Rajata Series 1 : Secret Miss...

By Rasyaad

111K 4.4K 166

Hai semua, aku kembali dengan cerita baru ya Ini Kisah salah satu anak Vena-Kevin, tapi cerita ini bisa dibac... More

Secret Mission for Love - 1
Secret Mission for Love -2
Secret Mission for Love 3
Secret Mission for Love - 4
Secret Mission for Love - 5
Secret Mission for Love - 6
Secret Mission for Love - 7
Secret Mission for Love - 9
Secret Mission for Love - 10

Secret Mission for Love - 8

4.4K 445 33
By Rasyaad

Jangan lupa tinggalkan jejak kalau suka, kalau banyak yang typo silahkan coment 🙂🤭 soalnya nggak sempat edit

Selamat Membaca
🍄🍄🍄

Nara menghela nafas panjang, ketika semua pekerjaannya telah selesai semua. Mata cantiknya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang susah menunjukkan pukul 5 sore. Nara menyadari jika jam pulang kerjanya sudah telat satu jam dari jam pulang yang biasanya. Ini semua karena Nara harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum dirinya melakukan perjalanan dinas ke Bali besok.

Sejujurnya Nara ingin sekali segera pulang dan mengguyur badannya yang sudah terasa lengket dengan air hangat agar tubuhnya bisa sedikit rileks. Apalagi dirinya juga harus menyiapkan beberapa perlengkapannya dan Kenzie yang harus dibawanya besok.

Namun sebelum pulang, Nara harus menyerahkan beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera oleh atasannya, mengingat pekerjaan di Bali menghabiskan waktu sekitar 4 hari.

Nara mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum memutuskan masuk ke dalam ruangan Aron. Ketika suara maskulin dari dalam menyuruhnya untuk masuk, Nara langsung menekan gagang pintu dan membukanya.

“Pak ini beberapa dokumen yang harus Bapak tanda tangani segera.” Ucap Nara sambil meletakkan berkas yang tengah dia bawa di atas meja kerja Aron. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Aron, namun tangan laki-laki itu dengan lincah memeriksa setiap berkas yang di bawa Nara dan membubuhkan tanda tangannya pada beberapa kertas yang sudah dia periksa.

“Hanya ini?” tanya Aron datar, ketika berkas itu telah dia periksa semua.

“Iya Pak. Karena pekerjaan saya sudah selesai semua, sekalian saya minta ijin untuk pulang dulu kepada Bapak.”

Meskipun sebenarnya tidak perlu namun demi sopan santun terhadap atasan, Nara tetap pamit kepada Aron. Sekesal dan segondok apapun Nara pada Aron, dirinya tetap selalu berusaha sopan dan menghargai Aron. Karena bagi Nara di manapun tempatnya bos itu selalu benar.

“Tunggu sebentar!” Nara mengurungkan niatnya yang hendak membalikkan tubuh saat mendengar perintah Aron.

“Bapak membutuhkan sesuatu?”

“Kita pulang bersama.” Nara mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Aron.

“Mobil Bapak rusak lagi?” tanya Nara bingung. Pasalnya selama ini Aron tidak pernah pergi bersamanya di luar urusan kantor, kecuali dulu saat pertama kali Aron datang ke perusahaan ini. Nara bertanya-tanya jika memang mobilnya rusak, kenapa tidak minta diantar pakai mobil kantor saja?

“Tidak. Justru saya mau mengantar kamu pulang.”

“Eh ... Tidak perlu Pak. Saya bawa mobil sendiri.” Ucap Nara sedikit canggung.

“Saya tahu. Mobil kamu biar diantar sopir saya.” Jawab Aron tenang.

“Tapi Pak, rumah saya dengan tempat tinggal Bapak kan beda arah.” Nara masih berusaha menolak ajakan atasannya ini. Sesungguhnya Nara sangat menghindari berdekatan dengan Aron kecuali untuk urusan pekerjaan. Karena dia menyadari terkadang jantungnya mulai berulah, dengan bekerja dua kali lebih cepat jika mereka berdekatan.

