Bagian Delapan Puluh Dua.
Ini pake sudut pandang Vano ya gess:(
Selamat membacaaa x)x)x)
Bacanya sambil dengerin lagu Love Story- backsound the legend of the blue seaa, uwuuu:*
•
•
•
🌛
Aku harus mulai darimana?
Sejujurnya, tak ada yang menarik dihidupku sebelum kehadiran seorang Senja Adila.
Aku seorang agen mata-mata. Organisasi intel negara yang dimana Ayahku sendiri memasukkan aku kedalam organisasi gelap itu.
Menjadi mata-mata awalnya bukan keinginanku. Aku sama sekali tak ingin. Tapi, aku dipaksa hingga membuatku terbiasa dengan semua itu.
Kalian masih mau membaca kisahku? Sudah ku bilang tidak ada yang spesial.
Aku hanya seorang anak produk broken home. Jadi, apa yang bisa dibanggakan dari itu?
Ibuku meninggal karna melahirkanku. Ayahku membenciku karna Ibu meninggal karnaku. Intinya, itu semua salahku. Aku tahu tak seharusnya aku hadir di dunia. Tapi, kalau aku tak hadir di dunia siapa yang akan jadi pasangan Adila nanti?
Cewek tolol itu kan cinta mati padaku!
Ya, dia bodoh, goblok, tolol karna mencintai seorang yang berbahaya sepertiku.
Yang waktu itu Dila katakan sesaat setelah dia tahu aku anak profesornya, ku akui benar.
Aku memang yang jatuh cinta lebih dulu padanya. Ya, bangsatnya memang begitu.
Aku menyukainya saat dia versi kecil tersenyum manis padaku. Ku akui aku selalu mengingat senyum itu meski aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Karna, dia orang pertama yang menunjukkan sikap tidak takut padaku. Dia orang pertama yang menatapku sebagai seorang, teman. Ya, memang Dila orang pertama itu. Karna, saat aku diasingkan itu aku belum mengenal Marga.
Saat aku menceritakan dongeng padanya. Dia begitu senang. Matanya berbinar-binar itu yang ku tangkap.
Dan aku sejujurnya tak menyangka jika dia ternyata satu organisasi denganku. Aku ingin berterima kasih pada Marga kalau begitu. Karna sudah memaksaku masuk kedalam organisasi NPO. Karna, disaat itulah aku bertemu lagi dengannya. Untuk sekali lihat saja aku sudah tahu itu pasti dia. Binar matanya tak pernah berubah. Meski lagi-lagi ku akui semakin remaja dia semakin cantik.
Aku ingat saat itu salah satu gengnya memanggil kami. Dan meminta bantuan karna sepertinya kaki dia terkilir. Marga menyenggolku. Aku sebenarnya enggan. Asal kalian tahu saja, aku tak pernah mau menyentuh perempuan. Itu salah satu pantanganku.
Tapi, melihat tatapannya untuk yang kedua kali setelah sekian lama, aku akhirnya menyerah. Ku lemparkan tasku pada Marga yang dengan cekatan di tangkap lelaki itu. Aku lantas berjongkok di belakangnya. Dan ya, kalian pasti tahu ujungnya. Dia terlihat begitu senang. Aku mengabaikan setiap celotehannya. Sebenarnya telingaku agak pening mendengar bacottannya. Untuk seukuran cewek, dia memang banyak bacot. Aku tak suka. Dia sama sekali tak ada sesi feminim khasnya perempuan.
Dan setelah kejadian itu, semuanya berubah. Dia semakin gencar mendekatiku kala itu. Mengatakan gombalan bucin sampai menyatakan perasaannya padaku. Dia suka memenuhi lokerku dengan tulisan-tulisan alaynya. Aku tak suka karna dia begitu suka menganggu privasiku. Sampai aku berani mengancamnya. Tapi, tetap saja dia ngeyel.
Sudah beberapa kali aku mengatainya, mengancamnya, sampai menggertaknya. Tapi yang namanya Adila, cewek paling keras kepala yang begitu memusingkan kepalaku. Aku belum terbiasa dengan kehadirannya waktu itu.
