Bel pulang sekolah berbunyi. Aku membereskan peralatanku lalu memasukkannya ke dalam tas ku. Semua siswa-siswi di kelasku berdesakan keluar dari kelas. Entah apa yang membuat mereka berdesakan, yang jelas, suasana kelasku mendadak sunyi.
Akhirnya, aku tinggal sendiri di dalam kelas. Mataku melirik ke arah ponsel yang ku pegang. Berharap ada notifikasi dari Arsen, tetapi nyatanya sampai saat ini notifikasi itu belum juga ku dengar.
Aku melampirkan tasku ke bahu kanan, berjalan santai menuju ke ambang pintu.
Seseorang datang dari luar pintu. Mendorong kasar pintu kelasku, lalu menutup nya perlahan. Mataku menatap lurus ke arahnya.
Ia menatapku tajam. "Sekarang lo sendiri, Indri. Arsen udah pulang duluan sama Nathan. Cowok itu lagi sakit perut, jadi Arsen ninggalin lo tuh."
"Mau lo apa?" Tanyaku to the point.
Gabriel tersenyum miring, lalu mendekat ke arahku. Tatapannya menatapku remeh. "Apa maksud perkataan lo di kantin tadi?"
Aku terkekeh geli. "Kenapa? Lo takut rahasia lo kebongkar, terus nggak ada lagi orang lain yang akan menyanjung nama lo sebagai cewek yang berbaik hati?"
"Nggak usah ngancam gue! Gue bisa bikin lo menderita dan angkat kaki dari sekolah ini!" Ancamnya membuatku semakin yakin dengan apa yang diucapkan oleh Arsen tempo hari.
Ternyata benar, Gabriel lah pelakunya.
Aku tersenyum, mengusap pelan bahu Gabriel tetapi cewek itu langsung menepis kasar tanganku. "Nggak kebalik? Bukannya lo yang angkat kaki di sekolah ini dan lo masuk penj–"
Plaak!
Tanpa aba-aba Gabriel menamparku. Dadaku bergemuruh merasakannya. Cewek itu lagi dan lagi berani menamparku. Aku benar-benar tidak tahan.
"Lo cuma Anak miskin! Ingat, nggak usah ancam-ancam gue!" Aku mengusap kasar pipi bekas tamparanku.
"Gue kasihan sama lo. Otak pinter, wajah cantik, tapi hati busuk. Lo itu kaya karena harta warisan gue, Gabriel. Gue tinggal ngambil apa yang Ayah gue rampas dan lo jatuh miskin!"
Ucapanku membuat Gabriel emosi. Cewek itu meraih rambutku ingin dijambak. Aku menghalangi tangan Gabriel, lalu menghempas kasar lengan Gabriel.
"Sialan lo!! Semua itu gara-gara nyokap lo yang miskin! Makanya Ayah lo kepincut sama Nyokap gue! Ibu lo yang udah kayak orang gila masih mengharapkan bokap gue!"
Aku menampar kedua pipi Gabriel. Sungguh, perkataan Gabriel menusuk tepat di ulu hatiku. Mati-matian aku berusaha untuk menahan air mata sialan ini.
Gabriel memegang kedua pipi bekas tamparan dariku. "Pantesan lo kayak gini. Orang tua lo nggak bener semua. Gue bersyukur karena Tuhan udah memperlihatkan bagaimana Ayah gue yang sebenarnya."
Gabriel dengan kasar kembali menamparku, tetapi sebuah tangan nan besar menahan lengan tangan Gabriel. Mataku membola saat seseorang yang ku tunggu-tunggu tengah berada disini.
"Lo udah nekat ternyata." Ujarnya membuat Gabriel menatapku tajam.
Cowok itu menghempas kasar lengan tanganku. Arsen melirikku, lebih tepatnya melirik bagaimana keadaanku. Sedikit betantakan di area rambut.
"Lo nampar Indri?" Tanyanya dengan nada yang seram. Bahkan aku yang mendengar pun sedikit ketakutan. Gabriel tersenyum miring. Kedua tangannya dilipat ke dada. "Kalau iya kenapa? Lo juga mau nampar gue?"
Arsen menatap tajam Gabriel. "Minta maaf sekarang."
Gabriel terkekeh geli. "Lo mau jadiin gue bahan ejekan kayak Lidia tadi?" Arsen tidak menjawab ucapan Gabriel. Cewek itu tersenyum miring. "Sayangnya, gue nggak mau, Arsen." Ujarnya sembari melirikku.
