Nadira

By zahwaaini_

1.1M 52.9K 3.6K

[BELUM TAHAP REVISI] "Aku tidak suka perempuan berjilbab!" Kata laki-laki itu kian tajam. "Lalu apa yang haru... More

Prolog
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Gimana?
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Haai
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
ؒسف
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54 (End?)
Extra Part or Ending?
Bagian 55 [Bonus]
Ending Beneran
Epilog

Bagian 13

19.1K 899 0
By zahwaaini_

Nadira keluar dari pintu rumah. Di sampingnya, perempuan berusia lima puluh tahunan juga keluar dan menutup pintu.

"Mbak Dira siap?" Tanya Mbok Inem

Nadira agak terkekeh "Siap? Kayak mau lari sprint saja, Mbok"

Mbok Inem tertawa. Nadira menunggu Mbok Inem sampai selesai tawanya selesai. Baru kali ini Nadira tahu kenapa Mbok Inem tertawa seperti itu

"Udah, Mbak. Kita keluar saja. Nanti keburu panas" Mbok Inem menyela. Ia memicingkan mata

Nadira mengangguk

Hari ini mereka akan belanja ke pasar pada pukul sembilan. Baru kali ini ia ikut Mbok Inem keluar, pagi tadi ia sudah minta izin pada Ali, jadi tidak ada masalah

Tidak naik kendaraan apapun mereka memilih berjalan kaki. Kata Mbok Inem lebih sehat, dan Nadira menurut saja. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju pasar.

"Mbak Nadira ndak kerumah Mamanya lagi?"

Nadira menoleh "Gimana?"

"Mbak Nadira ndak kerumah Ibunya lagi? Udah beberapa minggu, loh, ini. Ndak kangen?" Tanya Mbok Inem mengulang dan ditambah

Nadira mengekspresikan wajah dengan tersenyum. Ia tidak bisa menjawab, menurutnya pertanyaan Mbok Inem juga ini tidak harus dijawab detail.

Mendengar kata Mama mengingatkannya pada kejadian beberapa minggu lalu. Hatinya beralih sendu lagi sekarang, ia sudah tahu semuanya. Dan saat ia mengingat pernyataan ayahnya, ia mamang bukan siapa siapa. Meskipun sebelumnya ia merasa berbeda dengan sikap Dina, tetapi ia tidak pernah membayangkan kalau kebenaran itu akhirnya terungkap dan membuatnya kecewa.

Kehadirannya tidak diharapkan di keluarga Adji dan kedatangannya juga tidak diharapkan oleh Ali. Apa memang begitu?

Nadira mengalihkan mimik wajahnya dan tersenyum. Ia harus bisa menerima jalan hidupnya sekarang. Tidak boleh bersedih dan menangis.

"Emm, Mbok?"

"Iya?" Mbok Inem menoleh

"Kapan Mbok Inem pulang?" Tanya Nadira, entah akan kemana arah pembicaraannya kali ini.

"Saya pulang satu bulan sekali, Mbak"

Nadira mengangguk "Tapi cuma dua hari, ya?"

"Iya. Anak-anak saya sudah besar, sudah punya keluarga, Mbak. Ada yang satu masih sekolah SMA. Suami saya juga kerjanya tiap hari ketemu sama saya. Ya ndak kangen" Mbok Inem mesem

Nadira mengerutkan kening "Setiap hari ketemu?"

"Hampir"

"Memangnya suami Mbok kerja dimana?"

"Kerja di sekolah SMP sebelah rumahnya Mbak Nadira. Jadi Satpam. Ya beda beberapa meter dari rumah Mbak, sih. Tapi suami saya sering jenguk"

Nadira tersenyum. Ia mengerti sekarang kenapa Mbok Inem selalu ke luar rumah setiap jam tiga sore. Ternyata dia menemui suaminya pulang setelah bekerja. Jika ditanya saja alasannya keluar tanpa bilang kenapa

"Mbak Nadira senyum. Saya malu ini"

Nadira menutup mulut menahan tawa. Mbok Inem tersenyum malu

"Sayang, ya, Mbok?" Tanya Nadira lagi

Mbok Inem mengangguk

Mendadak di depannya dari jarak tiga meter, anak kecil berusia tiga tahunan menyeberang asal di jalan untuk mengambil bola. Nadira dan Mbok Inem was-was melihatnya. Awalnya bocah itu aman karena tidak ada kendaraan, tetapi saat ia akan kembali, mobil bewarna abu-abu itu melaju dari arah belakang.