Memberiku kotak bekalnya juga memberiku gombalan receh. Dia memang tak peduli meski itu menurunkan harga dirinya. Apalagi setiap dia menemuiku, sudah bisa dipastikan kami akan jadi pusat perhatian. Itu yang semakin membuatku ingin menjauhkannya dariku waktu itu.
Dia buta apa gimana?
Sudah tahu cantik. Kenapa tidak memacari cowok lain dan berhenti mengangguku?
Eh, tidak-tidak!
Ku tarik lagi kata-kataku!
Tidak boleh! Dia tidak boleh pacaran dengan siapapun!
Dan perlahan namun pasti aku mulai sadar aku menyukainya. Aku menyukai cewek tolol itu!
Hal yang berbeda selalu ku rasakan saat dia berada didekatku. Senyumnya, gelak tawanya, sampai bacotannya. Aku menyukai semua itu. Aku menyukai setiap dia mengejarku.
Aku menyukainya. Menyukainya sampai nyaris gila. Karna memikirkan bagaimana kalau musuh-musuhku mengintainya. Aku sudah memiliki firasat suatu saat akan ada masa dimana musuhku itu bergerak menyakitinya. Aku sadar dia tak seharusnya berada didekatku. Dan yang dikatakan Riksa juga benar. Aku dan dia tak seharusnya bersama seperti dongeng bintang kembar itu.
Karna jika kami bersama salah satu dari kami akan hancur. Dan firasatku lantas benar-benar terealisasikan kala aku mendapat pesan dari musuh bangsat itu. Mengatakan jika Dila berada di tangannya. Aku berang kala itu. Dan tanpa pikir panjang, pergi kesana tanpa membawa pasukan apapun. Aku melakukan jalur nekat kala itu. Aku takut Dila diapa-apakan olehnya. Dan membayangkannya saja sudah membuat kepalaku mendidih bukan main. Rasa ingin membunuhku semakin bergejolak.
Dan bodohnya, aku sadar. Sekuat apapun aku. Aku hanyalah manusia. Aku punya titik lemah. Aku lemah saat musuhku menurunkan semua anak buahnya. Aku bahkan sudah tahu jika aku akan mati saat itu. Aku tak peduli berapa banyak tebasan yang dilakukan mereka. Aku hanya fokus pada Dila. Benar-benar fokus agar gadis itu tak terkena satu goresanpun. Biar aku yang menggantikannya. Ya, ku akui aku sudah secinta itu padanya.
Jangan bilang-bilang Dila, ya.
Didetik-detik terakhir itulah, aku mendengar sohibku bersama timnya menghalau musuh. Aku tersenyum. Setidaknya jika aku yang mati. Dila masih bisa diselamatkan. Saat aku menatapnya dia sudah menangis. Aku membisikkannya kata-kata penenang. Aku merasakan tubuhku kaku semua. Aku membiarkan dia memelukku erat. Asal dia tetap menutup matanya.
Tiba-tiba semua kenanganku dan dia melintas dengan cepat. Seolah pertanda jika aku akan pergi untuk selamanya. Sakit rasanya. Tapi mengingat aku mati karna menyelamatkannya. Aku lega.
Kenangan kami berkelebat di benakku. Tentang bagaimana awal dia mengejarku, menembakku dengan tiga permintaan yang ku berikan, naik Paralayang, liburan di Bali, saat dia tertidur dibahuku, sampai dia yang memutuskanku. Semuanya terputar jelas diingatanku. Bahkan didetik-detik akhir hidupku aku masih berharap agar aku bisa melanjutkan kenangan kami. Aku masih berlaku seegois itu.
Setelah kejadian na'as itu banyak yang ku lupa. Aku koma cukup lama saat itu. Dan aku hanya bisa melihat acara perpisahannya lewat rekaman video. Dengan dia yang meraih juara pertama. Aku bangga padanya. Sungguh. Melihat dia yang melanjutkan kuliah di luar negeri membuatku memiliki keinginan kuat untuk sembuh. Aku harus sembuh dari semua penyakitku. Aku fraktura saat itu dan aku pernah mengalami masa dimana aku hidup dengan mata sebelah. Keadaanku memang seburuk itu.