Arsen mengeluarkan ponsel di sakunya. Mengetik sesuatu lalu mengarahkan sebuah video yang membuatku membelalakkan mataku.
Gabriel tertawa yang membuatku sedikit merinding. "Akhirnya lo tau juga, Arsen."
Mataku menatap lurus ke arah ponsel Arsen. Dimana adegan demi adegan yang dilakukan oleh Gabriel sendiri membuatku ingin mual.
Ini terlalu menjijikkan!
"Lo–"
Gabriel memotong perkataanku. "Simpel. Kalau nekat lo kasih tau siapa gue sebenarnya, gue bakal ngelakuin hal yang sama ke orang-orang terdekat lo, termasuk Alaska!"
Emosiku langsung memuncak. Jujur, aku benar-benar tidak menyangka jika Gabriel seperti itu. Dirinya terlalu seperti malaikat hingga aku menyadari jika sisi cewek itu mempunyai sisi kelamnya yang terlalu menakutkan bagiku juga semua orang.
"Gue nggak takut. Gue lebih kenal lo dari Alaska, Gabriel."
Cewek itu tertawa. Aku menatapnya tajam. "Jangan sampai lo ngelukain Alaska! Dia itu tunangan lo, ingat itu!"
Gabriel tampak mengabaikan ucapanku. "Lo mau orang-orang terdekat lo nggak ngerasin apa yang gue lakuin di video itu, kan? Lo cukup tutup mulut dan nggak usah belagu seperti ini."
"Lo nggak normal, Gabriel!!"
"Baru tau lo sekarang?" Tanyanya membuatku ingin mencakar wajahnya habis-habisan.
Gabriel melangkah mendekatiku. Mengelus pelan bahuku lalu membisikkan sesuatu. "Siapapun yang lo kasih tau siapa gue sebenarnya, gue nggak akan segan-segan melenyapkan mereka yang tau siapa gue."
Aku menatap tajam matanya. Tatapannya begitu meremehkanku. Aku harus bertindak cepat agar orang-orang di dekatku aman.
Cewek itu keluar dari kelasku. Aku menatap kepergiannya tajam.
"Ini yang dimaksud Alaska agar aku jauhin Gabriel?" Monologku. Aku memilih untuk pulang ke rumah, setidaknya aku butuh waktu untuk memikirkan sesuatu agar Gabriel tidak mencelakai orang lain lagi.
***
Om Panji datang ke rumahku. Om ku itu belum menikah. Umurnya masih 27 tahun. Sangat muda, pikirku. Aku yang baru datang langsung menyalimi tangannya. Laki-laki itu tampak membenarkan letak bunga yang sengaja ku tanam di pot depan rumah.
Om Panji juga menyirami bunga lainnya yang ku tanam. Aku tersenyum sekilas. "Makasih Om, udah rawat bunga Indri."
Om Panji mematikan kran air yang menyambung langsung ke selang. "Gapapa. Om juga senang rawat tanaman, di Amerika Om punya banyak bunga kok."
Aku mengangguk. "Om, aku mau berhenti makai baju yang beginian, boleh?"
Om Panji menatapku sekilas. Kembali berkutat pada tanaman yang tumbuh di pot bungaku. "Boleh. Itu hak kamu, Indri. Kan kamu sendiri yang makai."
"Bukan aku, tapi Arsen yang nyuruh Indri buat jadi badgirl di sekolah. Cowok itu benar-benar bikin Indri jadi perempuan badgirl. Katanya biar cocok. Indri benar-benar nggak nyaman, Om."
"Kalau nggak nyaman, nggak usah di pakai. Jalani apa yang kamu suka." Aku mengangguk, melangkah menuju ke pintu masuk.
Tetapi suara Om Panji menghentikan langkahku. "Aman nggak di sekolahnya tadi?" Aku menoleh. Tatapan mata Om Panji seakan membuatku tak berkutik. Aku menggangguk mantap lalu memasuki kamarku yang ukurannya tak seberapa.
Tanpa sepengetahuanku, Om Panji menelfon seseorang. Entah lah, ku harap semuanya baik-baik saja.
Aku merebahkan tubuhku di kasur yang mulai lapuk. Jujur saja, besi karatannya bergesek hingga menimbulkan suara. Aku sudah terbiasa hidup miskin, meskipun aku sempat menginyam jadi orang kaya selama tiga tahun lamanya.
Aku memikirkan tentang kejadian tadi. Aku menatap telapak tanganku. Tangan ini sudah pernah menampar seseorang. Jujur, di dalam hatiku benar-benar tidak tega. Tetapi entah kenapa semenjak aku bersama dengan pacar abal-abalan ku, semuanya berubah.