Hanya tiga detik Nadira berpikir, dan sekarang ia harus menyumpulkan. Anak kecil itu terlalu jauh, tetapi mobil itu juga terlalu cepat melaju. Jika Nadira meraih anak kecil itu ia takut tidak akan bisa, tetapi jika ia memilih meneriaki anak itu, takutnya nanti malah panik

Nadira berdiri didepan mobil yang melaju ke arahnya Tangannya merentang, berharap mobil itu berhenti. Mbok Inem melongo, ia takut melihat majikannya di tengah jalan.

Alhasil mobil abu-abu itu berhenti dari jarak satu meter sebelum Nadira yang berdiri. Semua yang ada disana menghembuskan nafas lega.

Nadira menggendong anak itu yang menagis karena terkejut. Pengendara keluar dari mobil.

"Maaf, Tadi saya tidak tahu kalau ada anak kecil disini" Kata perempuan yang baru keluar dari mobilnya

Nadira tersenyum "Iya, sudah juga mengira begitu. Soalnya mobil Mbak tadi kencang sekali"

"Iya. Sekali lagi maaf, ya, Mbak"

Salah satu perempuan menyerobot masuk ditengah-tengah kerumunan orang di jalan. Nadira menoleh, wanita seusia ibunya itu mengucapkan terima kasih kepadanya

"Makasih, Mbak"

Ia mengambil alih putranya dari Nadira. Nadira tersenyum

"Saya benar-benar berterima kasih, Mbak" Ucapnya lagi

"Iya, Bu"

"Maaf, Bu. Tadi saya nggak tahu kalau ada anak kecil" Mbak pengendara tadi berbicara

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa"

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, mari" Ucap Nadira

"Iya, mari"

Nadira keluar dari sana. Menuju tempatnya tadi. Tetapi Mbok Inem malah tidak ada disana.

"Loh, Mbok? Mbok Inem mana?"

"Eh iya, Mbak" Mbok Inem berjalan dari kumpulan orang itu menghampiri Nadira. Nadira mengerutkan kening

"Maaf, Mbak. Tadi lihat Mbak disana. Eh ternyata Mbak Dira sudah disini"

"Ya Allah, ya sudah, lanjut lagi saja jalannya"

"Ayo"

🌺🌺🌺🌺

"Lombok sama bawang putih, Mbak" Kata Mbok Inem pada salah seorang penjual dipasar

"Mbok, minyak goreng juga habis, mungkin?" Tanya Nadira. Tepatnya mengingatkan

"Oh, iya. Minyak goreng juga, Mbak" Kata Mbok Inem lagi

Nadira mencoba mengingat-ingat lagi apa bahan dapur yang sudah habis.

"Emm, Mbok, ketumbarnya habis juga?"

"Ya gusti pangeran, inggih, Mbak. Apa lagi, yo, Mbak?" Tanya Mbok Inem lagi

"Kecap?"

"Iya, kecap juga, Mbak" Kata Mbok Inem kepada penjual yang tersenyum di depannya.

"Maaf, Mbak Dira. Saya lupa"

"Iya. Nggak apa-apa, Mbok"

Mata Nadira tidak fokus terhadap apapun yang ada disana. Ia melamun, tentang kejadian sekitar setengah jam yang lalu.

Mengingat itu membuatnya mengenang kejadian tiga tahun silam yang menjadi penyebab ia menjadi istri Ali. Sama seperti Nadira menolong Pak Hasan secara kebetulan hingga terikat sebuah hubungan, hari ini ia menolong anak kecil berusia tiga tahun secara tiba-tiba juga. Apa ia juga akan dekat dengan anak itu ataupun keluarganya? Nadira tersenyum sendiri, dedek kecil tadi lucu juga.

