Jam lima subuh Bintang membuka matanya. Ia baru tertidur beberapa jam karena memikirkan pesan masuk Deliar.
Menoleh ke sisi ranjang Deliar, telah kosong. Bintang pikir, mungkin Deliar pergi ke masjid untuk subuh berjamaah seperti biasanya. Tak ingin mengambil pusing. Bintang beranjak, memasuki kamar mandi lalu berwudhu dan sholat.
.
.
.
.
Biasanya, Deliar akan kembali dari masjid jam setengah enam. Setelah tadarus bersama ustadz Jami. Namun saat ini sudah jam enam lebih Deliar belum kembali juga.
Menghilangkan rasa cemas, Bintang menelpon ponsel Deliar. Empat kali mencoba saat panggilan kelima teleponnya baru diangkat.
"Assalamualaikum, Kak. Kakak dimana?" Dapat Bintang tangkap suara grasak-grusuk sebentar sebelum suara Deliar menyapa.
"I-ya, kenapa, Bi?"
"Salam aku belum dijawab, Kak!"
"Eh, iya. Waalaikumussalam. Kenapa, Sayang?"
"Kakak dimana? Gak biasanya pulang dari masjid lama? Nanti Kakak telat ke kantornya."
"Oh itu ... Kakak ada perjalanan keluar kota. Tadi pagi berangkatnya. Kakak gak enak mau bangunin kamunya, jadi Kakak langsung berangkat. Maaf ya, Sayang. Nanti Kakak telpon lagi. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Jika semalam Bintang tak menangis hanya merasa sesak hingga tak bisa tidur. Entah kenapa, saat ini tanpa dipinta air matanya luruh sendiri. Begitu deras dengan isakan. Bintang ingin percaya pada Deliar. Tapi, dengan pesan semalam serta sikap Deliar yang aneh menurut Bintang, membuat isi kepalanya berkhayal kemana-mana. Ia hanya wanita biasa yang punya rasa cemburu dan praduga. Enam tahun tinggal berjarak dengan Deliar, Bintang dapat menekan rasa cemburu dan praduganya. Walau kadang ibu mengompori tentang pertanyaan berbagai hal, Bintang dapat berpikir jernih. Namun saat ini, rasanya ia kalut.
"Jika ada masalah apapun segera selesaikan, Bintang. Katakan ke Kakak apapun yang menggangu pikiran kamu. Itu gunanya komunikasi untuk selalu menjaga hubungan kita."
Pesan Deliar beberapa tahun lalu masih bisa Bintang ingat. Pesan itu yang sampai saat ini selalu Bintang tanamkan dipikirannya.
Menyeka air mata, menetralisir deru napas yang belum beraturan, Bintang menekan kembali nomor ponsel Deliar. Seperti tadi, panggilan belum terjawab walau Bintang sudah mencobanya tiga kali. Belum ingin menyerah Bintang terus menghubunginya. Hingga mencoba yang kesepuluh, Deliar mengangkat telponnya.
Mengeluarkan napasnya perlahan, Bintang tersentak.
"Aku bilang nanti aku telepon Bintang!"
Suara Deliar meninggi, untuk pertama kalinya Bintang dibentak Deliar.
Menahan tangis yang akan keluar. Dengan suara seraknya Bintang bersuara. "Jika ada masalah apapun segera selesaikan. Bintang masih ingat pesan Kakak beberapa tahun lalu. Dan semalam, Bintang lihat pesan di ponsel Kakak, tentang Hamzah dari Sulis. Bintang gak tau mereka siapa, karena itu Bintang akan tunggu Kakak untuk jelaskan. Jangan sampai kita bertengkar karena salah paham, Kak. Kakak yang mengajarkan itu, seharusnya Kakak yang menjalankannya juga." Setelahnya Bintang menekan tombol merah. Mematikan panggilannya dan melanjutkan menangis.