Kawa sampai di rumahnya pukul sembilan malam. Dengan kepala yang berat, badan yang terasa panas dan pegal, Kawa menelepon Oddy. Lampu rumah Oddy menyala. Begitu juga lampu kamarnya yang terlihat dari luar.
"Halo, Kawa?" sapa Oddy.
"Belum, ehem, tidur?" Tenggorokan Kawa terasa seperti memiliki sesuatu yang mengganjal.
"Belum. Lagi ngobrol sama Hana. Kenapa?"
"Boleh minta waktu kamu sebentar? Aku... punya sesuatu yang mau aku sampaikan."
"Urgent kah?"
"Bisa dibilang begitu," Kawa menunggu dengan cemas saat Oddy tidak juga menjawab. Kawa menatap rumah Oddy tanpa bergerak. "Aku tunggu di depan rumah."
"Sebentar," Oddy menutup telepon dan membuat Kawa menunggu lagi. Tidak lama kemudian Oddy keluar dari rumah dan menyebrang ke rumah Kawa. "Tumben gak ngetok aja?"
Kawa menggeleng. "Gak enak. Ada Hana. Takut ganggu."
"Terus, kita mau ngobrol di depan begini?"
Kawa tampak bimbang apakah mempersilakan Oddy masuk atau cukup di luar saja. "Maksudku cuma sebentar tapi..."
"Di dalem aja ya. Gak enak ngobrol sambil berdiri," Oddy meraih tangan Kawa dengan maksud menuntunnya masuk. Tapi begitu Oddy memegang tangan Kawa, Oddy berjengit. "Lo panas!"
Kawa menarik tangannya. "Efek naik motor. Ayo masuk..."
"Kawa! Lo sakit!" Oddy memegang kening Kawa yang membuat Kawa langsung berkelit. "Mana mungkin naik motor bikin panas begini. Ayo masuk. Istirahat. Lo ada obat gak?"
Oddy menyeret Kawa hingga masuk ke dalam rumah Kawa dan masih berniat menyeret Kawa hingga berbaring ketika Kawa bergeming.
"Ka, ayo, lo harus istirahat. Udah makan belum? Ada obat apa? Udah ke dokter?"
"Just one question," Kawa mengangkat jarinya.
"Apa sih? Lagi gini juga," Oddy cemberut.
"Ines nyamperin kamu kan? Ngomelin kamu segala macam?"
Oddy bengong. Kok Kawa bisa tahu? Baiklah, tidak ada gunanya juga Oddy berpura-pura. "Iya."
"Kenapa kamu gak cerita?" Kawa mendudukkan diri di sofa karena dia ternyata tidak sanggup terlalu lama berdiri. Sungguh sebuah keajaiban dia bisa mengendarai motor ke rumahnya.
"Gak penting soalnya," Oddy nyengir lalu berjongkok di depan Kawa. "Will change nothing. Tapi mood gue memang drop sih."
"Maaf ya. Maafin Ines," Kawa menyentuhkan keningnya ke kening Oddy lalu mengelus pipi Oddy dengan tangannya yang panas.
"It's okay," Oddy menyentuh tangan Kawa yang menempel di pipinya. "Bukan masalah besar. Sekarang yang lebih penting adalah kesehatan lo. Istirahat ya? Apa perlu gue yang gendong?"
Kawa tersenyum dan dengan susah payah berdiri lagi. Dengan dibantu Oddy, Kawa menuju kamarnya di lantai atas. Tanpa berganti pakaian, Kawa berbaring di tempat tidur.
"Obat?"
"Ada Panadol di lemari di dapur," kata Kawa sambil memejamkan matanya.
"Sementara pakai itu ya. Besok kita ke dokter. Tunggu di sini. Gue ambil dulu." Oddy berbalik dan melesat cepat menuju dapur. Tidak butuh lama untuk menemukan obat yang dimaksud. Oddy mengambil gelas dan mengisinya lalu mencari teko yang bisa diisi air. Supaya jika Kawa haus, dia tidak perlu jauh-jauh ke dapur. Setelah siap, dia kembali ke kamar Kawa.