"Permisi"

Suara itu menyadarkan Nadira dari lamunannya. Ia menoleh ke sumber suara di sebelah kanannya, Mbok Inem juga ikut menoleh.

"Iya?"

Tanya Nadira ragu. Karena orang yang bersuara tadi melihatnya. Siapa?

"Maaf, kamu Nadira? Nadira Hasna?"

Nadira diam, Mbok Inem juga ikut melihat. Siapa laki-laki yang berpakaian anak kuliahan ini? Ia mengenal Nadira?

"Iya. Maaf, anda siapa?"

Nadira sengaja menggunakan 'anda' karena itu mungkin lebih cocok

Lelaki itu malah menyunggingkan bibirnya lebar

"Kamu sudah terima surat itu?" Tanyanya lagi

Surat? Pikirannya refleks mengingt surat yang beberapa minggu lalu sampai di tangannya. Apa ini pengirimnya?

Nadira mengangguk ragu "Apa anda yang mengirim?"

Lelaki itu mengangguk. Tetap pada bibirnya yang melengkung

"Jadi kamu sudah tahu saya?"

Nadira menggeleng "Tidak. Saya hanya tahu lewat surat itu. Sekarang sudah lupa siapa nama... anda"

Pria itu mencoba mengerti. Nadira bingung harus bagaimana sekarang. Ia tidak mengira kalau bertemu dengan si pengirim surat. Rasanya mau menghilang saja, ia tidak ingin berurusan dengan pria di depannya ini.

"Saya Arsyad. Arsyad Aydan Ghafarullah. Bisa kita mengenal lebih jauh?"

Mbok Inem ikut menoleh lagi. Tatapanya mengejek pada lelaki bernama Arsyad itu. Kepala Nadira beralih menatap lurus ke depan. Jawaban apa yang harus ia katakan. Nadira menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar ingin pergi.

"Nadira?" Panggil Arsyad lagi. Mbok Inem menongolkan wajah

"Mas nya ini siapa? Kok tiba-tiba dateng terus minta kenal lebih jauh?"

Arsyad terkekeh "Maaf, Bu. Ibu ini Ibunya Nadira?"

Nadira menoleh Mbok Inem

"Bukan, saya pembantunya"

"Mbok..." Panggil Nadira.

Karena menurutnya memanggil Mbok Inem sebagai pembantu itu begitu tidak pantas. Mbok Inem sudah dianggapnya sebagai neneknya, bukan pembantu rumah tangga.

"Sudah Mbok, belanjanya?" Tanyanya lagi

"Sudah"

Nadira mengahadap Arsyad

"Maaf sepertinya saya harus pulang dulu, ada yang perlu dikerjakan. Permisi"

Arsyad tidak menjawab. Setelah Nadira membayar barang belanjaannya pada penjual dan pergi meninggalkan Arsyad, lelaki itu tersenyum dan bergumam

"Susah sekali diajak bicara. Kalau urusan dia kayaknya aku nggak akan nyerah"

Nadira buru-buru keluar dari area pasar diikuti Mbok Inem di sampingnya. Mbok Inem ikut berjalan cepat. Tetapi kenapa ia merasa lebih terburu-biru dan ngos-ngosan. Mungkin sudah tua

"Mbak Dira jangan cepat-cepat"

Nadira berhenti. Ia mengusap lengan kanan Mbok Inem yang memegang lututnya, capek

"Maaf, Mbok. Capek, ya?"

"Sudah ndak ada penjahatnya kan,

Nadira membantu Mbok Inem menegakkan badan

"Itu tadi bukan penjahat, Mbok. Mbok duduk dulu, mungkin?" Tawar Nadira

Mbok Inem menggeleng "Kita lanjut saja jalannya. Jadi Mas yang tadi memang kenal sama Mbak?"