“Ini perintah dan saya tidak mau dibantah!” Nara langsung diam ketika mendengar nada bicara Aron yang berubah tajam. “Lagi pula saya mau meminta izin pada orang tua kamu.” Lanjut Aron lagi saat melihat Nara hanya diam.

“Minta izin untuk apa?” Aron berdecak kesal ketika melihat Nara yang banyak bertanya hari ini.

“Meminta izin untuk membawa putri dan cucunya ke Bali besok.” Jawab Aron datar dengan tatapan tajam yang tidak mau dibantah.

Dasar Arogan. Tapi itu hanya bisa Nara teriakkan di dalam hati.

“Sepertinya tidak perlu Bapak meminta izin langsung pada orang tua saya. Orang tua saya bukan orang yang ribut soal pekerjaan saya. Mereka juga tahu kalau perjalanan dinas seperti ini sudah menjadi salah satu tugas dari pekerjaan saya.” Sungguh Nara tidak habis pikir dengan atasannya ini. Buat apa repot-repot untuk meminta izin langsung kepada orang tuanya.

“Kenapa jadi kamu yang mengatur saya? Di sini bosnya siapa?” Tanya Aron dengan nada sinis.

“Ya ... Bapak!” Jawab Nara sambil meringis.

“Kalau begitu terserah saya! Kamu tinggal mengikuti perintah saya apa susahnya? Kenapa kamu harus selalu mendebat perintah saya?” Aron segera melangkahkan kakinya, bermaksud berjalan keluar dari ruangannya. Namun langkahnya terhenti ketika menyadari jika Nara tidak mengikuti langkahnya.

“Kenapa diam saja? Kamu mau tetap di sini atau pulang?” Aron mengangkat satu alisnya saat menatap Nara.

“Pulang Pak.” Jawab Nara dengan lirih. Sejujurnya dirinya enggan pulang dengan Aron, namun Nara tidak punya pilihan lain selain menurut dengan perintah sang atasan.

“Kalau begitu ayo keluar dan segera ambil tas kamu!” Selain mengangguk pasrah, apalagi yang bisa Nara lakukan?

Setelah mengambil tas tangannya yang memang sudah Nara siapkan sejak tadi sebelum masuk ruangan Aron, Nara akhirnya mengikuti langkah kaki Aron. Mereka berdua berjalan beriringan ketika menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai satu, karena Aron berjalan pelan berusaha menyamai langkah Nara.

Gedung tempat Nara bekerja sebenarnya memiliki 30 lantai, namun ruangan CEO nya ada dilantai 29. Karena khusus di lantai teratas gedung ini atau lantai 30, berisi ruang istirahat dan ruang hiburan khusus untuk keluarga pemilik perusahaan dan sebuah taman di rooftop. Tidak ada yang pernah menaiki lantai 30 selain keluarga inti dari kalangan Rajata saja.

Kantor inti Rajata Corp itu hanya memakai sekitar 10 lantai dari gedung ini, sisanya disewakan untuk kantor perusaan lain. Gedung ini juga memiliki klinik kesehatan dan supermarket mewah yang masih termasuk dalam bisnis Rajata Corp juga.

Nara bertanya-tanya entah seberapa kaya dinasti Rajata ini dengan gurita bisnisnya yang ada dimana-mana, mulai dari properti, pertambangan, perhotelan dan rumah sakit. Jangan lupakan bisnis Retailnya juga. Nara yakin menghitung kekayaan keluarga Rajata pati akan memakan waktu yang lumayan lama. Jadi dari pada pusing untuk hal unfaedah, lebih baik tidak usah menghitungnya.

