aku berdecak, setelah apa yang ia lakukan. Big no!
“Atas dasar apa lo minta baikan sama gue?”
“Gue gak minta baikan. But, kita serumah, Ra. Come on! Jangan kayak gini. Seenggaknya musuhannya main alus aja bisa, kan? Jangan ditunjukin depan bokap lo! Lo akan semakin dijauhin kalo nunjukin sikap benci Lo sama gue. Mengingat sebesar apa cinta bokap lo buat gue.”
Cih!
“Oke, perdamaian gue terima. Tapi, lo akan tetep jadi orang pertama yang hancurin keluarga gue! Dan gue gak akan terima itu!” kataku ketus.
Ia hanya mengangguk. Tiba-tiba suara ponsel berbunyi.kulirik ponselku tetap mati kemudian beralih ke layar benda pipih yang digenggam Tamara. Ia tampak gusar, berdiri dan menjauh untuk mengangkat telepon. Ada yang aneh.
Aku berjalan mengendap-endap dan berdiri di dekat pintu untuk mendengar apa yang mereka bicarakan dan siapa orang yang menelepon Tamara. Gelagatnya mencurigakan. Awas saja jika dia merencanakan sesuatu. Baru saja meminta perdamaian terbuka dan permusuhan secara tertutup. Sekarang sudah bertingkah lagi.
“Iya, Sayang. Maaf, aku nggak bisa.” Terdengar suara manja Tamara. Tadi bahkan ia menyebut kata 'sayang'. Apa itu pacarnya? Jika iya, ini kesempatan baik untuk membongkar kejahatan gadis ular itu.
“Iya, yaudah. Daaahhh! Love you too.”
Aku segera berlari kembali ke tempat semula. Semoga dia tidak curiga. Selagi aku menyelidiki siapa orang yang ditelepon Tamara. Aku harus bersikap normal padanya.
**
Stalker!
Itulah yang aku lakukan sekarang. Berjalan mengendap-endap mengikuti kemana pun Tamara pergi. Sudah dua hari rutinitas ini kulakukan, sampai harus bolos sekolah. Jika papa tau aku pasti akan dikurung di kamar. Tapi biarlah, asal aku tau apapun tentang gadis itu. Sejauh ini semua masih berjalan normal. Tak ada gerak-gerik atau hal-hal mencurigakan.
Kini aku sedang berada di balik pintu. Mengawasi ia di dalam kamarnya. Tamara meletakkan ponselnya di meja rias, lalu berjalan ke kamar mandi. Dengan segera aku masuk. Mengecek ponselnya. Untung saja aku dibekali ilmu ngehack ponsel orang. Jadi mudah saja melakukan penyelidikan pada Tamara. Ketemu! Aku menemukan nomor mencurigakan. Segera kusalin ke ponselku dan berjalan keluar sebelum Tamara memergokiku.
“Lihat saja, siapa yang akan bertekuk lutut sekarang!” gumamku pelan dan kembali ke kamar.
Aku duduk di kursi meja belajar. Kulihat kembali nomor yang tadi kusimpan lalu menekan tombol panggil di layar ponsel.
“Halo,” sahut seorang cowok bersuara maskulin di seberang.
“Halo, apa bener ini orang yang ada hubungannya sama Tamara?”
“Gue pacarnya Tamara, kenapa?” tanyanya bingung.
Aku berdehem sebentar sebelum melanjutkan. “Gue Rara, keluarga Tamara. Ada yang mau gue omongin soal cewek lo.”
“Apa?”
“Bisa gak, kalo kita bicarainnya sambil ketemu aja, biar lebih gampang ngomongnya.”
“Oke, malam ini, jam 7 di kafe Dandelia,” gumamnya.
“Oke, gimana cara gue ngenalin elo?” tanyaku. Aku malas jika harus mencari-cari orang tanpa tahu ciri-cirinya.
“Celana jeans, kemeja kotak-kotak biru, jaket navy.”
“Oke, kalo gitu sampe ketemu nanti.”
“Oke.”
Klik!
***
Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Entah mengapa aku menjadi gugup. Jangan sampai aku salah bicara dan mengacaukan semuanya.
Aku sudah rapi dengan celana jeans hitam, kaos pendek putih dan jaket merah yang pas ditubuhku.
Kuhela napas panjang, meyakinkan hatiku bahwa jika aku melakukan hal yang benar, pasti akan ada banyak orang baik membantuku.
Ketika aku bersiap pergi, tiba-tiba suara Tamara menghentikan langkahku.
“Mau kemana lo?”
“Kencan,” jawabku santai.
“Jangan pulang larut,” katanya sok menasehati.
“Gue bukan lo, gue pergi dulu!” pamitku dengan nada angkuh.
Tak membutuhkan waktu lama untuk membuatku sampai di kafe yang cowok itu sebutkan. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah.
