Flora menurunkan perlengkapan bayi yang seolah tak ada habisnya dari mobil Ezra. Hari Sabtu dan Ezra meminta Flora lembur untuk membeli perlengkapan bayi bersama padahal seharusnya ia membawa Mikki pergi ke arena bermain.
Menurut Flora, pria itu baru saja menguras isi toko karena ia membeli perlengkapan bayi baru lahir hingga balita—termasuk mobil yang biasa disewa Mikki saat ia mengajaknya pergi ke mall. Well, Ezra mampu membelinya.
"Kira - kira dikasih kado apa ya, Flo?" tanya Ezra saat ia menjemputnya di depan rumah Davon, Flora baru saja mengenakan sabuk keselamatan saat itu, "aku maunya yang anti mainstream. Vardy kan koleganya banyak-"
Flora masih belum menanggapi saat ia bersandar dan mobil melaju pelan. Keduanya sudah melupakan kecupan impulsif akibat terbawa emosi pekan lalu, setelah itu tak satupun dari mereka yang membahasnya atau bersikap seolah itu pernah terjadi.
"...pasti mereka pada kasih yang keren - keren demi bisa diinget sama Vardy, jadi kalau ada proyek lepasnya nggak jauh - jauhlah." Ezra masih terus mengoceh, apakah dia gugup? Karena Flora sebenarnya masih gugup. Kecupan sialan!
Dan ya, kolega Vardy banyak dan berlomba - lomba mengambil hati walikota itu dengan memanfaatkan momen ini. Termasuk Davon.
Beberapa hari lalu Davon memang bingung memilih kado untuk anak Vardy yang baru lahir bahkan memaksa Gita untuk membeli Stroller multifungsi yang harganya jutaan. Tanpa perlu dijelaskan, Flora mengerti bahwa Davon sedang menanam dan berharap akan menuai suatu hari nanti.
"Davon pasti beli barang mahal," tuduh Ezra dan karena tuduhan itu tepat Flora hanya mengedikkan bahu sebagai respon.
Apa yang Flora pilih untuk Wanda adalah sebuah pompa ASI elektrik terbaik di toko itu, bukan yang termahal tetapi dari segi merk dan fungsi tidak diragukan lagi. Flora pikir Wanda seharusnya senang menerima ini.
Tapi tidak demikian bagi Ezra, pria itu menyeret dua orang karyawan toko bayi kesana - kemari untuk mengambil semua barang yang ditunjuknya. Sangat berlebihan untuk seorang bayi yang baru lahir.
Melihat apa yang dipilih pria itu membuat pompa ASI elektrik pilihan Flora seakan tidak pantas berada di sana. Saat ia hendak mengembalikan benda itu, Ezra menahannya lalu mengambil alih. "Jangan dibalikin."
Hati Flora nyeri melihat semua benda - benda itu, jujur saja ia tidak menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan perlengkapan bayi, ia ingin membuang semua itu, ia mual.
Bukan. Flora memiliki pengalaman tersendiri dengan semua itu dan itu bukan sesuatu yang ingin ia rasakan lagi.
"Menurut kamu strollernya bagus, nggak?" tanya Ezra serius.
Flora memaksa diri obyektif menilai benda di hadapannya, "kok warna hitam, Ray? Banyak nyamuk."
"Rata - rata warna gelap sih, buat anak cowok masa warna pink?"
"Abu - abu terang bagus juga kok."
Ezra mengerutkan hidungnya tidak setuju, "tapi bukan yang terbaik dari segi material dan merk."
"Oh, ya udah." Flora tersenyum setuju.
Flora terkejut saat Ezra menurunkan stroller dari mobil, bukan warna hitam melainkan abu - abu terang pilihannya. Ia mengernyitkan dahi sambil memandang wajah Ezra.
"Kok...?"
"Aku ikut saran kamu. Soalnya kamu cemberut selama di toko."
Wanita itu tersentak, ia melotot protes walau sadar pipinya perlahan meremang. Ezra memperhatikannya tapi salah menganalisa isi pikirannya.