Nadira mengiyakan "Tapi saya ndak pernah lihat orangnya"

Mereka kembali berjalan

"Mungkin Mas-nya tadi ndak ngerti kalau Mbak Dira sudah punya suami"

Nadira menangkap ucapan Perempuan disebelahnya. Mungkin jika bertemu lelaki bernama Arsyad lagi, ia harus katakan bahwa dirinya sudah menjadi istri.

Sebentar, istri? Bahkan jika dipikir ini memang terlalu cepat untuknya menyandang status itu, sampai sekarangpun terkadang masih belum menyangka

Ponsel Nadira bergetar. Tampak jelas panggilan dari ibu mertuanya, Segera ia geser tombol hijau dan mengangkat benda persegi panjang itu

"Assalamu'alaikum. Iya, Ma?"

"Wa'alaikum salam, Nak. Kamu dimana sekarang?"

"Sekarang Saya lagi di jalan, pulang belanja dari pasar, Ma" Jawab Nadira sedikit menengok pada Mbok Inem

"Oh iya-iya. Nak, boleh Mama minta tolong?"

🌺🌺🌺🌺

Nadira dan Mbok Inem berdiri di depan kantor Ali. Ia ragu untuk masuk. Ini jam makan siang, kalau ia masuk, belum tentu Ali ada di dalam.

"Mbok duduk dulu disini, ya"

Nadira berjalan mendekati halaman kantor itu. Ia benar-benar ragu masuk seperti kemarin. Belum lagi tatapan orang-orang yang heran dengan kehadirannya

"Nadira, ya?" Suara laki-laki mengagetkannya lagi. Ia menoleh

"Iya."

Nadira pernah melihat orang ini di acara resepsi pernikahannya. Ia mungkin teman dekat Ali

"Cari Ali?" Tanya lelaki itu lagi

Nadira mengiyakan "Iya. Mas, eh Maaf, Pak..."

Nadira bingung harus memanggil pria ini dengan sebutan apa

Lelaki itu tersenyum

"Saya Mario. Panggil terserah saja, kalau di panggil Pak terlalu tua, saya seumuran sama Ali, loh"

"Oh, iya. Kak Mario"

Lagi-lagi Mario tersenyum. Di panggil Kakak seperti pembeli online saja

"Terserah, deh. Kamu mau ketemu sama Ali?"

Nadira berpikir sejenak.

"Mungkin Mas Ali lagi keluar?" Tanya Nadira

"Iya. Tadi dia makan sama..."

Mario diam. Nadira menunggu kelanjutan jawabannya. Nadira berpikir kalau Mario tidak bisa mengatakan Ali makan siang dengan siapa karena khawatir menyinggung. Padahal bagi Nadira sendiri, sikap Ali yang seperti merupakan hal yang biasa

"Mas, eh.." Nadira memejamkan mata sebentar. Ia tidak boleh salah panggil

"Kak Mario satu kantor dengan Mas Ali?" Nadira mengubah pembicaraan

"Nah, Mas aja lebih cocok. Iya, saya satu kantor dengan Ali. Ada yang mau disampaikan?"

Nadira mencoba menyunggingkan senyum

"Iya. Bilang saja sama Mas Ali ya, Mas Mario, kata Mama sepulang dari kantor nanti disuruh kerumah Mama dulu. Mama tadi sudah telpon, ndak diangkat, begitu"

Mario masih diam. Tetapi ia mendengarkan pesan yang disampaikan Nadira

"Iya. Nanti saya sampaikan. Tapi kenapa tidak meninggalkan pesan lewat Chat? Daripada kamu susah-susah ke sini?"

"Saya juga mau mengantar ini. Titipan dari Mama, tadi saya beli di toko kue, ndak tahu kenapa harus di berikan sekarang. Sekali lagi untuk ini, saya minta tolong, ya, Mas"

Mario mengambil bungkusan itu dari tangan Nadira. Ia mengangguk

"Iya. Jangan khawatir, nanti sampai ke orangnya, kok"

Nadira mengangguk mengerti. Entah kenapa ia percaya pada Mario. Karena menurutnya Mario dan Ali terlihat sangat dekat

"Terima Kasih, Mas. Kalau begitu, saya permisi dulu"

"Iya"

🌺🌺🌺🌺

Nadira sibuk dengan urusannya dengan piring-piring dan perlengkapan rumah tangga yang kotor. Ia mencucinya, sementara Mbok Inem yang menyapu rumah.