Dari aku yang cuma bisa diam dan pasrah dengan semuanya, cowok itu datang dan mengajakku agar terlihat kuat dan tidak lemah. Ternyata menjadi orang yang cuek dan tidak pedulian itu lebih menyenangkan.
"Gabriel nggak normal, dia bukan cewek berhati malaikat, tetapi berhati Iblis. Cewek itu benar-benar psikopat."
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku merubah posisi tidurmu menjadi terlentang. Nama yang tertera di layar ponselku membuatku menghela nafasku berat.
Jujur, aku benar-benar tidak ingin berurusan dengannya.
Dengan paksa, ku angkat ponsel ku. Ku genggam ponsel baruku lalu mendekatkan ke telinga.
"Kamu sampai dengan selamat, kan?!"
"Iya, gue tutup telfonnya—
Alaska memotong perkataanku. "Aku mohon malam ini kamu jangan pergi bekerja!"
Dahiku berkerut. Mendengar ucapan Alaska membuatku tak paham. Jangan bilang kalau ini cuma setingan belaka.
"Terserah apa yang lo katakan. Gue nggak peduli!"
"Jangan Indri! Aku minta sama kamu malam ini aja. Gabriel bakal—"
Aku memotong perkataannya cepat. "Gue nggak takut dengan Gabriel. Jika gue mati sekalipun, tak masalah! Tidak ada hubungannya dengan lo!! Sialan!!"
Ya Tuhan, tolong maafkan aku yang telah berkata kasar kepada cowok itu.
"Aku bilang nggak ya enggak! Pokoknya aku nerima laporan kalau kamu nggak kerja malam ini, titik!"
"Terserah!!" Ucapku final. Aku dengan kesal memutuskan panggilanku dengan Alaska.
Aku memijat pelipisku pelan. "Apa lagi ini?!" Jujur, semenjak kejadian di rooftop hari itu membuat semuanya tampak kacau.
"Astaga!!"
Demi apa, aku benar-benar terkejut dengan suara pecahan kaca dari jendelaku. Sumpah, sebuah batu yang telah di rekat kan kertas itu hampir mengenai kepalaku. Aku benar-benar berterima kasih karena Tuhan menyelamatkan hidupku.
Masih dengan terkejutanku, aku berjalan mendekati sebuah batu yang telah di rekatkan sebuah kertas yang dilipat. Aku membuka kertas itu. Membaca satu persatu kata demi kata yang diukir dengan sebuah darah?
"Selamat datang di dalam permainan gue, Indri. Gue pengen lihat, sekuat apa lo nahan berita kematian di sekolah kita nantinya. Gue, atau lo yang menang dalam permainan ini. Ingat, kalau sempat saja lo minta tolong sama Arsen atau Alaska, gue nggak bakal segan bunuh Ibu lo!"
Tanganku bergetar memegang kertas itu. Lagi dan lagi, aku dihadapkan sebuah masalah. Permasalahan ini benar-benar rumit. Aku kewalahan.
Sebuah notifikasi muncul di ponselku. Aku membuka pesannya. Dahiku berkerut melihat nomor yang tidak ku ketahui mengirimkan sebuah pesan.
Unknown.
085687xxxx
Lo udah baca surat itu kan? Okey. Permainannya mudah. Kalau lo sempat minta bantuan seseorang, nyawa Alaska bakalan melayang!
Sial! Gabriel benar-benar nekat melakukannya.
Me
Kenapa lo lakuin ini? Apa yang lo mau dari gue?!
Unknown
085687xxxx
Gue pengen lo lenyap dari hidup ini. Lo itu mengganggu rencana gue.
Me
Rencana apaan!
Unknown
085687xxxx
Nanti lo bakal tau sendiri. Selamat berjuang, Indri Mayrani.
Aku langsung menghempaskan ponselku ke kasur. Berusaha meredam emosi sesulit ini. Aku harus berfikir keras rencana apa yang dimaksud dengan Gabriel.
Rencana apa? Dan apa maksud aku mengganggu rencananya?
Mau tidak mau, aku harus berjuang sendiri. Aku ingin meminta tolong kepada Arsen, tetapi aku masih menyayangi nyawa mereka. Aku benar-benar tidak ingin jika Gabriel akan nekat melakukannya.
Semoga permasalah ini cepat selesai, semoga saja.
Tbc.
Jangan lupa, follow Putriatun.