Aku memutar pandangan ke seluruh penjuru kafe. Hingga tatapanku berhenti pada satu cowok berpakaian sama dengan yang tadi disebutkan di telepon. Tanpa menunggu lama kuhampiri cowok itu.
Ketika melihatku, ia lantas berdiri dan tersenyum.
“Lo, Rara?” tanyanya.
“Iya, lo?”
“Gue Andra, pacarnya Tamara.”
Aku berdehem sejenak. Kuamati wajahnya. Nyaris sempurna. Dengan alis tebal, hidung mancung, bibir berisi dan rahang yang kokoh. Sungguh sangat tampan. Sayang sekali jika ia hanya dipermainkan oleh Tamara.
“Duduk,” gumamnya lalu kembali ke posisinya semula.
Aku mengangguk dan segera duduk di hadapannya.
“Mau pesen apa?”
“Gak perlu, waktu gue gak banyak.”
“Apa yang mau lo omongin sebenernya?” tanya Andra tak sabar.
“Mending lo putusin Tamara,” kataku to the point.
"Maksud lo apa?" Wajah Andra menegang dengan mata menatapku tajam.
“Sebelum gue jelasin, lo harus tau siapa gue. Nama gue, Rara. Gue anak tiri Tamara.”
“Anak tiri? Omong kosong apa ini?” Andra tampak syok dan tak percaya dengan apa yang kukatakan.
“Iya, gue anak tiri Tamara. Beberapa minggu yang lalu dia nikah sama bokap gue. Gue ngerasa gak adil aja kalo lo juga dipermainkan sama dia kayak bokap gue,” jelasku.
“Gue gak percaya! Tamara cewek baik-baik. Gak mungkin dia nikah sama om-om.”
“Gue punya bukti.” Aku mengeluarkan selembar foto pernikahan papa dan Tamara. Andra mengambil dan melihatnya.
“Jadi ....” Ucapan Andra menggantung.
“Kalo lo mau bukti lebih jelas, gue bisa bantu lo buktiin semuanya. Gue gak mau semakin banyak korban dari cewek ular itu.”
“Oke. Gue setuju.”
“Sementara lo bersikap biasa aja sama dia. Gue akan bantu lo sebisa gue. Sabtu bokap gue balik. Gue akan tunjukin ke elo kalo apa yang gue ucapin ini nyata,” tuturku padanya.
Andra memijit pelipisnya. Sepertinya ini terlalu mengejutkan untuk dia.
Ia meremas foto papa dan Tamara dalam genggamannya. Kemudian menatapku dan berkata, “Thanks, Ra.”
“Its okay.”
Drrrttt! Drrrttt!
Sebuah pesan masuk dari Mbak Dayu.
“Ibu besok pengen ketemu Mbak Rara, apa Mbak ada waktu.”
Aku tersenyum. Dengan segera mengetikkan balasan. “Anything for mama, Mbak. Bilangin malam ini juga aku berangkat ke sana.”
“Kenapa?” tanya Andra.
“Gue harus cabut, mau jengung nyokap gue.”
“Tamara?”
Aku tersenyum dan menggeleng. “Nyokap gue masih hidup.”
“Jadi, maksud lo Tamara pelakor?”
Aku mengedikkan bahu. Membiarkan dia berasumsi sendiri.
“Boleh gue ikut jenguk nyokap lo?”
“Em ... Mungkin lain kali, Ndra. Gue cabut dulu.”
Aku tersenyum sebelum akhirnya pergi.
***
Setelah ber jam-jam terjebak macet akhirnya aku sampai juga di Bandung.
Kuparkirkan mobil di halaman rumah Mbak Dayu dan segera turun.
Tok tok tok!
“Assalamualaikum.”
Tak ada sahutan. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Baru jam 3 pagi. Akhirnya kuputuskan untuk tidur di dalam mobil saja sembari menunggu pagi.
Tak terasa hari sudah pagi. Kubuka mataku perlahan saat mendengar suara ketukan dari pintu mobilku. Dengan segera aku keluar.
“Mama!” pekikku dan berhambur dalam pelukan mama.
“Kamu tidur di mobil?”
“Iya abisnya aku sampe sini jam 3 malem jadi gak enak kalo gedor-gedor pintu,” jelasku. Mama tersenyum. Senyum yang sudah beberapa tahun terakhir tidak lagi kulihat.
Tak terasa air mata luruh di pipiku.
Aku masuk dan mendapati mbak dayu sedang sibuk memasak di dapur. Mama segera menghampiri mbak dayu dan memintaku tetap di sini.
Kutatap wajah tenang mama yang sedang membantu Mbak Dayu menyiapkan camilan. Mereka melarangku membantu dan memintaku duduk tenang di ruang tamu. Padahal, aku juga ingin direpotkan biar bisa lama-lama sama mama.