Aku sedih setiap mendapat berita jika nyatanya gadis itu masih mengharapkanku. Sedih karna aku menjadi sumber kesedihannya. Membuatku semakin ingin menemuinya detik itu juga.
Hari-hari yang ku tunggu tiba, agenku akhirnya menemukan donor mata untukku. Aku bahagia bukan main. Dan disitulah, perubahanku. Iris mata yang ku dapatkan dari pendonor itu ialah warna hijau. Asli hijau.
Setelah bertahun-tahun berobat, aku akhirnya sembuh. Benar-benar sembuh. Aku ingin sekali berterima kasih dengan organisasi agenku. Terima kasih karna mau menyelamatkanku. Itulah juga alasan kenapa aku memilih tetap menjadi anggota agen intel meski Ayah mau membantuku keluar dari itu.
Tidak. Aku tidak akan melupakan jasa mereka. Aku akan selalu menjadi agen FBI. Itu identitasku sedari dulu. Aku tak akan semudah itu melepaskannya.
Akhirnya hari itu tiba. Hari dimana aku bisa bertemu langsung dengan dia. Aku tak pernah sebahagia ini. Di pesta topeng saat itu. Berkat banyak tangan kananku, aku akhirnya tahu jika dia sedang di Venesia.
Aku sudah ingin mengatakannya saat itu. Aku ingin membuka topengku saat ia terpukau dengan iris milikku. Aku ingin sekali memeluknya dan membisikkan kata-kata yang selama ini hanya bisa ku tahan. Tapi, aku masih sepengecut itu. Aku masih tak berani hanya untuk sekadar memanggilnya. Apalagi saat mendengar dia dipanggil oleh seorang cowok yang berlari kearah kami. Aku memilih pergi saat itu. Berbaur dengan orang lain sehingga Dila tak bisa menemukanku.
Aku sempat melihat dia mengangkat kepalanya untuk mencari keberadaanku. Dari sekian banyak manusia di pesta itu. Dan ia berhenti mencariku saat cowok yang ku lihat berlari tadi tampak berbicara dengan Dila. Dari sekali lihat saja, aku sudah tahu cowok itu rivalku.
Aku merutuki diriku yang entah kenapa sepengecut ini. Aku sudah sembuh. Tapi, tak punya keberanian untuk menemui gadisku. Entah aku juga tidak tahu alasannya. Dan saat itu, aku terus memata-matainya. Mengikutinya kemanapun ia pergi. Salah satunya di tempat bersejarah itu, Rialto Bridge.
Dan saat sampai disana aku melihat ia menunduk seraya menutup wajahnya. Aku melihat badannya gemetar. Dan aku langsung tahu dia tengah apa.
Menangis.
Dilaku menangis.
Aku merasakan sesak melihatnya. Tapi, aku memilih menatapnya lebih dulu. Melihatnya yang terlihat bodo amat dengan orang-orang yang memperhatikannya. Bahkan disaat menangis begitu, tingkahnya lucu sekali. Bagaimana tidak, dia menangis seraya meminum matchanya kuat-kuat.
Aku perlahan melangkahkan kakiku saat dia mulai beranjak dari sana. Dia menunduk membuat aku ingin cepat-cepat memeluknya. Aku sengaja berhenti saat langkah kami nyaris bertemu. Dia masih saja tak mau mendongakkan kepalanya.
Kau cantik, Sayang. Seandainya aku bisa berkata begitu.
Hingga akhirnya, sesuai perkiraanku dia benar-benar menabrakku. Ia terlihat cepat-cepat mengambil sisa minumannya yang tumpah. Sebagiannya mengenai sepatuku. Hal yang membuatku terkejut ialah tatkala dia dengan tangan halusnya membersihkan sepatuku.
Astaga, aku tersentuh dibuatnya. Aku cepat-cepat memundurkan sepatuku. Dan didetik itulah dia langsung mendongak, aku tersenyum melihat dia termangu.
Iya, aku kembali, Adila. Aku kembali untukmu.
