Pagi ini di rumah Budeku sudah sibuk. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Bude yang sibuk memasak, Pakde yang sibuk dengan burung kakaktua kesayangannya, dan aku yang sibuk dengan acara berdandanku.
Aku keluar dari kamarku dengan muka yang terpoles make up tipis, sangat tipis. Dress putih selutut dengan lengan yang panjang membalut tubuku dipadukan dengan converse putih di kakiku dan tas rotan yang sudah berada di pundaku.
"Wah cah ayu pagi-pagi sudah rapih. Mau kemana toh?" tanya Budeku yang tak sengaja melintasi kamar yang aku tempati dan melihatku tengah menutup kamar.
"Itu Bude mau main sama Iqbaal." ujarku tersenyum sambil menyelipkan rambut ketelinga.
"Cah bagus iku pacar mu? Jauh-jauh dari Jakarta nyusul ke sini? Bude liat anaknya baik, ramah, dan sopan sekali." ungkap Bude padaku.
Aku hanya bisa menggaruk tengkukku yang tak gatal karena bingung menjawab apa. Pandanganku beralih menuju pintu masuk rumah begitu mendengar derap langkah dan suara seseorang yang saling bicara. Kutemukan Iqbaal yang dirangkul Pakdeku tengah berjalan menujuku dan Bude.
"Loh kok malah pada di sini? Belum pada sarapan? Nungguin Pakde?" ujar Pakdeku yang berhenti tepat di depan kami.
"Ini tadi ngobrol dulu sama Lubi. Cah bagus juga ikut sarapan dulu ya? Lagi gak buru-buru kan?" ajak Bude.
Aku menggeleng bersamaan dengan suara Iqbaal yang mengatakan tidak.
Semua orang sibuk mengunyah makanan buatan Bude. Hening menyelimuti ruang makan diselingi dengan dentingan sendok.
"Nak Iqbaal udah berapa lama pacaran sama ponakan Bude?" ujar Bude tersenyum jahil.
Untung aku sedang tidak mengunyah. Kalau mulutku di penuhi makanan mungkin sudah membuatku tersedak saat pertanyaan itu Bude ajukan. Aku lirik Iqbaal yang tengah makan di sebelahku begitu tenang, ia masih mengunyah makanannya dan menelannya sampai benar-benar tertelan masuk ke dalam perut. Iqbaal menatapku dengan mata teduhnya, lalu mengalihkannya dan menjawab pertanyaan Bude. "Nunggu ponakannya Bude mau ke Iqbaal." ujarnya pelan diselingi dengan senyum.
Setelah beberapa jam mobil yang aku dan Iqbaal tumpangi sampai di destinasi yang kita tuju; Gumuk Pasir. Saat aku dan Iqbaal turun dari mobil kita dapat melihat hamparan pasir luas membentuk seperti gurun. Angin yang berhembus menyambut aku dan Iqbaal berjalan menuju hamparan pasir yang begitu luas.
Iqbaal mengangkat kamera fuji film yang tergantung di lehernya ke arahku yang berada di sampingnya. Awalnya aku tidak sadar. Begitu sadar aku langsung narsis dan bergaya konyol di depan kamera yang tengah Ia arahkan padaku.
"Bagus yang candid." Sambil menunjukan hasil jepretannya padaku.
"Di sana kayanya bagus. Yuk kesana?" lanjutnya.
Aku mengangguk semangat dan berjalan lebih dulu daripada Iqbaal.
Iqbaal tetap mengarahkan kameranya pada Lubi yang berjalan di depannya. Dapat dilihat punggung Lubi dan rambut sebahunya yang terbang terkena hembusan angin dalam layar kameranya. Tanpa Lubi sadari Iqbaal merekam semua hal yang gadis itu lakukan.
"Di sini Baal?" Tanyaku pada Iqbaal.
Iqbaal mengangguk dan memberi jempol berkat jawabanku yang benar.
"Gantian dong kamu yang motion. Mau gak?"
"Boleh, sini kameranya?" Sambil menyadongkan tanganku meminta kamera yang masih menggelantung di leher Iqbaal.