"Udah makan kan tapi?"
"Iya," kata Kawa dengan suara serak. Dia meminum obatnya dengan patuh lalu kembali berbaring. Oddy berdiri mematung di samping Kawa. "Pulang aja, Dy. Kasihan Hana. Aku cuma mau bilang itu aja kok."
Oddy akhirnya mengangguk. "Gue pulang ya. Kalau butuh apa-apa malam ini, langsung call gue aja. Besok pagi gue ke sini untuk bikin sarapan. Kunci gue bawa ya."
"Iya, Dy," Kawa mengangguk dan perlahan matanya terpejam.
"Get well soon," bisik Oddy.
Kawa tidak membalas lagi karena dia sangat mengantuk. Kawa hanya merasa ada sesuatu menyentuh keningnya sebelum pintu kamarnya ditutup.
***
"Kok lama sister?" Hana berpaling dengan wajah tertutup masker saat Oddy kembali ke kamarnya.
"Kawa sakit. Badannya panas banget. Dia juga beberapa kali batuk," Oddy menjelaskan dengan suram lalu duduk di samping Hana.
"Aduh kasian. Lo mau nemenin dia gimana?" Hana tampak ikut khawatir.
"Nggak lah. Kan lo nginep di tempat gue. Lagian dia udah minum obat. Kita lihat besok aja kondisinya gimana. Kalau memang masih sakit, mungkin gue ajak dia ke dokter."
"Sorry ya," Hana jadi cemberut.
"Hey, don't be. Kita kan memang udah rencana mau sleepover sama-sama hari ini. Sebelum minggu depan lo udah Nyonya Kusumahardja. Jadi we gotta enjoy this moment. Okay? Don't worry. Kawa kuat kok."
"Lo beneran harus pertimbangkan Kawa deh, Dy," Hana mendadak serius.
"And why is that?"
Hana mengangkat bahu. "Kalau denger semua cerita lo tentang dia sih..."
"Gue masih gak yakin, Han..."
"Coba lo tes dia ya. Ini kan lo ceritanya care sama dia tapi lo terpaksa balik ke rumah karena ada gue..."
"Gue gak terpaksa karena lo," bantah Oddy.
"Sst. Nah, kalau di hari-hari ke depan dia ada bahas-bahas soal ini, bahwa lo lebih memilih temen lo daripada dia, hempaskan aja dia. Tapi kalau dia sama sekali gak bahas, dia tetap bersikap seperti kemarin, sikat aja Dy!!!"
"Haish, menurut lo dia WC apa?!" Oddy merengut.
Hana malah tertawa. "Sini sini gue hug dulu," Hana memeluk Oddy lalu menyodorkan sebungkus sheet mask. "Gak afdol sister kalau sleepover gak pake masker."
Oddy tertawa. Dia melanjutkan rencananya dengan Hana meskipun sedikit was-was dengan kondisi Kawa di depan.
***
"Han..." Oddy mencolek lengan Hana berkali-kali.
"Haaaaaah," Hana membalas lalu kembali memeluk guling.
"Han, subuh," Oddy mengingatkan lagi.
"Iya, ntar gue shalat," balas Hana dari balik selimut.
"Gue ke rumah Kawa dulu ya. Gue mau bikin sarapan di sana sekalian bikin sarapan buat kita. Kalau lo butuh gue, telepon aja. HP gue bawa. Oke?"
"Oke, lo mau pacaran di rumah Kawa. Enjoy! Jangan duluin gue bikin anaknya," timpal Hana.
"Heh, sableng," Oddy menjitak kepala Hana lalu segera menuju dapur. Oddy mengambil beberapa bahan yang bisa digunakan untuk sarapan lalu bergegas ke rumah Kawa.
Oddy menaruh bahan-bahan masakan di dapur lalu menuju kamar Kawa. Kawa masih tidur tapi bajunya sudah berganti. Mungkin tadi malam dia terbangun dan mengganti pakaiannya. Dia tidur dengan nyenyak meskipun demamnya masih ada. Fix, Oddy harus mengajak Kawa ke dokter kalau Hana sudah pulang. Hana memang berniat pulang setelah sarapan karena dia ada janji dengan salon untuk perawatan pranikah.
