“Widih, rapi bener si Bambang. Mau ke mana lu?”
Taeyong yang ditanya cuma nyengir sambil menyugar rambut pendeknya.Dia rindu rambut panjang, selama pendek merasa ada yang kurang. Hm, sepertinya dia perlu memanjangkan rambut lagi. Masih belum puas dengan rambut panjangnya kemarin.
“Sombong amat. Ditanya malam diem, wae.” Johnny mencibir masih dengan mata mengamati temannya itu. “Pacaran lu, ya?”
“Malam minggu, coy.”
“Sok-sokan malam minggu,” balasnya. “Beneran jadi budaknya Jisoo lo.”
Memang salah menjadi budak kekasih sendiri? Apa yang dilakukan itu disertai niat dan keikhlasan. Oh, jelas ada cinta ikut andil juga dikebudakannya.
Selesai menyugar rambut dan berkata, “Oke!” Sambil mengedipkan mata untuk diri sendiri, Taeyong berbalik dan mendekati Johnny. Lantas menepuk bahu kiri temannya itu. “John, dengar ...,” ada jeda sesaat di suaranya, dengan mata Johnny menanti-nanti hal tersebut, “satu perempuan cukup.”
Kilatan matanya ketara serius, kadang terselip kilatan jenaka pula. Johnny bergeming; menunggu lanjutan nasehat Taeyong. Mau tahu seberapa bijaknya nasehat seorang mantan bajingan.
Bukannya mendengar ucapan apa pun, lelaki itu malah mengedipkan mata sembari mengambil jaket dan kunci mobilnya.
“Cabut, Bro!” Berbalik menuju pintu. Tangannya menggapai gagang, tetapi belum berniat mendorong pintu keluar. “Tanggal satu kosongin jadwal lo. Sekalian ajakin salah satu di antara cewek lo itu. Kita cabut ke Puncak.”
Johnny mengerjap sempat berpikir “salah satu ceweknya” lalu melotot dan mengumpati Taeyong.
Sementara lelaki itu terkekeh dan masih belum membuka pintu.
“Gak bakal gue ajak semua.”
“Lo sendirian. Mau?”
“Scoups?”
“Kalau dengar suara aneh, tiba-tiba lo kepengen juga, pilihan ada dua: kamar mandi atau ho—”
“Anjing!” Lemparan bungkus rokok melesat mengenai punggung pintu, gagal menghantam tubuh temannya. Taeyong tertawa jahil sambil menunjuk muka marah Johnny.
Johnny mencibir, “Kek lo pernah aja sama Jisoo.”
“Pernah atau enggak, gue juga nggak bakalan cerita pengalaman sama lo.”
“Najis.”
Taeyong menyeringai. “Kosongin jadwal aja selama empat hari. Mumpung Scoups nawari tempat tinggal di sana. Selama Scoups sendiri Jisoo bakalan bawa teman. Apa lo mau salah satu teman Jisoo juga? Oh, lupa, teman Jisoo kan, cewek lo juga. Hahahah.” Ingatkan Johnny kalau mereka berteman sehingga dia tidak perlu meninju wajah brengsek Taeyong.
“Tanggal sat—”
“PERGI LO!” Taeyong keburu berlari sembunyi di balik pintu ketika Johnny melempar kursi atom.
Taeyong seriusan rese. Sudah tahu Johnny akhir-akhir ini sedang dilema, malam semakin dibikin dilema. Mentang-mentang dia sudah selesai dari dilemanya, kini ganti meledaknya.
Kenapa harus memilih satu di antara dua kalau dia nyaman di keduanya? Pilihan sulit untuk Johnny. Dia masih belum tahu kelanjutan kisah dari romansanya nanti.
Jujur, dia sulit menjalani hubungan jarak jauh. Rindu kerap membendung di hati, membuat kepala pening karena kerap memikirkan sang kekasih. Awalnya memang menyenangkan, bermanja-manja dengan sang kekasih lewat daring. Johnny menyukai dan tetap akan menyukai kekasihnya biarpun mereka terpisah oleh jarak.
Namun, kejenuhan yang dilanda akibat kerinduan sang kekasih tersembuhkan oleh kehadiran wanita lain. Johnny mengira pasti menyenangkan jika dia berteman dengan salah satu teman dari kekasih temannya itu. Pertama mendekati, dia mendapatkan penolakan beberapa kali hingga akhirnya mereka sedekat nadi. Tanpa sadar menciptakan tempat tersendiri di hati untuk sang sephia.
Gadis itu spesial, walaupun Johnny kerap membuatnya bersedih lantaran sikap bajingannya. Meski begitu, dia tetap mau menerima maaf dan kembalinya Johnny.
Terkadang Johnny berpikir bahwa dia lebih menyakiti sang sephia ketimbang sang kekasih. Sang kekasih tak pernah tahu dan jangan sampai tahu kelakuan busuknya, sedangkan sang sephia tahu dan akan selalu tahu bahwa sejatinya dia bukanlah pemilik hatinya.
Sejujurnya, Johnny lebih bajingan ketimbang Taeyong.
...
“Orangtua kamu selalu tahu kapan ninggalin putrinya di rumah dan kapan menjaga putrinya.”
“Hm?”
Jisoo menyipitkan mata, melirik Taeyong lewat bahunya kemudian mengangkat bahu tak peduli akan ucapannya barusan. Begitu selesai bercermin, dia beranjak ke lemari memilah beberapa kain tergantung yang tertata rapi.
“Nggak perlu jaket.”
“Malam pasti dingin.”
“Siapa bilang jadi pergi.”
“Hah?”