Selama didalam lift tidak ada pembicaraan apapun dari kedua orang yang berbeda gender itu. Ketika lift tiba di lantai 1 dan terbuka, Nara memutuskan berjalan di belakang Aron karena sat ini lobby sedang ramai dengan karyawan yang akan pulang kantor. Nara hanya tidak ingin dirinya dinilai sok akrab dan sok dekat dengan Aron, ketika mereka terlihat jalan bersisian.

Tanpa Nara duga, tiba-tiba Aron berhenti melangkah, membalik tubuhnya dan menatap Nara tajam. Nara hanya menatap Aron dengan tatapan bingung.

Aku salah apa lagi Ya Tuhan? Itu kenapa mata tajam banget natap aku?

“Ada apa Pak?” tanya Nara ragu-ragu.

“Kenapa kamu berjalan di belakang saya?” Tanya Aron datar dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

“Hah?” Nara benar-benar tidak menduga jika bosnya itu rela berhenti di tengah lobby hanya untuk bertanya hal yang tidak penting seperti ini.

“Jalan di samping saya Lova!” Aron berucap tegas dengan nada yang tidak bisa dibantah.

“Maaf Pak, sejujurnya saya tidak enak dengan karyawan lain Pak. Saya tidak ingin kalau nanti hanya gara-gara saya berjalan disamping bapak, kita jadi bahan gosip orang satu kantor.” Ucap Nara pelan sambil toleh kanan dan kiri, seolah memastikan tidak ada orang lain yang mendengarnya bicara.

Mendengar jawaban Nara, Aron hanya menatap sang sekretaris dengan tatapan penuh arti.

“Dan kamu pikir saya peduli?” Tanya Aron sarkas, setelah diam beberapa saat.

Hei situ nggak peduli tapi eike peduli banget bos.

Selama ini Nara memang sangat menghindari gosip dengan laki-laki manapun di kantor ini. Dirinya berusaha menjaga jarak dengan siapapun laki-laki yang berusaha mendekatinya.
Nara hanya tidak ingin pusing dan sakit hati mendengar ghibah dari para netizen kantor. Mengingat jika statusnya yang janda akan bisa mendatangkan gosip yang tidak-tidak untuk kedepannya.

Entah kenapa di negara ini status janda itu identik dengan hal negatif, kesalahan sedikit saja pasti sudah banyak orang yang dengan senang hati menghujatnya. Padahal Nara yakin setiap wanita yang menikah tidak pernah ada yang bercita-cita menjadi janda dikemudian hari, entah itu karena ditinggal mati suaminya atau karena perceraian.

Melihat Nara yang hanya diam tidak merespon ucapannya, Aron menjadi gemas sendiri. Laki-laki itu berdecak kesal sebelum melakukan tindakan diluar ekspektasi Nara.

“Ck ... Kelamaan mikir!” Dan setelah mengatakan itu Aron langsung berjalan sambil menggenggam tangan kanan Nara. Nara hanya menatap tangan atasannya yang menggenggam erat tangannya. Otak Nara mendadak blank hanya karena skinship diantara dirinya dan Aron. Hingga akhirnya Nara hanya menurut tanpa perlawanan. Saat kesadarannya kembali dari keterpanaan, semuanya sudah terlambat karena mereka menjadi pusat perhatian saat ini.

Hampir semua pasang mata yang ada di lobbi memperhatikan orang nomor satu di perusahaan ini yang tengah berjalan bersisihan bersama dengan sekretarisnya. Namun bukan itu yang menjadi fokus mereka, melainkan tangan atasan mereka yang menggenggam erat tangan sekertarisnya. Beberapa wanita yang bergerombol saling berbisik, layaknya sekumpulan lebah yang tengah mencari serbuk sari. Hal itu tidak luput dari pengamatan Nara. Nara berusaha melepaskan tangan Aron yang membelit tangannya, namun percuma saja karena tenaganya tidak sebanding dengan tenaga laki-laki itu.