Pria itu tersenyum miring mengejeknya, "kamu iri ya?"
Apa? Tuduhan yang buat Flora semakin salah tingkah, "kenapa aku harus iri?"
"Karena aku terlalu royal untuk anaknya Wanda mungkin?"
Ia tersenyum getir, "ini uang kamu, kenapa aku harus iri? Kamu aneh." Flora memalingkan wajah lalu menyibukan diri dengan memungut mainan kecil yang tersebar di lantai mobil karena jatuh dari plastiknya.
Tapi dagunya dijepit dan dengan tegas diarahkan kembali ke arah pria itu. Senyum mengejek di bibir Ezra telah lenyap, ada keengganan saat ia berkata, "kalau nanti kamu punya anak, aku bakal belikan yang lebih dari ini." Ezra menjatuhkan tangan lalu memutar bola matanya, "tapi aku nggak mau datang. Ngapain lihat bayi dan suami kamu sementara aku sendirian."
Wanita itu mengerjap cepat lalu memalingkan wajahnya, "lebih baik kamu kasih aku bonus yang gede sekarang karena aku nggak berniat menikah apalagi punya bayi."
Tubuh Ezra menegang. Ia menjepit lengan Flora ketika wanita itu berniat meninggalkannya, "kenapa gitu, Flo?"
Flora melirik cengkeraman Ezra yang serius lalu berpaling ke wajahnya, "apanya yang 'kenapa', Ray? Setiap orang punya pilihan dan itu pilihanku. Sama seperti kamu yang berniat melajang seumur hidup kan?"
Mulut Ezra terbuka, tergagap saat menjelaskan bahwa mereka memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang pernikahan. Pria tidak menikah itu lumrah, tapi wanita? Orang pasti akan berpikir ada yang salah dengan Flora.
"Kamu bukan penganut hubungan liberal kan, Flo? Dulu kamu nggak begitu."
Flora menghadiahinya dengan senyum miring yang bahkan tidak Ezra sangka akan ada di wajah wanita itu.
"Orang bisa berubah, Ray," Flora melepaskan dirinya dari Ezra lalu menambahkan, "bukan kamu aja."
Ketika Flora berjalan pergi dengan sekotak mainan bayi, ayunan bokong wanita itu seakan menantangnya untuk berbuat sesuatu, membuktikan ucapan wanita itu bahwa semua orang juga berubah, termasuk Flora. Seharusnya itu kabar baik bagi Ezra yang menganut hubungan serupa, tapi memikirkan Flora berganti - ganti teman kencan rasanya... tidak benar.
Ezra tidak kaget mendapati Meryl di dalam rumah Vardy karena inilah yang ia inginkan, seorang cucu. Baguslah karena kakaknya penganut aturan hidup lurus seperti jalan tol—menikah lalu beranak dan bukan sebaliknya.
Vardy boleh memenuhi semua keinginan Meryl, Vardy juga boleh menjadi contoh orang paling suci di antara mereka, tapi jangan harap Ezra mengikuti jejak kakaknya. Mereka dua orang yang berbeda.
Flora berhenti di dekat pintu, tiba - tiba merasa seharusnya tidak berada di sana saat ini. Tapi kemudian Ezra yang menyusul di belakangnya mendorong Flora terus ke dalam.
"Ray! Flo!" pekik Wanda senang. Wajahnya polos tanpa make up, hanya efek hitam di sekeliling mata yang membuatnya seperti burung hantu.
Flora mengelak samar dari sentuhan Ezra karena ia tahu ibu pria itu memperhatikan mereka, lalu berjalan mendekati Wanda dan tersenyum geli. "Selamat ya, Bu! Wih, bule..."
"Makasih! Jangan mikir macem - macem ya, ini memang anak Mas Vardy walau awalnya aku sendiri nggak percaya."
Flora terkekeh, "percaya kok, Bu." Ia mengusap lembut kepala baby Eric, "ini pirangnya kalau udah gede jadi gelap."