Sejak ada Nadira di rumah ini, Mbok Inem merasa pekerjaannya ringan. Terkadang ia juga sangat sungkan dengan majikannya itu

"Tadi kecapnya udah beli kan, Mbok?" Tanya Nadira

"Iya, Mbak. Sudah saya masukkan ke kulkas"

Nadira mengangguk. Tangannya masih becek karena mencuci piring

"Mbak tinggal saja piringnya. Biar saya lanjutkan" Kata Mbok Inem

"Ndak apa-apa, Mbok"

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikum salam" Nadira mematikan keran dan berbalik badan

"Mama?"

Nisa memeluk Nadira sejenak. Perempuan itu selalu berwajah senang ketika bertemu menantunya.

"Maaf, ya. Mama kesini ndak bilang-bilang. Langsung nyelonong masuk lagi"

Nadira tersenyum. Ia mengangguk

"Ndak apa-apa kok, Ma. Mama duduk dulu mungkin? Saya akan buatkan teh"

Nisa menggeleng "Nggak perlu. Mama cuma mau ketemu sama menantu Mama"

Nadira tersenyum lagi. Mbok Inem ikut senang. Ternyata antara menantu dan mertua terjalin hubungan baik juga.

"Mama kesini nggak sendiri. Sama Zoya dan Keysha"

Nadira menengok kerah depan ruang makan lurus arah ruang tamu

"Anak-anaknya masih rewel. Mereka di ruang tamu sekarang"

"Oh, iya" Nadira mengangguk anggukan kepala

"Ya sudah Mama duduk dulu, sini saya antar." Nadira beralih sebentar mengusap kedua tangannya yang basah tetapi bersih dengn tissue di dapur

"Sebentar, ya, Mbok"

Nadira menggandeng tangan kiri Nisa, ia mengantar mertuanya itu menuju ruang tamu. Zoya dan Keysha juga ada disana. Anak kedua Zoya dan anak pertama Keysha yang masing-masing masih berusia satu dan dua tahun rewel itu minta mainan

"Itu ada Tante Dira. Hai Tante"

Nadira tersenyum. Ia menaggapi ucapan Zoya agar membuat anaknya berhenti menangis

Seperti ada yang mengganjal. Tadi Nadira taruh sesuatu di depan rumah. Apa selang untuk menyiram tanaman belum dikembalikan ke tempat asalnya?

Nadira pamit keluar sebentar. Ia akan merapikan selang itu yang diperkirakannya sudah tidak karuan

"Ya Allah, lupa"

Nadira merapikan dan mengembalikan selang itu pada tempatnya. Dari arah gerbang rumahnya, perempuan berpenampilan selutut itu masuk begitu saja. Nadira tidak merasa asing dengan werempuan itu. Apa... tunggu sebentar, wanita ini yang pernah ngotot agar ia mundur dari Ali tepat berada di kantor waktu itu?

"Permisi"

Perempuan yang mengurai rambutnya itu menyapa. Sebenarnya tidak seperti sapaan karena terdengar ketus dan singkat.

"Iya?"

Nadira mencoba tenang. Ia mendekat pada Tamara yang mengalihkan tatapan kearah lain.

"Maaf, ada perlu apa, ya, Mbak?" Nadira merutuki ucapannya. Itu bukan bahasa basa-basi. Itu bahasa terlalu menuju pada titik pembahasan.