“Pak kita jadi pusat perhatian,” cicit Nara pelan sambil menunduk. Wajah Nara sudah merah padam karena malu. Nara yakin mulai besok hidupnya yang semula tenang pasti akan berubah total karena gosip yang tersebar di kantor ini.

“Biarkan saja, mereka punya mata gunanya memang untuk melihat!” ucap Aron dengan tenang.

Jangan lupa mereka juga punya mulut untuk nyinyir dan bergosip. Ingin sekali Nara meneriakkan kata itu sambil memukul kepala Aron, agar Aron sadar jika yang dilakukan laki-laki itu berpotensi merusak ketenangan hidupnya.

Namun yang Nara lakukan justru hanya diam dan pasrah saja saat dirinya diseret menuju mobil atasannya yang arogan ini. Bagi Nara apapun argumen yang dia utarakan akan percuma saat menghadapi Aron dalam mode bebal seperti ini. Nara hanya harus menyiapkan kesabaran ekstra serta menebalkan telinga jika mendengar gunjingan-gunjingan dari netizen kantor yang merasa maha benar.

Setelah sampai disamping mobilnya, Aron langsung membukakan pintu mobil untuk Nara. Saat yakin Nara sudah masuk dan duduk dengan nyaman, Aron segera memutari mobilnya menuju kursi kemudi. Namun sebelum masuk, Aron memberikan perintah kepada sopirnya agar membawa mobil Nara ke rumah wanita itu.

Didalam mobil Nara menghela nafas panjang. Nara mengingat-ingat dosa besar apa yang dia lakukan sehingga harus terjebak dalam situasi tidak mengenakkan seperti ini bersama orang yang dia hindari.

Sepanjang perjalanan hanya di isi dengan kesunyian, karena baik Nara maupun Aron sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara benar-benar merasa tidak nyaman. Besok-besok jika atasannya itu berniat mengajaknya pulang bersama lagi, Nara berjanji akan berusaha sekuat mungkin menolaknya.

Mobil Aron memang mobil mahal dengan fasilitas yang sangat memanjakan pengendaranya. Namun entah kenapa Nara merasa jika duduk di jok empuk mobil mewah ini, serasa duduk di atas batu sangking tidak nyamannya.

Kesunyian itu dipecah oleh ponsel Nara yang tiba-tiba berbunyi nyaring. Nara mengambil langsung ponselnya dari dalam tas, nama Bundanya terpampang nyata di layar ponselnya.

“Assalamualaikum Bun.” Takut ada sesuatu hal yang mendesak, Nara langsung menggeser tombol hijau di layar tanpa pikir panjang.

“Kamu belum pulang nak?” Tanya bunda Nara diseberang sana dengan nada khawatir.

“Ini dijalan bun, sebentar lagi juga sampai. Kenzie nggak apa-apa kan bun?”tanya Nara panik. Pasalnya Nara tahu jika bundanya itu tidak akan meneleponnya saat kerja kecuali ada hal yang penting.

“Kenzie baik, ya sudah kamu hati-hati dijalan. Bunda omongin kalau kamu sudah sampai rumah aja.” Setelah itu panggilan itu ditutup sepihak oleh bundanya setelah mengucapkan salam.

“Kenapa?” Suara maskulin di sampingnya mengalihkan pikiran Nara dari sang bunda.

“Eh ... Tidak apa-apa Pak. Bunda saya cuma menyuruh saya agar cepat pulang.” Jawab Nara seadanya.

“Mas!” Ucap Aron datar sambil melirik Nara sekilas.

“Maksudnya?” Nara benar-benar tidak paham dan gagal fokus dengan jawaban Aron. Dia tadi bilang apa kenapa respon atasannya itu begini.

“Kalau diluar kantor panggil saya Mas, umur saya memang lebih tua dari kamu tapi tidak setua Ayah. Jadi jangan panggil Bapak apalagi kalau kita sedang berdua!” Jelas Aron masih dengan nada datar sedatar papan cucian.