"Kok kamu tahu?" pertanyaan penuh kecurigaan itu datang dari Meryl.
Wanda dan Flora tersentak bersamaan, "oh, cuma tebak aja, Bu. Soalnya rambut Pak Vardy dan Bu Wanda nggak ada yang pirang."
Menangani situasi aneh ini, Wanda pun memperkenalkannya pada Meryl yang sedari tadi mengawasi seperti 'Ibu suri' sejak Flora masuk.
"Flo, kenalin Mamanya Mas Vardy dan Ray," lalu Wanda berpaling pada mertuanya yang tidak menunjukkan sedikitpun keramahan bahkan ia memperhatikan Flora dari ujung kepala hingga ujung kaki secara terang - terangan, itu buat Wanda ingin memutar bola matanya, dia pernah berada di posisi Flora dulu.
"Ma, ini sekretarisnya Ray namanya Flora."
Flora menangkupkan tangan di dada lalu memperkenalkan diri dengan senyum ramah, "Flora, Bu."
Meryl tidak menanggapinya, tatapan penuh penilaian yang ia berikan buat perempuan biasa seperti Flora ingin lekas pergi dari sini.
Tidak hanya sampai di situ, Meryl menoleh pada Ezra yang duduk santai di sisinya dengan tangan di rentangkan ke belakang pundaknya. Sepertinya Ezra ikut menikmati kegugupan Flora di bawah tatapan ibunya yang intimidatif.
"Kalian tidur bareng?"
Meryl bertanya dengan begitu santai seakan ia bertanya 'kalian datang bareng' sehingga Ezra terlambat menyadarinya.
"Ma!" tegur Ezra pelan. Ia menurunkan tangannya ke pangkuan lalu berdeham gugup, "please!"
Meryl tidak terlihat merasa ada yang salah, "saya kenapa?" ia berpaling pada Flora dan mengulang pertanyaan yang sama, "kamu tidur dengan anak saya kan?"
Wajah Flora pias seketika, ia menatap Ezra dan ibunya yang ajaib bergantian. "Nggak, Bu!" Flora kesal karena penyangkalannya terdengar begitu lemah.
"Ma, udah. Dia sekretaris Ray. Vardy yang pilih, bukan Ray." Gerutu Ezra percuma karena Meryl hanya akan berhenti jika ia ingin berhenti.
Meryl mengibaskan tangannya, "saya bisa rasa. Kalian anak muda boleh bersikap seyakin mungkin bisa membohongi saya, tapi saya tahu."
"Nggak, Ma-"
Meryl berpaling pada Flora yang seakan lebih memilih dikubur dalam tanah saking malunya. "Saya sarankan kamu periksa. Siapa tahu kamu punya cucu saya juga-"
"Ma!" tegur Ezra lebih keras.
Tapi Meryl merentangkan tangannya, "saya benar dong. Kalau memang ada cucu saya tercecer di luar sana harus saya selamatkan."
Flora merasakan sekujur tubuhnya lemas, cairan asam seolah merangkak naik ke tenggorokannya, ia terlalu takut.
"Saya tidak begitu dengan Pak Ray," Flora memaksakan dirinya menjawab dengan tenang, "dan saya tidak punya cucu anda, Bu."
Meryl memandang skeptis padanya tapi kemudian ia mengedikkan bahu tanda 'terserah'.
Merasakan sikap mertuanya agak keterlaluan, Wanda mencoba mencairkan suasana membantu Flora.
"Flo memang nggak punya cucunya Mama, tapi dia punya kembarannya Mas Vardy."
Lelucon itu tidak membuat Flora tersenyum melainkan semakin pucat, sayangnya Wanda tidak menyadari itu.
"Siapa nama keponakan kamu, Flo? Aku sih bilangnya 'Vardy Kecil'," kata Wanda lebih lanjut.
"Namanya Mikki-mon," sebangsa Pokemon, Digimon, tapi bukan demon, jawab Ezra mewakili Flora.