Jisoo berbalik dengan ekspresi bingung sekaligus berang. Berjam-jam duduk di depan cermin, tangan bergerak aktif menghias wajah, dan begitu selesai ... apa-apaan tidak jadi?
Ia mendekat dengan langkah lebar dan kini berdiri di samping ranjang sambil bersedekap. Menatap lelaki yang sejak tadi menunggunya rebahan di kasur.
“Sengaja bikin aku marah?”
Taeyong menyeringai. Dia berpindah posisi dari rebahan menjadi duduk di tepi ranjang. “Marahnya kamu itu gemesin.” Hanya dibalas guliran sepasang bola mata sang kekasih ke atas.
“Malam mingguan di rumah saja,” katanya sambil menangkap sepasang kaki yang berdiri di depannya. Melingkari kaki-kaki tersebut dan menariknya mendekat.
“Lia aja keluar!”
“Itu kan, Lia.”
“Ayah sama ibu juga keluar.” Walaupun sudah beranak dua, ayah dan ibu kerap menghabiskan malam minggu di luar. Meninggalkan anak-anaknya, jikalau kedua putrinya sudah memiliki jadwal bersama teman atau pasangannya, kalau tidak punya jadwal mereka pasti akan jadi obat nyamuk orangtuanya.
“Itu mereka.”
“Kita?”
“Di rumah.”
Jisoo mendorong kepala Taeyong dengan satu jarinya yang terlepas dari dekapan. “Jangan kira aku gak tahu pikiran kamu!”
“Cuma di rumah, Sayang. Di rumah.”
“Bohongnya kamu kelihatan.”
“Aku malas keluar.”
“Karena kamu terjebak sama fantasi,” tandasnya. “Kita keluar!”
“Kamu keluar sendiri.”
Jisoo kembali mendorong kepala Taeyong, kali agak menyentak kasar, dan hampir menjatuhkan tubuh kurus itu di kasur.
“Kasar banget,” lirih Taeyong dengan nada manja menyebalkan.
“Lebih kasaran pikiran kamu!” dengusnya kemudian menyentak kedua tangan Taeyong yang melingkari kakinya. “Kamu mau di situ silahkan, aku pergi.”
“Bentaran!” Taeyong segera meloncat turun dari ranjang, menyusul Jisoo yang baru akan menyentuh gagang pintu. Tangannya meraih gagang pintu cepat, membuka, dan mempersilahkan sang kekasih keluar lebih dulu. Kemudian menyusul dan berjalan cepat menyamai posisi Jisoo. Lantas menyelipkan tangan kanannya di pinggang Jisoo, menarik agar tubuh sang kekasih menempel ke sisinya.
“Aku nggak semenyedihkan itu, Sayang.”
“Apa?” balasnya sedikit ketus.
“Tuduhan kamu, berfantasi. Aku nggak semenyedihkan itu.”
Jisoo hanya mengangkat bahu tanda tak peduli. Namun, tiba-tiba ia tersentak kaget ketika Taeyong memutar tubuh hingga mereka saling berhadapan, dan tubuhnya dikunci rapat oleh kedua tangannya. Matanya melotot saat melihat seringai terselip di bibir sang kekasih, dan kian melotot ketika bibirnya dicium olehnya.
“Tadi cuma mikirin itu,” akunya tepat di depan bibir Jisoo.
Jisoo mengerang kecil dan tidak memberontak ataupun menyumpahi.
“Dan ini.”
Ciuman yang semula hanya menempel pendek kini menjadi lumatan memanjakan. Taeyong tersenyum sementara bibirnya tetap sibuk, menarik dan menyesap bibir bawah Jisoo secara berulang-ulang. Lidahnya menyapu bagian kulit bibir Jisoo tanpa terlewatkan. Dia berhasil merayu kekasihnya dengan sentuhan lidah yang melelehkan.
Jisoo berdecak kecil, tanpa sadar mengerang. Membuat lelaki yang menciumnya terkekeh dan terasa menggelikan di bibirnya.
“Kurang ajar,” cerca Jisoo usai tautan bibir mereka menjauh.
Senyum Taeyong mengembang dan Jisoo memandangnya dengan seksama. Sekilas pipi sang gadis bersemu merah. Taeyong kontan mengecup hidungnya gemas dan membungkus tubuh itu agar mendekap ke pelukannya.
“Jaga baik-baik perasaan aku, Jisoo. Aku gampang cemburu,” kata Taeyong.
“Dan aku gampang marah,” sambung Jisoo sambil menatap rahang tegas lelakinya. “Juga nggak suka berbagi.”
“We share the same brains cell.”
“Menurut cowok, mantan bajingan.” Ledekan itu malah membuat mereka berbagi tawa bersama. Taeyong menunduk mengamati ekspresi tawa kekasihnya kemudian membungkam tawa itu dengan kilatan ciuman manis.
“Aku cinta, Ji.”
Jisoo tersipu malu. Mendapatkan pengakuan perasaan dari Taeyong, untuk kali pertama kata “cinta” keluar dari bibirnya.
“Kamu?” tanya lelaki tersebut.
“Cinta, Gondrong.”
Dengan tersipu malu menangkup wajah sang kekasih kemudian mengecup rahangnya yang mengoda.
“Manis sekali pacarku,” ucap Taeyong merasa hangat dengan pengakuan dan reaksi gadisnya.
The end
AKHIRNYA END HUEHEHE
APAKAH JOHNNY PERLU SPIN-OFF? 👀
Dan, ayo, ramaikan boyforent 2.0 selama bulan puasa 🙈
Cek di mulmed, ya.