“Eh ... Tapi saya tidak enak Pak. Entah kita sedang berdua tau tidak, tapi Bapak tetap atasan saya!” Nara mencoba berkelit dari permintaan aneh Aron. Nara tidak habis pikir kenapa bosnya yang arogan ini meminta hal-hal aneh seperti itu.

“Kalau begitu ini perintah dari saya, kalau kamu tidak mau menjalankannya akan ada hukuman untuk kamu.” Mata Aron melirik Nara tajam, seolah memberi peringatan agar wanita itu tidak mendebatnya lagi.

Tuhan ini laki satu kenapa jadi begini banget? Sedikit-sedikit mengatasnamakan perintah, aku ini sebenarnya bekerja sebagai sekretaris atau prajurit yang selalu harus nurut dengan perintah.

“Mohon maaf Pak, ini bukan jam kerja! Jadi Bapak tidak bisa mengatasnamakan perintah seperti ini. Jika begini namanya Bapak tidak profesional dalam bekerja!” Entah mendapat keberanian dari mana, kali ini Nara Benar-benar siap mendebat Aron.

Melihat Nara yang kali ini ini terlihat lebih berani, Aron memberikan seulas senyum tipis. Namun dimata Nara senyum Aron itu terlihat sebagai seringaian yang menakutkan. Seolah-olah laki-laki itu memiliki sebuah rencana licik agar kemauannya tetap terlaksana.

“Saya hanya memberikan perintah mudah Lova. Saya tidak meminta kamu untuk terjun bebas dilaut lepas, kenapa kamu selalu mengajak berdebat dulu?” tanya Aron dengan alis terangkat satu. Sedangkan Nara diam ditempatnya, karena menyadari apa yang diucapkan Aron itu benar adanya. Namun egonya tetap kekeh ingin mendebat atasannya itu.

“Menurut Bapak mudah tapi menurut saya aneh Pak!”

“Aneh? Di mana anehnya?” Kedua orang yang ada di mobil itu benar-benar tidak ada yang mengalah sehingga perdebatan panjang terpaksa terjadi hanya untuk masalah sepele, seperti nama panggilan.

“Karena tidak ada sejarahnya bos dan sekretaris yang bekerja secara profesional mengubah panggilan mereka dari ‘Pak' menjadi ‘Mas’!” Aron berdecak keras ketika mendengar Nara yang masih tetap menjawab ucapannya.

“Apa hubungannya sebuah panggilan dengan tidak profesional Lova? Toh saya meminta kamu memanggil saya ‘Mas' saat kita hanya sedang berdua saja, terlebih jika di luar jam kantor.”

“Tapi Pak ....” kali ini Nara bingung harus menimpali dengan kalimat apa, karena semua yang diucapkan Aron memang benar adanya.

“Apa? Kamu sudah kehabisan alasan untuk mendebat saya?” Tanya Aron dengan senyum miring nya. Nara diam tidak memberikan respon.“ Diam mu saya anggap persetujuan atas permintaan saya!”

Nara menghela nafas kemudian menganggukkan kepalanya pelan, layaknya orang yang baru kalah perang. Memangnya apalagi yang bisa Nara lakukan selain mengangguk pasrah.

TBC

Terima kasih buat yang sudah mampir ke lapak ini dan meninggalkan jejak 😉

13 April 2020

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 13.1K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
50.3K 5.4K 25
(FOLLOW DULU SEBELUM BACA! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN). Drake, si cowo beralis tebal seperti shinchan memulai kehidupan kampusnya dengan menyenangkan...
7.7K 754 15
[ Sequel Reckless. ] "Aku mengenalnya dengan tidak mengenalnya," - Kim Athena โš ๏ธ Disclaimer โš ๏ธ โ€ข Beberapa tokoh murni berasal dari drama Law School, ...
655K 90.9K 37
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...