Jangan lupa memberi kritik dan saran dengan bahasa sopan ya. Silakan beri masukan, nanti akan dipertimbangkan.
..... Happy Reading .....
Alran keluar kamar mandi dengan lilitan handuk putih yang melekat hanya di tubuh bagian bawahnya, itu membuat badan kekar dengan perut six pack yang menggoda iman setiap wanita itu terekspos sempurna. Laki-laki itu mengambil satu handuk lagi untuk ia gunakan mengeringkan rambutnya yang masih basah, selepas itu dia berjalan menuju kamar untuk berpakaian.
Ceklek
Baru saja Alran ingin meraih gagang pintu, pintunya sudah terbuka lebih dulu dan menampilkan sosok Arlen dengan rambut seperti singa khas bangun tidurnya. Arlen menguap, lalu melap ilernya menggunakan tangan langsung, tanpa ada rasa sungkan sedikit pun di hadapan Al.
Arlen mengibaskan tangannya seakan menyuruh Al minggir untuk memberinya jalan. Al memundurkan tubuhnya sambil menatap Arlen dengan tatapan jijik, sedangkan yang ditatap hanya menggendikkan bahunya acuh.
Tanpa sadar, air yang menetes dari tubuh Al membuat lantainya licin.
Sreet
Arlen yang tergelincir refleks mencari pegangan dan yang dipegangnya malah handuknya Alran.
"KYAAAAA!" jerit Arlen.
"AAAAA!" pekik Alran bersamaan ketika senjatanya terekspos.
Al dengan cepat merampas kembali handuknya yang dipegang Arlen, dan memakainya asal, kemudian laki-laki itu berlari ke dalam kamar.
Brakk
Alran menutup pintu secara kasar, sehingga membuat Arlen terlonjak kaget. Di balik pintu, dengan napas ngos-ngosan Alran menyandarkan tubuhnya di daun pintu sambil mengusap wajahnya kasar.
"Gila mah si monyet! ... Kira-kira dia sempat lihat pisang gue gak yah?" monolog Alran dengan kalut dan mimik wajah yang begitu takut.
Bulir-bulir keringat dingin kembali membasahi tubuh Alran yang tadinya hampir kering, Al menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, rasanya dia malu bukan main saat handuknya melorot menampilkan full bodynya. Apalagi ekspresi Arlen yang membuatnya yakin jika gadis itu telah melihat pisangnya.
*****
Arlen menggosok giginya dengan pandangan kosong sebab otak dan hatinya masih mencerna kejadian barusan.
"Apakah kepolosan gue sudah benar-benar hilang?" batin Arlen.
Arlen menggelengkan kepalanya berusaha menampik kenyataan, berkali-kali hatinya berucap doa agar semuanya hanya sebatas mimpi. Namun, saat sikat giginya meleset dan tidak sengaja terkena gusinya, rasa sakit yang disebabkan itu membuat Arlen tersadar, kalau ini bukanlah mimpi. Arlen benar-benar malu, bahkan sangat malu, lihat saja sekarang, bukan hanya pipi, telinga dan matanya juga ikut memerah. Arlen kembali menggosok giginya dengan kencang berusaha untuk menyalurkan emosinya namun sia-sia. Gadis itu terlihat menghentak-hentakan kakinya dan bertingkah tidak jelas.
"Sumpah demi apa gue malu," gumamnya melemah sambil memukul-mukul dinding kamar mandi.
Meskipun Arlen mesum, kemesumannya hanya dia dapat dari cerita genre dua puluh satu plus . Arlen kenal Maria ozawa pun hanya setelah kak Maria pensiun dari dunia perfilman dan kakek sugiono, si legenda dunia biru itu hanya diketahuinya lewat Bima dan Sakti. Dia belum pernah melihat senjata laki-laki dewasa secara langsung.
Meskipun begitu, yang dilihat Arlen tadi hanya samar, dia tidak tahu jelasnya ukuran pisang Alran karena refleks matanya tertutup waktu dia menjerit, tapi tetap saja Arlen sempat melihat.
Arlen memilih untuk berendam di air hangat yang sudah dicampuri minyak aroma terapi untuk menenangkan hati dan pikirannya yang sedang kalut akut.
*****
Arlen dan Alran duduk di atas kursi dengan perasaan canggung. Tidak ada yang memulai pembicaraan, sampai akhirnya Al merasa jenuh dan berinisiatif memulai percakapan, namun ternyata sama dengan yang ingin Arlen lakukan.
"Lo gak masak?"
"Lo mau makan?"
Tanya mereka berbarengan dan menangguk bersamaan. Beberapa saat kenudian suasana kembali canggung.
"Lo makan mie aja ya," kata Arlen berusaha menetralkan perasaannya.
Al menggelengkan kepalanya, "gak, gamau gue," sahutnya, membuat Arlen mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya.
"Gak sehat," jelasnya.
"Syukuri apa yang ada aja Al. Gue malas masak," ujar Arlen sambil menompang dagunya dan memasang ekpresi jenuh.