"Maaf, Mbak. Mbak bisa masuk dulu, mungkin? Mas Ali masih di kantor, belum pulang" Ucap Nadira ramah

Tamara menatapnya tajam "Saya kesini memang mau ketemu sama kamu"

"Saya?" Nadira menunjuk dirinya "Iya, ada apa, Mbak? Kita bisa bicara di dalam. Mari"

"Eh nggak usah sok baik deh sama saya"

Nadira diam. Lalu ia harus bagaimana? Hal apa lagi yang akan di alaminya kali ini. Ia harus tenang. Belum apa-apa saja nadanya agak nyolot

"Sebenarnya kamu itu siapa, sih? Datang gitu aja. Padahal juga gaya tampang doang"

Nadira mengernyitkan kening. Tamara tersenyum miring. Ia melanjutkan

"Kamu itu cewek nggak tahu diri yang jadi istri Ali. Mimpi apa Ali punya istri kayak kamu."

Suara Tamara menekan dan setiap ucapannya menggebu-gebu. Nadira diam bukan berarti ia takut, tetapi karena ia belum tahu kemana arah pembicaraan Tamara saat ini

Tamara tersenyum miring lagi, perempuan itu meneruskan ucapannya lagi

"Jadi ini menantu kepercayaan Mama Nisa yang dibela-belain itu? Cihh, modal tampang sok alim tapi kelakuannya nggak ada apa-apanya" Cibir Tamara

"Hari ini aja udah ketemuan sama dua cowok, tuh. Cewek macem apaan. Kalo gitu nggak usah penampilan tertutup, jual harga diri aja bisa "

"Maksud kamu apa bicara seperti itu?"

Tentu itu bukan suara milik Nadira. Itu suara Nisa setelah pintu rumah terbuka

Nadira menoleh, mata Tamara sedikit terperanjat. Detik berikutnya Zoya dan Keysha ikut keluar

"Maaf tante, ternyata Tante ada disini. Saya ingin menyampaikan kabar yang mungkin tante belum tahu" Tamara mencoba meyakinkan. Meskipun sebenarnya ia terkejut Nisa di rumah Ali

"Kabar apa itu" Seolah tidak bertanya, ucapan Nisa terbilang datar

"Ini"

Tamara menunjukkan layar ponsel pada Nisa

"Itu menantu Tante. Dia ngobrol sama cowok ini, kedua..."

Tamara menggeser layar ke kanan

"Ini juga, dia ketemuan sama Mario, teman Ali. Satu hari aja dia udah punya dua gebetan. Gimana besoknya lagi, Tante?"

Nadira ingin menjelaskan. Tetapi ini tidak tepat. Ia tidak bisa berbicara sebelum mertuanya bertanya. Tetapi yang ia tangkap dari mata Nisa mengilatkan rasa tidak menyangka dengan semua itu

Ya Allah, bagaimana ini

"Ini menantu Tante yang tante bilang perempuan baik? Dia perempuan rendah, Tante. Nggak beda jauh sama perempuan rendahan di luar sana"

"Tamara, cukup" Bentak Zoya cukup keras "Apa apaan kamu ini, tiba-tiba datang terus..."

"Iya"

Ucapan Zoya berhenti. Ia menoleh ke arah Ibunya yang berbicara satu kata ambigu itu

"Iya, dia memang perempuan rendah"

Pernyataan Nisa kali ini membuat semua yang ada disana terhenyak. Nadira menatap mata Nisa yang menatap kosong lurus ke depan. Mata Zoya membulat sempurna, ia harap ibunya tidak melanjutkan ucapan

Sementara Keysha memilih diam, dan Tamara tersenyum bangga. Mungkin kali ini usahanya berhasil

Nadira merunduk. Kalau memang ia salah dalam hal ini, ia harus bagaimana lagi. Perempuan rendah? Apa kesan Nisa berubah begitu saja? Tetapi Nisa mengatakan 'memang', apa Nisa sudah menganggap Nadira seperti itu sebelumnya?