Oddy membawa teko yang hampir habis untuk diisi kembali di dapur. Setelah memastikan kondisi aman, Oddy mulai memasak di dapur. Membuat sarapan untuk dirinya, Kawa, dan Hana. Mashed potato dengan dada ayam rebus dan sayur-sayuran. Melihat kondisi Kawa yang tenggorokannya sepertinya bermasalah, seharusnya makanan ini bisa dia makan dengan mudah.
"Han, lo sarapan sini ya," Oddy menelepon setelah makanannya siap. "Biar gue gak bolak balik. Kawa belum bangun soalnya."
"Ah demi makan enak mah gue samperin lah! Tinggal masuk aja kan?"
"Yoi,"
Oddy duduk di kursi meja makan untuk menunggu Hana. Hana muncul tidak lama kemudian. Rupanya dia sudah mandi.
"Cakepan lo dari gue," Oddy memandang dirinya sendiri yang masih mengenakan kaos. Walaupun bukan kaos yang dia pakai tidur sih.
"Gue kan SMP. Selesai Makan Pulang," Hana tertawa lalu duduk di sebelah Oddy. "Yang punya rumah masih molor?"
"Iya," Oddy menatap ke arah tangga. "Gue bangunin apa gimana ya?"
"Jangan. Kasian. Dia butuh istirahat. Tapi coba lo cek dulu ke kamarnya. Kali dia udah bangun tapi gak ngeh lo udah masak." Hana memberi saran tapi dia sendiri mulai makan.
"Oke. Lo makan duluan. Gue ke atas dulu," Oddy kembali menaiki tangga dan perlahan membuka kamar Kawa. Dilongokannya kepala ke dalam dan dia melihat Kawa sudah bangun dan sedang menatap ponselnya.
"Hei," sapa Kawa. "Aku pikir rumah ini ada yang nungguin karena tekonya tiba-tiba penuh."
Oddy tersenyum lalu menghampiri Kawa. Dia duduk di tepi tempat tidur dan memegang tangan Kawa. "Masih panas."
"Iya."
"Nanti ke dokter ya. Tapi sekarang sarapan dulu. Ada Hana juga ikut sarapan di bawah. Gak apa-apa kan?"
"Iya," Kawa menyibakkan selimut dan berusaha turun dari tempat tidurnya. Oddy membantu Kawa untuk menuruni tangga dan sampai di dapur.
"Halo, Kawa! Salam kenal, gue Hana. Sahabatnya Oddy dari SMA," Hana mengulurkan tangan kepada Kawa saat Kawa sudah duduk di depan Oddy.
"Halo, Hana," Kawa balas menjabat tangan Hana.
"Buset, beneran panas bener tangan lo. Tapi dari tadi Oddy gak lepasin pegangannya ya? Kuat lo ya Dy."
Oddy menanggapi sindiran Hana dengan memutar bola matanya.
"Makan ya, Kaws. Biarpun gak enak nelen atau rasanya, tolong dipaksain ya?" Pinta Oddy kepada Kawa. Kawa mengangguk. Tadinya dia ingin menanggapi bahwa disuruh berlari mengelilingi cluster mereka saja Kawa bersedia. Apalagi hanya makan. Tapi badannya masih terasa tidak enak jadi Kawa hanya mengangguk.
***
"Apa kata dokter?" tanya Hana saat Oddy meneleponnya setelah jam makan siang.
"Gejala tipes," Oddy menghela napas. "Harus bed rest minimal 3 hari. Nanti ke dokter lagi. Kalau masih belum baikan, terpaksa dirawat. Kalau udah baikan, bagus."
"Terus anaknya dimana?" tanya Hana lagi.
"Lagi tidur di rumah gue," Oddy melirik Kawa yang meringkuk di sofa, di depan TV yang menyala.
"Eh gimanaaaaa?" Hana berseru lalu tertawa. "Jangan lo apa-apain mentang-mentang dia lagi sakit."