"Kapan - kapan bawa main ke sini, Flo. Mendadak kangen," pinta Wanda serius tapi Flora tidak mengiyakan jadi ia beralih pada Ezra, "Ray, kamu harus lihat keponakan kamu!"
Ezra meringis, "bukannya nggak mau, tapi beberapa hari belakangan ini aku terinfeksi Ine-sefallus jadi mual dan muntah terus, kamu nggak bakal suka."
Ketiga wanita di sana memandang bingung padanya sekaligus mengingat apakah Ine-sefallus sejenis virus atau parasit.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Ine tiba - tiba saja meneleponnya dan mengatakan bahwa Ezra harus datang menemuinya di dokter kandungan. Jadi ia memanggil Flora untuk bicara di luar dan berdalih bahwa ini soal pekerjaan pada Meryl dan Wanda.
"Ketemu Ine?" tanya Flora bingung.
Ezra mengedikkan bahunya, "dia minta dijemput. Kamu mau bareng?"
Jelas Flora menggeleng, "aku naik taksi aja dari sini."
"Flo..." Ezra tahu membiarkan Flora pulang sendiri sangat tidak sopan karena ia yang menjemputnya tadi. Dan ia juga tahu Flora pasti kesal setengah mati.
Wanita itu tersenyum geli, "gapapa, Ray. By the way, kamu harus bilang ini ke Mama kamu, Ine punya yang Mama kamu inginkan."
Ezra mengernyit tidak suka, "ini bukan kabar baik sehingga kamu bisa senyum, Flo. Aku hanya sedang berusaha menerima keadaan. Ini bukan mauku."
Flora mengangguk, "mau kamu bisa bebas tanpa dibebani konsekuensi kan?"
"Aku nggak ingin. Aku nggak siap," aku Ezra muram.
"Aku tahu. Tapi kamu harus bisa terima kenyataan, Ray," karena itu yang selama ini aku lakukan. Terima kenyataan.
Bohong jika Flora tidak merasakan apapun, ia hanya berusaha menyadarkan diri bahwa rasa kecewanya tidak boleh berlanjut. Ia tak dapat mengubah keadaan, ia tak dapat membuat Ezra mencampakan Ine begitu saja, ia tidak punya hak atas itu.
Tapi ia punya hak untuk bahagia dengan cara yang lain, seperti membuat keponakannya senang di game center walau ia bosan setengah mati. Namun, melihat Mikki begitu aktif menikmati permainan sudah cukup buat Flora terhibur.
"Ini mainnya gimana, Onty?"
Flora menjajari keponakannya sambil memaksa otaknya yang tidak kreatif berpikir bagaimana caranya memainkan House of dead. Seharusnya ini mudah, kita hanya perlu menembak secara membabi buta.
Setelah mereka nekat mencoba permainan itu dan game over, Mikki mendesah kecewa.
"Onty nggak bisa main."
Flora menjepit pipi gemuk Mikki dan tersenyum menyesal, "maaf..."
"Telepon Ray!"
Permintaan tiba - tiba itu membuat Flora terperangah, bagaimana bisa ada nama Ezra di kepala anak itu? Mereka baru bertemu satu kali.
"Kenapa bukan Papa Davon?" tanya Flora curiga.
"Papa juga payah. Ray hebat, dia bisa semua game. Dia legend."
Apa? Flora mengerjap, darimana Mikki mengenal istilah itu, "legend?"
Mikki mengangguk, "youtube bilang begitu. Master game itu legend. Ray legend."
Flora memperhatikan Mikki dengan perasaan cemas, bagaimana jika Mikki terikat dengan pria itu sementara Ezra jelas - jelas tidak bisa lebih dekat dengan mereka, selain kenyataan bahwa Ezra tidak suka anak - anak, pria itu juga akan memiliki keluarga sendiri.
Lantas bagaimana ia memberi pengertian pada Mikki bahwa Ezra tidak akan selalu ada untuknya?