Jantungku berdetak dua kali lipat ketika melihat Iqbaal yang bergonta-ganti gaya. Dia terlihat begitu keren dan tampan dengan kaos hitam miliknya. Walau melihat dari punggungnya saja sudah membuatku tersenyum dan jatuh cinta. Entah sihir apa yang ia berikan padaku sampai aku merasa ada kupu-kupu menari di perutku.
Kulihat Iqbaal tersenyum puas melihat hasil jepretanku.
"Anak pinter! Jago juga motonya." ujarnya yang berada di depanku dan mengacak puncak kepalaku gemas.
"Ihh kebiasaan deh suka gitu!" Sambil menyingkirkan tangan Iqbaal di kepalaku.
"Halah, tapi sukakan digituin?" ujar Iqbaal dengan tangan yang sudah ku singkirkan tapi masih saja mendaratkannya di puncak kepalaku dan mengacaknya gemas sekali lagi.
"IQBAAL!!!!" teriakku mengejar Iqbaal yang sudah berlari mewanti-wanti aku yang akan marah.
Aku mengejar Iqbaal yang berlari di depanku. Ku lihat Iqbaal yang memperlambat larinya dan mengubahnya menjadi berjalan lalu berhenti. Langkah Iqbaal yang terhenti membuatku segera menyusulnya. Ketika di depannya dengan jelas kulihat Iqbaal yang menutupi matanya dengan tangan miliknya. Aku diam sejenak mewanti-wanti dia akan mengerjaiku lagi.
"Yaampun kamu nangis?" tanyaku pada Iqbaal begitu kulihat matanya yang merah.
"Kelilipan pasir gara-gara lari." ujarnya.
"Jangan di kucek! Ga boleh! Sini kamu nunduk." ujarku padanya yang hampir mengucek matanya.
Begitu laki-laki itu menunundukan badannya dan menyesuaikannya dengan tinggiku, aku mulai meniupi matanya berharap debunya akan hilang. Iqbaal, pemuda itu menegakan badannya kembali dan mengerjapkan matanya.
"Gimana? Udah sembuh? Makanya jangan jail ke aku kena batunya kan?" ujarku menatapnya yang berada di depanku.
"Maaf." ujarnya menunduk menyesal.
"Mau ke kebun bunga matahari gak? Katanya deket dari sini." tukasku mengalihkan topik pembicaraan.
Iqbaal mengangguk dan meraih tanganku lalu berangsur menggandengnya.
Jam menunjukan pukul empat sore. Aku dan Iqbaal tengah duduk di pelataran Candi Ratu Boko sambil melihat foto-foto yang kita ambil di Gumuk Pasir, Kebun Bunga Matahari, dan Taman Sari. Rasanya puas sekali begitu semua tempat yang kutulis di travel bucket listku dapat aku kunjungi dan rasanya dua kali lipat menyenangkan karena aku mengunjungi tempat itu dengan orang yang kurasa paling tidak mungkin menemaniku.
"Makasih yaa Baal?" ujarku tersenyum menatapnya.
Iqbaal mengangkat alisnya,
"Buat semuanya. Buat kehadiran kamu selama tiga hari ini yang ngebuat aku bakal rindu sama Yogyakarta." ungkapku menatapnya lalu menatap langit Yogyakarta.
"Harusnya aku yang makasih. Karena kamu aku jadi bener-bener explore Yogyakarta. Karena kamu aku gak bakal lupa sama Yogyakarta." ujarnya tersenyum menirukanku memandang lurus langit.
"Dan karena kamu aku jadi bahagia dan pengen jagain kamu terus." lanjut Iqbaal begitu lirih bahkan sepertinya tidak terdengar oleh Lubi yang sedang fokus dengan langit pukul empat lebih tiga puluh sore ini.
Aku menarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Tuhan yang udah baik karena mempertemukan kita. KejutanNya bagi aku sangat mengejutkan dan menyenangkan. Sepuluh tahun aku nunggu buat ketemu kamu Baal. Sampai akhirnya Tuhan ngelepas doaku dari genggamannya. Bahkan bukan sekedar ketemu atau ngobrol biasa, tapi Tuhan ngasih yang lebih dari yang aku bayangkan." ujarku sambil menatap teduh ke arahnya.
Iqbaal tersenyum mendengar yang aku katakan lalu merangkul bahuku.