Dia lantas berdiri. Masih seperti tak percaya melihat kehadiranku. Lantas saat ia mulai sadar, ia langsung menghambur kedalam pelukanku. Aku menutup mataku. Jujur aku juga merindukan pelukan ini. Aku merindukan Dilaku. Dia menangis dibajuku. Aku membalas pelukannya dan mengucapkan kata-kata yang membuat tangisnya semakin pecah.
Dan ya sudah kalian tebak, dia seperti seolah tak bisa lepas dariku. Memelukku terus-terussan membuatku kesal juga lama-lama. Meskipun begitu, ku akui saat dia menangis untukku membuat perlahan perasaanku menghangat.
Dila tak pernah berubah. Sama seperti perasaanku.
Aku ingat bagaimana lucunya dia saat terbangun di kamar penginapanku. Lantas, saat aku datang dia langsung memelukku. Bahkan, dia tak malu-malu memelukku di bandara. Membuat aku sendiri yang malah risih.
Sampai dimana, dia mengenalkan aku dengan profesornya. Aku akui aku sangat terkejut. Tak menyangka jika orang yang selalu dibanggakan Dila itu, adalah Ayahku. Orang yang sudah tega menyiksaku, membantaiku, sampai aku tak sadar aku sudah sedingin itu.
Aku menjadi manusia anti sosial, anti empati dan simpati. Sarkas dan cuek sudah menjadi ciri khasku.
Sampai gadis itu mengubahku sepenuhnya. Aku merasa menjadi manusia normal saat dia disampingku. Aku merasa memang dialah rumahku. Sehingga seberat apapun permintaannya aku dengan rela mengabulkannya. Aku bahkan dulu pernah bertaruh nyawa untuknya. Tentu saja permintaan Dila ku kabulkan dengan segera. Meski aku agak sedikit marah saat dia memeluk cowok yang katanya sahabatnya itu.
Cih, aku yang sekali lihat saja sudah tahu jika cowok itu menyukainya.
Dasar gadis payah.
Sehingga aku langsung punya pikiran untuk menghukumnya. Dan oh ya, melamarnya juga. Sejak aku sakit, aku sudah berniat mengikatnya. Aku sudah menyiapkan cincin lamaran untuknya. Hanya saja aku tak tahu kapan saat yang pas aku harus memberikannya.
Aku senang melihat raut wajah ketakutannya kala aku pura-pura ingin menjatuhkannya dari atas bangunan. Padahal dia seharusnya tak perlu takut begitu. Aku mana mungkin melepaskannya. Melihat wajahnya semakin pucat pasi, aku akhirnya membawanya kembali. Dia lagi-lagi mengataiku karna aku melamarnya dengan cara anti mainstream. Padahal itu ku lakukan karna sudah membuat hatiku panas. Ya, aku cemburu melihat dia berpelukan dengan laki-laki selain aku.
Entah kenapa, setiap melihat wajah unyunya, aku tak tahan untuk tidak menjahilinya. Lagi-lagi dia kesal setengah mati padaku. Tapi, melihat itu ada kebahagiaan tersendiri buatku. Hingga, aku akhirnya kasihan juga melihat wajah cemberutnya. Aku kemudian mengeluarkan cincin yang sudah ku siapkan jauh-jauh hari. Memberikannya membuat dia bahagia bukan main.
Secepat itu raut wajahnya berubah.
Dia memelukku. Mengucapkan banyak terima kasih yang langsung membuatku terenyuh. Astaga, dia nyatanya berhasil memilikiku seutuhnya. Apalagi saat mendengar dia mengucapkan kalimat dengan wajah paling manis itu. Aku benar-benar tak tahan untuk tidak membalas ciumannya. Bukannya memang dia dulu kan yang terjerat pesonaku? Jadi, apa salahnya aku membalas?
Ku balas pagutannya dengan penuh damba. Aku hanya ingin mengungkapkan seberapa penting kehadirannya bagiku. Faktanya, bukan hanya Dila yang terjerat gravitasiku.
Tapi aku, Erlangga Stevano benar-benar mengakui jika sepertinya gravitasi Dila lebih besar dariku.
•
•
•
🌛