Anak mana sih, yang gak pengen menghabiskan waktu sama mamanya. Apalagi aku, yang notabenenya anak brokenhome. Beberapa tahun terakhir mama di pondok, papa sibuk dengan gadis ular itu dan Kak Rafa udah gak ada.
Tak selang beberapa lama, mama dan Mbak Dayu datang. Kami menikmati camilan dengan senda gurau. Sungguh sangat menyenangkan, sudah lama tidak merasakan kehangatan seperti ini, terlebih dengan mama.
Kini hari sudah menjelang petang. Mbak Dayu meminta mama istirahat mengingat kondisi mama yang belum sembuh total. Aku pun harus segera pamit sebelum nenek lampir itu melapor ke papa.
“Aku pamit ya, Mbak. Titip mama, maaf kalo sudah banyak merepotkan,” pamitku pada Mbak Dayu.
“Ah, Mbak Rara tenang saja. Ibu aman sama saya. Mbak ndak usah terlalu khawatir, saya bantu jaga Ibu.”
“Makasih ya, Mbak. Mbak udah baik banget sama aku, sama mama juga,” kataku penuh haru, wanita berusia lebih tua dariku itu berjalan mendekat dan memelukku hangat. Rasanya seperti punya kakak lagi.
Kulepas pelukannya dan mengusap air mata yang entah sudah sejak kapan menggenang di pelupuk mata ini.
“Saya pergi dulu ya, Mbak.”
Mbak Dayu mengangguk dan melambaikan tangannya ke arahku. Segera kubalas, sebelum akhirnya masuk dan melajukan mobil membelah jalanan.
**
“Dari mana lo?” tanya Tamara ketus saat melihatku keluar dari mobil.
“Lo tuh gimana sih? Katanya lo nyokap gue, anaknya pulang bukannya disambut malah ketus gitu. Pms lo?”
“Lo tuh ya, bikin gue kesel karna gak pulang semalaman! Bokap lo vc dan nyariin lo!” jelasnya. Aku hampir saja melupakan papa. Ah, maafkan anakmu yang sedikit durhaka ini, Pa.
“Yaudin sih, ntar gue aja yang jelasin ke papa. Lo gak usah ngomel mending bikinin gue minum, gue haus!” suruhku. Ia berkacak pinggang dengan wajah berang.
“Lo berani ya, nyuruh gue!” bentak Tamara. Kututup kedua telingaku. Malas mendengarkan suara cemprengnya. “Lo udah nyusahin gue dengan cari-cari alasan. Sekarang lo nyuruh-nyuruh gue, gitu?” lanjutnya saat tak mendengar respon apapun dariku.
“Itu mah DL!” Kataku sembari melenggang pergi.
“RARA!” Teriakan Tamara menggema di seluruh penjuru rumah.
Dasar orang gila. Lebih baik aku istirahat. Daripada meladeni dia yang tidak ada habisnya.
Aku segera kembali ke kamar untuk membersihkan diri.
Aku telah mandi berganti pakaian dengan piyama tidur, sekarang.
Drrttt! Ddrrttt!
Kuambil ponsel yang sedari tampak bergetar di atas nakas.
Andra is calling!
“Halo,” sahutku saat sambungan telepon terhubung.
“Gimana, Ra?”
“Besok bokap gue baru balik. Lo tunggu kode dari gue aja. Biar gak berantakan.”
“Siap,” sahut Andra lesu.
“Eh, em. Lo masih sayang banget ya sama Tamara?” tanyaku penasaran. Apa sih yang diharapkan dari Tamara?
“Sayang gue ke dia udah lenyap saat tau kelakuan dia. Cuma ... Rasa kecewa gue masih ada.”
“Wajar sih, setelah nanti lo tau semuanya, gue harap lo bisa ikhlasin dia,” kataku berusaha menguatkannya
“Semoga saja.”
“Eh iya, gue harap lo nggak benci sama bokap gue,” kataku kemudian.
“Kenapa gue harus benci?”
“Karena mungkin lo ngerasa bokap gue rebut Tamara dari lo.”
“Yang ada Tamara yang rebut bokap lo dari nyokap lo dan bokap lo yang hianatin nyokap lo. Lo nggak benci sama mereka?” tanyanya.
“Gue benci sama Tamara. Kalo sama bokap gue ... Gue gak bisa, gimanapun gue darah dagingnya. Gue pengen benci dia tapi gue gak bisa,” jawabku.
“Hati lo terlalu baik dan lembut, Ra.”
“Hahaha, gue tau. Yaudin. Ntar gue kabarin lagi. Gue mau makan dulu, laper abis perjalanan jauh.”
“Oke,” sahutnya lalu sambungan telepon terputus.
***
TBC
Jangan lupa bahagia untuk hari ini☺️