Langit mulai menjingga. Matahari akan segera pulang ke peraduannya. Aku dan Iqbaal tak mau kehilangan momen indah ini. Kita berdua pun melangkahkan kaki kita menuju tempat fenomenal di Candi Ratu Boko ini.
"Mas bisa tolongin fotoin kita berdua gak?" ujar Iqbaal pada salah satu pengunjung.
Iqbaal menyerahkan kameranya pada lelaki yang dimintai bantuan.
Aku sudah menunggu Iqbaal di salah satu kotak berlubang candi sambil menatap langit senja yang begitu menawan. Jingga yang begitu lembut membuatku hanyut karena keindahannya, tanpa aku sadari Iqbaal sudah di sampingku tersenyum begitu manis.
Menyadari siluet bayangan Iqbaal, aku langsung membalikan badanku mengahadap padanya. Iqbaal meraih kedua tanganku dan menatapku begitu teduh serta begitu tulus. Ah benar memang lelaki ini selalu membuatku malu dengan perlakuannya yang begitu manis.
Entah sengaja atau tidak saat matahari benar-benar pulang keperaduannya Iqbaal membawaku ke dalam dekapannya dan aku merasa dia mendaratkan dagunya di puncak kepalaku yang membuat sesuatu di dalam sana merasa begitu hangat dan membuncah bahagia karena perlakuannya itu.
Terangnya lampu-lampu di tepi jalan malioboro menyinari langkahku dan Iqbaal. Malam ini Malioboro begitu ramai oleh pengunjung di setiap sudutnya. Bunyi angklung dan kawanannya membuat nuansa begitu menyenangkan.
Suasana yang begitu ramai membuat Iqbaal mengeratkan tautan tanganya, katanya takut kalau-kalau aku hilang. Aku dan Iqbaal menghentikan langkah kita dan terpaksa melepaskan tangan yang sudah bergandengan sejak tadi, begitu sampai di angkringan tempat yang aku dan Iqbaal tuju untuk mengisi perut.
Aku dan Iqbaal duduk berhadapan setelah mengambil makanan. Iqbaal mengambil satu nasi kucing, sate telur puyuh, dan sosis goreng. Sedangkan aku mengambil seperti apa yang Iqbaal ambil. Bedanya aku tak mengambil nasi kucing, tapi menambah sate-sateannya.
"Selamat makan Lubi!" ujarnya sambil mengangkat sendok dan garpu di tangannya masing-masing.
Mendengar itu aku yang sedang memainkan ponselku menghentikan aktivitasku dan menatap si punya suara.
"Hahahaha. Udah diem gitu aja jangan bergerak!" Sambil mengarahkan kamera ponselku padanya.
"sekarang udah boleh makan. Selamat makan!" lanjutku setelah mendapat satu jepretan foto Iqbaal dengan muka datarnya yang membuatku gemas.
"Apa kabar sama Instagram kamu? pasti jebol ya notifnya?" tanya Iqbaal penasaran diselingi makan.
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Iqbaal. "Banget, banyak yang follow sama DM sejak kemarin, terus tanya-tanya kamu gitu deh sampe aku bingung jawab apa." ujarku lalu makan telor puyuh.
"Tapi ga ada yang sampe ngejudge kan?" tanya Iqbaal sedikit khawatir.
"Namanya juga manusia. Sudut pandangnya beda-beda. Jadi penilaian mereka berbeda juga. Aku paham kok kenapa mereka gitu. Kayak aku dulu juga suka kepoin semua cewe yang deket sama kamu. Jadi it's Okay" ujarku tersenyum lalu meminum segelas milo hangat.
"Good girl! Anak papa pintar sekali!" ujarnya bangkit dan mengacak rambutku ketika aku sedang memakan sate telur puyuhku.
"IQBAAAL!!! KEBIASAAN DEH!" ujarku bertriak dan menyingkirkan tangannya dari kepalaku.
"Ada yang lagi demam, mukanya merah." tukasnya sambil meraih sate di piringnya.
"Demam apaan? suhu badanku normal." balasku.
"Deman unyu-unyu. Cantiknya, cantiknya aku tergila-gila..." ucapnya sambil bernyanyi lagu Coboy Junior.
Aku refleks melemparkan tisu kepadanya. Dia hanya terkekeh lalu menjulurkan lidahnya. Memang menyebalkan salah satu ex CJR ini!