"Gue doain lo cepet sah deh, Han," Oddy berdecak. "Pulang dari dokter, tadinya mau di rumah dia aja. Tapi rumah dia boring banget. TV gak ada. Jadi kalau rebahan doang kan sepi ya. Makin stres dia nanti. Kalau di rumah gue, dia bisa nonton TV dan gue juga kalau masakin bisa gampang. Daripada gue di rumah dia terus dan bolak-balik, males diliatin tetangga nanti."
"Di kamar tamu?"
"Nggak. Di ruang tamu,"
"Wah lo tega," Hana mengomel tapi dia tertawa juga.
"Anaknya yang minta kok. Lagian sofa gue kan nyaman ya."
"Saking nyamannya kan sampe ada yang ciuman di situ ya? Eh gue lupa. Yang ciuman kan yang sakit sama yang punya rumah," Hana tertawa semakin keras.
"Han, gue gigit lo ya," Oddy mengancam dengan suara pelan. "Lagian biar gampang kalau dia mau ke kamar mandi. Daripada di kamar atas, mau ke toilet harus lewat tangga."
"Paham gue Dy paham. Ya udah, salam buat Kawa. Semoga cepet sembuh. Lo semangat ngurusnya. Ingat, kalau cewek cowok berduaan, yang ketiga setan!"
"Lo setannya!"
Mereka berdua tertawa lalu memutuskan sambungan telepon.
Oddy menghampiri sofa tempat Kawa berbaring lalu duduk di di atas karpet. Tangan Oddy terlipat di sofa dan menatap Kawa yang tertidur. Sungguh takdir yang tidak terduga. Siapa yang mengira bahwa Oddy akan bertemu orang yang menyatakan cinta padanya dan mengajaknya untuk serius.
Entah berapa lama Oddy memandang Kawa sampai dia sendiri memejamkan matanya. Sepertinya hari sudah sore karena saat Oddy membuka mata, di luar lebih gelap dan ada tangan yang mengelus rambutnya.
"Udah bangun?" Oddy mengangkat wajahnya dan melihat Kawa sedang menatapnya.
"Baru bangun. Lagi ngeliatin ini di HBO film apaan."
Oddy menoleh ke belakang dan melihat film yang juga dia tidak kenali. "Cari yang lain aja kalau mau. Ada Netflix juga." Oddy mengambil remote di meja, bermaksud mencari tayangan yang bisa mereka nikmati.
"Nonton bareng sini, Dy," bisik Kawa.
"Iya, ini gue mau nonton bareng kok," kata Oddy tanpa menoleh kepada Kawa.
"Di sini," Kawa menepuk sofa dua kali.
"Ih, Kawa. Lo kan lagi sakit. Jangan macem-macem," Oddy menoleh lalu menggeleng.
"Gak akan nular kok. Lagian cuma nonton doang kan?"
Oddy menyalakan Netflix lalu berbalik menghadap Kawa. "Asal cepet sembuh ya?"
Kawa tertawa. Dia menyibakkan selimut lalu menepuk sofa lagi. Perlahan Oddy duduk di sofa lalu mengubah posisinya menjadi berbaring. Oddy meletakkan kepalanya di lengan Kawa dan Kawa langsung memeluk Oddy di balik selimut. Mereka akhirnya menonton film dengan Kawa yang memeluk Oddy dari belakang.
"Terkait Ines..."
"Kaws, gak usah dibahas..."
"Iya. Aku cuma mau bilang maaf lagi dan terima kasih. Terima kasih lagi karena sudah mau repot-repot ngurus aku waktu sakit. Aku bener-bener gak punya alasan untuk gak menyayangi kamu, Claudia Mentari Alatas." Oddy bisa merasakan Kawa menciumnya dari belakang.
Oddy menyentuh tangan Kawa yang melingkari perutnya dan menautkan jemari mereka.
"Iya, Kawa. Yang penting kamu cepet sembuh," bisik Oddy.
***
Buat Oddy, didatengin Ines itu bikin mood drop tapi ga terlalu penting juga. Makanya gak diceritain ke Kawa.
Nah. Ini berdua makin sweet aja ya...
-Amy
IG: amysastrakencana