"Beli di luar aja," usul Al.
"Gak, itu malah lebih gak sehat, apalagi sekarang lagi booming-boomingnya virus yang bentuknya halus."
"Benar juga lo, yaudah sana masak mienya."
Arlen menangguk malas, kemudian berjalan ke arah dapur untuk memasak empat bungkus mie instan dalam satu panci. Satu untuk Alran dan tiga lagi untuknya. Setelah masak, Arlen memasukkan mie Alran ke dalam mangkok, sedangkan miliknya tetap dalam panci.
"Nih," ujar Arlen sambil menyodorkan semangkuk mie dengan toping telur asin.
"Kaya gak punya mangkok aja lo," sindir Alran saat melihat cara makan Arlen yang bisa dibilang barbar.
"Biar cucian dikit, " sahut Arlen.
"Jadi perempuan itu jangan malas-malasan apalagi sudah punya suami," tegur Alran.
"Gue bukannya malas Sang, gue cuman lagi hemat tenaga sama hemat air aja," bela Arlen.
"Alah alasan!"
"Emang benar kok."
Al menautkan alisnya bingung saat melihat perbedaan porsi miliknya dengan milik Arlen. "Ar kenapa porsi lo lebih banyakan?" tanya Al.
"Kan gue yang masak."
"Minta dikit lagi dong."
"Ish gamau, kalau mau nambah, masak lagi aja sana!"
"Gimana mau masak kalau pancinya aja ada sama lo."
"Lo pikir panci di rumah ini cuman satu?"
"Pelit sama suami hukumnya dosa loh."
"Ah elo dikit-dikit dosa, dikit-dikit dosa. Yaudah sini kemarikan mangkok lo!" sungut Arlen.
"Nah gitu dong," sahut Arlan sambil tersenyum.
Ting tong
"Siapa yang bertamu sepagi ini?" tanya Alran pada Arlen.
"Ya mana gue tau, lo pikir gue cenayang?" ketus Arlen yang masih kesal.
"Gausah ngegas kali Nyet, sana buka pintunya!" ujar Arlan.
"Kok gue?! Lo aja sana ... gak liat apa gue lagi makan."
"Gue juga lagi makan, Monyet."
Arlen hanya menggendikkan bahunya acuh sebagai respon. Gadis itu melahap mienya tanpa memperdulikan Alran.
"Lawan suami dosa loh," ujar Alran.
Arlen menghela napas berat seraya menatap Al dengan tatapan malas, kemudian gadis itu meletakkan sumpitnya di atas meja dengan kasar.
Brak
"Iya-iya gue yang buka!" sahut Arlen yang di akhiri senyum paksa, setelah itu raut wajahnya berubah masam.
Al terkekeh melihat wajah masam Arlen, meskipun begitu gadis itu tetap menurut jika menyangkut hukum melawan suami, Al mengubah kekehannya menjadi senyuman. Ada getaran di hatinya saat Arlen benar-benar menganggapnya sebagai seorang suami.
"Hai Al!"
"Halo Ma, Mom," sahut Al sambil mencium tangan mommy dan mertuanya.
"Kalian sedang makan? Makan apa?" tanya Vannesa.
"Loh Ar, kok kamu kasih makan suamimu mie instan sih?"
"Gapapa mah sekali-sekali, lagian mieyabi aja dia doyan , apalagi mie instan Ma," sahut Arlen santai.
Uhuk uhuk
Alran meruntuki mulut ember Arlen, andai hanya ada mereka berdua sudah dipastikan mulut Arlen dia bungkam dengan spons cuci piring.
"Mi ... Mi ... Miyabi? Kamu suka begituan Nak?" tanya Vannesa.
"Apa?! Gak, gaklah Mom!" sanggah Al.
"Gapapa sih Al, lagian dad kamu juga suka kok, buat belajar katanya ... kamu juga bisa belajar di situ buat puasin Arlen," sahut Vannesa seraya tersenyum.
Uhuk uhuk
Kali ini Arlen yang tersedak mendengar ucapan Vannesa. "Mom!" seru Arlen dengan wajah memerah bak kepiting rebus.
"Al, Mommy lo tuhh ...," bisik Arlen sambil meremas kaos Al.
"Lo sih yang mulai, gini kan jadinya!"
"Udah-udah, kalau mau ciuman, ciuman aja kita gak masalah kok yakan Van?"
"Iya benar, kita gak akan iri kok, lagian kita udah keseringan gitu sama ayah-ayah kalian, ya Na ya?" tanya Vanesa yang meminta pembenaran pada Naomi.
"Iya benar banget tuh."
"Stress" umpat Alran dan Arlen berbarengan dalam hati.
"Oh iya, Ar ...," panggil Vannesa sambil menjentikkan jari, sepertinya dia mengingat sesuatu.
"Iya Mom?" sahut Arlen.
"Gimana pisang anak Tante ... gedekan?"
Uhuk byurrr
Ada sumur nganggur gak? Arlen mau menenggelamkan diri soalnya.
.
.
.
.
.
.
Tbc