Nisa beralih menatap wajah Tamara. Tamara tersenyum senang, mungkin ini kesempatan baik

"Dia perempuan rendah, dan saking rendahnya dia, dia merendah, serendah rendahnya dihadapan Ali"

Nadira mendongak pelan. Senyum Tamara perlahan pudar. Zoya dan Keysha masih belum mengerti dengan ucapan ibunya

"Maksud Tante?" Ucap Tamara

"Tante tahu dia ada di jalan tadi, Tante juga kok, yang minta Nadira buat beli kue dan diantar ke kantor Ali. Tante nggak pernah nyesel milih Nadira buat jadi menantu, karena Tante tahu, dia orang yang tepat untuk Ali"

Tamara diam. Nadira mengalihkan tatapan

"Kalau memang Nadira bukan orang yang tepat buat Ali, kenapa sampai sekarang dia masih bertahan dengan jilbabnya? Bukannya kamu tahu, kalau Ali tidak suka perempuan seperti itu" Nadanya terdengar menekan

Nisa memang sudah mengerti tipe wanita yang Ali suka. Tetapi sebagai seorang Ibu, dia juga harus mencegah putranya masuk ke dalam hal yang salah

"Sekarang kamu tahu kenapa Tante nggak merestui hubungan kamu dengan Ali?"

Tamara mengalihkan tatapan

"Karena menurut Tante, kamu pantas dengan orang yang jauh lebih tepat untuk membimbing kamu. Kalau kamu sama Ali, diantara kalian nggak ada yang mengingatkan"

Nadira mengusap lengan Nisa agar tenang

"Kamu akhiri saja perasaan kamu sama Ali. Tante yakin, Ali udah lupakan perasaannya. Dan kamu dapat lelaki yang jauh lebih baik dibanding Ali"

Tamara mengusap air matanya yang ternyata menerembes keluar. Ia menghembuskan nafas panjangnya

"Saya permisi dulu" Katanya kemudian pergi

Nisa melihat wajah Nadira yang tampak lega. Ada rasa bersalah karena membuat Nadira hampir menangis

"Mama minta maaf, ya. Tapi itu memang cara Mama sebut kamu perempuan yang baik"

Nadira tersenyum "Iya, Ma. Terima kasih"

🌺🌺🌺🌺

Bel rumah berbunyi

Salah satu pembantu membuka pintu. Ia tersenyum kepada tamu itu yang tidak asing lagi

"Mama mana?" Tanya tamu laki-laki itu

"Ibu belum pulang, Mas Ali"

Ali mengeryitkan dahi "Kemana?"

"Kerumah Mas Ali."

"Ke rumah?"

🌺🌺🌺🌺

Alhamdulillah udah bisa lanjut, nih 😃😃

Kometar diantara kalian membantu dan buat aku semangat 😊😊 ih,, aku GR nggak yaa

Sekali lagi makasih udah partisipasi di part sebelumnya 😚😚

Kalau ada yang mau beri komentar soal pendapat tentang Nadira,, bisa tulis disini.. Atau mungkin ceritanya yang kurang seru, terlalu banyak hal yang nggak penting atau apa,, bisa koment di bawah ini, ya 😉😉

Oh iya, semua di part ini ada hubungannya buat part selanjutnya😁😁 Arsyad, Mario dan Anak kecil yang hampir ketabrak itu. Eh ada yang nunggu, nggak nih 🤔🤔

😚😚

🌺Maaf dan Terima Kasih🌺

Continue Reading

You'll Also Like

33.5K 3.9K 24
Kehidupan seorang gadis tangguh, yang sejak kecil hidup tanpa kasih sayang dan cinta. Selalu menjalani hidup sendiri hingga saat ia menginjak usia re...
449K 1.8K 4
⚠️ pindah ke FIZZO⚠️ GRATIS, NO COIN Genre : Adult Romantis. Cerita ini ringan, nggak terlalu emosional kaya ceritaku yang lain. Semoga diterima, sem...
6.1M 727K 61
SUDAH TERBIT & TERSEDIA DI GRAMEDIA/ TOKO BUKU ONLINE TERPERCAYA Bagaimana jika ia yang selalu menyakitimu, tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang...
266K 17.2K 38
Sebuah kisah perjuangan sarah merawat 4 anak nya yang masih kecil sebagai single parent yang ditinggal suaminya 'Arfa' demi wanita bernama 'Riska'