"Mik-"
Flora baru saja hendak mulai bicara ketika teleponnya berdering nyaring. Ia mengerutkan dahi saat mengeluarkan benda itu dari dalam tas. Nama Ezra terpampang di sana dan tiba - tiba saja Mikki memekik memanggil nama kecilnya.
"Itu Ray! Angkat, Onty-" ia melompat senang, "angkat!"
Flora berpaling padanya dan melotot, "ini Ezra, bukan Ray!"
"Ray bilang namanya Ezra, sama seperti aku, Mikki sebenarnya Mycroft." Astaga! Dia ingat! "angkat, Onty!"
"Onty angkat, tapi kamu diam. Bisa?"
Anak itu mengangguk terlalu semangat dan justru terasa mencurigakan, "aku diam."
Flora melirik keponakannya yang berusaha menutup mulut walau sedang tidak sabar, terlihat dari kakinya yang bergerak gelisah.
"Halo, Ra-"
"Ray!!!" pekikan Mikki terdengar persis seperti petasan, Flora yakin Ezra tidak melewatkan itu karena sekarang ia seperti sedang terkekeh.
"Mikki! Onty bilang apa tadi?" tegur Flora kesal.
"Ray, Onty nggak bisa main game, dia payah. Ayo main game!"
Dengan terpaksa Flora menahan kepala Mikki sejauh lengan agar tidak merangsek ke arah ponselnya, "ada apa, Ray?"
"Kamu di mana?"
Flora melirik tempatnya berada tapi tidak berniat memberitahu detilnya, "lagi jalan - jalan sama Mikki, ini kan hari Sabtu."
"Aku jemput ya."
"Nggak usah-"
"Onty, please! Aku mau ketemu Ray, ayolah, Onty!"
Kenapa Mikki harus merengek di saat seperti ini, Flora melotot memperingatkannya.
"Ayolah, Onty Flo," ejek Ezra enteng, "Ray juga sudah kangen dengan Mikki-mon."
"Mikki-mon?"
"Saudara dekatnya Pokemon dan Ray-mon. Kurasa kami berdua sama - sama monster," ia terkekeh, "di mana alamatnya? Aku jemput, ada sesuatu yang pengen aku beritahu ke kamu."
"Apa itu, Ray?"
"Rahasia, kalau feelingku benar, kamu akan suka kabar baik ini."
"Nggak bisa bilang sekarang aja?"
"Nggak bisa. Aku harus lihat wajah kamu langsung."
Flora sedang mempertimbangkan usulan Ezra sementara keponakannya melompat - lompat seperti katak menyebalkan sambil berbunyi, "Ray! Ray! Ray!"
Baiklah, sekali lagi mereka berdua kompak menyerang Flora. Mau tak mau ia menyerah ditandai dengan senyum di bibirnya yang mengembang lebar. Ia menyebutkan alamatnya pada Ezra dan sekarang ada perasaan gugup menanti pria itu datang.
Ia mengaktifkan kamera depan lalu bercermin, memeriksa apakah ada yang aneh dari penampilannya? Flora tidak pernah berdandan khusus karena memang ia tidak pernah berkencan. Ironis, ia pernah tidur dengan Ezra tapi tidak sekalipun berkencan—dengan siapapun.
"Onty cantik, nggak?" Flora iseng meminta pendapat Mikki.
Anak itu memperhatikannya seolah mengerti makna cantik dan tidak. "Onty selalu cantik," katanya.
Flora terenyak takjub, ia menatap lurus ke dalam mata coklatnya dan memastikan, "serius?"
"Iya," Mikki mengangguk, "karena Onty perempuan. Perempuan itu cantik."
Oh... Flora menyeret kembalipandangannya ke arah kamera dengan lesu, memperhatikan wajahnya yang biasa sajadan tidak menarik. Apa yang kamu harapkan, Flo? Andai bukan karena keinginanEzra untuk balas dendam terhadap Davon dulu mungkin pria itu tidak akan pernahtertarik mengenalnya.